“Jadi kamu nggak pulang kemarin malam dan menghabiskan waktu berduaan dengan Felix?”
Eve mengangguk dengan wajah tenang. Dia sama sekali tidak merasa bersalah.
“Apa saja yang kalian lakukan?” tanya Dexter. Tangannya berada di dalam gaun tidur Eve yang sedang dipeluknya dengan erat. Mereka sedang berbaring di dalam kamar Dexter. Eve baru melihat kamar Dexter hari ini.
Meskipun Keluarga Wongso dan Daveno memiliki pertalian yang cukup erat dalam bisnis, tetapi generasi ketiga mereka tidak seakrab itu. Mungkin karena perbedaan umur mereka yang agak jauh jadi sulit untuk bergaul meskipun bisa dipastikan mereka mengenal satu sama lain dan memiliki lingkungan pergaulan yang tidak jauh berbeda. Mereka tidak saling bertamu dan saling memperlihatkan kamar tidur mereka masing-masing.
Kamar tidur Dexter terasa maskulin tetapi lembut. Hitam itu maskulin namun sederhana, cocok digabungkan dengan warna apa saja. Hitam bercampur dengan warna lain
Eve sudah memastikan kalau Dexter itu tidak sopan, menginginkannya saat dia benar-benar masih butuh tidur setelah tidur hanya 3 jam selama 3 hari ini. Kalau Eve bermalas-malasan, maka dia tidak bisa disalahkan. Dexter mendorong dada Eve dengan lembut saat pria itu telah berlutut di antara kedua pahanya di hadapannya. Eve tidak merasa ingin melawan, meletakkan punggungnya kembali ke kasur empuknya. Dexter yang sudah hampir 2 minggu tidak mendengar rengekan lirih Daniel yang meminta susunya di malam hari rupanya sudah mulai kehilangan kemampuan telinganya yang sensitif. Dia baru bangun saat Daniel menangis lirih, untungnya belum meledak tangisannya. Eve juga tampaknya mulai terbiasa mendengarnya jadi terbangun. Dexter tidak ingin Eve bangun untuk Daniel, Eve sudah terlalu capek. Dia mendorong tubuh Eve untuk kembali berbaring. Tergoda untuk menciumnya dengan kecupan-kecupan di bibirnya pelan-pelan lalu memberinya satu ciuman bibir dengan gosokan lidah yang memb
“Kamu nggak sopan, Ex.” Dexter terkekeh sambil memeluk pinggang Eve dari belakang. Dia mencium leher Eve dan menghisapnya lalu menggigitnya sedikit dan terkekeh lagi. Eve memandangi bayangan mereka berdua di cermin besar pagi itu. Mereka baru saja mandi dan Dexter memulai pergulatan di dalam kamar mandinya, di bawah hangatnya air pancuran shower, entah dengan gaya apa, Eve hanya merasakan nyaman seperti semalam dan terlalu capek untuk mengeluh. Padahal Eve masih ingin tidur tetapi Dexter memanggulnya seperti karung beras sampai ke kamar mandi dan dia terpaksa membuka matanya lebar-lebar. “Aku nggak bikin tanda tetapi kamu bikin tanda sebanyak ini.” Tumben mulut Eve saja yang bekerja, tangannya diam, otaknya berpikir. Eve ngeri melihat semuanya di cermin. Bibirnya bengkak, leher dan dadanya penuh dengan tanda merah, beberapa di antaranya akan menjadi biru. Tidak mungkin semuanya ditutupi make-up, Eve tidak menyukai banyak make-up di kulitnya. “Itu tand
“Kamu tidak perlu membuat tanda sebanyak itu, Boy. Kami semua bisa melihat hasil perbuatanmu terlalu jelas,” kata Aksa. Dia memasukkan nasi ke dalam mulutnya. Aksa bisa melihat semua tanda merah di leher Eve dan memastikan kalau Dexter pasti membuat banyak tanda di tempat lainnya. “Ini masakan Eve,” sahut Dexter. Aksa mengerutkan keningnya, anaknya itu menjawab kalimatnya dengan kalimat lain yang tidak ada hubungannya. “Lumayan juga,” sahut Aksa, hanya mengikuti ke mana arah pembicaraan itu, tetapi pujian itu benar adanya. “Itu bukti transfer, Pa. Empat kali transfer, Pa, jadinya tanda sebanyak itu,” sahut Dexter. Anaknya benar-benar gila. “Kamu ada rencana mau ke mana hari ini?” tanya Aksa. Aksa dan jajaran direksi, termasuk Dexter sendiri, sudah membahas masalah itu dan penanganannya, tetapi detailnya belum diketahui Dexter karena dia minta ijin pulang lebih dulu pada Aksa. Aksa langsung mengijinkan melihat anaknya itu terlihat cemas pada keadaan is
Eve tidak bisa menebak berapa lama lagi dia bisa bertahan di bawah tubuh Dexter seperti saat ini. Rasanya antara nyaman dan tidak nyaman, enak dan tidak enak, lelah dan tidak melelahkan. Membingungkan.Hari ini mereka semua pergi ke Bandung, yang sebenarnya hanya berputar-putar keliling kota di dalam mobil, turun sebentar untuk makan dan melihat-lihat tempat wisata atau tempat belanja. Tidak ada tujuan khusus seakan mereka hanya ingin menghabiskan waktu bersama.Daniel mulai mau bermain bersama orang tua Dexter. Hanya bermain. Untuk urusan gendong-menggendong, Daniel masih saja menolak. Sebentar saja dia mau asalkan masih dekat dan melihat salah satu dari orang tuanya. Mungkin hanya 10 menit saja, tidak lebih, kadang kurang.Pulangnya, hampir jam 10 malam, Daniel sudah tertidur dalam gendongan Dexter. Anak itu lebih memilih Daddy daripada Mommy, minum susu, bermain, gendong, hampir semua hal. Entah apakah Eve benar, anak itu memiliki insting akan berpisah agak l
“Ruang makan ini dulu tertutup tembok,” kata Eve teringat sesuatu. Eve sedang duduk di meja makan berdua dengan Diana. Mereka duduk melihat taman belakang yang bisa dilihat dari ruang makan berkonsep terbuka jadi terhubung langsung dengan taman. Diana tidak menjawab, hanya mendengarkan seberapa banyak yang dikatakan Eve. “Temboknya berwarna hijau lumut. Dan penuh dengan coretan tangan anak kecil yang menggambar robot, mobil, macam-macam. Dan taman belakang itu dulu tidak seluas ini, tidak cukup untuk berlari-lari seperti sekarang. Ayunannya dulu bukan berbentuk bangku, tetapi ayunan satu-satu yang bisa melayang lebih tinggi, itu menyenangkan tetapi lebih berbahaya.” Eve seperti sedang membaca adegan demi adegan di dalam otaknya yang entah muncul dari mana. Diana kembali memutar memorinya lagi. Tembok ruang makan memang berwarna hijau lumut saat anak-anaknya masih kecil gara-gara Aksa membaca kalau warna hijau bisa meningkatkan nafsu makan. Kelihatannya itu tidak berh
14 Desember 2018.Dexter menyapu semua orang di restoran itu dengan tatapannya. Mencari orang seperti ini bukanlah keahliannya. Dulu saja dia melewatkan Eve yang menjemputnya di bandara.Dia masih ingat wajah orang yang dicarinya dengan jelas karena wajah menyebalkan itu sempat membuatnya kalap sebelum mereka berbaikan dengan cara yang tidak pernah Dexter bayangkan sebelumnya.Tubuh pria memakai kemeja putih bergaris biru diagonal itu tampak lebih besar daripada yang diingat Dexter hari itu, mungkin karena snelli-nya tidak dipakai hari ini.“Wah, lama banget!”“Maaf.” Dexter tersenyum dan segera membuka kursi untuk dirinya sendiri.“Tidak apa! Yang minta tolong harus mengalah.”Dexter duduk di hadapan Darwin yang menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Dia memanggil pelayan dan memesan minuman, “Jus alpukat satu, tanpa gula, tanpa susu putih, susu coklat sedikit saja. Terima kasih.&rd
9 Januari 2019. Ponsel di atas meja itu terus berdenting, pesan-pesan masuk tiap 30 menit. Eve mendesah pelan, ulah Dexter memang aneh, dia terus meneror Eve untuk datang dan merayakan ulang tahunnya. Sebenarnya apa bedanya kalau Eve datang atau tidak. Eve sempat bertanya pada Felix, apa ada acara perayaan ulang tahun Dexter tetapi Felix mengatakan tidak. Jadi apa tujuan Dexter menyuruh Eve datang kalau tidak ada acara yang harus dihadiri? ‘Besok ulang tahunku.’ ‘Kamu harus datang.’ ‘Datang nggak perlu bawa kado, cukup bawa kamu, Lovie.’ ‘Love, datang atau nggak?’ ‘Aku tunggu.’ ‘Aku tunggu, please.’ Eve selalu menjawab pesan dan telpon dari Dexter dengan cepat. Dia tidak ingin Dexter merasa kesal kalau sulit menghubungi Eve sesuai janjinya, Eve memang tidak pernah melepaskan semua yang dia miliki, kecuali mereka ingin melangkah pergi. Hanya saja yang ini dia malas menjawab. Sejak pulang merayakan Natal,
10 Januari 2019.‘Happy birthday, Daddy.’ (Eve)Itu pesan pertama yang dilihat Dexter saat membuka matanya di pagi hari itu. Video yang memperlihatkan Daniel yang tertawa dan tangannya menggenggam kartu ucapan dengan tulisan selamat ulang tahun itu benar-benar membuatnya ingin pulang. Eve tidak terlihat di dalam video itu.Dia tertawa saat Daniel mulai memasukkan kartu itu ke dalam mulutnya dan Eve yang terkejut langsung berusaha merebutnya. Daniel sudah mulai bisa diam dalam posisi duduk tetapi belum bisa duduk sendiri. Anak itu duduk agak limbung terlihat berteriak dan tangannya mengepal untuk protes. Tetapi seperti biasa, Eve menang dan menyuruh Daniel melambaikan tangannya pada kamera. Sepertinya Nanny yang merekam video itu.Masih banyak pesan berisi ucapan selamat ulang tahun untuk Dexter tetapi pesan dari Eve adalah yang dibukanya paling pertama, bahkan sebelum dia melakukan apa pun setelah membuka mata.Hari ini terasa lebih men
“Kamu sudah mendapat 4 bulan cutimu, Eve. Kapan mau mulai kerja sungguhan?” tanya Erick. Sejak kehamilan Eve menginjak 8 bulan sampai Raven berusia 3 bulan, Eve mengerjakan semuanya dari rumah, kadang datang untuk rapat-rapat atau urusan penting lainnya, mungkin hanya 2-3 kali dalam seminggu. Tetapi Erick harus mengakui semua berjalan lancar di tangan Eve, seperti biasanya, tanpa cela. “Papa harus mulai memberikan Rana tanggung jawab yang lebih besar.” Adik lelaki Eve sudah datang dari Amerika Serikat 6 bulan yang lalu dan Eve mengajarinya dengan telaten. Rana juga bukannya tidak berpengalaman karena dia juga bekerja di sebuah perusahaan rekanan Angkasa Wongso di New York sembari menyelesaikan kuliah S2-nya. Eve hanya memperkenalkan aturan dan cara kerja mereka di Asterix Grup karena Asterix lebih besar dan lebih luas. “Aku akan berikan, tetapi jabatanmu tetap sama, tidak bisa diisi orang lain. Makanya lahirkan anak lagi supaya keluarga kita akan makin besar.
Angin semilir di taman samping membuat Eve membetulkan roknya yang sedikit berkibar. Pinggiran rok itu dia selipkan di bawah pahanya yang sedang berada di atas kursi taman dari batu yang berbentuk kursi. Beberapa daun tampak berjatuhan, membuat rumputnya yang kehijauan berbercak kekuningan. Bunga-bunga di saat-saat seperti ini juga tumbuh bermekaran meskipun kebanyakan di antaranya selalu ada yang mekar tanpa mengenal waktu sepanjang tahun. Semalam hujan jadi tanah masih terlihat sedikit basah pagi ini dengan cuaca yang cukup hangat. Eve lebih suka cuaca lebih dingin dari ini karena dia juga malas kulitnya yang terlalu putih itu terasa seperti tersengat berada di bawah terik sinar matahari. Namun demi untuk menjemur Raven, dia rela membiarkan kulitnya terkena sinar matahari pukul 8 pagi yang katanya menyehatkan. Tanaman di taman ini semakin banyak dari hari ke hari. Maria terus saja menambahkan tanaman-tanaman hias dan berbagai macam bunga setiap kali d
Eve membuka kotak berpita seukuran kotak gaun di hadapannya itu saat pesta usai 30 menit yang lalu. Semua tamu sudah pulang meninggalkan tuan rumah dalam kelelahan dan kebahagiaan. Kotak berwarna perak itu adalah kado pemberian Dexter sebagai ucapan terima kasihnya sudah menemani hidupnya dalam 2 tahun ini. Itu waktu yang singkat, tetapi mengingat mereka memiliki sejarah percintaan yang cukup panjang, rasanya ini juga hadiahnya atas masuknya Eve kembali dalam relung hatinya dan kesediaan wanita itu kembali ke dalam hidupnya. Dexter sebenarnya sedang memperhatikan Eve yang memegang dan membuka kotak itu dengan perlahan seakan waktu berjalan dengan sangat lambat. Tetapi memang dia harus bersabar seperti Eve bersabar menghadapi dirinya dulu. Eve mengeluarkan kertas yang berada dalam balutan plastik yang membungkusnya, menjaga rapuhnya kertas itu. “Kamu seorang Wongso, Love.” Kertas yang mengubah nama Eve dengan tambahan nama Wongso di belakangnya sudah a
4 Maret 2020 Eve sedang duduk di meja riasnya. Lelah, itu yang dirasakannya. Senang, itu perasaannya. Seorang wanita muda berdiri di belakang Eve dan tersenyum. “Kamu cantik, Eve.” “Terima kasih. Perut ini makin berat dan aku makin sering lelah, Aze.” Kandungan Eve sudah menginjak usia 5 bulan. Aze mengangguk. Dia juga ingat betapa besar perutnya saat itu, hampir2 tahun lalu. Eve yang jarang mengeluh juga akhirnya meloloskan keluhan juga, tidak salah, menjadi wanita hamil itu tidak mudah. Seingat Aze, hanya Eve yang selalu ada bersamanya, meredakan semua keluhannya, melakukan semua keinginannya, tentu dengan syarat-syarat, Eve memang selalu licik begitu. “Pesta memang merepotkan untuk wanita hamil,”sahut Aze. “Lebih enak berkeliling mall?” tanya Eve sambil tersenyum. Aze tertawa lirih dan mengangguk. Mereka akan segera menghadiri pesta perayaan perkawinan Dexter dan Eve yang kedua. Eve keberatan sebenarnya, perutnya yang makin
Sudah sejak awal Aksa merasa bersalah menyembunyikan semua fakta tentang Rosalind dan Reveline dari wanita yang dianggap sebagai ibunya sendiri. Evita tidak memiliki hubungan darah dengan Aksa tetapi mereka sudah sangat dekat. Pelan-pelan Aksa menceritakan masalah Rosalind sampai kehadiran Reveline pada Evita setelah kematian Rosalind. Selama ini Rosalind yang melarang melibatkan Keluarga Daveno dalam hal apa pun untuk melindungi keluarga itu. Aksa sangat mengerti bagaimana sifat Evita, wanita tua yang keras namun penyayang dan cukup bijaksana menilai semua hal. Evita tidak menyalahkan siapa pun. Dia hanya menyesali jalan hidup anaknya dan wanita yang dicintainya berakhir seperti sekarang. Namun yang paling besar adalah penyesalannya terhadap Reveline yang tidak bisa menjadi seorang Daveno. Evita dan Albert datang mengunjungi Reveline setiap bulan, tidak ada seorang Daveno yang bisa disia-siakan, termasuk Reveline. Semua orang lupa memperhitungk
Dexter, anak kedua Diana, yang kala itu berumur hampir 4 tahun yang paling gembira dengan kabar itu. Dia paling suka menemani Rosalind ke mana pun sambil mengelus perut buncit bibinya itu. Selain menyukai calon anak Rosalind, Dexter juga sangat menyukai mata coklat keemasan Rosalind. “Cantik. Mata Tante Ros cantik,” kata Dexter dengan polosnya. Rosalind akan terkekeh mendengarnya. Di dalam keluarga Aksa memang tidak ada yang bermata coklat keemasan seperti Rosalind jadi wajar Dexter begitu terpikat. “Ini namanya warna amber, Ex. Nanti anak ini juga mempunyai mata seperti Tante,” sahut Rosalind geli. Warna mata Rosalind didapatnya dari sang ibu yang berasal dari Italia. Mata Erick dan mata Rosalind yang coklat pasti akan menurun pada anaknya. Rosalind sangat menyayangi Dexter sampai memberikan nama panggilan kesayangan padanya dan rajin mendengarkan ocehan bocah berumur 4 tahun itu. “Berarti anak Tante nanti pasti cantik,” celoteh Dexter lagi. “Bisa ju
Hubungan keempat manusia itu memang amatlah rumit dan sulit untuk dijelaskan. Erick yang mencintai Rosalind malah berakhir menikahi Rita. Raja yang mencintai Rita malah berakhir menikahi Rosalind. Entah bagaimana kisah mereka penuh drama yang memilukan bisa berakhir seperti itu. Namun mereka belum tahu saja kalau itu barulah sebuah permulaan dari skandal yang lebih besar lagi. Erick tidak sepenuhnya jatuh dalam pesona seorang Amrita Adira yang cantik dan lemah lembut. Meskipun sudah menikah, dia tidak pernah menyentuh Rita yang setia menunggunya berpaling kepadanya. Rita juga mengetahui siapa yang dicintai Erick tetapi dia juga tidak keberatan untuk menunggu entah sampai kapan, waktu memang tidak bertepi untuk Rita. Raja pun tidak berbeda, dia masih belum jatuh sepenuhnya dalam pesona Rosalind yang memiliki jiwa pemberontak, tetapi bedanya Raja menyetubuhi Rosalind berkali-kali meskipun wanita itu juga berkali-kali menolak. Keras kepalanya Rosalind membuat Raja berte
Darwin menolak untuk merasa cemas akan tertangkap lagi. Untung didikan ayahnya membuat dia bisa mengendalikan emosi dalam berbagai suasana hati, jadi mudah saja untuk membohongi orang tua Eve dan Dexter yang tampaknya makin solid saja. Tetapi Eve adalah salah satu orang yang bisa membaca emosi Darwin di balik wajah tenangnya. Jadi Eve akan mudah sekali menangkap kecemasannya, yang untungnya masih tidur lelap. Tekanan jiwanya pasti terlalu banyak karena rupanya Eve lolos juga dari pengawasannya untuk mencari tahu tentang skandal kelahirannya yang mengejutkan. Kesalahan Eve yang jelas adalah informasi itu dipresentasikan dalam benaknya tanpa bicara pada saksi yang mengalaminya, mereka adalah orang tua Eve dan Dexter. Darwin berusaha menghalau orang tua Eve dan Dexter masuk ke dalam ruangan. “Eve belum bisa dikunjungi. Jangan khawatir, kami akan terus pantau. Nanti semua bisa masuk kalau dia sudah sadar.” Darwin bernapas lega karena tidak ada satu pun yang menya
Eve mematikan sambungan telponnya. Masih berusaha menarik napas dan menormalkan debaran jantungnya. Berpikirlah, Eve! Jangan memiliki perasaan apa pun, Eve! Perintah-perintah itu dibuat Eve untuk dirinya sendiri. Akhir-akhir ini dia sering sekali menggunakan perasaannya saat berpikir. Dia ingat benar kata-kata pria yang dia mintai keterangan, “Reveline Andrea Wongso lahir pada tanggal 5 Maret 1990, anak dari pasangan Angkasa Wongso dan Diana Hadis Wongso. Ini out of the record, Ibu Eve. Di berkas ini tertulis kalau Erickho Daveno berhasil membuktikan Reveline sebagai anaknya jadi akte kelahiran bisa berubah. Buktinya dengan test DNA.” Sebelumnya Eve memang tidak bertanya soal akte kelahirannya yang lama, dia hanya bisa bertanya soal pergantian namanya keluarga pada akte kelahirannya lewat sidang. Pria yang diajaknya bicara barusan dulu mengatakan kalau berkas Eve tidak lengkap. Eve mengabaikan instingnya kala itu, mengabaikan kalau pria itu menutupi sesuatu. Ja