Angkasa Wongso lahir sebagai anak tunggal dan anak laki-laki Keluarga Andrew Wongso. Sejak kecil dia tidak pernah akrab dengan ibunya. Ibunya, Kemilau, selalu membuat dinding pemisah di antara mereka. Saat kecil, Aksa mengira hanya karena ibunya seorang wanita mungkin tidak mengerti dirinya yang seorang bocah laki-laki.
Tetapi seorang wanita lain sepertinya mengambil peran sebagai ibunya. Evita Daveno, teman akrab dan rekan bisnis Andrew selalu ada untuk menggantikan peran ibu di hatinya. Bukan dengan jarak dekat karena Evita sering tinggal di Singapura dan sekalinya datang ke Jakarta akan sangat sibuk. Tetapi wanita itu selalu dekat di hati.
Evita juga yang memberinya panggilan Aksa, dari bahasa Sansekerta yang artinya sumbu. Evita melihat Aksa akan menjadi sumbu atau poros dari Keluarga Wongso, selalu begitu. Karena itu juga, Aksa mendidik anaknya dengan sangat keras agar bisa menjadi poros dalam keluarganya sendiri sebagaimana Andrew Wongso selalu mendidiknya deng
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. This is a story about Angkasa Wongso. Terima kasih atas dukungannya, thank you, xie xie, gracias.... Hug and kiss, Josie.
“Jadi Daniel itu cucuku, anak Frans?” tanya Maria tidak percaya. Matanya membulat dan memandangi anak yang sedang duduk dengan tenang di atas pangkuan Dexter. Pantas saja dia langsung menyayangi Daniel begitu mereka bertemu. “Da-da, mam, da-da” celoteh Daniel. Kepalanya mendongak ke kepala Dexter yang tinggi menaunginya. “Niel sudah makan tadi,” sahut Dexter dengan lembut. Dia memang tidak pernah memanggil Daniel dengan panggilan ‘sayang’ seperti Eve biasa menyebut Daniel kalau anak itu memanggil Eve. “Da-da, mik cu-cu,” celoteh Daniel lagi. Bibirnya mengerucut ke depan dan tangannya menggapai wajah Dexter di atas kepalanya. “Niel mau minum susu?” tanya Dexter. Daniel tersenyum lalu menguap. Dia mengubah posisi tubuhnya sendiri karena ingin digendong di dada Daddy. “Maaf, Daniel sudah mengantuk,” kata Dexter pada semua orang yang masih duduk di ruang keluarga. Untung Daniel sudah meminta susunya, Dexter tidak suka Daniel menjadi pusat perhatia
5 November 2019 Dexter meradang seperti orang gila sesaat setelah menerima telpon dari bodyguard yang bertugas mengawal Eve. Bibirnya mengatup dengan rahang mengetat, buku-buku jarinya memutih karena kepalan tangannya terlalu kuat. Kalau tidak begini, dia bisa-bisa menangis, merana memikirkan istri dan anaknya. Namun dia sadar kalau dia harus tenang supaya bisa mencari Eve. Dexter tidak pernah merasa bersalah seperti saat ini karena Eve dan Daniel menghilang di tengah-tengah demo para pemilik lahan yang cukup merepotkan itu, sebenarnya mereka hanya terhasut saja dan menjadi marah. Sudah berbulan-bulan kondisi begitu tenang dan begitu banyak hal yang sudah mereka berdua bereskan, jadi kewaspadaannya menurun. Dexter juga tidak menduga kalau Harahap itu mengincar anak dan istrinya. Felix juga sampai berkeringat dingin, langkahnya berderap tidak kalah cepat dengan detak jantungnya. Yang benar saja, keponakan lucunya itu baru saja diketahui keberadaannya mal
Penutup mata Eve baru saja dibuka. Pandangan matanya mengelilingi ruangan yang sekarang didiami olehnya. Sebuah ranjang besar dan lemari serta meja rias ada di dalamnya. Kamar mandi juga ada di dalam kamar itu. Kamar yang bersih, luas dan cukup nyaman, Eve mungkin akan menyukainya jika seandainya ini bukan tempat dia disekap. Mereka mengunci pintunya dari luar. Eve duduk di pinggir ranjang dan sibuk berpikir. “Percuma saja kalau kamu berpikir melarikan diri dari sini.” Eve menolehkan kepalanya ke pintu kamar yang terbuka itu. Rupanya Eve terlalu lama berpikir sampai tidak menyadari kehadiran pria itu. “Bapak Harahap,” sapa Eve dengan tenang sembari bangkit dari duduknya. Evita mengajarkan kesopanan sangat ketat pada Eve, bahkan mendengus pun Eve tidak pernah. Hanya Dexter saja yang mengajarkannya kenakalan seperti bercinta kapan saja ada waktu kosong dan tempat tersembunyi. “Wenas Harahap,” kata Wenas menerangkan namanya lagi. Dia menatap Eve dengan tajam dan
Sesuai perintah Hanas untuk membiarkan Eve membuktikan ucapannya, Wenas melakukan rencana itu dengan baik meskipun dia tidak sepenuhnya setuju. Dia mana mau repot-repot menangkap Eve kembali kalau wanita itu benar-benar kabur. Jadi dia tetap menaruh orang untuk mengawasi Eve dari balik pagar. Wenas membiarkan Eve keluar dari kamar di hari kedua, membiarkan Eve berjalan-jalan di taman. Gaun putih susu selutut berlengan pendek yang dipakai Eve berkibar tertiup angin dan dia segera membetulkan letak gaunnya. Eve memakai baju-baju yang disediakan mereka begitu saja tanpa banyak bertanya. Pakaian dalam pun tampaknya baru dibeli setelah Eve memberikan ukurannya pada mereka. Hanas menyuruh Wenas membiarkan Eve mengenakan baju-baju milik Rosalind. Rosalind tidak memiliki banyak gaun karena kepribadiannya yang begitu bebas dan lepas membuatnya lebih menyukai celana panjang daripada rok dan lebih menyukai kaos daripada gaun. Hanas mengakui kalau Eve terlihat sepe
Kalau tidak ada Daniel, mungkin keadaan Dexter tidak akan sebaik itu. Meskipun rambut-rambut di dagu dan garis rahangnya mulai terlihat, matanya juga kelihatan merah dan bengkak, tetapi dia masih bersemangat mencari Eve. Sudah dua malam dia tidak bisa memeluk Eve, tidurnya sulit dan makannya juga tidak enak. Apalagi hatinya juga tidak tenang tanpa mengetahui keadaan Eve. Daniel juga merasakan hal yang sama tetapi dengan efek yang lebih ringan karena masih ada Daddy yang menenangkannya. Dexter membiarkan Daniel dibawa ke kantor kalau memang tidak tenang di rumah, tetapi Nanny masih bisa menangani masalah Daniel jika Dexter bekerja, tidak tega kalau harus mengganggu Daddy yang memiliki tambahan tugas, mencari istrinya. “Sudah 3 hari,” kata Dexter. Suaranya terdengar sedih dibandingkan marah. Felix tidak tahu harus menjawab apa karena dia juga khawatir dengan Eve. Dia lebih terbiasa melihat Dexter yang berapi-api, marah bahkan memukul orang daripada Dexter yang se
Hari kelima Eve menemukan pintu gerbang yang terbuka. Eve juga tidak bodoh, semua ini mungkin saja hanya jebakan. Dia juga memiliki rencana dan rencananya ini tidak memperbolehkannya kabur ke mana pun. Wenas sempat kegirangan saat Eve berjalan menuju ke gerbang, Eve akan kabur, itu bagus. Tetapi dia harus kecewa karena Eve hanya mencari orang untuk melaporkan gerbang yang terbuka. Hanas akhirnya duduk di seberang Eve yang sedang menunggunya berbicara. Hari ini Eve memakai celana panjang model pipa dengan kaos berkerah berwarna biru muda. Rambutnya digelung asal-asalan dengan pensil yang dipakainya untuk memeriksa dokumen yang diberikan Hanas. Hanas bersumpah merasa sedang duduk di hadapan Rosalind. “Hasil kerjamu lumayan,” kata Hanas. Dia memelorotkan kacamata baca yang sejak tadi dipakainya memeriksa hasil pekerjaan Eve. Sejujurnya dia tidak merasakan perasaan benci pada wanita yang mungkin seumuran cucunya, kalau saja Raja dan Rosalind memiliki anak.
14 November 2019 “Membunuh Dexter? Apa kalian yakin ini langkah yang terbaik?” tanya pria yang saat ini duduk di kursi kerjanya. Tatapannya tajam pada pria lain yang umurnya sebaya dengannya. Dia hanya merasa rencana ini terlalu gila dan riskan. “Iya. Mungkin ini langkah yang paling baik yang bisa kita ambil. Semua orang akan mengira Hanas dan Wenas Harahap terlibat dalam kematian Dexter. Saat itulah bukti-bukti penyelewengan dana dan penyogokan serta beberapa bukti percobaan pembunuhan Dexter bisa kita keluarkan, ini akan menambah kesan bersalah mereka. Sekuat apa pun mereka mengelak, mereka tidak akan bisa lolos,” jawab pria lain. Dia tersenyum mengagumi idenya sendiri. “Lalu Eve?” Itu yang paling dikhawatirkan olehnya. “Eve akan bebas. Dan kamu bisa menghiburnya sementara waktu.” Darwin memandangi red wine di dalam gelas tingginya yang indah. Dia mengangguk lalu berkata, “Oke, kita akan memastikan rencana ini berhasil.”
“Tidak bisa. Bawalah dia ke rumah sakit. Keadaannya terlalu membahayakan untuk dirawat di rumah,” kata Burhan. Ini kedatangan Burhan, dokter pribadi Hanas, untuk yang kedua kalinya karena perawatnya menyerah dengan tingkah laku Eve yang merepotkan. Burhan harus rela bangun dari tidurnya pada jam 3 pagi. Sudah 3 kali Eve mencabut infusnya. Dia tidak peduli kalau darahnya menetes di mana-mana dan membuat para pelayan makin mengkhawatirkan kondisi Eve yang biasanya tenang itu. Tidak ada yang cukup tega mengikat pergelangan tangan Eve hanya supaya tidak terus-menerus mencabut infus itu. Dia akan tenang setelah diinfus dan tidak lama kemudian tertidur, tetapi dia akan terbangun tiba-tiba lalu melepaskan infusnya supaya bisa pergi dari rumah Hanas. “Aku tidak bisa membawanya ke rumah sakit. Berikan dia obat tidur saja,” perintah Hanas pada Burhan. Burhan yang sebenarnya penasaran siapa Eve yang baru kali ini dilihatnya, tetapi terlihat cukup diperhatikan oleh Hanas. Burhan