22 Maret 2019.
Bandara Soekarno-Hatta benar-benar sibuk di hari Jumat ini, akhir pekan sepertinya makin sibuk dibandingkan pada hari biasa. Orang lalu lalang tidak terhitung jumlahnya dengan pengumuman penerbangan bersahut-sahutan. Felix dan Dexter baru turun dari pesawat waktu jam menunjukkan pukul 19.15. Mereka hanya menyeret koper masing-masing tanpa perlu menunggu bagasi menuju ke pintu keluar.
“Apa mobil yang jemput kamu sudah sampai?”
“Sepertinya belum.” Dexter kembali mengintip ponselnya, tidak ada pemberitahuan soal kedatangan sopir yang menjemputnya.
“Perlu aku tunggu sampai mobil jemputanmu datang? Masih ada file di tasku juga.”
“Kamu juga dijemput. Asal kamu tahu ya, aku juga nggak suka, tapi Eve bisa menghilangkan jatahku kalau kamu pulang sendiri.” Felix terkekeh geli.
“Iya, iya, aku tunggu. Jadi kenapa kita nggak pakai jet Asterix?” tanya Felix. Mereka berangkat ke Sulawesi dan Kalimantan dengan jet milik Asterix Group.
Terima kasih sudah membaca novel ini. Semoga kalian suka. Barnie will be right back. Hug and kiss, Josie.
26 Maret 2019 “Aku sudah menemukan orang yang kamu rindukan, Barnie.” “Di Indonesia?” “Dia berangkat ke Australia, sebulan sebelum kamu menikah, kabarnya diterima kerja di sana. Aku dengar dia pulang kembali ke sini dan kebetulan kontrak kerjanya di Ausie habis. Toko kain punya ibunya itu sudah hampir tenggelam, bangkrut. Aku rasa dia mau menyelamatkan toko itu. Lumayan besar tokonya.” Felix duduk di kursi yang berada di seberang meja kerja Dexter. Jam kerja mereka baru saja selesai. Felix sudah mengemasi barang-barangnya dan akan segera pulang. Ibunya minta ditemani karena sudah lama berpisah dengan Felix. “Sudah berapa lama dia di Indonesia?” “Sekitar 1 atau 2 bulan ini.” Dexter mengangguk. Sudah hampir seminggu sejak mereka kembali dari Kalimantan, Felix diberi tugas tambahan untuk mencari Barnie. Felix juga tidak menolak meskipun itu bukan termasuk bagian tugasnya. Buat Felix, ini urusan pribadinya juga, bukan hanya
Eve masuk lagi ke dalam ruang gym pribadi di mana ada Dexter di sana. Ruang gym itu ada di lantai bawah rumah keluarganya, dekat dengan bioskop mini, perpustakaan dan fasilitas lainnya. Ayah Eve sudah berhenti sejak 1 jam yang lalu tapi Dexter masih saja belum menunjukkan tanda-tanda ingin berhenti membuat otot-ototnya bekerja keras dan jantungnya berdenyut lebih kencang sampai keringatnya menetes dari kulitnya yang kemerahan. “Sudah hampir jam 11, Ex.” Eve menggendong Daniel yang sudah menguap dua kali sejak Eve berdiri dalam ruangan itu. “Daniel sudah mengantuk,” sahut Dexter. Kaki-kakinya tetap saja bergerak di atas treadmill. “Iya, tetapi dia nggak mau tidur di atas tempat tidurnya. Sepertinya dia menunggu kamu.” Sejak Sabtu malam, Dexter memang berolahraga di dalam ruangan itu sampai hampir jam 11 malam. Pria itu akan mandi di kamar mandi kamar mereka dan menidurkan Daniel sebelum dia sendiri tidur sambil memeluk Eve. Daniel juga cukup pi
Barnie sepertinya harus siap dengan segala kemungkinan. Dia sedang duduk berhadapan dengan Dexter yang sejak tadi tidak mengalihkan pandangan mata sama sekali darinya. Sulit juga tidak memperdulikan mata lain yang duduk di kursi di belakang Dexter, mata itu memandang Barnie dengan tatapan murka. Toko Halim Textile berdiri di atas tanah milik keluarga ayah Barnie, jadi bagian bawah menjadi toko, bagian atas menjadi rumah mereka. Gudangnya ada di bagian belakang tokonya berdekatan dengan kantor administrasi. Mereka bertiga ada di ruang administrasi yang cukup luas, mungkin saja Barnie bisa berlarian di dalam ruangan itu kalau kedua pria itu mencoba memukulnya. “Apa kabar, Dex? Felix?” tanya Barnie membuka pembicaraan. Dia mencoba tersenyum, malah senyuman kaku yang muncul. “Baik, kamu?” sahut Dexter. Felix malas menjawab, dia datang hanya karena disuruh Eve. Eve tidak pernah menelpon, sekalinya menelpon Felix hanya untuk memintanya ikut Dexter menemui Barnie. E
“Carikan aku psikiater, Win!” “Panggil aku seperti dulu. Bukan pakai panggilan yang sama seperti semua orang panggil aku.” Darwin mengeratkan pelukannya pada Eve. Eve sedang duduk di karpet apartemen Darwin lalu Darwin dengan santai melilitkan lengannya pada pinggang Eve dan meletakkan dagunya di bahu Eve. “Carikan aku psikiater, Adam,” sahut Eve terkekeh geli. Pasangan Eve adalah Adam, itu seperti Adam dan Hawa. Nama itu sebenarnya lelucon mereka berdua saat awal-awal bertemu di sekolah dulu. Darwin selalu suka pada gadis kecil bermata coklat yang tampak selalu tenang. Mungkin karena dia sendiri selalu meletup-letup tidak tenang meskipun lebih memilih kabur daripada konfrontasi langsung. Adam and Eve sounds so right! “Buat apa, Snowy?” Eve membalasnya dengan tawa ringan. Dia juga geli dengan hembusan napas Darwin di lehernya. Snowy itu julukan Darwin untuk Eve yang terlihat tenang seperti salju yang turun dari langit untuk membuat sekelilingn
5 April 2019 Dexter berjanji pada dirinya sendiri tidak akan menjadi sebodoh kakaknya, Darren. Dia tidak akan terjebak seperti Darren, menikahi seorang wanita karena sudah hamil dan mengakhiri pernikahannya dengan sejuta drama menyedihkan. Wanita itu mati, anaknya tidak memiliki seorang ibu. Dexter menyadari dirinya memiliki pesona yang bisa menarik wanita mendekat. Entah di mana letak pesona itu, tidaklah penting, namun dia selalu bisa menebak seorang wanita menyukainya, kecuali istrinya sendiri. Menebaknya lebih sulit daripada mendapat nilai A di pelajaran kimia yang dibencinya. Di saat wanita itu tampaknya sangat peduli padanya, melakukan hal-hal kecil untuknya, menyiapkan sarapannya, memasangkan kancing, sabuk atau dasinya, Dexter tertipu. Wanita itu sebenarnya menginginkan sesuatu darinya, membuat Dexter selalu melakukan keinginannya tanpa paksaan. Entah mengapa. Di saat wanita tampaknya tidak peduli padanya, melarikan diri darinya, mengusirnya s
26 April 2019 Butuh waktu hampir 3 minggu untuk Dexter berpikir sampai dia memutuskan untuk memikirkan dan melakukan saran dari Darwin. Masalahnya dia tidak bisa bercerita pada Eve atau siapa pun jadi proses berpikirnya menjadi makin lambat saja. Tetapi 3 minggu itu diisinya dengan check kesehatan reproduksinya, dia merasa ada sesuatu yang salah dengan Eve yang tidak kunjung hamil. Hasilnya dia cukup mampu membuat Eve hamil berkali-kali, itu istilah yang dipakai Darwin untuknya. Dexter sangat mengenal Eve yang suka sekali memiliki rencana di dalam otaknya tanpa memberitahunya. Bagaimana jika salah satu rencana itu adalah tidak memiliki anak dengan Dexter? Meskipun rencana Eve kadang menyakiti Dexter tetapi tujuannya pasti membuat Dexter dan Daniel bertahan di sisinya juga. Jadi kalau dia mengetahui Eve memang memiliki rencana, dia tidak yakin apakah dia bisa marah soal itu. Dexter menyusun semua bukti di dalam otaknya, dia hampir mengambil satu kesimp
Erick tidak pernah melihat Eve yang seperti saat ini. Eve yang biasanya selalu memperlihatkan wajah tanpa ekspresi itu sudah diganti wajah Eve yang geram. Matanya menyipit namun sorot mata berkilat keemasan tetap tajam menusuk hati Erick. Napasnya yang dalam itu seperti tertahan sehingga membuat wajahnya memerah. “Jelaskan soal ini, Pa!” desis Eve pada ayahnya. Tangannya memegang beberapa lembar kertas yang tampaknya dijempret menjadi satu. Dia menaruh kertas itu di depan Erick yang tampaknya tidak bergeming dari kursi. Erick masih saja bersandar pada kursinya. Erick mengambil kertas itu dengan malas. Tubuhnya maju sedikit dan dia hanya menggapai kertas itu dengan tangan panjangnya. Entah apa yang tertulis di kertas itu yang membuat Eve begitu marah. Matanya masih tetap memandang Eve dengan tenang sementara Eve juga memandangnya dengan sengit. “Dapat dari mana?” sahut Erick dingin. Kepalanya menunduk dan memandang sekilas pada kertas yang sudah ada di pangkua
Dexter tidak pulang ke Rumah Besar D malam itu dan dia hanya menghubungi Eve supaya istrinya tidak khawatir. Dengan alasan pulang terlambat dari tempat pertemuannya, Dexter lebih memilih menginap di rumahnya sendiri yang posisinya lebih dekat dari tempat pertemuan itu. Eve, seperti yang diduganya, tidak keberatan, hanya meminta video call sebelum Daniel tidur. Seharian ini sebenarnya Dexter hanya ke kantor sebentar untuk memanggil Ilham. Berdiam sebentar di kantornya untuk menyelesaikan beberapa berkas. Lalu dia pergi ke kantor managemen apartemennya untuk mengurus semua rekaman CCTV yang dibutuhkannya dibantu Felix. Siangnya Dexter sudah tidak bisa menahan dirinya untuk menemui Aze yang diketahuinya sedang berada di Malaysia. Dia memesan tiket ke Malaysia pulang pergi di hari yang sama dan meminta Aze menemuinya di salah satu café yang berada di bandara. Dexter cukup cerdik memakai nomer telpon lain untuk menghubungi Aze, dia merasa Aze tidak akan mengangkat