Maaf, sudah sekitar dua bulan lebih saya mengabaikan cerita ini. Saya tau saya sudah sangat mengecewakan para pembaca yang sudah menunggu lama update an terbaru dari cerita ini. Untuk itu saya memohon maaf sekali..🙏🏻🥺 Masih adakah yang mengikuti kisah Hana & Pasha? Silahkan jawab di kolom komentar dan biar kan saya tau kalau masih ada yang mengikuti cerita yang penuh kekurangan ini... Terimakasih banyak.
"Jadi istriku tidak ada di rumahnya?" "Tidak ada Pak. Saya sudah memantaunya dari siang hingga malam, tidak ada tanda-tanda keberadaan istri anda di sana" "Aku mengerti" Pasha menutup panggilan dengan perasaan kecewa. Padahal rasanya baru saja sehari lalu Hana berada di dekatnya. Berbicara dengan santainya, seperti menyakinkan nya untuk tidak perlu khawatir. "Kita berdua sudah menikah pak, kenapa bapak masih merasa tidak aman pada hubungan kita?" Pasha masih mengingat bagaimana suara Hana terdengar begitu tenang saat itu. "Alih-alih merasa cemas kalau-kalau saya kabur, harusnya bapak merasa aman sekarang. Karena hubungan saya dengan bapak sudah terikat secara sah baik itu hukum dan agama" Dan saat tangan kecilnya yang menepuk punggung tangannya dengan sangat lembut, menyakinkan dirinya lebih jauh dengan sebuah pertanyaan. "Jadi apa lagi yang harus bapak khawatir kan? Apanya yang membuat bapak tidak aman, hum?" Pasha meremas ponselnya dan melemparnya dengan marah. Beruntung bend
Ratna hanya tau ketika menyentuh tubuhnya sedikit, tapi adiknya langsung menjerit sakit. Ingatan itu membuatnya terkesiap, "Han, dia tidak melakukan kekerasan padamu kan?" Hana dengan senyum lemahnya menggeleng, "Tentu saja tidak" "Kamu sedang berbohong dengan kakak?" "Kak.." Hana mengambil tangan kakak pertamanya itu dan menggenggam nya lembut, "Hana tidak sebodoh itu. Jika Pak Pasha melakukan kekerasan dalam rumah tangga, pasti Hana sudah pulang dan mengadu pada papa" Hawa tertawa lemah di akhir kalimatnya. "Lalu kenapa juga kamu pagi-pagi buta menelfon kakak seperti seseorang yang sangat ketakutan?" Bibir Hana terkatup rapat. Akhirnya kakak pertamanya itu datang dengan pertanyaan terkait hal tersebut. Seperti membaca pikirannya, Ratna menghela nafas berat, "Kakak hanya khawatir padamu. Bagaimanapun di antara kita bertiga, kamu lah yang satu-satunya yang paling berjiwa lembut dan polos. Kakak.. sungguh tidak ingin pak Pasha mengelabui pikiran mu, membuat mu untuk tidak jujur pad
"Pasha turunkan Hanaa"Ratna tak hentinya berlari hingga menghadang langkah Pasha. Ratna merentangkan kedua tangannya, tidak membiarkan Pasha lewat. Melihat itu, mata Pasha menggelap tak senang."Cepat turunkan adik saya!"Pasha mengabaikan ucapan Ratna dan mengambil haluan ke samping. Cepat Ratna melangkah ke arah Pasha tuju dan memblokir jalannya. Rahang Pasha mengeras. Hana yang berada dalam gendongan Pasha, dapat melihat urat kehijauan yang mencuat di pelipisnya. Itu adalah tanda kemarahannya yang tertahan."Pasha, cepat turunkan adik saya!" Ratna terlihat hampir kehilangan kesabaran."Tidak""Pashaa""Kak"Mendengar dirinya dipanggil, Ratna langsung menoleh pada Hana, "Ya?""Aku akan kembali dengan pak Pasha—""Tapi Han—""Kakak engga perlu khawatir. Pak Pasha suami aku kak. Dia gak bakal nyakitin aku" Hana tersenyum lembut di akhir kalimatnya. Matanya yang menatap lurus ke dasar mata Ratna, itu menegaskan keyakinannya.Ratna tak berdaya, mengangguk pelan, "Baiklah. Langsung hubun
Tidak ada lagi percakapan yang mengalir setelahnya. Pasha terdiam dalam keheningan dan Hana kembali tertidur dengan pijatan lembut Pasha di pelipisnya. Hingga sore harinya, tepat setelah shalat ashar yang diimami oleh Pasha. Hana kembali memperoleh ketenangannya. Dia pergi mencium punggung tangan Pasha khidmat dan Pasha mengecup lembut keningnya. Seperti itu, mereka seperti pemandangan suami-istri yang mencinta satu sama lain. Tapi Hana harus menelan kepahitan, mengingat Pasha yang sama sekali tidak mencintainya. Perasaan pria itu terhadapnya, hanya sebatas kepemilikan terhadap barang antik yang berharga. Hana tidak akan melupakan fakta menyedihkan itu. "Kita akan menggunakan jet pribadi lagi pak?" Hana melabuhkan punggungnya ke kursi bewarna keemasan. Itu menyambut nya dengan kenyamanan sempurna. "Ya" Pasha tidak langsung duduk. Dia berjalan mencari selimut dan kemudian pergi menyelimuti Hana. "Lain kali kita cukup menggunakan pesawat biasa saja, sangat boros jika selalu menggun
Sudah lelah digelitik, Hana bersandar lemas ke dada bidang Pasha yang keras. Tangannya memeluk pinggang suaminya yang padat. Hana merasa hatinya begitu manis. Dia tidak pernah berpacaran karena tau itu haram hukumnya. Terkadang dia merasa ingin memiliki romansa yang manis di hidupnya seperti yang ada dalam novel dan drama. Jadi tak ayal itu membuatnya terbesit dalam benaknya untuk berpacaran.Tapi Hana menahannya dan kembali ke akal sehatnya. Dia tidak mau melakukan sesuatu yang dilarang agamanya dan sekarang dia sudah menikah. Meski pelan, tapi dia mulai merasakan bagaimana manisnya yang siap membuat jantungnya berdebar tak menentu dan wajahnya yang memanas merona malu.Karena segalanya begitu baru menjadikan itu semakin menakjubkan dan bagai kejutan yang tiada habis sehingga Hana tidak bosan menanti kelanjutannya.Hana merasa bersyukur karena tidak pacaran atau kalau tidak— segalanya mungkin tidak akan seindah ini. Meskipun suaminya sedikit membuatnya tertekan dan takut, tapi Hana m
Mendapati keheningan Pasha, Hana mengangkat kepalanya. Mata hitamnya tampak berkilau dalam sinar malu-malu saat bertemu dengan tatapan suaminya. Tepat ketika dia akan menundukkan kepalanya, sebuah tangan besar datang menahan dagu kecilnya. Hana tertegun. Matanya menatap Pasha gugup, "..." "Kamu cantik Hana..." Pasha menyentuh wajahnya, kemudian punggung jari telunjuknya bergerak ke atas, mengelusi lekuk hidung Hana yang mancung, "Sangat cantik" Pujian itu membuat daun telinga Hana memerah. Pasha menarik wajah cantik itu tepat ke hadapannya dan menciumnya dalam. Hana tercenung dan matanya berkedip dalam kejutan. Kemudian dia memejamkan matanya, perlahan hanyut dalam lembutnya ciuman itu. Malam menjelang. Selepas shalat insya. Hana melihat orang-orang sudah berdatangan memenuhi tempat itu. Beberapa dari mereka ada yang mengenakan seragam pelayan dan selebihnya baju formal koki. Selesai mendengar arahan dari Pasha, para koki langsung pergi memasak di dapur dan pelayan bergegas membe
Hari-hari berganti.Tak terasa seminggu sudah Hana menempati vila di pulau yang sama sekali tidak ada penduduknya itu. Awalnya Hana masih bisa bersantai. Menghabiskan hari dengan membaca di samping jendela yang menghadap lautan biru bersih.Menemani bibi Titin memasak di dapur sambil mempelajarinya dan kadang pun, menghabiskan sisa sore yang berselimut senja dengan secangkir teh chamomile kesukaannya di pinggir pantai.Seperti itu...Hana bersantai sembari menunggu kedatangan Pasha yang ia kira akan secepatnya selesai dengan kesibukannya dan segera berbulan madu bersamanya.Tapi tujuh hari dalam penantian. Pasha tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hana terang saja menjadi gelisah. Tidak tau kenapa dia memiliki firasat buruk soal itu.Mengeluarkan ponselnya, Hana menatap layar persegi itu dengan perasaan rumit. Di karena kan jaringan yang tidak baik di tempat itu, Hana tidak dapat menggunakan ponselnya untuk menjelajahi internet apatah lagi untuk melakukan obrolan video dengan
Akhirnya siang itu, Hana yang sudah lelah menangis dan meluapkan segala ketakutannya, telah tertidur pulas di sofa panjang yang terletak tepat di dekat jendela. Melihat bagaimana angin laut memburu masuk memukul tirai. Bi Titin pergi mengambil selimut yang ada di ranjang dan menyelimuti Hana dengan itu.Tadinya bi Titin berpikir untuk membangunkan Hana buat makan siang. Tapi pada akhirnya, ia melepaskan Hana yang lelah karena menangis itu untuk terus melanjutkan tidur.Keluar dari kamar utama, bi Titin tak lupa menutup pintu. Ia berjalan ke ruang tengah. Mengambil telfonnya dan mulai menghubungi Pasha.Beberapa kali gagal tersambung karena tidak ada sinyal. Setelah beberapa kali mencoba..."Halo"Suara tegas Pasha terdengar dari talian."Assalamualaikum Pak, ini saya bi Titin"Pasha saat itu baru saja selesai dari rapat. Pasha berjalan meninggalkan meja rapat sambil memegang ponsel di samping telinganya, "Iya, ada apa bi? Apa ada sesuatu yang terjadi pada istri saya?"Jarang sekali bi