Pasha terlihat sangat muram. Wajahnya seperti menjadi hitam bagai belakang panci. Selama pertemuan bisnis berlangsung, bukan main aura dingin membunuhnya mencekam orang-orang hingga menggigil. Eman tak dapat membantu, hanya menghela nafas dengan pemandangan itu. 'Sebenarnya apa yang membuat moodnya seburuk itu?' Eman memijit pelipisnya yang begitu saja terasa sakit. Seorang pria timur tengah dengan perawakan besar dan memiliki brewok di wajahnya, baru saja selesai berbicara. Tapi tidak ada satu orangpun yang mengerti dengan apa yang dibicarakan karena tak ada seorang penerjemah yang menerjemahkannya. "Err.. bagaimana ini, apa penerjemah bahasa nya sudah sampai?" "Tidak ada penerjemah" Itu adalah kalimat pertama yang Pasha ucapkan selama pertemuan berlangsung. "L-lalu bagaimana kami bisa memahami apa yang baru saja dibicarakan?" Orang-orang bertukar pandang dengan raut wajah bingung. Setau mereka dari pihak Pasha sudah ada seorang penerjemah, itulah kenapa dari perusahaan mereka
"Jadi istriku tidak ada di rumahnya?" "Tidak ada Pak. Saya sudah memantaunya dari siang hingga malam, tidak ada tanda-tanda keberadaan istri anda di sana" "Aku mengerti" Pasha menutup panggilan dengan perasaan kecewa. Padahal rasanya baru saja sehari lalu Hana berada di dekatnya. Berbicara dengan santainya, seperti menyakinkan nya untuk tidak perlu khawatir. "Kita berdua sudah menikah pak, kenapa bapak masih merasa tidak aman pada hubungan kita?" Pasha masih mengingat bagaimana suara Hana terdengar begitu tenang saat itu. "Alih-alih merasa cemas kalau-kalau saya kabur, harusnya bapak merasa aman sekarang. Karena hubungan saya dengan bapak sudah terikat secara sah baik itu hukum dan agama" Dan saat tangan kecilnya yang menepuk punggung tangannya dengan sangat lembut, menyakinkan dirinya lebih jauh dengan sebuah pertanyaan. "Jadi apa lagi yang harus bapak khawatir kan? Apanya yang membuat bapak tidak aman, hum?" Pasha meremas ponselnya dan melemparnya dengan marah. Beruntung bend
Ratna hanya tau ketika menyentuh tubuhnya sedikit, tapi adiknya langsung menjerit sakit. Ingatan itu membuatnya terkesiap, "Han, dia tidak melakukan kekerasan padamu kan?" Hana dengan senyum lemahnya menggeleng, "Tentu saja tidak" "Kamu sedang berbohong dengan kakak?" "Kak.." Hana mengambil tangan kakak pertamanya itu dan menggenggam nya lembut, "Hana tidak sebodoh itu. Jika Pak Pasha melakukan kekerasan dalam rumah tangga, pasti Hana sudah pulang dan mengadu pada papa" Hawa tertawa lemah di akhir kalimatnya. "Lalu kenapa juga kamu pagi-pagi buta menelfon kakak seperti seseorang yang sangat ketakutan?" Bibir Hana terkatup rapat. Akhirnya kakak pertamanya itu datang dengan pertanyaan terkait hal tersebut. Seperti membaca pikirannya, Ratna menghela nafas berat, "Kakak hanya khawatir padamu. Bagaimanapun di antara kita bertiga, kamu lah yang satu-satunya yang paling berjiwa lembut dan polos. Kakak.. sungguh tidak ingin pak Pasha mengelabui pikiran mu, membuat mu untuk tidak jujur pad
"Pasha turunkan Hanaa"Ratna tak hentinya berlari hingga menghadang langkah Pasha. Ratna merentangkan kedua tangannya, tidak membiarkan Pasha lewat. Melihat itu, mata Pasha menggelap tak senang."Cepat turunkan adik saya!"Pasha mengabaikan ucapan Ratna dan mengambil haluan ke samping. Cepat Ratna melangkah ke arah Pasha tuju dan memblokir jalannya. Rahang Pasha mengeras. Hana yang berada dalam gendongan Pasha, dapat melihat urat kehijauan yang mencuat di pelipisnya. Itu adalah tanda kemarahannya yang tertahan."Pasha, cepat turunkan adik saya!" Ratna terlihat hampir kehilangan kesabaran."Tidak""Pashaa""Kak"Mendengar dirinya dipanggil, Ratna langsung menoleh pada Hana, "Ya?""Aku akan kembali dengan pak Pasha—""Tapi Han—""Kakak engga perlu khawatir. Pak Pasha suami aku kak. Dia gak bakal nyakitin aku" Hana tersenyum lembut di akhir kalimatnya. Matanya yang menatap lurus ke dasar mata Ratna, itu menegaskan keyakinannya.Ratna tak berdaya, mengangguk pelan, "Baiklah. Langsung hubun
Tidak ada lagi percakapan yang mengalir setelahnya. Pasha terdiam dalam keheningan dan Hana kembali tertidur dengan pijatan lembut Pasha di pelipisnya. Hingga sore harinya, tepat setelah shalat ashar yang diimami oleh Pasha. Hana kembali memperoleh ketenangannya. Dia pergi mencium punggung tangan Pasha khidmat dan Pasha mengecup lembut keningnya. Seperti itu, mereka seperti pemandangan suami-istri yang mencinta satu sama lain. Tapi Hana harus menelan kepahitan, mengingat Pasha yang sama sekali tidak mencintainya. Perasaan pria itu terhadapnya, hanya sebatas kepemilikan terhadap barang antik yang berharga. Hana tidak akan melupakan fakta menyedihkan itu. "Kita akan menggunakan jet pribadi lagi pak?" Hana melabuhkan punggungnya ke kursi bewarna keemasan. Itu menyambut nya dengan kenyamanan sempurna. "Ya" Pasha tidak langsung duduk. Dia berjalan mencari selimut dan kemudian pergi menyelimuti Hana. "Lain kali kita cukup menggunakan pesawat biasa saja, sangat boros jika selalu menggun
Sudah lelah digelitik, Hana bersandar lemas ke dada bidang Pasha yang keras. Tangannya memeluk pinggang suaminya yang padat. Hana merasa hatinya begitu manis. Dia tidak pernah berpacaran karena tau itu haram hukumnya. Terkadang dia merasa ingin memiliki romansa yang manis di hidupnya seperti yang ada dalam novel dan drama. Jadi tak ayal itu membuatnya terbesit dalam benaknya untuk berpacaran.Tapi Hana menahannya dan kembali ke akal sehatnya. Dia tidak mau melakukan sesuatu yang dilarang agamanya dan sekarang dia sudah menikah. Meski pelan, tapi dia mulai merasakan bagaimana manisnya yang siap membuat jantungnya berdebar tak menentu dan wajahnya yang memanas merona malu.Karena segalanya begitu baru menjadikan itu semakin menakjubkan dan bagai kejutan yang tiada habis sehingga Hana tidak bosan menanti kelanjutannya.Hana merasa bersyukur karena tidak pacaran atau kalau tidak— segalanya mungkin tidak akan seindah ini. Meskipun suaminya sedikit membuatnya tertekan dan takut, tapi Hana m
Mendapati keheningan Pasha, Hana mengangkat kepalanya. Mata hitamnya tampak berkilau dalam sinar malu-malu saat bertemu dengan tatapan suaminya. Tepat ketika dia akan menundukkan kepalanya, sebuah tangan besar datang menahan dagu kecilnya. Hana tertegun. Matanya menatap Pasha gugup, "..." "Kamu cantik Hana..." Pasha menyentuh wajahnya, kemudian punggung jari telunjuknya bergerak ke atas, mengelusi lekuk hidung Hana yang mancung, "Sangat cantik" Pujian itu membuat daun telinga Hana memerah. Pasha menarik wajah cantik itu tepat ke hadapannya dan menciumnya dalam. Hana tercenung dan matanya berkedip dalam kejutan. Kemudian dia memejamkan matanya, perlahan hanyut dalam lembutnya ciuman itu. Malam menjelang. Selepas shalat insya. Hana melihat orang-orang sudah berdatangan memenuhi tempat itu. Beberapa dari mereka ada yang mengenakan seragam pelayan dan selebihnya baju formal koki. Selesai mendengar arahan dari Pasha, para koki langsung pergi memasak di dapur dan pelayan bergegas membe
Hari-hari berganti.Tak terasa seminggu sudah Hana menempati vila di pulau yang sama sekali tidak ada penduduknya itu. Awalnya Hana masih bisa bersantai. Menghabiskan hari dengan membaca di samping jendela yang menghadap lautan biru bersih.Menemani bibi Titin memasak di dapur sambil mempelajarinya dan kadang pun, menghabiskan sisa sore yang berselimut senja dengan secangkir teh chamomile kesukaannya di pinggir pantai.Seperti itu...Hana bersantai sembari menunggu kedatangan Pasha yang ia kira akan secepatnya selesai dengan kesibukannya dan segera berbulan madu bersamanya.Tapi tujuh hari dalam penantian. Pasha tidak kunjung menampakkan batang hidungnya. Hana terang saja menjadi gelisah. Tidak tau kenapa dia memiliki firasat buruk soal itu.Mengeluarkan ponselnya, Hana menatap layar persegi itu dengan perasaan rumit. Di karena kan jaringan yang tidak baik di tempat itu, Hana tidak dapat menggunakan ponselnya untuk menjelajahi internet apatah lagi untuk melakukan obrolan video dengan
Pagi harinya, Ratna sudah berpakaian dengan rapi. Ia mengenakan setelan baju formal berwarna navy dan mencoba mengenakan hijab bewarna abu-abu pemberian dari Hana. "Sayang, kamu sudah selesai?" Eman membuka pintu kamar dan melongok kedalam. Sesaat matanya berkedip terkejut mendapati istrinya yang tiba-tiba mengenakan hijab di kepalanya. Itu membungkus indah wajah tirusnya, membuat penampilan formalnya terlihat anggun dan jumawa. "Gimana menurut kamu? Lucu ya aku berhijab begini?" "Anggun." "Ya?" Eman tersadar. Ia berdeham dan dengan daun telinganya yang memerah ia berujar, "Kamu terlihat menawan dengan berhijab seperti itu." Ratna merasa begitu manis dengan pujian tersebut. Hatinya langsung merasa tergelitik melihat daun telinga suaminya yang memerah. Padahal sudah beberapa bulan, tapi terkadang Eman masih malu-malu kepadanya. "Aku sudah selesai. Yuk kita pergi." "Sekarang?" Eman bergeming beberapa saat. "Ya terus kapan lagi." Ratna tergelak kecil. Ia mengapit lengan suaminy
Setengah tahun berlalu sudah. Dalam kurun waktu tersebut Hana berusaha keras untuk membagi perannya sebagai seorang istri, ibu dan juga sebagai mahasiswa. Dalam kurun waktu tersebut juga, berkat ketekunannya dan kegigihannya, ia berhasil mengejar semua ketertinggalan nya dan menyelesaikan studinya.Meskipun ia terlambat dan tertinggal dari teman-temannya yang sudah menyandang sarjana setahun ke belakang. Tapi ia tidak menyesali keterlambatan nya. Ia berpikiran positif dan yakin semua yang terjadi pasti ada hikmahnya."Selamat Hanaaaa...." Chaca dan Miftah menyerbunya dari kanan-kiri dan memeluknya erat. Seerat persahabatan yang telah mereka jalin selama ini."Akhirnya kamu menjadi sarjana juga Han." Tukas Miftah yang terharu menatap sahabatnya yang akhirnya telah mengenakan baju toga setelah semua hal-hal berat yang dilewatinya setahun ke belakang."Walaupun kita gak wisuda bareng, tapi ritual lempar topi toga nya harus tetap dilakukan barengan." Chaca mengambil topi toga dari atas ke
Saat ia merasakan tangan panas Pasha yang besar, mulai menggerayangi perutnya dari belakang. "Syuhh" Pasha menekan jari telunjuknya di bibir Hana."K-kamu ngapain? Buat apa tangan mu di situ?"Alih-alih menjawab, Pasha merapatkan dada bidangnya ke punggung telanjang Hana. Lengan kokoh nya mengukung tubuh kecil istrinya itu dalam kuasa tubuh kekarnya.Halusnya kulit Hana yang menyentuh kulit kerasnya, membuatnya merasa nyaman.Hana menjadi gugup saat suhu panas tubuh Pasha telah menguasai tubuhnya. Ia dapat mendengar nafas berat suaminya itu yang berhembus di dekat daun telinganya."Masa nifas mu, sudah selesai sejak tiga bulan yang lalu kan?""I-iya""Apakah kiranya kamu sudah siap?" Tanya Pasha, mulutnya tepat berada didepan telinga Hana.Hana menelan saliva nya gugup, saat merasakan nafas panas Pasha berhembus melewati daun telinganya."S-sejujurnya, aku masih b-belum siap..""Kalau begitu mari bercumbu seperti ini saja" Pasha menyapu bibir padatnya ke telinga istrinya. Membuka mul
Tepat setelah malam syukuran kelahiran Daud dikediaman Arya, pada hari ketujuhnya, Pasha melakukan aqiqah Daud di kediaman Shahbaz. Ia sudah sepakat dengan Hana untuk melakukannya di sana.Pasha sudah membeli dua ekor kambing yang cukup gemuk untuk anak laki-laki pertamanya itu dengan Hana.Tanpa sepengetahuan Pasha, seorang wanita yang sudah lama sekali tidak terlihat dimatanya muncul di acara aqiqah tersebut. Wanita itu bersembunyi dan diam-diam mencuri pandang kearah Pasha bersama istrinya yang sedang menggendong Daud."Kamu yakin tidak ingin datang menjumpainya?" Tanya Shahbaz, pada mantan istrinya itu.Wanita itu tersenyum kecil menggeleng, "Melihat dari sini saja sudah cukup, akan terlalu egois bagiku jika menemuinya sekarang"Shahbaz tidak berkata apa-apa lagi."Pasha cukup pandai memilih istri" Ucap wanita itu tersenyum, "Ia cantik sekali""Iya. Dia baik dan juga penurut" Sambung Shahbaz."Cucu kita juga sangat tampan, ingin rasanya aku menggendongnya""Apa kamu menyesal karen
Malam harinya, kediaman Arya dipenuhi oleh para tamu. Ia membuat syukuran untuk kelahiran cucunya dan mengundang semua koleganya untuk datang. Shahbaz sebagai besannya, juga turut diundang bersama keluarga besar. "Di mana Pasha dan Hana? Apa sudah sampai?" Tanya Arya pada Ratna"Mereka masih dijalan Paa" Jawab Ratna yang baru saja selesai menelpon Hana.Hingga tak berapa lama menit kemudian. Pasha dan Hana sudah tiba di kediaman Arya. Kehadiran mereka pun langsung mencuri perhatian para tamu.Malam itu Hana mengenakan setelan yang serasi dengan Pasha. Di mana Pasha tampil jumawa dalam baju Koko putih dan Hana tampil anggun dalam balutan abaya putih dan pashmina bewarna senada. Awalnya ia pikir Pasha akan menyuruhnya untuk berganti dengan kerudung biasa, teringat terakhir kali di acara keluarga Pasha melakukannya. Tapi anehnya kali ini tidak. Semenjak ia hamil Daud dan terlebih setelah melahirkannya, suaminya itu memang sudah banyak berubah. Di kediaman Arya sangat ramai. Cukup bany
"Hum" Pasha menyandarkan dagunya manja di atas pundak Hana dan memperhatikan mata mungil Daud yang mulai berkedip-kedip seperti akan tertidur."Daud sepertinya mulai mengantuk""Iya, Alhamdulillah""Lantunan shalawat mu yang merdu itu benar-benar membuatnya berhenti menangis"Hana tersenyum mengangguk, "Hem" Matanya yang penuh sorot keibuan itu, dengan lembut memperhatikan sepasang mata Daud yang kini sudah terpejam."Lain kali lakukan juga padaku" Tukas Pasha.Hana tergelak kecil, "Buat apa? Kamu kan sudah besar, bukan bayi yang—"Pasha mengecup bibir Hana dan menghisapnya lama. Hana memejamkan matanya dan sesaat terbuai dengan ciuman lembut itu.Pasha perlahan melepas bibir Hana dari bibirnya, "Aku juga ingin diperlakukan seperti itu saat susah tidur" Ucap Pasha, sambil menatap manik mata hitam Hana dalam."En, aku juga akan melakukannya padamu. Bayi besar ku.." Ucap Hana sambil mencium kening Pasha gemas."Aku tidak mau di panggil bayi"Hana tertawa kecil."Tidak lucu!" Mata dingin
Sama seperti malam-malam sebelumnya, Hana tidak dapat tidur nyenyak karena sebentar-sebentar terbangun mendengar suara tangis Daud. Jika sudah seperti itu Hana akan menepuk-nepuk lembut Daud yang sudah dibedung itu dan memberikannya asi.Tapi terkadang tangis Daud tidak kunjung berhenti. Seperti yang terjadi malam ini. Hana sampai menggigit jari karena bingung harus mendiamkannya seperti apa."Haak ahak..oek..oek..""Daud..""Hak..ahaak oek..oek...""Syuhh, gantengnya mama.. kenapa nangis terus hum?""Oek..oek..""Daud saayang...""Oek..oek..""Sholatullah salamullah.." Hana pun mulai bershalawat, mencoba menenangkan Daud yang tak kunjung berhenti menangis."Oek..haak..oek.."Pasha yang tengah tertidur itu, mengerutkan keningnya. Matanya menyipit dan sedikit terbuka, "Kenapa sayang? Daud nya nangis lagi?" Ucap Pasha dengan suara sengau dan serak nya."Iya nih, padahal udah aku kasih asi tapi masih gak berhenti nangisnya"Pasha perlahan bangun dari tidurnya dan setengah menguap. Ia men
Hana tersenyum tenang menanggapi mereka semua. Jempolnya mengusap lembut pipi bayinya dan menundukkan kepalanya, ia kembali mengecup lembut bayi mungilnya itu. "Pasha, masih belum sadar?" Tanya Hana pada mereka semua.Shahbaz menghela nafas panjang, "Kata dokter Pasha mengalami syok berat karena melihat keadaan mu di ruang persalinan tadi. Dan sampai sekarang ia masih belum sadar"Hana tersenyum tipis. Ia sudah menduganya, itu pasti terjadi karena Pasha terlalu mengkhawatirkan keadaannya."Kenapa dia jadi lelaki bisa lemah sekali? Bukannya menemani istrinya sampai selesai melahirkan, tapi ia malah pingsan" Ketus Keira.Ratna langsung menyikut perut Keira, "Jangan berkata begitu. Dia bisa selemah itu juga karena hampir mati ketakutan karena merisaukan keadaan Hana"Keira hanya memasang ekspresi cemberut.Brak!Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka. Tampak Pasha muncul dan setengah berlari menghampiri ranjang."Hanaa" Pasha langsung memeluk Hana yang tengah berbaring di ranjang. Kepa
Tak terasa kandungan Hana sudah menginjak usia sembilan bulan. Semenjak itu pula Pasha tidak lagi membuat Hana tinggal di mansion yang jaraknya cukup jauh dalam mencapai rumah sakit di kota. Karena itulah ia membawa Hana kembali ke apartemen yang selama ini diurus dengan baik oleh Bi Titin.Saat tanggal kelahiran yang diprediksi kan oleh dokter mulai mendekat, buat jaga-jaga, Pasha langsung mengambil cuti. Hal tersebut membuat kelipatan kerja Eman sebagai sekretarisnya bertambah.Pasha pun menghabiskan harinya dengan mengurus dan menjaga Hana sedemikian rupa. Ia masih menyiapkan makanan, membuat jus dan terkadang memijit pundak dan kaki Hana yang kerapkali merasa pegal.Sedangkan urusan apartemen, piring kotor dan pakaian, bi Titin yang mengurus semuanya."Pashaa, Hana mau minum jus bayam" Pinta Hana manja. Sebulan membiasakan diri memanggil Pasha tanpa sebutan 'pak', Hana akhirnya dapat melakukannya dengan lancar.Bahkan ia berpikir untuk memanggil suaminya itu dengan 'sayang' nantiny