"Hai, Tari, kamu sudah pulang, kan?" sapa Gempita riang dari seberang telepon."Iya, ayo main ke rumah. Aku kangen kamu," ungkap Mentari jujur. Namun, dibalik ajakan itu ada sesuatu yang mendesak ingin ditanyakannya. Kurang pantas kalau dibicarakan lewat telepon."Aku belum tahu kapan bisa mengunjungimu, aku sibuk sekali. Kamu tahu pekerjaanku sekarang, seperti kerja rodi. Menyesal aku meminta dikenalkan pada kenalan Bapak," keluh Gempita terang-terangan.Mendengar pernyataan Gempita, Mentari memberanikan diri untuk bertanya pada Gempita lewat telepon, "Kamu... tahu kalau Argan sakit?""Sakit?" balas Gempita cepat. "Sakit apa?"Jadi, Gempita tidak mengetahuinya. Mentari pun menceritakan apa yang dikatakan Mama Argan padanya."Aku tidak pernah tahu kalau dia menderita suatu penyakit." Gempita mencoba mengorek ingatannya sejak kecil. "Kami sering bermain bersama kalau dia dan keluarganya datang berkunjung ke sini atau aku dan keluargaku yang ke sana. Tapi, tidak pernah aku mendengar kal
Mentari duduk sambil mengangkat kakinya di ruang tamu. Matanya terpaku pada layar ponsel. Dia bahkan tidak mendengar ibu yang memanggilnya."Tari." Ibu menggoyang kaki Mentari pelan.Mentari tersentak. "Oh, Bu.""Sedang apa kamu sedari tadi Ibu panggil tidak menengok?""Aku sedang mencari pekerjaan, Bu."Ibu duduk di dekat Mentari. "Kamu mau kembali bekerja?""Iya, Bu. Feliz sudah dua tahun sekarang, akan lebih banyak lagi pengeluaran untuknya. Apalagi kalau dia sudah sekolah. Aku harus mempersiapkan biayanya sejak sekarang. Lagipula, aku juga perlu biaya hidup, kan? Tidak mungkin aku terus bergantung pada Ibu," ucapnya sambil tersenyum pada ibu."Bagaimana dengan Argan?"Desahan terdengar dari Mentari. "Aku tidak bisa mengandalkannya.""Kamu sudah meneleponnya terkait penyakitnya?""Bu, aku tidak bisa memastikannya dari Argan. Dia tidak lagi banyak bicara seperti dulu. Kalaupun dia membuka mulutnya, hanya omelan atau tuduhan yang tersembur. Kalau dia memang benar sakit, pasti dia aka
Mentari terdiam menatap ibunya. Dia meremas kain celana panjang di pahanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Ibu mendekatinya."Tari, benarkah apa yang kamu katakan?" tanya ibu memastikan pendengarannya.Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Mentari, tidak mengetahui apa yang harus dikatakan. Perasaan gugup bercampur takut berkecamuk di hatinya.Ibu melangkah semakin dekat ke sofa tempat Mentari duduk. Jantung Mentari berdetak tidak karuan."A-aku mau ke toilet, " ucap Mentari seraya bangkit berdiri dan hendak melangkah menjauhi ibu."Tari, duduk! " perintah ibu sebelum Mentari sempat melangkahkan kaki kanannya.Tanpa bantahan, Mentari duduk dengan patuh sambil memegang erat kaosnya yang kebesaran. Dia bisa memprediksikan masa depannya lima menit kemudian dan setelahnya."Ceritakan pada Ibu," ucap ibu dengan lembut namun ada ketegasan di sana.Telapak tangan Mentari semakin lembab saat ibu duduk di samping Mentari, namun mulutnya segersang gurun Sahara. Mata Mentari terpana p
Kantin kampus sangat ramai. Di meja tengah, beberapa mahasiswa berkumpul sedang bercakap-cakap tentang mata kuliah yang baru saja selesai. Ada komentar baik dan ada juga yang tidak menyukai mata kuliah itu, entah isi mata kuliahnya yang membosankan atau dosennya yang tidak memiliki metode mengajar yang menarik. Beberapa menit kemudian, kantin mulai ditinggalkan oleh para mahasiswa yang menuju ke ruang kelas masing-masing, hendak melanjutkan ke mata kuliah berikutnya. Tapi, meja tengah masih ramai. “Kenyang nih, pengen tidur aja.” ucap seorang gadis berambut kuning kecokelatan panjang. “Iya, bawaannya ngantuk. Kebanyakan makan aku nih.” Seorang gadis lagi berujar sambil mengelus perutnya yang mengembung. Ocehan-ocehan kemalasan terus mengumbar dari mulut gadis-gadis itu. Tengah hari setelah makan memang menuntun pada rasa kantuk. “Udah jam 1 lebih. Yuk!” ajak seorang gadis berpakaian dress putih panjang. Ia pun berdiri dan melangkah ke pintu kantin, diikuti oleh dua gadis lainnya.
Mentari duduk memandangi anak-anak yang saling melemparkan bola di trotoar depan. Mereka masih memakai seragam putih merah, lengkap dengan tas di punggung berbeda warna. Tiap anak berteriak meminta bola dioper ke arahnya. Mobil merah memasuki area parkir restoran cepat saji dan parkir di samping pintu masuk. Seorang pria turun dengan percaya diri. Kepalanya terangkat, dengan kacamata hitam besar, dia melirik kanan-kiri mencari tukang parkir yang tidak bisa ditemukannya. Pria itu melangkah masuk ke dalam restoran sambil menekan kunci mobil di tangan kanannya. Bunyi mobil terkunci terdengar. “Argan!” suara panggilan Gempita menarik pandangan pria itu ke arah kiri restoran. Ia melihat dua wanita sedang duduk berdampingan menghadap ke arahnya. Wanita satunya dia kenal tentu saja, itu saudara sepupu jauhnya. Wanita satunya lagi tidak bisa dikatakan dikenalnya, ia hanya melihat fotonya dan mendengar berbagai cerita tentangnya dari Gempita. ‘Itu pasti Mentari. Hmm....’ batin Argan. ‘Cant
“Gimana semalam?” Kartu mahasiswa di tangan Mentari terjatuh ke ubin putih dekat sepasang sepatu kets hitam saat ia mendengar suara Gempita berbisik tepat di telinganya. “Dasar kamu, nih. Untung aja bukan gelas yang kupegang.” ucapnyamelangkah hendak mengambil kartu mahasiswa yang terjatuh di lantai. Terdengar suara Gempita berujar, “Kalau gelas yang jatuh, kamu bakal menjadi OB(Office Boy) dadakan.” Mentari mengulurkan tangannya hendak memungut kartu mahasiswanya, tapi didahului oleh pemilik sepatu kets hitam. Diulurkannya kartu mahasiswa itu pada Mentari tanpa berkata-kata. “Terima kasih.” Ucap Mentari tulus sambil tersenyum dan kembali ke tempat Gempita berdiri. “Siapa ‘tuh? Imut juga.” Mata Gempita membesar memperhatikan pria bersepatu kets hitam yang sekarang tengah berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di tangannya. “Mau aku kenalin?” canda Mentari. “Kamu juga ga kenal gimana mau kenalin?” ia kembali menatap Mentari. “Ke mana kalian semalam?” kali ini matanya dipicingk
Mentari dan Argan menikmati waktu bersama mereka di pantai. Cuaca cerah, matahari bersinar terik, saat yang tepat untuk menikmati indahnya pantai, hanya mereka berdua. Tidak banyak pengunjung di pantai berpasir putih berjarak dua jam perjalanan dari rumah Mentari. Lokasinya berada di dekat perkampungan kecil, namun tidak banyak yang datang berkunjung ke pantai ini, karena pantai ini belum dikomersilkan.Argan mendapat rekomendasi dari Gempita. ‘Pantainya cantik, bersih juga. Terlebih lagi sepi. Jarang yang tahu pantai itu. Kalian bisa menikmati waktu romantis berdua. Jangan lupa bawa bekal, di sana tidak ada yang jualan. Beli aja nasi kuning, Mentari suka itu. Ga perlu yang mahal-mahal, Mentari ga pemilih kok.’Argan mengikuti setiap saran yang dianjurkan Gempita. Kantong plastik yang dibawanya berisi dua nasi kuning yang terbungkus kertas makan, beberapa cemilan dan beberapa minuman kemasan yang dibelinya di minimarket dalam perjalanan ke rumah Mentari tadi. ‘Persiapan yang matang, s
Kebingungan dan ketakutan memenuhi Mentari dua hari ini. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar dan tidak makan sepulangnya dari kampus. Kakak-kakak dan ibunya berpikir bahwa dia sakit. Mereka mengetok kamarnya, namun tidak dibukakan.Sorenya Gempita datang mencarinya ke rumah.“Pita, kamu baik-baik aja, kan? Kok kamu gak kuliah tadi?” seru Gempita keras dari depan pintu setelah berkali-kali memanggil nama Mentari namun tidak ada jawaban.Kakak perempuan Gempita muncul dengan spatula di tangan, “Apa maksudmu Mentari tidak kuliah tadi?” tampang galak terpampang di wajahnya yang berkeringat.“Iya, Ka, hari ini Mentari ga kelihatan di kampus. Aku berkali-kali nelpon tapi tidak diangkat, pesan-pesanku juga tidak dibalas. Makanya aku kemari.” Penjelasan itu mengubah rona di wajah kakak Mentari.Ia maju dan mengetok pintu kamar Mentari dengan kepalan tangannya, “Buka, cepat buka, Mentari. Kalau tidak aku akan merusak pintu ini.”Kegaduhan itu mengundang