Mentari terdiam menatap ibunya. Dia meremas kain celana panjang di pahanya dan mengalihkan pandangan ke arah lain. Ibu mendekatinya."Tari, benarkah apa yang kamu katakan?" tanya ibu memastikan pendengarannya.Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Mentari, tidak mengetahui apa yang harus dikatakan. Perasaan gugup bercampur takut berkecamuk di hatinya.Ibu melangkah semakin dekat ke sofa tempat Mentari duduk. Jantung Mentari berdetak tidak karuan."A-aku mau ke toilet, " ucap Mentari seraya bangkit berdiri dan hendak melangkah menjauhi ibu."Tari, duduk! " perintah ibu sebelum Mentari sempat melangkahkan kaki kanannya.Tanpa bantahan, Mentari duduk dengan patuh sambil memegang erat kaosnya yang kebesaran. Dia bisa memprediksikan masa depannya lima menit kemudian dan setelahnya."Ceritakan pada Ibu," ucap ibu dengan lembut namun ada ketegasan di sana.Telapak tangan Mentari semakin lembab saat ibu duduk di samping Mentari, namun mulutnya segersang gurun Sahara. Mata Mentari terpana p
Hari demi hari berlalu dengan keengganan memenuhi suasana rumah."Ada apa ini? Kenapa Ibu dan Mentari tidak bersemangat beberapa hari terakhir ini?" tanya Cahya saat makan malam di hari jumat.Cahya telah mengendus aroma kecanggungan itu sejak keesokan hari ibu mendengar pembicaraan telepon Mentari dan Argan, namun dia enggan bertanya kepada orang tua dan adik kandungnya itu. Berharap mereka dengan sukarela akan menceritakan situasi yang sebenarnya terjadi seperti biasanya yang selalu mereka lakukan. Hampir tidak ada rahasia di antara keluarga mereka.Dengan ekor mata gugup, Mentari melirik Cahya kemudian ibu, lalu kembali menatap ikan goreng di piringnya. Situasi canggung ini berlanjut karena tidak ada kabar berita dari Argan meskipun dia telah berkali-kali mengirimkan pesan lewat Whatsapp. Bahkan setiap hari ibu selalu menelepon anak mantunya itu.Ibu meletakkan sendok secara terbalik di atas piring, menandakan telah selesai makan. Diraihnya gelas kaca di dekat piring, meneguk habis
Mentari menunggu semalaman, namun Cahya tidak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Dia yakin kalau kakaknya telah menelepon ibu mertuanya.Dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang mereka bicarakan. Dia tidak bisa menduga reaksi mertuanya. Lebih tepatnya, dia terlalu takut untuk menduganya. Berkali-kali dia mengenyahkan bayangan yang mulai bermunculan di benaknya.Atau, mungkin saja mereka belum berbicara. Mungkin mertuanya tidak mengangkat telepon, karena itu Cahya diam saja."Besok kita jalan-jalan." Kata-kata yang keluar dari mulut Cahya membuat Mentari dan ibu hanya meliriknya. Namun, disambut riang oleh Winar, diikuti teriakan girang Feliz yang menirukan keriangan kakak sepupunya."Bukannya besok kamu ada arisan?" sergah suami Cahya."Jalan-jalan besok lebih penting," bantah Cahya cepat. "Jauh lebih penting.""Tumben sekali kamu menganggap hal lain lebih penting daripada arisan kamu bersama teman-temanmu," ucap ibu tidak habis pikir."Urusan Mentari yang paling penting sekarang.
"Maaf, tadi aku di belakang sedang membereskan perkakas yang digunakan mama untuk menanam bunga-bunga. Aku tidak mendengar kalian datang."Raut wajah tiga wanita yang duduk bersebelahan di sofa panjang, menunjukkan ekspresi berbeda-beda. Sementara Mentari masih menunjukkan keterkejutan, ibu hanya diam tanpa ekspresi, sedangkan wajah Cahya jelas menunjukkan rasa marah."Apa kabar kalian?"Pertanyaan Argan memicu amarah Cahya. Tangan ibu mencengkeram tangan Cahya, mencegahnya untuk tidak lepas kendali."Feliz." Argan mendekati Feliz yang berdiri di samping Winar yang duduk bersama pamannya. Saat Argan menunduk untuk menyentuh kepala Feliz, Feliz mundur, menjauhi Argan dan menempel pada Cahya.Pemandangan itu tidak mengherankan keluarga Mentari, karena memang tidak pernah sekalipun Argan berusaha dekat dengan anaknya. Dengan bertambahnya usia Feliz, tingkat pemahamannya pun semakin baik. Baginya, Argan seperti orang asing."Eeh, Feliz malu-malu sama papanya," tawa mama Argan memenuhi rua
Tidak ada kunjungan ke tempat lain lagi seperti yang sudah dijanjikan Cahya. Alhasil, Winar mengoceh dan memprotes keputusan perubahan rencana ibunya. Mereka langsung pulang ke rumah.Amarah memenuhi suasana mobil. Cahya tidak berhenti mengumbarkan semua yang dirasakannya atas kunjungan singkat mereka untuk pertama kalinya ke rumah keluarga Argan. Tidak disangkanya mereka akan diperlakukan sedemikian buruk.“Wajahnya seperti malaikat, tersenyum dengan manis, tapi mulutnya mengeluarkan racun yang dapat membunuh siapapun dalam sekejap,” sembur Cahya dengan suara secepat cahaya kepada orang-orang di bagian depan mobil. Cahya duduk di bagian paling belakang, memberi ruang untuk ibu duduk di paling depan di samping suaminya. Dan di barisan kedua Mentari bersama Feliz dan Winar.Hanya suami Cahya yang mengemudi sambil mendengarkan ocehan istrinya sambil sesekali ikut menimpali untuk menenangkannya. Ibu memandang lurus ke depan menatapi lalu lintas di depannya, sementara pikirannya mencerna
Sarapan pagi itu berlangsung hikmat. Semua orang bicara seperlunya saja. Winar yang biasanya aktif, diam saja. Bukan diam karena mengerti situasi yang sedang terjadi, tapi karena dia masih merasa kelelahan setelah bermain hingga malam hari kemarin. Feliz pun masih tertidur pulas.Cahya yang berkali-kali ingin membahas kejadian kemarin, dicegah ibunya entah dengan tatapan membara sepanas lava gunung berapi ataupun tendangan bawah meja tak terlihat.“Biarkan Tari tenang dulu,” bisik ibu pada Cahya saat Mentari telah kembali ke kamarnya.“Tapi, Bu.” protes Cahya.“Bila sudah tiba waktunya, dia sendiri yang akan angkat bicara. Tidak perlu memaksanya, hanya akan membuatnya terpuruk.”Ada kebenaran dalam ucapan ibu. Mentari pasti akan membahas hal itu juga nanti. Tapi, kapan? Cahya ingin segera menyelesaikannya. Dia telah mengungkapkan jalan keluar yang dipikirkannya untuk masalah Mentari pada suaminya.Suaminya menimpali dengan, “Kamu hanya bisa memberikan masukan, bukan memaksakan jalan k
Cerai.Kata itu telah lama berputar di benak Mentari, sejak awal dia menikah. Kata itu berkali-kali terbersit di pikiran Mentari kala menghadapi ikap Argan dan keluarganya benar-benar tidak mendukung pernikahan mereka. Namun, berkali-kali pula, Mentari berhasil bertahan.Dia telah melihat banyak berita selebritis yang bercerai hanya karena hal-hal sepele, bahkan hanya dalam usia pernikahan yang sesingkat beberapa hari saja. Dulu, berita seperti itu membuatnya melongo dan dianggapnya tidak masuk akal. Untuk apa menikah kalau akan diakhiri? Namun, sekarang dia mengerti, dia telah berada di posisi itu. Menikah tidaklah mudah.“Tari,” suara ibu membuyarkan lamunan Mentari, “Itu tidak benar, bukan?” sambung ibu ragu.Dengan tatapan kosong, Mentari menatap ibunya. Sebersit ketakutan tampak di wajah ibu ketika melihat reaksi anaknya.Kedua alis Cahya terangkat tinggi, menunggu jawaban adiknya yang hanya diam.“Tari?”Helaan nafas sembari senyuman halus tampak di bibir Mentari. “Apa yang tela
Dengan wajah lesu, Mentari kembali ke rumah. Melihatnya, ibu bertanya sambil membenarkan posisi taplak meja di ruang tamu. Winar dan Feliz sedang bermain di lantai.“Ada apa?”Mentari meletakkan tas selempangnya di atas meja, lalu duduk di sofa. “Ternyata aku tidak diterima sebagai seorang akuntan.”“Lalu? Kamu ke mana saja seharian ini?”“Aku bekerja.”Wajah ibu tampak bingung.“Kata manager-nya, aku lebih cocok menjadi sales daripada seorang akuntan,” terang Mentari.“Ooh, ibu mengira kamu tidak diterima bekerja sama sekali.”“Memang aku diterima bekerja, tapi aku tidak menyukai pekerjaan ini. Aku tidak menyukai menjajakan barang jualan pada banyak orang sambil terus mengoceh,” curhat Mentari menyandarkan kepalanya ke samping“Bukankah kamu memang senang berjualan? Kamu pernah membantu Cahya, bahkan pernah berjualan online juga.”“Kali ini rasanya lelah sekali, Bu. Aku hampir tidak bisa duduk saking banyaknya pelanggan.”“Terjual banyak?”“Penjualan di sana luar biasa banyak dalam s
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa