Pagi-pagi sekali hari sabtu, Mentari telah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Di sampingnya, Feliz tidur begitu lelap. Feliz sempat terbangun karena popoknya penuh. Setelah Mentari mengganti popok dan menyusuinya, ia kembali tertidur.Mentari mengambil ponselnya dan menyalakan layarnya, jam 5 lewat. Dia melirik ke luar jendela, masih gelap. Dia membuka Whatsapp dan melihat-lihat status dan story teman-teman kontaknya, setelah itu membuka aplikasi Facebook.Setelah cukup lama menggulir, tampak status Widi menunjukkan ia bersama suami dan kedua anaknya sedang berlibur ke Bali. Mentaripun membuka profilnya dan melihat daftar aktivitas yang dilakukan Widi selama di Bali.Yang terbaru adalah kunjungan mereka ke Ubud. Tampak foto keluarga ketika mereka di Monkey Forest, Bali Swing dan Pasar Ubud. Postingan di bawahnya menunjukkan mereka berkunjung ke Nusa Penida di hari sebelumnya. Lebih dari 20 foto dibagikannya dan ramai mendapatkan komentar.Jari Mentari terus menggulir turun melihat f
Argan kembali ke rumah di hari minggu sore dengan membawa beberapa kantong plastik. Setelah memastikan seluruh anggota keluarga berada di ruang tamu, dia mulai mengeluarkan isinya.Kantong plastik pertama berisi dua buah kaos, "Ini buat kakak iparku yang macho," ucapnya menyerahkan kaos bergambar pantai terbungkus plastik transparan pada suami Cahya."Lalu ini buat Winar." Diberikannya pada Winar kaos bergambar dan berwarna sama, warna biru langit, hanya ukurannya lebih kecil.Kantong plastik kedua dibukanya, lalu mengambil 2 kaos lain lagi berwarna merah muda terang bergambar barong Bali. Argan mengulurkan kedua tangannya memberikan kedua kaos sekaligus pada ibu dan Cahya.Keempat orang itu masing-masing memegang kaos di tangannya, memperhatikan motif dan menempelkan di badan, mengukur pas atau tidak."Sepertinya ini kekecilan buatku," ucap Cahya menempelkan kembali kaos barong di tubuhnya. Memang terlihat tidak muat. "Ini ukuran L. Aku biasa pakai XL."Ibu yang sedang mengamati ukur
"Gempita," panggil Tari melihat Gempita berbelok ke ruang dosen.Badan Gempita yang telah sepenuhnya berada di balik pintu, kembali keluar bagian atasnya saja."Hei," sapanya melihat Tari yang mendekatinya, "Nanti ya, aku buru-buru." Gempita pun benar-benar menghilang ke dalam ruang dosen.Mentari berbalik dan mencari-cari tempat yang nyaman untuk duduk. Sebuah batu utuh besar sengaja diletakkan di pinggir taman sebagai dekorasi, dia pun duduk di sana sendirian.Dia sedang tidak ada kuliah, karena dosennya tidak hadir. Teman-teman sekelasnya telah berpencar ke perpustakaan, kantin dan ke tempat nyaman lainnya. Salah satu teman kelasnya telah mengajak Mentari ke kantin, namun dia masih teringat bisikan-bisikan beberapa mahasiswa di kantin tempo hari.Dia tidak lagi marah dan jengkel, meskipun beberapa orang memandanginya seperti hakim. Namun, dia malu dan merasa tersisihkan ketika pembicaraan teman-teman adik tingkatnya itu tidak dia mengerti. Mereka hanya beda setahun, tapi seolah dip
Kampus tampak lebih ramai hari ini. Sepanjang pinggir jalan menuju fakultas, berbaris tenda-tenda bazar berwarna biru tua. Setiap tenda ditunggui oleh satu atau dua mahasiswa. Belum banyak yang mengunjungi bazar pagi ini, kebanyakan masih berada di ruang kelas. Saat jam istirahat, Gempita memanggil-manggil Mentari yang sedang berjalan menuruni tangga. "Tari, ayo ke bazar. Tadi aku lihat ada jajajan Korea enak," ajak Gempita setelah Mentari menggapai tempatnya berdiri. Gempita menarik tangan Mentari yang mengikutinya dengan lunglai. Bazar dipenuhi mahasiswa yang berdesakan ingin melihat apa saja yang ditawarkan. Banyak yang menyerbu stand makanan, baik untuk mencari makan siang atau sekedar camilan ringan. Begitupun Mentari yang masih diseret Gempita. Bruk. "Maaf," ucap Mentari setelah menabrak seorang mahasiswa yang akan menyuapkan takoyaki ke mulutnya. Untung saja takoyaki itu jatuh kembali ke dalam kotak kertas di tangannya yang berada tepat di bawah mulutnya. "Aduuh, lepasin
"Tari," suara panggilan Adrian menghentikan langkah Mentari yang hendak masuk ke ruang kelas."Tumben ga terlambat," goda Tari melirik jam ponsel di tangannya.Adrian hanya tersenyum mendengar 'pujian' Tari."Masuk, yuk," ajak Tari melangkah masuk ke ruang kelas."Tari, sebentar."Tari berbalik. "Kenapa?""Uhm..." Adrian ragu, "Boleh aku minta bantuan kamu?"Mentari memandanginya bingung, "Bantuan apa?""Ada yang harus aku kerjakan hari ini, kamu tahu kan? SEMA." Adrian tersenyum memandang Tari yang kini memicingkan mata menatapinya etelah mendengar kata SEMA. Dia tahu bantuan apa yang diinginkan Adrian.Adrian menyodorkan sebuah makalah bersampul putih pada Mentari. Mentari mengambil dan membaca sampulnya."Tolong kumpulkan tugasku. Pak Bakti hanya akan menilai kehadiran dari tugas yang terkumpul, jadi...""Kamu aman," sambung Mentari disambut tawa Adrian."Maaf, ya membuat kamu repot. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah ini lagi, tidak ingin jadi mahasiswa abadi di sini," kelakar
Perpustakaan lengang, hanya satu atau dua mahasiswa yang terlihat mondar-mandir mencari buku lalu menghilang di pintu masuk. Meskipun sudah mendekati ujian akhir, namun sebagian besar mahasiswa memilih untuk belajar di rumah, mengandalkan materi dan referensi yang bisa mereka dapatkan dari internet.Mentari dan Adrian tenggelam pada sebuah buku di bagian pojok belakang. Bukan bermaksud bersembunyi dari siapapun, namun suara mereka cukup berisik mempelajari buku yang telah dijanjikan Adrian. Agar tidak menganggu pengunjung lain, mereka pun duduk menyendiri."Aku masih ga mengerti bagian yang ini." Telunjuk Mentari menggosok-gosok bagian tengah buku."Jangan digosok, nanti sobek." Adrian mengangkat jari Mentari, lalu melurukan halaman yang mulai berkerut karena ulah Mentari."Mungkin otakku tidak mampu sampai ke situ," ucap Mentari menyerah dan bersandar di kursi."Jangan menyerah," bisik Adrian, "Besok kita lanjutkan lagi. Kepalamu sudah seperti lokomotif kereta, berasap," gurau Adrian
Lemari baju terbuka lebar. Beberapa baju terletak sembarangan di atas ranjang maupun di kursi. Mentari memilah-milah pakaian yang akan dikenakannya di hari pertama magang kerja."Kayak kapal pecah kamarnya," protes Argan yang berbaring memandangi tingkah Mentari."Nanti aku bereskan. Bingung mau pakai baju apa. Yang ini bagus tidak?" tanya Mentari memperlihatkan sebuah gaun resmi berwarna biru tua."Mau magang atau ke pesta?" Argan menggeleng-gelengkan kepala.Mentari memandangi gaun di tangannya, "Ini bukan gaun pesta. Gaun ini sopan dan formal, ada kerahnya juga.""Lebih baik pakai kemeja dan rok aja," usul Argan mengambil bantal guling dan memeluknya. Matanya masih berat, begitu juga kepalanya.Usul Argan benar juga, maka Mentari menarik sebuah rok hitam selutut dari tumpukan pakaian di lemari dan kemeja merah muda yang tergantung, lalu mengenakannya."Bagaimana?""Bagus."Mentari memandangi Argan yang kembali menutup matanya. "Bukannya kamu harus ke kampus hari ini?""Nanti.""Ini
Ponsel Mentari bergetar saat istirahat makan siang. Mentari mengambil ponsel di samping piring dan membukanya.Tari, gimana magang kamu? Mentor kamu galak ga?Pesan Whatsapp dari Adrian.Mentorku galak. Setiap hari aku dibentak. Kata orang, kalau pria dapat mentor wanita, pasti dimanja. Kenapa aku ga, ya? Pesan keduanya diakhiri dengan emoji tertawa terpingkal-pingkal.Mentari membalasnya.Kurang sogokan mungkin.Dia juga mengakhirinya dengan emoji tertawa.Kira-kira bagusnya aku sogok dengan apa?Makan siang tiap hari.Haduh, uang sakuku buat bayar makannya dia dong. Adrian kembali mengakhirinya dengan emoji tertawa."Tari, dicari Bu Wita." Seorang karyawan memanggil Mentari dengan membuka sedikit pintu pantry.Mentari melirik jam ponselnya. Hampir jam 1. Dia kebablasan bicara dengan Adrian hingga lupa waktu. Bergegas Mentari membereskan sisa makanannya dan kembali ke mejanya di dekat Bu Wita.Melihat Mentari yang mendekat, Bu Wita memanggilnya, "Tari, cepat ke sini."Berlari Mentar