"Tari," suara panggilan Adrian menghentikan langkah Mentari yang hendak masuk ke ruang kelas."Tumben ga terlambat," goda Tari melirik jam ponsel di tangannya.Adrian hanya tersenyum mendengar 'pujian' Tari."Masuk, yuk," ajak Tari melangkah masuk ke ruang kelas."Tari, sebentar."Tari berbalik. "Kenapa?""Uhm..." Adrian ragu, "Boleh aku minta bantuan kamu?"Mentari memandanginya bingung, "Bantuan apa?""Ada yang harus aku kerjakan hari ini, kamu tahu kan? SEMA." Adrian tersenyum memandang Tari yang kini memicingkan mata menatapinya etelah mendengar kata SEMA. Dia tahu bantuan apa yang diinginkan Adrian.Adrian menyodorkan sebuah makalah bersampul putih pada Mentari. Mentari mengambil dan membaca sampulnya."Tolong kumpulkan tugasku. Pak Bakti hanya akan menilai kehadiran dari tugas yang terkumpul, jadi...""Kamu aman," sambung Mentari disambut tawa Adrian."Maaf, ya membuat kamu repot. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah ini lagi, tidak ingin jadi mahasiswa abadi di sini," kelakar
Perpustakaan lengang, hanya satu atau dua mahasiswa yang terlihat mondar-mandir mencari buku lalu menghilang di pintu masuk. Meskipun sudah mendekati ujian akhir, namun sebagian besar mahasiswa memilih untuk belajar di rumah, mengandalkan materi dan referensi yang bisa mereka dapatkan dari internet.Mentari dan Adrian tenggelam pada sebuah buku di bagian pojok belakang. Bukan bermaksud bersembunyi dari siapapun, namun suara mereka cukup berisik mempelajari buku yang telah dijanjikan Adrian. Agar tidak menganggu pengunjung lain, mereka pun duduk menyendiri."Aku masih ga mengerti bagian yang ini." Telunjuk Mentari menggosok-gosok bagian tengah buku."Jangan digosok, nanti sobek." Adrian mengangkat jari Mentari, lalu melurukan halaman yang mulai berkerut karena ulah Mentari."Mungkin otakku tidak mampu sampai ke situ," ucap Mentari menyerah dan bersandar di kursi."Jangan menyerah," bisik Adrian, "Besok kita lanjutkan lagi. Kepalamu sudah seperti lokomotif kereta, berasap," gurau Adrian
Lemari baju terbuka lebar. Beberapa baju terletak sembarangan di atas ranjang maupun di kursi. Mentari memilah-milah pakaian yang akan dikenakannya di hari pertama magang kerja."Kayak kapal pecah kamarnya," protes Argan yang berbaring memandangi tingkah Mentari."Nanti aku bereskan. Bingung mau pakai baju apa. Yang ini bagus tidak?" tanya Mentari memperlihatkan sebuah gaun resmi berwarna biru tua."Mau magang atau ke pesta?" Argan menggeleng-gelengkan kepala.Mentari memandangi gaun di tangannya, "Ini bukan gaun pesta. Gaun ini sopan dan formal, ada kerahnya juga.""Lebih baik pakai kemeja dan rok aja," usul Argan mengambil bantal guling dan memeluknya. Matanya masih berat, begitu juga kepalanya.Usul Argan benar juga, maka Mentari menarik sebuah rok hitam selutut dari tumpukan pakaian di lemari dan kemeja merah muda yang tergantung, lalu mengenakannya."Bagaimana?""Bagus."Mentari memandangi Argan yang kembali menutup matanya. "Bukannya kamu harus ke kampus hari ini?""Nanti.""Ini
Ponsel Mentari bergetar saat istirahat makan siang. Mentari mengambil ponsel di samping piring dan membukanya.Tari, gimana magang kamu? Mentor kamu galak ga?Pesan Whatsapp dari Adrian.Mentorku galak. Setiap hari aku dibentak. Kata orang, kalau pria dapat mentor wanita, pasti dimanja. Kenapa aku ga, ya? Pesan keduanya diakhiri dengan emoji tertawa terpingkal-pingkal.Mentari membalasnya.Kurang sogokan mungkin.Dia juga mengakhirinya dengan emoji tertawa.Kira-kira bagusnya aku sogok dengan apa?Makan siang tiap hari.Haduh, uang sakuku buat bayar makannya dia dong. Adrian kembali mengakhirinya dengan emoji tertawa."Tari, dicari Bu Wita." Seorang karyawan memanggil Mentari dengan membuka sedikit pintu pantry.Mentari melirik jam ponselnya. Hampir jam 1. Dia kebablasan bicara dengan Adrian hingga lupa waktu. Bergegas Mentari membereskan sisa makanannya dan kembali ke mejanya di dekat Bu Wita.Melihat Mentari yang mendekat, Bu Wita memanggilnya, "Tari, cepat ke sini."Berlari Mentar
"Saya benar-benar minta maaf, Bu Wita." Mentari tertunduk takut dengan tangan saling tergenggam."Bukan salah, kamu, Tari. Harusnya saya memeriksa materi presentasi kamu dulu. Terlalu cepat saya mempercayai kamu, padahal baru dua minggu kamu di sini."Bu Wita tidak menatap Mentari, dia sedang memandangi monitor lebarnya. Baru saja dia keluar dari ruang bos setelah mendapat teguran keras. Meskipun pintunya tertutup, namun suara bos terdengar hingga keluar.Tiga puluh menit yang lalu, Mentari baru saja mempresentasikan hasil analisa keuangannya pada klien pertamanya. Awalnya dia merasa takut sekaligus bangga saat Bu Wita mengizinkannya presentasi tanpa memeriksa materinya. Dengan percaya diri dia menyampaikan presentasi, namun dipotong oleh klien yang berpendapat bahwa perencanaan awal yang dibuatnya keliru.Setelah Bu Wita menenangkan klien, Mentari melanjutkan presentasi. Malang bagi Mentari, klien semakin marah dengan isi presentasinya yang menurut klien tidak masuk akal. Solusi keua
Mata Mentari sembab keesokan harinya, ibu menyarankan untuk dikompres dengan es batu. Mematuhi saran ibu, Mentari meletakkan sebuah kubus es batu di atas masing-masing matanya."Bu, mataku mati rasa," ujar Mentari melemparkan es batu ke baskom cuci piring."Pakai mentimun lebih ampuh. Dijamin dalam sepuluh menit, sembabnya hilang," teriak Cahya dari kamar mandi.Sekali lagi Mentari mematuhi usul keluarganya. Setelah sepuluh menit, Mentari memandangi matanya di depan cermin. Tak ada yang berubah. Matanya masih bengkak seperti disengat tawon. Bagaimana dia ke kantor dengan penampilan seperti itu. Dia ingin menangis."Kalau Tante menangis lagi, nanti matanya makin bengkak seperti mata belalang. Hahaha..." Winar yang sedang sarapan meledeknya hingga nasi di mulutnya berhamburan."Winar, makanannya muncrat ke mana-mana. Makan yang benar!" tegur Cahya."Kamu ya, anak nakal. Tante cantik begini masa dibilang mirip belalang." Mentari menjewer telinga Winar pelan. Tawa Winar semakin pecah."Ma
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat beberapa menit. Feliz tertidur lelap di samping Mentari. Ranjang queen size itu hanya milik Feliz dan ibunya malam ini. Argan menginap di rumah orang tuanya lagi. Hal itu disyukuri Mentari, sehingga dia bebas berkirim pesan Whatsapp dengan Adrian.'Terima kasih ya hari ini,' tulis Mentari.'Aku yang berterima kasih karena kamu mau pasang telinga mendengarkan keluh kesahku,' balas Adrian. 'Anak kamu sudah tidur?''Sudah. Dia tertidur lelap,' ucap Mentari memandangi anaknya lembut.'Suami kamu ga marah kamu berkirim pesan denganku?''Dia ga ada. Kalaupun ada, pasti sudah tidur.''Belum pulang?' Adrian penasaran.Tak pernah Mentari menceritakan perihal rumah tangganya pada teman-temannya. Tidak sekalipun pada Gempita, meskipun dia kerabat Argan. Kata ibunya, urusan rumah tangganya tidak perlu diumbar kemana-mana, cukup keluarga dekat saja yang tahu. Mentari setuju. Lagipula, tidak ada teman kampusnya yang bisa menyeimbangi pembicaraannya mengenai
Tugas harian Mentari bertambah di kantor. Setelah insiden dengan klien pertamanya, beberapa karyawan menyepelekannya dengan memberikan tugas-tugas tidak penting yang bukan tanggung jawabnya. Kadang dia disuruh menjemput makanan atau paket yang dipesan online di pos security. Kadang dia diminta mengambilkan alat makan di pantry.Suatu ketika, saat security kantor sedang istirahat makan siang, Mentari disuruh mengangkat galon air minum baru yang berat dari pos security. Untung saja seorang karyawan pria bersikap layaknya seorang pria yang menghentikan Mentari saat berjalan menuju pintu keluar dan berinisiatif mengangkat galon itu.Satu insiden saja telah mengakibatkan magang kerja Mentari berjalan tidak mulus. Sering Mentari ingin menangis dan meratapi keadaannya, namun dia teringat ketika matanya sembab setelah menangis semalaman. Para karyawan di kantor menyadarinya meskipun Mentari berusaha menyembunyikannya dengan kacamata bening dan poni yang dibiarkan menjuntai di wajahnya. Dia me
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa