Tugas harian Mentari bertambah di kantor. Setelah insiden dengan klien pertamanya, beberapa karyawan menyepelekannya dengan memberikan tugas-tugas tidak penting yang bukan tanggung jawabnya. Kadang dia disuruh menjemput makanan atau paket yang dipesan online di pos security. Kadang dia diminta mengambilkan alat makan di pantry.Suatu ketika, saat security kantor sedang istirahat makan siang, Mentari disuruh mengangkat galon air minum baru yang berat dari pos security. Untung saja seorang karyawan pria bersikap layaknya seorang pria yang menghentikan Mentari saat berjalan menuju pintu keluar dan berinisiatif mengangkat galon itu.Satu insiden saja telah mengakibatkan magang kerja Mentari berjalan tidak mulus. Sering Mentari ingin menangis dan meratapi keadaannya, namun dia teringat ketika matanya sembab setelah menangis semalaman. Para karyawan di kantor menyadarinya meskipun Mentari berusaha menyembunyikannya dengan kacamata bening dan poni yang dibiarkan menjuntai di wajahnya. Dia me
Mentari menyesali hari ini adalah hari sabtu. Dia berharap ini bukan akhir minggu, sehingga dia bisa meluapkan beban yang memenuhi kepala dan hatinya. Meluapkannya pada Adrian.Tidak ada tangisan yang mengiringi pertengkaran semalam. Mentari tidak menyimpan kesedihan dan penyesalan atas Argan seperti sebelum-sebelumnya. Dia merasa apa yang dilakukannya dengan membela diri dan menuntut kewajiban Argan sebagai seorang kepala rumah tangga, adalah hal yang benar.Setelah makan siang, Mentari berbaring di ranjang. Tangannya memegangi ponsel di atas wajahnya, sementara Feliz terbaring di sampingnya, sedang menendang-nendang udara dengan kakinya yang kuat seolah bermain dengan teman imajinari.Tirai pintu terbuka, ibu masuk dan duduk di ranjang."Feliz, cucu nenek sedang apa? Sedang apa, kamu, Nak?" Ibu Mentari memegangi kedua kaki Feliz yang meronta-ronta minta dilepaskan. Setelah dilepaskan, Feliz tertawa-tawa."Cucu nenek lucu sekali. Muuah." Ibu menciumi kaki tanpa kaos kaki Feliz. Feliz
'Hai, Tari, sedang apa?'Balasan pesan Adrian masuk ke ponsel Mentari. Mentari membacanya dengan jengkel, lalu mengabaikannya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dalam hati dia mengeluh, sebab pesan Mentari dikirimkannya sejak sabtu lalu, tapi baru saja dibalas Adrian hari ini, senin.Suasana di kantor pun membuat paginya semakin suram. Dua karyawan wanita yang sejak hari pertama Mentari magang sudah menunjukkan rasa tidak suka, hari ini semakin menjadi-jadi."Laporan apa ini? Kenapa bahasanya seperti ini? Tabel-tabel ini juga berantakan," keluh yang berambut pendek.Yang berambut panjang menimpali dengan nada judes sambil melirik Mentari, "Maklum, masih kuliah, masih belajar. Setelah lulus pasti bisa buat laporan yang wow. Itupun kalau lulus, ya."Duo itu tertawa membuat Mentari kesal."Aku aja waktu semester awal sudah bisa buat laporan bahasa inggris. Dipuji oleh dosen-dosen.""Aku juga waktu kuliah jadi kesayangan dosen. Kata mereka, aku orang yang kreatif dan rajin, pasti gam
"Itu temanku," ucap Mentari dengan suara bergetar."Teman," ujar Argan sinis, "Teman seperti apa yang semesra ini?"Argan yang telah duduk tegak, mengulang video itu. Volumenya dikencangkan. Mentari dapat melihat aliran darah mengalir ke wajah Adrian. Pria itu pun bangun."Pantas saja akhir-akhir ini kamu semakin berani padaku, gara-gara pria ini 'kan? Atau jangan-jangan sudah lama kamu pacaran dengannya?" Dada Argan naik turun tidak karuan. Banyak yang ingin dikatakannya.Mentari segera menyahut, "Ga, Argan. Aku ga pacaran dengan Adrian.""Ooh, jadi namanya Adrian."Mentari menyesali ucapannya barusan yang tanpa sengaja memberitahu nama pria di video itu."Jadi setelah pulang magang, kamu bersenang-senang dengan si Adrian ini? Makan es buah sore-sore di pinggir jalan. Berani sekali kamu, ya, ga ada takut-takutnya kalau ketahuan. Kamu sengaja, ya?" Pesan Whatsapp yang baru masuk menjelaskan waktu video itu diambil, membuat amarah Argan semakin menjadi."Buat si pria ini, si Adrian," A
Keesokan harinya, Mentari tidak ke kantor. Dia menelepon mentornya dengan alasan tidak enak badan. Matanya bengkak, suaranya serak dan tubuhnya terasa lelah."Tari, sudah jam delapan, makan dulu," ajak ibu menyibak tirai pintu. Mentari masih ingin tidur, tapi matanya tidak bisa tertutup lagi. Dia hanya ingin berbaring saja, namun dia harus menuruti kata ibunya. Kalau tidak, ibunya akan membawakan makanan ke dalam kamar, bahkan menyuapinya dia tidak ingin makan. Padahal dia sedang tidak ingin makan.Namun, di dapurlah dia kini berada, dengan sepiring sup di depannya, beserta sedikit nasi di samping mangkuk sup. Dan segelas jus buah campur dari beberapa sisa buah rujak Cahya kemarin. Ibunya mengerti di saat-saat seperti ini Mentari tidak memiliki nafsu makan."Feliz mana, Bu?" tanya Mentari mengaduk-aduk sup tanpa selera."Sedang bersama Cahya. Ayo, dimakan."Mentari mengambil sedikit kuah sup dan memasukkannya ke dalam mulut. Hambar, itulah rasanya bagi Mentari. Begitu juga jus buah ya
Pesan masuk dari Adrian telah diabaikan Mentari selama beberapa hari, mematuhi nasehat ibu dan kakaknya. Jari-jari kadang begitu gatal ingin membalas pesan itu, namun dia tidak ingin mengecewakan keluarganya yang telah memberikannya kepercayaan.Suatu sore, saat Mentari sedang menyusui Feliz di ruang tamu, terdengar notifikasi pesan masuk di ponselnya yang diletakkannya di sofa. Dia mengambilnya dan melihat pesan masuk dari Adrian. Dia menatapnya lama."Jangan dibalas!" perintah Cahya yang ikut membaca pesan itu. Cahya sedang menjahit celana seragam Winar yang robek di samping Mentari.Melihat Mentari yang ragu, tatapannya terus pada pesan itu, Cahya menambahkan, "Jangan dibaca juga! Blokir saja sekalian!"Tatapan Mentari tampak tidak percaya mendengar ucapan kakaknya, namun kakaknya menyergah, "Kenapa tidak mau? Kamu benar selingkuh dengannya?""Kakak!" Kata-kata Cahya menyakiti hati Mentari. Cahya menyadarinya."Kalau tidak suka dituduh selingkuh, lakukan kata Kakak!" seru Cahya teg
Hari-hari magang terasa membosankan setelah tidak ada lagi 'waktu makan es buah'. Seolah seperti robot dia menjalani rutinitasnya. Namun, Feliz yang semakin lucu dapat menghiburnya.Feliz mulai belajar berbicara. Dia senang bersuara tidak karuan. Tanpa lelah, Mentari mengajarkannya mengucapkan kata 'Mama'. Kata ibunya, kata 'Mama' lebih mudah diucapkan bayi daripada 'Ibu', maka Mentari gigih mengulang-ulang kata itu pada Feliz. Dia tidak ingin anaknya lebih bisa berucap 'Papa' seperti di video-video Tiktok yang ditontonnya."Tari, kenapa dipaksakan?" tegur Cahya mendengar Mentari yang telah lebih dari sepuluh kali menyuruh Feliz memanggilnya 'Mama'.Mentari pun menyerah. Dia membiarkan Feliz yang sudah bisa duduk, bermain dengan bola kecil. Feliz menyukai bola pemberian Winar itu."Argan tidak pulang lagi?" tanya Cahya."Ga tahu," jawab Mentari tak peduli."Bicaralah dengannya, jangan didiamkan.""Untuk apa bicara jika dia tidak ingin mendengarkan?""Kamu harus minta maaf."Mentari te
"Kamu sudah tidak berhubungan lagi dengan si pria itu?" tanya Argan saat Mentari akan beranjak tidur. Berputar kembali video Mentari dan Adrian dalam benaknya."Kami hanya teman, bukan seperti yang kamu pikirkan," jawab Mentari ketus masih sakit hati. Karena ulah Argan, kini dia tidak memiliki teman bicara lagi. Dia berbaring menghadap dinding, membelakangi Argan."Bukan itu pertanyaanku. Kalian masih bertemu?" suara Argan terdengar kesal."Tidak," jawab Mentari datar. Matanya masih terbuka memandangi lubang di dinding. Dia ingin segera tidur."Baguslah." Argan menurunkan punggungnya yang bersandar di dinding hendak berbaring dan tidur."Bagus untukmu, tidak untukku." Mentari membalikkan badannya menatap suaminya yang balas menatapnya. Punggung Argan berada pada posisi canggung, antara bersandar di dinding dan ranjang.Mendengar jawaban Mentari, pikiran-pikiran curiga mulai merasuki benak Argan, "Apa maksudmu?""Apa pernah terpikir olehmu kalau aku tidak lagi memiliki teman sejak meni
Ponsel Mentari berdering nyaring, namun karena terburu-buru tiba di toko, ia tidak mengindahkannya. Dan setelah berada di loker, tanpa memeriksa notifikasi, dia mengganti ke mode getar dan menonaktifkan data.Saat makan siang tiba, ia disambut pesan yang tidak diharapkannya ketika kembali mengaktifkan data.Helaan nafas Mentari mengundang tanggapan Feri yang juga sedang istirahat siang.“Ada apa?” tanya Feri prihatin.Tanpa berpikir, Mentari menyahut karena jengkel, “Biasa, perusak hari.”“Perusak hari?” ulang Feri tidak mengerti. Setelah berpikir sejenak karena tidak mendapatkan respon dari Mentari, dia berkata, “Kabar buruk?”Menyadari kalau dia tidak seharusnya mengungkapkan permasalahan pribadinya di tempat kerja, dia menjawab, “Kabar angin.”“Kalau kabar angin, tidak usah diambil pusing.”Ucapan Feri mengalir seperti sungai kecil. Tak satu pun yang didengarkan Mentari, dia terpaku pada pesan di ponselnya.‘Mentari, Mama dan Papa belum bisa kembali minggu ini. Urusannya belum sele
“Argan benar-benar tidak tahu diri, Tari!” berang Cahya saat Mentari baru saja tiba di rumah sore harinya. Cahya menghampirinya yang sedang mencuci tangannya.“Ada apa, Kak?” Tangan Mentari tergantung basah. Airnya menetes di atas lantai. Kemarahan di raut Cahya membuat Mentari kuatir.Sepanjang hari ini pikirannya tidak bisa difokuskan pada pekerjaannya. Dia berkali-kali menelepon ibu untuk mengetahui posisinya dan keadaannya yang sedang mengantarkan Argan untuk melakukan pemeriksaan. Ternyata, ibu melupakan ponselnya di rumah. Ponsel itu tergeletak di atas meja kamarnya. Cahya-lah yang mengangkat teleponnya.“Kamu tahu siapa yang membayar biaya taksi online?” Tanpa menunggu jawaban Mentari, Cahya meneruskan, “Ibu!”Kaget, Mentari tidak mampu berkata-kata.“Biaya pulang pergi mereka ibu yang membayari, begitu juga dengan makanan dan minuman yang mereka konsumsi selama berada di rumah sakit,&rdq
Waktu berlalu begitu cepat. Hal itu disyukuri Mentari. Begitu inginnya dia agar waktu melompat ke minggu depan pada hari kembalinya orang tua Argan. Namun, sebelumnya ada hari senin yang terlebih dahulu harus dilewatinya.Di hari minggu ini, Cahya mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengunjungi sebuah arena rekreasi yang letaknya tidak begitu jauh. Suaminya telah melarangnya karena ini akhir bulan, keuangan mereka telah menipis.“Tempat itu tidak mahal. Kita tidak perlu membeli makanan di sana, kita bisa membawa bekal. Hanya perlu membayar ongkos masuk saja,” bantah Cahya saat ditolak Feri. “Aku memiliki uang, kamu tidak perlu mengeluarkan uangmu.”Bisnis penjualan makanan Cahya memang masih berjalan, walaupun keuntungannya semakin berkurang akhir-akhir ini. Dari hari ke hari, pelanggannya semakin sedikit.“Bukankah itu uang tabunganmu untuk keadaan darurat? Kenapa kamu mau menggunakannya sekarang?”Seperti k
Aroma kecanggungan terhirup pekat di tiap tarikan nafas setiap anggota keluarga pagi itu. Sarapan dalam keheningan bukanlah kebiasaan keluarga itu. Mereka hanya saling menyapa saat duduk di kursi masing-masing kemudian meja makan hening.Sebagai seorang pria dewasa yang menggunakan lebih banyak logika, Feri memecah keheningan, “Kamu harus memeriksakan kakimu lagi, Argan?”“Iya, Kak, senin minggu depan,” sahut Argan setelah memasukkan sepotong ikan dan nasi ke mulutnya. “Menurut dokter, aku harus menjalani terapi kalau tidak ada kemajuan setelah pemeriksaan nanti.”“Di rumah sakit mana?” sambung Feri.“Rumah Sakit Daerah,” jawab Argan singkat lalu menenggak seteguk air. Makanannya tersendat di tempat yang tidak seharusnya.“Lumayan jauh dari sini. Kamu bisa ke sana sendirian?”Pertanyaan itu mengundang lirikan tajam Cahya dan menarik perhatian ibu. Sementara Mentari berlagak seperti tidak mendengar apapun.“Bisa, Kak. Aku bisa naik taksi online,” jawab Argan penuh percaya diri. “Tapi b
“Selamat sore, Bu, Kak Cahya. Apa kabar?”Sekian lama suara itu tidak terdengar di rumah itu, terasa asing dan canggung. Cahya tidak bisa menyembunyikan ketidaksukaannya. Dia berpaling, mengarahkan pandangannya pada pintu menuju dapur.Seolah kejadian-kejadian buruk di antara dia dan Mentari tidak pernah terjadi, Argan segera duduk di sofa terdekat sambil tersenyum dan berujar, “Senang rasanya kembali ke sini.”Hampir saja semburan Cahya terlontar dari mulutnya jika ibu tidak segera berdiri dan menahan tubuhnya yang berpaling menghadap Argan yang masih terus tersenyum memandangi sekeliling ruang tamu sekaligus mengikuti gerakan ibu yang meninggalkan ruang tamu.Pandangan jijik seolah berkata ‘Tidak tahu malu’ dilemparkan Cahya pada Argan. Argan yang melihat Cahya memandanginya dengan gaya sok lugu berujar, “Kak, makin cantik aja.”Sebelum Cahya sempat menanggapi, bunyi dering ponsel Argan yang maksimal menyelanya.“Halo, Ma.... Iya, baru aja tiba .... Iya, Ma, iya. Ga usah kuatir ....
Keputusan Mentari untuk menelepon Argan dianggap sebagai sebuah kekalahan bagi Cahya.“Mereka yang membutuhkan kamu, mereka yang harus menghubungi kamu. Kenapa kamu berinisiatif bodoh seperti itu?” cerca Cahya setelah Mentari memberitahunya dan ibu.Kata-kata Cahya itu juga telah berputar di benak Mentari berulang kali sebelum dia memutuskan.“Bagaimana pun dia masih suamiku, Kak.”“Bukan alasan tepat!” bantah Cahya. “Seenaknya saja keluarganya keluar masuk dari kehidupan kamu. Kalau kamu tidak dibutuhkan mereka menelantarkan kamu seperti orang pinggiran. Tapi, saat mereka membutuhkanmu, mereka mencarimu dan memperlakukan kamu seperti pelayan mereka.”“Cahya,” tegur ibu keras.Cahya hendak menanggapi teguran ibu, namun dia mengurungkan niatnya.“Apa kata Argan?” Cahya hendak mengatakan ‘pria tidak tahu diri’ sebagai ganti nama Argan, namun lirikan matanya pada ibu yang tampak serius membuatnya menelan kata-kata itu.“Hmm... dia mengatakan kalau dia ditabrak dari belakang oleh sebuah m
Sekali lagi Mentari membaca pesan masuk yang muncul di layar depan ponselnya. Dia membuka aplikasi pesan itu dan membaca sekali lagi. Tidak ada yang salah dengan penglihatannya, tulisannya tetap sama seperti yang dibacanya pertama kali.Mentari terdiam, matanya menatap layar ponselnya, namun pikirannya melayang-layang.Setelah beberapa lama memandangi Mentari yang terdiam, Cahya pun mendekati adiknya dan menggoyang tubuhnya, “Ada apa, Tari?”Tersentak, Mentari menatap kakaknya lalu menyodorkan ponselnya yang menyala pada Cahya. Cahya membaca lalu memandang Mentari.“Tanyakan kejelasannya pada Gempita.”Seperti robot, Mentari mengikuti perintah Cahya. Dia segera menelepon Gempita.‘Tari, Argan kecelakaan,’ ucap Gempita mengulangi isi pesannya.Belum sempat Mentari bertanya, Gempita telah mulai menjelaskan, “Tante baru saja meneleponku dan mengabari kalau Argan kecelakaan kemarin. Dia sempat dilarikan ke rumah sakit, namun hari ini sudah pulang karena Argan tidak ingin berlama-lama di r
Berita bahwa Mentari memiliki sepeda motor baru menyebar bagai virus di lingkungan tempat tinggalnya. Tetangga Mentari yang tidak pernah menyapanya sebelumnya, berbasa-basi dengannya sambil memperhatikan motor yang sementara didorongnya keluar dari halaman rumah. Dia masih belum mahir mengendarainya di area sempit, begitu pula dengan hal memarkirkan motor.Motor itu seperti mendukung tetangganya, tersangkut di sebuah batu yang menonjol di pinggiran jalan keluar. Mentari mendorongnya sekuat tenaga untuk melewati batu itu.Melihatnya terdiam, tetangganya mendekatinya dan memandangi motor yang sedang didorong Mentari.“Mentari, kamu kerja di mana sampai bisa membeli motor baru?”Wanita yang diajak bicara sedang berjibaku dengan motornya, kembali bertanya, “Kenapa?”Setelah beberapa kali usaha kerasnya tidak membuahkan hasil, dia pun memundurkan motornya dan mengambil jalan yang rata di sebelah batu itu. Dia merasa bodoh dalam hatinya, seharusnya sejak tadi dia melakukannya.“Permisi, Pak
“Ada apa ini? Ramai sekali,” serbu Feri dengan nada bicara bersemangat memasuki ruang tamu yang berisik.“Tante Mentari sedang curhat, Pak,” sahut Winar yang bersandar di sofa mendengarkan cerita Mentari.“Itu, Kak, di toko. Bagaimana mungkin ada pelanggan yang sangat pelit seperti si bapak-bapak itu? Dia meminta diskon terus-menerus sampai meminta aku yang membayari biaya pengirimannya barangnya. Belum lagi dia memanggilku dengan kata ‘sayang’.” Amarah Mentari meluap-luap.Cahya yang duduk mengangkat kaki tergelak mendengarnya.“Hari ini adalah hari sial kamu, Tari.”“Ada lagi selain itu?” Feri penasaran.“Hari ini dia mendapatkan ojek online mantan pembalap MotoGP.” Tawa Cahya kembali pecah.Dengan antusias, Mentari kembali mengulang kisahnya pada kakak iparnya, “Waduh, Kak, kecepatannya 200 km/jam. Dia tidak mengenal lampu merah, lubang dan trotoar, semua diterjangnya tanpa rem. Beberapa kali aku hampir terlempar dari motornya. Sudah aku beritahu, tapi tidak digubrisnya. Bintang sa