Lemari baju terbuka lebar. Beberapa baju terletak sembarangan di atas ranjang maupun di kursi. Mentari memilah-milah pakaian yang akan dikenakannya di hari pertama magang kerja."Kayak kapal pecah kamarnya," protes Argan yang berbaring memandangi tingkah Mentari."Nanti aku bereskan. Bingung mau pakai baju apa. Yang ini bagus tidak?" tanya Mentari memperlihatkan sebuah gaun resmi berwarna biru tua."Mau magang atau ke pesta?" Argan menggeleng-gelengkan kepala.Mentari memandangi gaun di tangannya, "Ini bukan gaun pesta. Gaun ini sopan dan formal, ada kerahnya juga.""Lebih baik pakai kemeja dan rok aja," usul Argan mengambil bantal guling dan memeluknya. Matanya masih berat, begitu juga kepalanya.Usul Argan benar juga, maka Mentari menarik sebuah rok hitam selutut dari tumpukan pakaian di lemari dan kemeja merah muda yang tergantung, lalu mengenakannya."Bagaimana?""Bagus."Mentari memandangi Argan yang kembali menutup matanya. "Bukannya kamu harus ke kampus hari ini?""Nanti.""Ini
Ponsel Mentari bergetar saat istirahat makan siang. Mentari mengambil ponsel di samping piring dan membukanya.Tari, gimana magang kamu? Mentor kamu galak ga?Pesan Whatsapp dari Adrian.Mentorku galak. Setiap hari aku dibentak. Kata orang, kalau pria dapat mentor wanita, pasti dimanja. Kenapa aku ga, ya? Pesan keduanya diakhiri dengan emoji tertawa terpingkal-pingkal.Mentari membalasnya.Kurang sogokan mungkin.Dia juga mengakhirinya dengan emoji tertawa.Kira-kira bagusnya aku sogok dengan apa?Makan siang tiap hari.Haduh, uang sakuku buat bayar makannya dia dong. Adrian kembali mengakhirinya dengan emoji tertawa."Tari, dicari Bu Wita." Seorang karyawan memanggil Mentari dengan membuka sedikit pintu pantry.Mentari melirik jam ponselnya. Hampir jam 1. Dia kebablasan bicara dengan Adrian hingga lupa waktu. Bergegas Mentari membereskan sisa makanannya dan kembali ke mejanya di dekat Bu Wita.Melihat Mentari yang mendekat, Bu Wita memanggilnya, "Tari, cepat ke sini."Berlari Mentar
"Saya benar-benar minta maaf, Bu Wita." Mentari tertunduk takut dengan tangan saling tergenggam."Bukan salah, kamu, Tari. Harusnya saya memeriksa materi presentasi kamu dulu. Terlalu cepat saya mempercayai kamu, padahal baru dua minggu kamu di sini."Bu Wita tidak menatap Mentari, dia sedang memandangi monitor lebarnya. Baru saja dia keluar dari ruang bos setelah mendapat teguran keras. Meskipun pintunya tertutup, namun suara bos terdengar hingga keluar.Tiga puluh menit yang lalu, Mentari baru saja mempresentasikan hasil analisa keuangannya pada klien pertamanya. Awalnya dia merasa takut sekaligus bangga saat Bu Wita mengizinkannya presentasi tanpa memeriksa materinya. Dengan percaya diri dia menyampaikan presentasi, namun dipotong oleh klien yang berpendapat bahwa perencanaan awal yang dibuatnya keliru.Setelah Bu Wita menenangkan klien, Mentari melanjutkan presentasi. Malang bagi Mentari, klien semakin marah dengan isi presentasinya yang menurut klien tidak masuk akal. Solusi keua
Mata Mentari sembab keesokan harinya, ibu menyarankan untuk dikompres dengan es batu. Mematuhi saran ibu, Mentari meletakkan sebuah kubus es batu di atas masing-masing matanya."Bu, mataku mati rasa," ujar Mentari melemparkan es batu ke baskom cuci piring."Pakai mentimun lebih ampuh. Dijamin dalam sepuluh menit, sembabnya hilang," teriak Cahya dari kamar mandi.Sekali lagi Mentari mematuhi usul keluarganya. Setelah sepuluh menit, Mentari memandangi matanya di depan cermin. Tak ada yang berubah. Matanya masih bengkak seperti disengat tawon. Bagaimana dia ke kantor dengan penampilan seperti itu. Dia ingin menangis."Kalau Tante menangis lagi, nanti matanya makin bengkak seperti mata belalang. Hahaha..." Winar yang sedang sarapan meledeknya hingga nasi di mulutnya berhamburan."Winar, makanannya muncrat ke mana-mana. Makan yang benar!" tegur Cahya."Kamu ya, anak nakal. Tante cantik begini masa dibilang mirip belalang." Mentari menjewer telinga Winar pelan. Tawa Winar semakin pecah."Ma
Jam menunjukkan pukul sepuluh malam lewat beberapa menit. Feliz tertidur lelap di samping Mentari. Ranjang queen size itu hanya milik Feliz dan ibunya malam ini. Argan menginap di rumah orang tuanya lagi. Hal itu disyukuri Mentari, sehingga dia bebas berkirim pesan Whatsapp dengan Adrian.'Terima kasih ya hari ini,' tulis Mentari.'Aku yang berterima kasih karena kamu mau pasang telinga mendengarkan keluh kesahku,' balas Adrian. 'Anak kamu sudah tidur?''Sudah. Dia tertidur lelap,' ucap Mentari memandangi anaknya lembut.'Suami kamu ga marah kamu berkirim pesan denganku?''Dia ga ada. Kalaupun ada, pasti sudah tidur.''Belum pulang?' Adrian penasaran.Tak pernah Mentari menceritakan perihal rumah tangganya pada teman-temannya. Tidak sekalipun pada Gempita, meskipun dia kerabat Argan. Kata ibunya, urusan rumah tangganya tidak perlu diumbar kemana-mana, cukup keluarga dekat saja yang tahu. Mentari setuju. Lagipula, tidak ada teman kampusnya yang bisa menyeimbangi pembicaraannya mengenai
Tugas harian Mentari bertambah di kantor. Setelah insiden dengan klien pertamanya, beberapa karyawan menyepelekannya dengan memberikan tugas-tugas tidak penting yang bukan tanggung jawabnya. Kadang dia disuruh menjemput makanan atau paket yang dipesan online di pos security. Kadang dia diminta mengambilkan alat makan di pantry.Suatu ketika, saat security kantor sedang istirahat makan siang, Mentari disuruh mengangkat galon air minum baru yang berat dari pos security. Untung saja seorang karyawan pria bersikap layaknya seorang pria yang menghentikan Mentari saat berjalan menuju pintu keluar dan berinisiatif mengangkat galon itu.Satu insiden saja telah mengakibatkan magang kerja Mentari berjalan tidak mulus. Sering Mentari ingin menangis dan meratapi keadaannya, namun dia teringat ketika matanya sembab setelah menangis semalaman. Para karyawan di kantor menyadarinya meskipun Mentari berusaha menyembunyikannya dengan kacamata bening dan poni yang dibiarkan menjuntai di wajahnya. Dia me
Mentari menyesali hari ini adalah hari sabtu. Dia berharap ini bukan akhir minggu, sehingga dia bisa meluapkan beban yang memenuhi kepala dan hatinya. Meluapkannya pada Adrian.Tidak ada tangisan yang mengiringi pertengkaran semalam. Mentari tidak menyimpan kesedihan dan penyesalan atas Argan seperti sebelum-sebelumnya. Dia merasa apa yang dilakukannya dengan membela diri dan menuntut kewajiban Argan sebagai seorang kepala rumah tangga, adalah hal yang benar.Setelah makan siang, Mentari berbaring di ranjang. Tangannya memegangi ponsel di atas wajahnya, sementara Feliz terbaring di sampingnya, sedang menendang-nendang udara dengan kakinya yang kuat seolah bermain dengan teman imajinari.Tirai pintu terbuka, ibu masuk dan duduk di ranjang."Feliz, cucu nenek sedang apa? Sedang apa, kamu, Nak?" Ibu Mentari memegangi kedua kaki Feliz yang meronta-ronta minta dilepaskan. Setelah dilepaskan, Feliz tertawa-tawa."Cucu nenek lucu sekali. Muuah." Ibu menciumi kaki tanpa kaos kaki Feliz. Feliz
'Hai, Tari, sedang apa?'Balasan pesan Adrian masuk ke ponsel Mentari. Mentari membacanya dengan jengkel, lalu mengabaikannya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dalam hati dia mengeluh, sebab pesan Mentari dikirimkannya sejak sabtu lalu, tapi baru saja dibalas Adrian hari ini, senin.Suasana di kantor pun membuat paginya semakin suram. Dua karyawan wanita yang sejak hari pertama Mentari magang sudah menunjukkan rasa tidak suka, hari ini semakin menjadi-jadi."Laporan apa ini? Kenapa bahasanya seperti ini? Tabel-tabel ini juga berantakan," keluh yang berambut pendek.Yang berambut panjang menimpali dengan nada judes sambil melirik Mentari, "Maklum, masih kuliah, masih belajar. Setelah lulus pasti bisa buat laporan yang wow. Itupun kalau lulus, ya."Duo itu tertawa membuat Mentari kesal."Aku aja waktu semester awal sudah bisa buat laporan bahasa inggris. Dipuji oleh dosen-dosen.""Aku juga waktu kuliah jadi kesayangan dosen. Kata mereka, aku orang yang kreatif dan rajin, pasti gam