"Gempita," panggil Tari melihat Gempita berbelok ke ruang dosen.Badan Gempita yang telah sepenuhnya berada di balik pintu, kembali keluar bagian atasnya saja."Hei," sapanya melihat Tari yang mendekatinya, "Nanti ya, aku buru-buru." Gempita pun benar-benar menghilang ke dalam ruang dosen.Mentari berbalik dan mencari-cari tempat yang nyaman untuk duduk. Sebuah batu utuh besar sengaja diletakkan di pinggir taman sebagai dekorasi, dia pun duduk di sana sendirian.Dia sedang tidak ada kuliah, karena dosennya tidak hadir. Teman-teman sekelasnya telah berpencar ke perpustakaan, kantin dan ke tempat nyaman lainnya. Salah satu teman kelasnya telah mengajak Mentari ke kantin, namun dia masih teringat bisikan-bisikan beberapa mahasiswa di kantin tempo hari.Dia tidak lagi marah dan jengkel, meskipun beberapa orang memandanginya seperti hakim. Namun, dia malu dan merasa tersisihkan ketika pembicaraan teman-teman adik tingkatnya itu tidak dia mengerti. Mereka hanya beda setahun, tapi seolah dip
Kampus tampak lebih ramai hari ini. Sepanjang pinggir jalan menuju fakultas, berbaris tenda-tenda bazar berwarna biru tua. Setiap tenda ditunggui oleh satu atau dua mahasiswa. Belum banyak yang mengunjungi bazar pagi ini, kebanyakan masih berada di ruang kelas. Saat jam istirahat, Gempita memanggil-manggil Mentari yang sedang berjalan menuruni tangga. "Tari, ayo ke bazar. Tadi aku lihat ada jajajan Korea enak," ajak Gempita setelah Mentari menggapai tempatnya berdiri. Gempita menarik tangan Mentari yang mengikutinya dengan lunglai. Bazar dipenuhi mahasiswa yang berdesakan ingin melihat apa saja yang ditawarkan. Banyak yang menyerbu stand makanan, baik untuk mencari makan siang atau sekedar camilan ringan. Begitupun Mentari yang masih diseret Gempita. Bruk. "Maaf," ucap Mentari setelah menabrak seorang mahasiswa yang akan menyuapkan takoyaki ke mulutnya. Untung saja takoyaki itu jatuh kembali ke dalam kotak kertas di tangannya yang berada tepat di bawah mulutnya. "Aduuh, lepasin
"Tari," suara panggilan Adrian menghentikan langkah Mentari yang hendak masuk ke ruang kelas."Tumben ga terlambat," goda Tari melirik jam ponsel di tangannya.Adrian hanya tersenyum mendengar 'pujian' Tari."Masuk, yuk," ajak Tari melangkah masuk ke ruang kelas."Tari, sebentar."Tari berbalik. "Kenapa?""Uhm..." Adrian ragu, "Boleh aku minta bantuan kamu?"Mentari memandanginya bingung, "Bantuan apa?""Ada yang harus aku kerjakan hari ini, kamu tahu kan? SEMA." Adrian tersenyum memandang Tari yang kini memicingkan mata menatapinya etelah mendengar kata SEMA. Dia tahu bantuan apa yang diinginkan Adrian.Adrian menyodorkan sebuah makalah bersampul putih pada Mentari. Mentari mengambil dan membaca sampulnya."Tolong kumpulkan tugasku. Pak Bakti hanya akan menilai kehadiran dari tugas yang terkumpul, jadi...""Kamu aman," sambung Mentari disambut tawa Adrian."Maaf, ya membuat kamu repot. Aku tidak ingin mengulang mata kuliah ini lagi, tidak ingin jadi mahasiswa abadi di sini," kelakar
Perpustakaan lengang, hanya satu atau dua mahasiswa yang terlihat mondar-mandir mencari buku lalu menghilang di pintu masuk. Meskipun sudah mendekati ujian akhir, namun sebagian besar mahasiswa memilih untuk belajar di rumah, mengandalkan materi dan referensi yang bisa mereka dapatkan dari internet.Mentari dan Adrian tenggelam pada sebuah buku di bagian pojok belakang. Bukan bermaksud bersembunyi dari siapapun, namun suara mereka cukup berisik mempelajari buku yang telah dijanjikan Adrian. Agar tidak menganggu pengunjung lain, mereka pun duduk menyendiri."Aku masih ga mengerti bagian yang ini." Telunjuk Mentari menggosok-gosok bagian tengah buku."Jangan digosok, nanti sobek." Adrian mengangkat jari Mentari, lalu melurukan halaman yang mulai berkerut karena ulah Mentari."Mungkin otakku tidak mampu sampai ke situ," ucap Mentari menyerah dan bersandar di kursi."Jangan menyerah," bisik Adrian, "Besok kita lanjutkan lagi. Kepalamu sudah seperti lokomotif kereta, berasap," gurau Adrian
Lemari baju terbuka lebar. Beberapa baju terletak sembarangan di atas ranjang maupun di kursi. Mentari memilah-milah pakaian yang akan dikenakannya di hari pertama magang kerja."Kayak kapal pecah kamarnya," protes Argan yang berbaring memandangi tingkah Mentari."Nanti aku bereskan. Bingung mau pakai baju apa. Yang ini bagus tidak?" tanya Mentari memperlihatkan sebuah gaun resmi berwarna biru tua."Mau magang atau ke pesta?" Argan menggeleng-gelengkan kepala.Mentari memandangi gaun di tangannya, "Ini bukan gaun pesta. Gaun ini sopan dan formal, ada kerahnya juga.""Lebih baik pakai kemeja dan rok aja," usul Argan mengambil bantal guling dan memeluknya. Matanya masih berat, begitu juga kepalanya.Usul Argan benar juga, maka Mentari menarik sebuah rok hitam selutut dari tumpukan pakaian di lemari dan kemeja merah muda yang tergantung, lalu mengenakannya."Bagaimana?""Bagus."Mentari memandangi Argan yang kembali menutup matanya. "Bukannya kamu harus ke kampus hari ini?""Nanti.""Ini
Ponsel Mentari bergetar saat istirahat makan siang. Mentari mengambil ponsel di samping piring dan membukanya.Tari, gimana magang kamu? Mentor kamu galak ga?Pesan Whatsapp dari Adrian.Mentorku galak. Setiap hari aku dibentak. Kata orang, kalau pria dapat mentor wanita, pasti dimanja. Kenapa aku ga, ya? Pesan keduanya diakhiri dengan emoji tertawa terpingkal-pingkal.Mentari membalasnya.Kurang sogokan mungkin.Dia juga mengakhirinya dengan emoji tertawa.Kira-kira bagusnya aku sogok dengan apa?Makan siang tiap hari.Haduh, uang sakuku buat bayar makannya dia dong. Adrian kembali mengakhirinya dengan emoji tertawa."Tari, dicari Bu Wita." Seorang karyawan memanggil Mentari dengan membuka sedikit pintu pantry.Mentari melirik jam ponselnya. Hampir jam 1. Dia kebablasan bicara dengan Adrian hingga lupa waktu. Bergegas Mentari membereskan sisa makanannya dan kembali ke mejanya di dekat Bu Wita.Melihat Mentari yang mendekat, Bu Wita memanggilnya, "Tari, cepat ke sini."Berlari Mentar
"Saya benar-benar minta maaf, Bu Wita." Mentari tertunduk takut dengan tangan saling tergenggam."Bukan salah, kamu, Tari. Harusnya saya memeriksa materi presentasi kamu dulu. Terlalu cepat saya mempercayai kamu, padahal baru dua minggu kamu di sini."Bu Wita tidak menatap Mentari, dia sedang memandangi monitor lebarnya. Baru saja dia keluar dari ruang bos setelah mendapat teguran keras. Meskipun pintunya tertutup, namun suara bos terdengar hingga keluar.Tiga puluh menit yang lalu, Mentari baru saja mempresentasikan hasil analisa keuangannya pada klien pertamanya. Awalnya dia merasa takut sekaligus bangga saat Bu Wita mengizinkannya presentasi tanpa memeriksa materinya. Dengan percaya diri dia menyampaikan presentasi, namun dipotong oleh klien yang berpendapat bahwa perencanaan awal yang dibuatnya keliru.Setelah Bu Wita menenangkan klien, Mentari melanjutkan presentasi. Malang bagi Mentari, klien semakin marah dengan isi presentasinya yang menurut klien tidak masuk akal. Solusi keua
Mata Mentari sembab keesokan harinya, ibu menyarankan untuk dikompres dengan es batu. Mematuhi saran ibu, Mentari meletakkan sebuah kubus es batu di atas masing-masing matanya."Bu, mataku mati rasa," ujar Mentari melemparkan es batu ke baskom cuci piring."Pakai mentimun lebih ampuh. Dijamin dalam sepuluh menit, sembabnya hilang," teriak Cahya dari kamar mandi.Sekali lagi Mentari mematuhi usul keluarganya. Setelah sepuluh menit, Mentari memandangi matanya di depan cermin. Tak ada yang berubah. Matanya masih bengkak seperti disengat tawon. Bagaimana dia ke kantor dengan penampilan seperti itu. Dia ingin menangis."Kalau Tante menangis lagi, nanti matanya makin bengkak seperti mata belalang. Hahaha..." Winar yang sedang sarapan meledeknya hingga nasi di mulutnya berhamburan."Winar, makanannya muncrat ke mana-mana. Makan yang benar!" tegur Cahya."Kamu ya, anak nakal. Tante cantik begini masa dibilang mirip belalang." Mentari menjewer telinga Winar pelan. Tawa Winar semakin pecah."Ma