“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya.
“B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! nggak ada pacar, nggak ada sahabat! Jangan tunjukkan muka kalian di depanku lagi!” Amaya membawa kakinya menjauh dari sana tetapi Rama menghalanginya. Salah satu tangan lelaki itu merentang, mencegah Amaya meninggalkannya begitu saja. “Babe, kasih aku kesempatan buat ngejelasin,” pintanya. “Nggak perlu!” tolaknya. “Minggir kamu!” “Aku dan Miranda cuma berteman.” Amaya tertawa miris mendengar itu. “Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bohongi, Ram,” katanya. “Jadi ini alasan kenapa sejak kemarin kamu nggak peduli denganku? Karena sibuk dengannya?” “Nggak, May,” sahut Miranda yang berdiri tak jauh dari bangku tempat semula ia duduk. “Aku 'kan sudah bilang kalau kemarin Rama lagi sakit?” “Dari mana kamu tahu kalau dia sakit? Kamu di rumahnya seharian? Aah—“ Amaya tertawa sekali lagi. “Jadi kamu bohong saat kemarin bilang kalu Rama lagi bikin tugas?” “May—“ “Dasar pengkhianat!” “Aku kemarin memang sakit, May,” sahut Rama. Yang entah mengapa di telinga Amaya itu terdengar sangat kentara sekali bohongnya. “Otakmu itu yang sakit!” Amaya yang geram memukul Rama dengan paper bag berisi toast yang ia bawa, membuat benda itu tersangkut di kepalanya dengan keadaan saus dan filling-nya yang berantakan. Meski hatinya sangat sakit hingga rasanya tercabik-cabik, Ia menahan diri untuk tidak menangis di depan manusia yang ia percaya tetapi tak lebih dari keparat itu! Langkahnya terasa gontai saat Amaya meninggalkan sekitaran lapangan. Ia bergegas menuju ke kelas yang harus ia hadiri pagi ini. Semakin dekat dengan ruang tujuannya, dadanya semakin sesak. Tangannya terasa kebas saat ia membuka pintu kelas. Tiba-tiba ... kakinya terpancang di lantai. Itu bukan tanpa sebab, karena ia melihat seorang pria yang sudah berdiri di depan para mahasiswa, bersiap memulai materi di dalam sana, Kelvin. Saking rindunya dengan Rama, Amaya sampai lupa bahwa ia harus bertatap muka dengan dosen ekonometrikanya pagi ini yang tak lain adalah suami sirinya, Kelvin! “Kamu hanya akan berdiri di sana?” tanya Kelvin saat Amaya termangu di ambang pintu sementara semua pasang mata mahasiswa di dalam menyaksikan kedatangannya. Amaya menunduk di depan Kelvin, menggigit bibirnya sebelum mengatakan, “Maaf saya terlambat, Pak.” “Masuk!” “Terima kasih.” Amaya bergegas, ia mengambil duduk di kursi paling belakang agar jarak pandangnya dengan Kelvin tidak begitu dekat. Agar pria itu tak tahu ia sedang berusaha menahan tangis. Ia menunduk dalam, dengan benak yang penuh dengan gejolak. ‘Kenapa mereka selingkuh?’ batinya kacau. Apa ini karena ia membiarkan Miranda juga berteman dengan Rama sehingga dirinya kecolongan? ‘Sial!’ Niat hati ingin mengadu pada Rama soal rindu dan kondisi ayahnya, tapi ia malah disuguhi perselingkuhan! ‘Sejak kapan mereka—‘ “Amaya Madira,” panggil bariton dari arah depan yang membuat Amaya mengangkat wajahnya dengan cepat saat tahu bahwa yang menyebut namanya adalah Kelvin. “I-iya, Pak?” tanggapnya gugup. “Apakah kamu bisa memahami poin nomor tiga yang saya sampaikan?” Pupilnya bergerak gugup memandang interactive whiteboard yang ada di depan. Jawaban dari pertanyaan Kelvin adalah ‘tidak,’ ia tak tahu sama sekali, tidak ada yang masuk di kepalanya, semua kacau balau! “M-maaf, saya k-kurang berkonsentrasi, Pak Kelvin.” “Sepertinya lamunan kamu lebih menarik daripada materi yang saya sampaikan?” “Maaf,” ujar Amaya. “Kalau kamu seperti itu terus, saya akan meminta kamu untuk meninggalkan kelas saya sekarang juga.” Datar, tak memiliki emosi, yang justru seperti menaburi garam pada luka Amaya yang menganga lebar. “Baik, saya tidak akan mengulanginya,” jawabnya singkat, menegakkan punggungnya sementara Kelvin mempersilahkan salah seorang mahasiswa yang duduk di depan untuk melanjutkan bertanya. Wajahnya yang tak mengalami banyak perubahan ekspresi menjadi pemandangan untuk Amaya hingga semua mahasiswa membubarkan diri setelah kelas usai. Ia pun juga pergi dari sana, berjalan ke sembarang arah, yang penting menghindari kerumunan agar tak ada yang tahu seandainya ia menangis sewaktu-waktu. Beberapa pesan masuk di ponselnya, datang bertubi-tubi dari Rama dan Miranda, yang tentu saja ia abaikan. Langkahnya semakin cepat meninggalkan kampus. Ia berjalan di sepanjang pedestrian dengan maksud agar saat kakinya lelah maka ia bisa melupakan perselingkuhan pacar dan sahabatnya itu. Dan seolah mendukung suasana hatinya, hujan turun saat Amaya belum sempat berteduh. Akhirnya air matanya luruh. Ia menangis sepanjang jalan, bibirnya tertekuk, seperti orang bo— “Bodohnya ….” Amaya menoleh pada asal suara ejekan itu. Di samping kanannya, ia melihat Kelvin yang memunculkan kepalanya dari jendela mobil yang sedang ia kendarai. “Apa yang kamu lakukan, Amaya?” tanyanya tak bisa menyembunyikan rasa kesal. Nada bicaranya hampir sama seperti saat ia menegurnya di dalam kelas tadi. Amaya tak menjawab, ia hanya menunduk dan ingin abai pada Kelvin tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Bibirnya seperti ember bocor yang terbuka dan mengatakan, “Dia selingkuh.” “Ya?!” Kelvin kebingungan. “Siapa yang kamu bicarakan?” “Cowok kerempeng yang Pak Kelvin bilang kemarin itu,” jawab Amaya hampir berteriak. Amaya tak tahu ada apa dengan raut wajah Kelvin itu, tapi sesaat ia mendapati senyum samar dan lesung pipinya selama kurang dari dua detik sebelum menghilang. Amaya melihatnya keluar dari mobil dan membuka payung, membuat mereka kini berdiri di bawah naungan payung hitam yang sama saat Kelvin memintanya agar masuk ke dalam mobil. “Masuklah!” titahnya. “Kalau kamu basah begini dan pergi ke rumah sakit nanti papamu pasti tanya macam-macam pada saya lalu—“ “Mereka berciuman,” kata Amaya sebelum Kelvin selesai bicara. “Saya belum pernah berciuman sama Rama selama kami pacaran tapi dia sudah berciuman dengan Miranda,” isaknya, tersedu-sedu. Kelvin sekilas membuang mukanya teriring kedua bahunya yang jatuh. Gerak tubuhnya seolah bicara bahwa ia tahu apa penyebab Amaya melamun di kelasnya sejak pagi. “Baguslah,” tanggap Kelvin kemudian. “Apa yang kamu harapkan memangnya? Berciuman dengan lelaki yang nggak menjamin akan menjadi jodohmu di masa depan?” Mendengar itu membuat Amaya justru semakin tak bisa membendung air matanya. “Tapi—tapi ... kenapa harus dengan sahabat saya, Pak? Saya mencintai Rama ….” “Kamu dan anak-anak seusiamu itu masih labil, cinta kalian itu masih lompat ke sana ke mari, seperti monyet,” paparnya. “Bapak ngatain saya monyet?” “Perasaan kalian, Amaya!” tekan Kelvin. “Tapi kenapa saya harus memergoki mereka sedang berciuman? Harusnya—“ “Ini ke dua kalinya kamu membicarakan soal ciuman di depan saya,” potong Kelvin. “Kamu ingin saya mencium kamu juga?”“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m
“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau