Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya?
‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Amaya tahu betul ini adalah dosennya juga. Amaya membiarkannya sampai panggilan itu mati dengan sendirinya. Tepat saat itu terjadi, justru panggilan yang lain masuk. Kali ini nama kontaknya hanya satu huruf saja, ‘W’ dengan nomor yang tak asing. Nomor ponselnya sendiri. Amaya pikir ... sepertinya Kelvin juga telah menyadari bahwa ponsel yang ia bawa adalah miliknya dan menghubunginya. Tapi ada apa dengan nama kontak yang ia sematkan itu? W? W apa? Wolverine? Waffle? Atau bahkan mungkin ... Wewe gombel? Kurang ajar jika memang Kelvin menganggap dirinya sebagai makhluk jadi-jadian! “H-halo,” sambut Amaya begitu panggilan mereka terhubung. “Temui saya di dekat lapangan futsal sekarang, bawa ponsel saya juga!” titah Kelvin dari seberang sana. Hanya satu kalimat itu saja sebelum pria itu memutus panggilan mereka dan membuat Amaya frustrasi. ‘Kenapa harus lapangan futsal sih?’ batinnya kesal. Selain jauhnya setengah mati, itu adalah tempat yang memberinya kenangan buruk karena pernah memergoki Rama dan Miranda berciuman di sana. “Aku pergi sebentar, Lin,” pamit Amaya pada Alin yang kedua alisnya terangkat dengan bingung. “Ke mana?” tanya gadis itu keheranan. “Ada urusan sebentar,” jawab Amaya sekenanya, kemudian membawa kakinya untuk berlari meninggalkan bangku tempat ia duduk. Ia menuju ke lapangan futsal, tempat yang disebutkan oleh Kelvin agar ia datang dan menukar ponsel mereka di sana. Tak ingin pria itu mengomel karena Amaya—yang jelas bersalah dalam hal ini—datang terlambat, ia pun berlari sekuat tenaga, mengabaikan pandangan para mahasiswa yang pasti menganggapnya tengah mereka ulang adegan kejar-kejaran pada film Bollywood. “Pak Kelvin,” panggil Amaya pada Kelvin yang sepertinya juga baru sampai di sana. Amaya buru-buru menyerahkan ponsel yang ia bawa pada si empunya, begitu juga dengan Kelvin yang melakukan hal yang sama. “Hati-hatilah lain kali,” ingatkan Kelvin pada Amaya yang masih sibuk mengatur napas. “Kita bisa ketahuan karena kecerobohanmu, Amaya!” “Namanya juga nggak sengaja, Pak ....” elaknya. Kelvin tak mempedulikannya, ia berjalan pergi tetapi Amaya membuatnya berhenti saat ia yang penasaran bertanya, “Bagaimana cara Pak Kelvin membuka pin HP saya?” selidiknya curiga. “Ini privasi loh! Rahasia! Pak Kelvin harusnya nggak boleh—“ “Rahasia macam apa yang pinnya angka satu sampai delapan?” potong Kelvin saat pria itu memutar kepala padanya. Bibir Amaya terbuka, tapi tak ada kata yang keluar dari sana. Rasa malu seperti sedang sangat percaya diri menari-nari di hadapannya begitu Kelvin membongkar pin yang ia pakai. “I-i-itu—” Amaya terbata-bata menata pembelaan. “I-itu karena saya gampang lupa, jadi saya kasih pin angka satu sampai delapan.” “Masih muda tapi otaknya jompo.” “Apa?!” Kelvin tak menjawab, ia pergi begitu saja. Tak ingin mendengar celotehan Amaya yang sudah ingin melayangkan pertanyaan susulan perihal mengapa kontaknya disimpan dengan nama ‘W’ olehnya. ‘Nanti saja aku tanya,’ batin Amaya. Penasaran dengan arti ‘W’ di ponsel pria itu. Ia berjalan mengekor di belakang Kelvin dengan tetap menjaga jarak. Saat di tikungan, sesuatu yang tak terduga terjadi. Mereka berpapasan dengan Rama. Lelaki itu berhenti dari langkahnya dan menunduk dengan sopan di hadapan Kelvin yang sekilas melirik bergantian padanya dan pada Amaya yang ada di belakangnya. Dari raut wajah mantan pacarnya itu, Amaya tahu ada banyak pertanyaan di kepalanya yang dilanda oleh keingintahuan, mengapa dirinya dan Kelvin berduaan di dekat lapangan futsal? “S-selamat pagi, Pak Kelvin,” sapa Rama. “Pagi,” Kelvin menjawabnya singkat sebelum melanjutkan langkahnya, meninggalkan Amaya dan Rama di sana, berdiri saling berhadapan. Tak ada yang bicara, Amaya hanya mendorong kasar napasnya. Sama sekali tak memiliki niat untuknya membangun percakapan dengan lelaki pengkhianat ini. Saat langkah kakinya mengayun pergi, Amaya dibuat terkejut karena Rama meraih pergelangan tangannya. “May,” sebut Rama mengiba. “Maaf, aku pasti bikin kamu—” “Nggak usah ngomong!” potong Amaya tak ingin mendengarnya. “Aku nggak akan percaya sama yang akan kamu—” “Aku masih sayang sama kamu, Amaya.” ….othor harap ini bisa menghibur dengan kerandoman Amaya dan mulut judesnya Kelvin 😂😂 sampai jumpa besok lagi ya 🙂↕️
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau
“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m
“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s