“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan.
“Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada seseorang yang bisa melarangnya selama ia hidup. Ia meremas jemarinya yang ada di atas paha saat Kelvin kembali mengatakan, “Banyak tokoh wanita di dunia ini yang bekerja keras untuk membuat martabat kaum kalian terangkat,” katanya. “Jadi jangan merendahkan diri untuk lelaki yang jelas-jelas kamu tahu dia bukan lelaki yang baik.” Tenang, suaranya memenuhi setiap sudut tempat hingga menyelinap masuk di dalam hati Amaya yang membuatnya bereaksi dengan cepat meletakkan salah satu tangannya di depan dadanya, melindungi bagian depan tubuhnya. Sementara tangannya yang lain menarik rok pendek yang mengumbar sebagian kakinya. “Baiklah,” kata Amaya, lirih tetapi sepertinya Kelvin mendengarnya sebab pria itu menoleh kepadanya. “Saya akan mengganti pakaian ini,” putusnya. Amaya keluar lebih dulu dari dalam sedan itu, sementara Kelvin menyusul di belakangnya. Saat mereka masuk ke dalam, Amaya meminta dress yang sekiranya lebih sopan pada staf yang ada di toko. Baju yang sekiranya tidak seperti ondel-ondel jadi-jadian yang melecehkan mata Kelvin. Berdiri di dalam ruang ganti dan menghadap cermin besar yang ada di sana, kedua bahu Amaya jatuh penuh sesal. “Kelvin benar,” gumamnya. “Apa yang sedang aku pakai ini? Aku mau jadi Harley Quinn pacarnya si Joker?” Entah apa yang terlintas di benaknya dengan memilih padu padan baju yang menyakiti mata itu untuk pergi ke kampus. Balas dendam dia bilang? Konyol sekali .... Tak berapa lama, setelah memilih beberapa pakaian yang dibawakan oleh staf, Amaya keluar dengan dress di bawah lutut. Warna biru yang terkesan lembut, dengan lengannya yang panjang dan kerah yang memiliki pita. “Kalau ini, bagaimana?” tanyanya pada Kelvin yang duduk menunggunya di sofa tak jauh dari ruang ganti Pria itu mengangguk dengan mata yang terpejam puas meski bibirnya tak bicara. Samar Amaya menjumpai lesung pipinya yang tampak sebelum ia bangun dan berujar, “Saya yang akan bayar,” katanya. “Ayo cepat, saya ada kelas pagi ini.” “Pak Kelvin—” Amaya mencegahnya pergi begitu saja. “Hm?” Kelvin menoleh padanya yang tersenyum aneh saat menunjukkan keranjang yang ia bawa. “Saya juga mau semua ini,” ucapnya. “Bapak yang akan bayar juga, ‘kan?” “Kamu—” Kelvin mendengus, menunjuk Amaya dengan kesal. “Kamu mau menguras uang saya?” “Loh? Bukannya Bapak tadi yang bilang kalau baik buruknya saya tergantung sama Anda?” tanya Amaya balik. “Kalau Bapak nggak mau saya pakai baju ondel-ondel style lagi, bukankah harusnya semua ini dibayar?” “Itu—” “Bapak ‘kan suami saya? Pelit amat sama istri sendiri, Pak ....” Kelvin memejamkan matanya, sepertinya pria itu sedang menyatukan dirinya dengan alam agar energi buruknya menguap. “Ya sudah,” putus Kelvin. “Bawa ke kasir.” “Terima kasih,” jawab Amaya dengan gegas sebelum Kelvin berubah pikiran. Tidak ada yang bicara setelah keduanya kembali ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanan ke kampus. Serta ... seperti janji Kelvin sebelumnya yang akan menurunkan Amaya sedikit agak jauh dari kawasan kampus, pria itu menepatinya. Amaya berjalan lebih santai, kelasnya sedikit agak siang sehingga ia tak perlu tergesa-gesa. Tiba di sana, ia melihat teman yang dulu satu SMA dengannya melambaikan tangan saat mereka bertemu tak jauh dari gerbang. “May,” panggilnya. “Hai, Alin,” balas Amaya. “Aku dengar dari anak-anak,” katanya pertama-tama. “Turut berduka cita untuk perginya Om Athan.” “Terima kasih.” “Aku nggak sempat datang buat melayat karena ibuku juga lagi opname.” Amaya mengangguk tak keberatan, “Nggak apa-apa, Lin,” ucapnya. “Bagaimana keadaan beliau sekarang?” “Sudah dibawa pulang kok.” Mereka berjalan berdampingan untuk masuk, kebetulan memang akan pergi ke satu ruangan yang sama. “Kamu cantik sekali pagi ini,” puji Alin. “Bagus akhirnya kamu tahu kalau cowok itu nggak baik,” lanjutnya. Amaya berdeham, tahu betul yang sedang dikatakan oleh Alin dengan 'cowok itu' adalah Rama. “Apa anak-anak sudah tahu kalau dia selingkuh sama si Miranda?” tanya Amaya. Alin mengangguk, “Iya, May,” jawabnya. “Mereka sudah dekat sejak lama loh, tapi ... kami semua nggak berani kasih tahu kamu.” “Kenapa?” “Karena kamu pasti memilih buat ribut sama mahasiswa lain kalau ada yang ngomong jelek soal si Rama atau Miranda.” Amaya menghela napasnya, menyesal mengapa selama ini ia memberikan kepercayaan yang besar pada mereka jika akhirnya dirinyalah yang terluka. “Bukan bermaksud bikin kamu kesel, May, tapi ... anak-anak bilang kalau mereka lihat Rama sama Miranda berdua staycation di hotel, sehari sebelum Om Athan meninggal.” Kalimat Alin membuat Amaya tertegun selama beberapa detik. Bukankah ... ia tak perlu menanyakan apa yang terjadi pada dua manusia itu? Saat ia cemas dihadapkan pada kondisi ayahnya, saat ia membutuhkan dukungan, saat ia cemas karena tak mendapat kabar dan dirundung rindu semalam ... mereka malah main kuda-kudaan! Keparat! Amaya tidak akan melupakan pengkhianatan mereka itu, selamanya! Ia menunduk meraba ponselnya yang ada di dalam tas. Bersama dengan Alin duduk di bangku yang tak jauh dari kelas yang akan mereka hadiri. ‘Aku blokir saja dua orang itu,’ putusnya. Kalimat maaf dan sesal yang mereka sampaikan itu hanyalah kepalsuan. Omong kosong! Tapi saat Amaya meraih ponselnya, ia terkejut dan segera mengembalikannya ke dalam tas. Matanya bergerak gugup saat ia menyadari bahwa ponsel yang ia bawa itu bukanlah ponsel miliknya. ‘Ini punya Kelvin.’ ….akak semua ... othor update 1 dulu ya sementara ini ☺️ jangan lupa tinggalkan komentar dan ulasan buat Kelvin Amaya 😹 terima kasih... sampai jumpa besok pukul 12.30 WIB || spoiler di 1nst4gram @almiftiafay. TYSM ILYTTMAB 🩷❤️🤗
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau
“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m