halooo akak-akak 🤗 terima kasih sudah membaca ya 🤗
“I-i-itu—” Amaya bingung menjawab ibu mertuanya. Jika ia tahu akan ada kunjungan mendadak seperti ini, Amaya pasti akan mempersiapkan jawaban. “Kenapa kamu dan Kelvin pisah kamar, Sayang?” tanya Riana sekali lagi, yang membuat Amaya tertunduk. Otaknya sedang bekerja keras agar ia dan Kelvin tak dicurigai bahwa yang mereka lakukan ini hanyalah sebatas pernikahan terpaksa—demi menyenangkan orang tua. ‘Kami akan tamat,’ batin Amaya. Rajendra dan Riana pasti akan kecewa karena ia dan Kelvin tak pernah hidup sebagai selayaknya suami dan istri pada umumnya. Di saat kritis yang nyaris saja mencekik lehernya, sebuah suara datang dari antah berantah menjawab, “Aku yang minta, Mam.” Amaya dan Riana menoleh ke arah pintu ruang makan. Seorang pria dengan kaos berkerah berlogo kampus di dadanya masuk di waktu krusial dan memberi ketegangan ekstra. Kelvin. “Aku yang minta Amaya untuk tidur di bawah sementara waktu,” lanjutnya seraya berhenti di samping sang ayah. “Kenapa kamu meminta i
"Kenapa tiba-tiba mau menginap?" tanya Kelvin saat Amaya masih terpaku di samping kanannya. "Apa nggak boleh kami menginap di sini?" tanya Rajendra balik. "Kami hanya ingin memastikan Amaya hidup dengan baik setelah Pak Athan pergi." "S-s-saya baik-baik saja kok, Pa," sahut Amaya. Berharap setelah mendengar ini ayah dan ibu mertuanya itu memilih pergi saja. Ia tak bermaksud mengusir beliau berdua, hanya saja ... ia tak siap jika gerak dan aktivitasnya dilihat dan diperhatikan. "Baguslah kalau baik." Riana menyahut seraya tersenyum, mendekat dan mengusap pipi Amaya dengan ibu jarinya yang lembut. "Memang sudah menjadi hak setiap istri untuk diperlakukan dengan baik oleh suaminya," lanjutnya. "Kelvin memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?" Amaya melirik Kelvin yang rupanya juga sama mencuri pandang lewat sudut matanya. 'BAIK TAPI MULUTNYA NGGAK SAMA SEKALI!' jerit Amaya dalam hati. 'Mulut Kelvin itu lebih pedas daripada habanero!' "Apakah saya memperlakukan kamu dengan bai
"Kamu hanya mendengar gosip yang belum tentu dipertanggungjawabkan kebenarannya." Suaranya yang dalam kembali terdengar saat Amaya menahan dada Kelvin dengan cepat. Senyumnya terkembang dengan ambigu tepat di depan matanya. Hidung mereka yang hampir bersentuhan, mengundang benaknya berkecamuk semakin hebat, 'A-apa dia ingin bilang kalau gosip itu salah?' tanya Amaya dalam hati. Jika itu tak benar, artinya Kelvin adalah seorang pria normal?! Pupil Amaya bergerak gugup, yang sangat jauh berbeda dengan sepasang mata Kelvin yang tenang. "Bagaimana sekarang?" tanya Kelvin lagi. "Apakah kamu masih memiliki keinginan agar lampu di kamar ini dimatikan?" "T-tidak," jawab Amaya dengan cepat. "S-saya b-bisa tidur dengan lampu menyala. Nggak perlu dimatikan!" "Bagus, karena dengan begitu kamu juga bisa melihat performa saya dengan jelas dan—" "Pak Kelvin!" seru Amaya, menyadari adanya peringatan tanda bahaya dari berubahnya arah percakapan mereka. "S-s-s—" "Kenapa kamu mendesis seperti
Amaya gemetar di tempatnya duduk, matanya bergerak gugup memandang Kelvin yang hanya menunjukkan seulas senyum saat seorang mahasiswa yang baru saja lewat di belakangnya mengatakan, 'Tidurmu ngorok semalam!' "Sssht! Ada Pak Kelvin," tegur mahasiswa yang berjalan di sebelah mahasiswa pertama. Amaya melirik dua teman lelakinya yang menunduk di samping Kelvin sebelum melanjutkan langkah mereka. Hampir saja Amaya berpikir Kelvin yang mengatakan soal 'tidur ngorok' itu karena suara mereka terdengar mirip. "B-Bapak a-ada perlu?" tanya Amaya, karena memang ia lah yang berada paling dekat dengan Kelvin. Pria itu mengangguk, "Kebetulan lewat dan melihat kalian," jawabnya. "Saya sudah memanggil beberapa ketua kelompok lain sebelumnya untuk berdiskusi soal presentasi agar materi yang kalian sampaikan bisa diterima dengan baik," lanjutnya. "Jadi saya juga ingin berdiskusi dengan ketua kelompok kalian juga. Siapa?" tanyanya, sekilas menyapukan pandang pada Amaya dan keempat temannya. "S-saya,
'Drama inap-menginap masih belum selesai,' gumam Amaya sekeluarnya ia dari ruang dosen. Langkahnya terasa berat, kepalanya berpikir keras apa yang harus ia lakukan nanti malam karena jelas ia dan Kelvin akan kembali satu kamar. Meski yang semalam berakhir dengan tak terjadi apapun ... Amaya tak akan lupa bahwa bibirnya pernah mengatakan 'Saya akan lakukan apapun yang Bapak mau' yang artinya ia masih memiliki hutang pada pria itu. Mengingat yang sebelumnya Kelvin yang secara tak kentara sebenarnya ingin menyebut bahwa ia adalah pria normal, Amaya khawatir akan satu hal, "Bagaimana kalau dia menagih kalimatku saat itu untuk ...." 'Saya tagih janjimu, Amaya. Layani saya malam ini.' Bayangan seandainya Kelvin mengatakan hal itu datang dari antah berantah menghantuinya. Amaya menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya. Tapi sedetik kemudian ia menampar pipinya. "Sadar, May!" hardiknya pada diri sendiri. Daripada memikirkan itu, sebaiknya ia mengambil langkah antisipatif. 'Apa
"Mama tadi bilang mau kasih kamu hadiah, apa isinya?" tanya Kelvin dari belakang Amaya yang masih menghadap pintu. Yang membuat Amaya semakin panik dan memasukan kembali pakaian berbahan minim itu ke dalam paper bag. "S-sebaiknya Pak Kelvin nggak perlu tahu," jawab Amaya seraya memutar badannya sehingga mereka berhadapan. "Kenapa saya nggak boleh tahu?" tanya Kelvin lagi. Matanya jatuh pada paper bag yang dipeluk erat oleh Amaya. Satu langkahnya membuat Amaya menyisih agar mereka tetap memiliki jarak. "Kalau saya bilang sebaiknya Bapak nggak usah tahu tuh ya udah, jangan penasaran!" tegur Amaya seraya berjalan meninggalkan Kelvin. "Kepo!" lanjutnya sembari sekilas menoleh ke belakang dan menyimpan paper bag itu di dalam ranselnya yang berisi pakaian. "Baiklah," jawab Kelvin. "Kamu nggak perlu semarah itu juga, 'kan?" "Soalnya kalau sampai Pak Kelvin tahu nanti Anda bakalan ngatain saya sengaja godain Bapak karena—" Amaya berhenti bicara. Ia memejamkan matanya dengan kesal. Buk
“Kembalikan!” seru Amaya seraya berlari menghampiri Kelvin. Tangannya terarah ke depan, bermaksud mengambil benda itu tetapi tak bisa ia lakukan begitu saja sebab Kelvin mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Posturnya yang setinggi tiang tentu saja tidak bisa digapai Amaya sekalipun ia berjinjit. Ia hanya berdiri setinggi dada Kelvin yang malah antusias membuka isinya seraya berujar, “Isi berapa ini, Amaya?” tanyanya. “Tiga? Lima? Kamu ingin melakukan sebanyak itu dengan saya?” “KEMBALIKAN!” teriak Amaya yang masih bersikeras menggapainya. “Saya tuh beli itu karena Kak Gafi titip!” lanjutnya, mengatakan apapun agar Kelvin mengembalikan kotak berwarna merah pembawa sial itu padanya. Amaya menyesal kenapa ia benar-benar membeli benda itu tadi. Kenapa kakinya berjalan pergi meninggalkan rumah setelah diantar pulang Gafi dan berhenti di minimarket dan dengan beraninya mengambil dan membayarnya di kasir? “Aah, kalau begitu akan saya berikan ke Kak Gafi,” kata Kelvin, langkah kaki panjan
“Aku juga lihat kayaknya itu kamu deh yang keluar dari mobilnya Pak Kelvin kapan hari?” sambung suara lainnya yang membuat keringat dingin menetes di punggung Amaya. “Kalian berhenti di depan tempat foto copy. Bener, ‘kan?”Amaya menelan ludahnya dengan kasar saat menyapukan pandang pada semua pasang mata yang sedang menatap dan menunggu jawabannya.Ketegangan ini ... pertama-tama harus ia cairkan lebih dulu.Ia tertawa meski tak yakin teman-temannya ini akan terkesan. "Mana mungkin aku dekat sama Pak Kelvin?" tanya Amaya setelah tawanya selesai. "Iya aku memang kasih HP-nya Pak Kelvin," jawabnya, menata alasan agar semua orang percaya padanya."Kok bisa?" tanya Alin, teman Amaya yang duduk di sebelahnya."Ada bapak-bapak, beliau bilang sopirnya Pak Kelvin dan HP-nya ketinggalan di mobil," jawab Amaya yang tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. "Terus pas aku baru datang Bapak itu titip biar aku kasih ke Pak Kelvin. Dan ada yang lihat katanya Pak Kelvin di dekat lapangan futsal, ma
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba.Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin.Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia.Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh.Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang.Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari masing-
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya.Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja.“Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya.“Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya.“Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur.Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya.Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat."Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini."Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh.Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebelum kompa
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi
Rajendra dengan cepat bangun karena Riana sudah mendekat ke arahnya dan dilihat dari tangannya itu, sepertinya ia akan mencubit Rajendra. Yang telah mengubah suasana yang harusnya haru karena Kelvin dan Amaya membawa kabar baik menjadi lawak. "Kebiasaan kalau ada orang seneng selalu ngerusak momen!" kata Riana, hampir berseru pada Rajendra yang berlindung di balik sofa. Melihat itu ... sepertinya Amaya tahu ingin menjadi seperti apa ia di masa yang akan datang. Seperti Rajendra dan Riana yang awet muda dengan interaksi mereka. "Ya ngomong apa emangnya loh?!" tanya Rajendra, memandang istri, anak lelaki dan menantunya bergantian. "Bukannya Kelvin nawarin cucur?" "Cucu, Pa!" jawab Riana. "Mereka mau bilang kalau kita bakalan punya cucu!" Kedua mata Rajendra melebar dengan bibirnya yang terbuka tanpa kata. Untuk beberapa saat beliau terus seperti itu hingga anggukan Kelvin dijumpainya dan ia akhirnya bersuara. "Papa nggak tahu harus ngomong apa," ucapnya. "Congrats, Vin. Kamu jug
Seperti yang mereka rencanakan semalam, sepulang dari kampus, Amaya pergi bersama dengan Kelvin ke rumah sakit. Mereka melakukan pendaftaran lebih dulu dan menuju ke ruang pemeriksaan ibu hamil. Amaya duduk di kursi tunggu, berdiam diri tanpa mengatakan apapun dan itu membuat Kelvin yang ada di sebelah kanannya menyentuh tangan Amaya dan membuat jemari mereka saling mengait. "Kok diam aja?" tanyanya. "Kenapa, Sayang?" "Nggak apa-apa, Mas Vin, cuma gugup aja." Kelvin tersenyum mendengarnya, mengguncang lirih tangan Amaya sembari mendekatkan wajahnya untuk berbisik, "Sama, aku juga gugup." Amaya memandang Kelvin setelah matanya mengedar pada semua orang yang ada di sana dan duduk untuk menunggu nomor antrian. "Kayaknya kita dikira pasangan yang nggak bener deh." Amaya menyenggol lengan Kelvin yang kedua alisnya terangkat penuh kebingungan. "Nggak bener kenapa, Sayang? Cuma perasaan kamu mungkin ...." "Hm, semoga aja begitu. Takut aja dikira pasangan kumpul kebo soalnya dari pasi
Amaya mengatakannya setelah ia memastikan bahwa hasil yang ditunjukkan oleh test pack yang ada di tangannya itu adalah benar bergaris dua. Ia menunduk, menggigit bibir saat meremas ujung test pack itu erat-erat. Air matanya hampir luruh sebab Kelvin hanya berdiam diri saat ia mengaku hamil. Ekspresinya seperti ... entahlah. Ia hanya diam saja tanpa mengatakan satu kalimat pun. Jangankan kalimat ... sepatah kata pun tak ada sama sekali. Bagaimana jika sudah begini? Bukannya Kelvin yang mau mereka memiliki anak? Kenapa dia hanya diam saja? Pikiran Amaya berkecamuk. "Kamu baru tahu?" tanya Kelvin setelah keheningan yang cukup lama. Amaya mengangguk, tak menunjukkan wajahnya pada Kelvin saat pria itu selangkah mendekat mengikis sekian meter yang semula memisahkan mereka. "Sayang?" panggil Kelvin pada Amaya yang menghindari tatapan matanya. Kelvin menunduk, menyentuh dagu Amaya sehingga ia menengadah dan ia dibuat terkejut melihatnya. "Loh? Kok nangis kenapa?" tanya Kelvin seray
Karena merasa pusing, Amaya lebih dulu masuk ke dalam kamar. Ia berpamitan pada Kelvin dan orang tuanya yang masih berbincang di ruang tengah, biasanya mereka akan pulang sekitar jam delapan atau setengah sembilan—mungkin bisa lebih. Rajendra biasanya akan membicarakan beberapa hal dengan Kelvin soal bisnis mereka. Dan ... Amaya tidak bisa menunggu selama itu. Setelah makan rasanya ia sedikit pening sehingga harus duduk di tempat yang lebih tenang, di dalam kamar misalkan. Ia baru saja berganti pakaian dan menggosok gigi, mencuci muka dan hendak keluar dari kamar mandi. Tapi langkahnya terhenti saat benaknya mengatakan agar sebaiknya ia membuka laci yang ada di bawah wastafel itu. 'Lihat nggak ya?' tanyanya pada diri sendiri. 'Hm ....' Ini tentang yang tadi sempat ia pikirkan di ruang makan. Tentang dirinya yang berdiam diri dan alasan kenapa ia tiba-tiba mual. Gejala yang sama yang dialami oleh mendiang ibunya dulu. 'Kalau dari tanggal biasanya aku harusnya datang bulan, e