sampai jumpa besok lagi untuk bab yang lebih bikin perut sakit karena tingkah random Amaya dan Kelvin 😹 see yaaaaa
"Mama tadi bilang mau kasih kamu hadiah, apa isinya?" tanya Kelvin dari belakang Amaya yang masih menghadap pintu. Yang membuat Amaya semakin panik dan memasukan kembali pakaian berbahan minim itu ke dalam paper bag. "S-sebaiknya Pak Kelvin nggak perlu tahu," jawab Amaya seraya memutar badannya sehingga mereka berhadapan. "Kenapa saya nggak boleh tahu?" tanya Kelvin lagi. Matanya jatuh pada paper bag yang dipeluk erat oleh Amaya. Satu langkahnya membuat Amaya menyisih agar mereka tetap memiliki jarak. "Kalau saya bilang sebaiknya Bapak nggak usah tahu tuh ya udah, jangan penasaran!" tegur Amaya seraya berjalan meninggalkan Kelvin. "Kepo!" lanjutnya sembari sekilas menoleh ke belakang dan menyimpan paper bag itu di dalam ranselnya yang berisi pakaian. "Baiklah," jawab Kelvin. "Kamu nggak perlu semarah itu juga, 'kan?" "Soalnya kalau sampai Pak Kelvin tahu nanti Anda bakalan ngatain saya sengaja godain Bapak karena—" Amaya berhenti bicara. Ia memejamkan matanya dengan kesal. Buk
“Kembalikan!” seru Amaya seraya berlari menghampiri Kelvin. Tangannya terarah ke depan, bermaksud mengambil benda itu tetapi tak bisa ia lakukan begitu saja sebab Kelvin mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Posturnya yang setinggi tiang tentu saja tidak bisa digapai Amaya sekalipun ia berjinjit. Ia hanya berdiri setinggi dada Kelvin yang malah antusias membuka isinya seraya berujar, “Isi berapa ini, Amaya?” tanyanya. “Tiga? Lima? Kamu ingin melakukan sebanyak itu dengan saya?” “KEMBALIKAN!” teriak Amaya yang masih bersikeras menggapainya. “Saya tuh beli itu karena Kak Gafi titip!” lanjutnya, mengatakan apapun agar Kelvin mengembalikan kotak berwarna merah pembawa sial itu padanya. Amaya menyesal kenapa ia benar-benar membeli benda itu tadi. Kenapa kakinya berjalan pergi meninggalkan rumah setelah diantar pulang Gafi dan berhenti di minimarket dan dengan beraninya mengambil dan membayarnya di kasir? “Aah, kalau begitu akan saya berikan ke Kak Gafi,” kata Kelvin, langkah kaki panjan
“Aku juga lihat kayaknya itu kamu deh yang keluar dari mobilnya Pak Kelvin kapan hari?” sambung suara lainnya yang membuat keringat dingin menetes di punggung Amaya. “Kalian berhenti di depan tempat foto copy. Bener, ‘kan?”Amaya menelan ludahnya dengan kasar saat menyapukan pandang pada semua pasang mata yang sedang menatap dan menunggu jawabannya.Ketegangan ini ... pertama-tama harus ia cairkan lebih dulu.Ia tertawa meski tak yakin teman-temannya ini akan terkesan. "Mana mungkin aku dekat sama Pak Kelvin?" tanya Amaya setelah tawanya selesai. "Iya aku memang kasih HP-nya Pak Kelvin," jawabnya, menata alasan agar semua orang percaya padanya."Kok bisa?" tanya Alin, teman Amaya yang duduk di sebelahnya."Ada bapak-bapak, beliau bilang sopirnya Pak Kelvin dan HP-nya ketinggalan di mobil," jawab Amaya yang tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. "Terus pas aku baru datang Bapak itu titip biar aku kasih ke Pak Kelvin. Dan ada yang lihat katanya Pak Kelvin di dekat lapangan futsal, ma
‘Astaga!’ Amaya segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia baru sadar ini! Dirinya memang sedang tak memakai— “Tadi saya lepas pas mau rebahan, terus lupa pakai,” katanya sembari menoleh pada Kelvin yang sudah meninggalkannya cukup jauh, yang sepertinya pria itu juga tidak peduli dengan alasan yang ia sampaikan. Amaya melarikan diri dari ruang makan dan kembali ke dalam kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan menutup seluruh badannya dengan selimut. Ia berteriak malu, Kelvin pasti melihat dengan jelas— “AMAYA BODOH!” umpatnya pada diri sendiri, menendang-nendang selimutnya yang tak bersalah. Tahu sudah ia alasan Kelvin tak mau bertatap muka saat bicara dengannya sejak tadi. Sepasang matanya pasti menangkap ‘pemandangan’ tak biasa sejak kedatangannya, sehingga ia menjaga jarak. Amaya duduk dengan punggung tegak setelah mengumpati dirinya tanpa henti. Ia menatap kosong ke depan, abai pada rambutnya yang sudah seperti sarang burung setel
Mulutnya Kelvin beraksi kembali. Amaya bergumam kesal sepanjang jalan yang mengantarnya ke kelas pertama yang harus ia tuju pada pagi hari ini. Mengingat perdebatannya dengan Kelvin di dapur tadi, Amaya mulai merasa bahwa Kelvin memiliki banyak stok ejekan untuknya. 'Setelah kemarin dia membandingkan aku dengan Megalodon, pagi ini dia menyebutku pendek seperti kucing Munchkin.' "Kalau dia teman seumuranku, aku pasti akan mengajaknya ribut!" ucapnya seraya bersedekap. Kalimat itu rupanya didengar oleh orang lain karena suara seorang perempuan datang dari samping kanannya dan menyahut, "Siapa yang mau kamu ajak ribut, May?" Amaya menoleh pada kedatangan Alin, temannya itu tampak mengerutkan alis yang mengisyaratkan agar ia tidak membuat keributan. "Masih pagi, jangan bikin keributan," tegurnya. "Siapa yang bikin masalah sama kamu?" "Ada lah," jawab Amaya. "Pokoknya orang yang paling nyebelin yang pernah aku temui di dunia ini." "Mahasiswa sini?" "Bukan," jawab Amaya. "Bukan ma
"Iya, beliau adalah pembina," jawab Ziel, jelas dan terang di telinga Amaya. Amaya tak bisa bernapas untuk beberapa detik. Tubuhnya mematung, berdiri menyaksikan Ziel yang berjalan meninggalkannya dan menuju pada Kelvin yang sepertinya juga mengetahui keberadaannya di sini. Salah satu alis pria itu terlihat terangkat sebelah dari kejauhan. Tampak keheranan dan barangkali bertanya 'Apa yang kamu lakukan di sini, Amaya?' Amaya memalingkan wajahnya, ia menoleh pada seorang perempuan yang menyerukan agar anggota baru menemuinya di sudut ruangan untuk arahan singkat. Baru saat itulah Amaya mampu mengangkat kakinya yang sebelumnya bagai terpasak dengan bumi. "Saya akan bagikan seragam buat para pemula, silahkan dipakai di ruang ganti, habis ini kita pemanasan dulu," ucap perempuan kakak tingkat Amaya itu. Amaya dan beberapa orang lainnya menerima seragam. Mereka membubarkan diri sementara waktu untuk pergi ke ruang ganti. Dengan seorang mahasiswi yang juga merupakan anggota baru, Amay
Saat Amaya membuka mata, kepalanya masih terasa pusing meski tak seberat saat ia jatuh di ruang latihan taekwondo tadi.Ia memandang langit-langit ruangan yang ia yakini sebagai unit kesehatan kampus. Dan saat ia meraba tubuhnya, ia masih mengenakan seragam.'Memalukan sekali ....' gumamnya dalam hati lalu bangun dan melihat seorang perempuan yang duduk tak jauh darinya bergegas mendekat. Alin. Raut wajah temannya itu terlihat cemas menyaksikannya."May," sapanya lebih dulu. "Kamu sudah bangun?" "Apa pingsanku lama?" tanya Amaya, menelan rasa malu karena mengabaikan Alin yang sudah melarangnya agar tidak ikut UKM bela diri."Lumayanlah," jawabnya. "Aku sudah bilang biar kamu nggak ikut kegiatan itu loh!" tegurnya. "Tuh lihat! Baru juga pemanasan, udah pingsan aja kamu!""Sorry, Lin," tanggap Amaya. "Beban banget ya aku ini?""Bebannya sih nggak seberapa, cuma mungkin malunya yang agak berat."Alin menyerahkan satu botol minuman untuknya yang ia terima dan ia teguk hingga lebih dari
Sepertinya, karena melihat Amaya yang terlalu shock dengan ucapan Rama, Alin yang mendengarnya pun memutuskan untuk angkat bicara. "Rama anj—" "Lin!" panggil Amaya. "Heh, Rama! Jangan ngatain Amaya ini-itu ya! Jaga tuh mulut! Kalau nggak modal tuh ngaku aja ya bangs—" "Lin!" panggil Amaya sekali lagi. Mencegah Alin melanjutkan keributan karena ia merasa Rama memang sengaja melakukan hal itu untuk memprovokasinya. "Udah," kata Amaya. "Biarin aja." "Itu udah keterlaluan banget, May!" sahut Alin. "Kita juga tahu kalik gimana nggak modalnya tuh cowok sama sahabatmu yang sok cantik itu!" Jari telunjuk Alin mengarah pada kepergian Rama dan Miranda dengan geram. Amaya menghela napasnya. Ia menengadahkan wajah untuk mencegah agar air matanya tidak jatuh. Alin merangkul bahunya saat berbisik, "Jangan pikirin apa yang dibilang sama si mokondo itu," katanya. "Kami tahu kok kalau kamu baik. Tapi ya ... itu sih sayangnya ... agak bodoh dikit, karena bisa dimanfaatin sama mereka." Amaya me
“Mas Vin bercanda, ‘kan?” tanya Amaya dengan sepasang matanya yang membola.“Bercanda gimana, Sayang?” tanya Kelvin balik, ia bangun dari berbaringnya, diikuti oleh Amaya yang melakukan hal yang sama.“C-cincinnya aku taruh di meja makan?”Kelvin mengangguk dengan yakin, “Iya. Ini buktinya. Aku tadi ke ruang makan buat beresin sayur yang lupa aku balikin ke kulkas. Dan nemu cincin kamu di sana.”Bibir Amaya terbuka, bergerak tanpa suara, bingung harus mengatakan apa karena merasa dirinya sangat ... pelupa—atau mungkin lebih tepatnya pikun.‘Sebentar ....’ batinnya. Ia mengedipkan matanya lebih dari satu kali dan mencoba mengingatnya.Ia tadi mengenakan sarung tangannya di ruang makan karena sempat menghabiskan susu hangat yang dibuatkan Kelvin untuknya.Jadi ... ia meletakkan cincinnya di meja makan dan bukan di dalam padding?Amaya menutup mulutnya dengan sebelah tangan, menyadari ingatannya telah kembali ia temukan.Sejak sebelum berangkat ia tak mengenakan cincin itu!Ah ... astaga
Amaya tak bisa menahan air mata saat Kelvin merengkuh dan menarik dirinya ke dalam pelukannya sekali lagi. Ia berusaha menerima dan menurut apa kata Kelvin yang mengatakan bahwa mereka bisa membeli cicin pernikahan yang baru. Tetapi hatinya tidak iklas, ia tak menerima seandainya benar cincin itu menghilang dan mereka tak bisa kembali bersua. “Ayo kita pulang,” bisik Kelvin saat ia melepaskan Amaya dan menarik tangannya untuk pergi dari sana. PIpi Amaya rasanya membeku. Bekas air mata yang tersisa di pipinya seakan berubah menjadi kristal es yang membuat tubuhnya bergeligi. Setiap langkah yang ia ambil terasa sangat berat. Salju tebal yang menutupi daratan saat hari beranjak petang membuat dadanya berdebar setiap kali membayangkan bahwa cincin itu masih di sana, tertumpuk oleh salju dan tak akan pernah ditemukan. Tak ada yang bicara selain dirinya yang berulang kali terus menahan air mata, hingga mereka tiba di parkiran dan Kelvin membukakan pintu untuknya. “Kita pulang dulu,” uc
Saat Kelvin kembali dari kamar mandi dan hendak masuk ke dalam mobil tempat di mana Amaya menunggunya di sana, ia dibuat terkejut karena istri kecilnya itu tidak berada di sana. "Di mana dia?" tanyanya bingung. Pandangannya mengedar, sepasang matanya tertuju ke dalam kafe. Berpikir barangkali Amaya tengah berada di sana, kembali untuk membeli cokelat hangat agar bisa dibawa pulang. Kelvin mengayunkan kakinya untuk kembali ke kafe itu, tapi sejauh matanya memandang, Amaya tidak ia temukan. Merasa ada sesuatu yang tidak beres, ia kembali ke dalam mobil. Niat hati ingin menghubungi Amaya, tapi rasanya itu akan sia-sia karena ia malah menjumpai dua ponsel milik mereka ada di dalam sana. Kelvin merasa ini seperti deja vu, perasaannya tak tenang seperti saat ia kehilangan kontak dengan Amaya sebelum ia menemukannya tak sadarkan diri di dalam kamar mandi kampus tempo hari. Kecemasan itu membuatnya berpikir bahwa kali ini situasinya sama. Ia tak menemukan Amaya sebab ia pingsan di sua
Amaya merapatkan padding yang ia kenakan sekeluarnya ia dari ruang ganti Ski Mont Blanc Quebec, tempat di mana ia menghabiskan hari pertama bulan madunya bersama dengan Kelvin selama di Kanada. Jarak tempuh dari rumah Liana dan Danuarta yang mereka tempati menuju ke tempat ini hanya sekitar dua puluh menit dengan menggunakan mobil. Mereka tiba setelah lewat pukul satu siang dan menghabiskan waktu hingga hampir gelap. Amaya tadinya ragu jika Kelvin bisa tahu jalan untuk tiba di tempat ini. Tetapi ... bukankah tak perlu ada yang ia khawatirkan jika itu bersama dengan Kelvin? Prianya itu mengatakan sudah pernah ke tempat ini sebelumnya bersama dengan sepupunya—Devin anak dari Om dan tantenya itu—sehingga perjalanan terkendali tanpa hambatan. Amaya tak pandai berolahraga, ia hanya mengikuti instruksi Kelvin bagaimana caranya berdiri di atas dua papan ski yang diikat di kakinya. Awalnya memang sulit, tapi setelah beberapa kali percobaan—lengkap dengan kesabaran suaminya yang sebesar
Calista sedang berada di rumah Kaluna saat gadis itu diminta oleh ibunya membawakan kue ke sana.Kebetulannya, Arsha sedang ada di sana juga. Mereka yang duduk berdampingan itu menyambut kedatangannya dengan melambaikan tangan, mempersilahkan Calista masuk dan duduk di ruang tamu.“Kalian nggak pergi liburan?” tanya Calista setelah kue yang ia bawa diterima oleh seorang pembantu rumah tangga.“Besok sih rencananya,” jawab Kaluna terlebih dahulu. “Mau ikut kamu?”“Hm ....” Gadis itu memiringkan kepalanya sekilas ke kiri penuh dengan keraguan. “Kalau aku ikut bakalan jadi obat nyamuk kalian dong.”“Kita nggak cuma pergi berdua kok,” jawab Arsha lebih dulu. “Sama keluarga juga. Masih belum nikah mana boleh berdua-duaan begitu?”Calista mengangguk, mengerti akan maksudnya.“Kamu nggak ngajak temenmu itu, Kak Sha?”“Temen?” ulang Arsha yang disambut anggukan oleh Calista. “Temen yang mana—aah ... Kelvin maksudnya?”Calista mengangguk membenarkannya, “Iya, Kelvin.”“Dia ada kegiatan sendiri
Sebelum kepergian mereka ke Kanada, Gafi mengatakan bahwa ia akan menyusulnya nanti. Mungkin berselang tiga atau lima hari setelahnya karena Serena harus lebih dulu menyelesaikan jadwal yang sudah terlanjur ia sepakati. Tenang ... soal pinggangnya yang sakit tempo hari sekarang sudah baikan. Ia tak lagi berjalan terbungkuk-bungkuk seperti nenek moyang penyu saat Amaya dan Kelvin berpamitan padanya sebelum berangkat kala itu. Gafi sebenarnya juga mengajak Riana dan Rajendra, tapi ayahnya Kelvin itu menolak. Dengan jujur dan gamblang menyebut bahwa ia kurang suka dengan cuaca di Kanada sekarang. Musim dingin, ia mengatakan pasti akan membutuhkan berdus-dus kotak Tōlak Angin jika ia ikut anak-anak muda itu pergi ke sana nanti. Maka, hanya Gafi, Serena dan bocah kecil bernama Arsen yang berisik itu yang ikut. Tentu .. itu dengan peringatan dari Amaya agar Gafi tak perlu membawa kolor Patrick-nya yang sudah berlubang selebar piring makan itu. Amaya baru saja membuka matanya, merapat
Kanada, Kelvin mengatakan bahwa negara ini adalah tujuan nanti ia akan mengejar gelar PhD jika Amaya sudah selesai kuliah. Dan sebagai sebuah 'percobaan', pria itu mengajak Amaya ke sini dalam jangka waktu yang terbilang panjang selama libur akhir semester. Amaya pikir ... prianya itu pasti sudah menyiapkan ini dari lama. Sebagaimana yang Amaya tahu, Kelvin selalu bertindak hati-hati, dan terarah. Mengingat bagaimana ia selalu melakukan sesuatu dengan diam-diam tanpa sepengetahuan Amaya, bukankah mungkin saja kepergian mereka ini sudah jauh hari direncanakannya? Mereka tiba setelah penerbangan dari Jakarta di sebuah rumah yang disebutkan oleh Kelvin adalah milik pamannya, adik lelaki dari Rajendra yang memang tinggal di Kanada. "Akhirnya Kelvin ke sini," sambut wanita berambut sebahu saat Kelvin dan Amaya keluar dari taksi yang mengantar mereka mereka dari bandara. "Akhirnya Tante bisa lihat istrinya Kelvin juga," lanjutnya seraya merentangkan tangannya untuk memeluk Amaya. "Asta
"Kalau Pak Kelvin mau, saya tunggu nanti hari Sabtu," kata Ziel sekali lagi. "Nggak baik loh Pak kalau nolak ajakan orang lain tuh, apalagi itu bukan ajakan yang buruk, olahraga loh itu." Kelvin menghela dalam napasnya, ia selangkah maju dengan seulas tawa lirihnya. Salah satu tangannya terarah ke depan saat ia menyentuh kerah jas almamater yang dikenakan oleh Ziel seraya menjawab, "Terima kasih sudah diajak, saya menghargai kamu. Tapi ... saya tuh udah tuntas main begituannya, Jaziel Armando," katanya. "Hal-hal menyenangkan yang kamu lakuin sekarang, saya udah tuntas dulu waktu saya masih muda. Motocross, hiking sampai hampir hilang di gunung, jadi presiden mahasiswa, mimpin demo, semuanya udah saya lakuin. Sekarang udah waktunya hidup tenang, misalnya ... menghabiskan waktu liburan dengan istri." Ziel seketika mendengus mendengar itu. Tatapan mereka bersirobok cukup lama sebelum Kelvin sedikit menunduk dan berujar, "Apa niatmu mengajak saya balapan?" tanyanya. "Biar saya ngajak Am
Di meja kantin kampus, para mahasiswa semakin banyak yang berjalan meninggalkan tempat itu. Tapi tidak dengan Amaya dan teman-temannya yang masih ada di sana, menikmati waktu-waktu kebersamaan mereka sebelum libur panjang akhir semester dimulai. Amaya baru saja menceritakan tentang apa yang terjadi selepas ia pergi dari rumah Alin semalam. Tentang preman suruhan ayahnya Rama yang disingkirkan oleh Kelvin seorang diri. Menuai decak kagum, dan Randy mulai mengidekan bahwa ia akan masuk ke UKM taekwondo setelah ini. "Tapi nanti kamu mau ke mana pas liburan, May?" tanya Alin yang duduk di sebelahnya. "Pergi sama Pak Kelvin ke luar kota nggak?" Sekarang ... rasanya mereka sudah tak perlu sungkan menyebut tentang Amaya yang menjalin hubungan dengan Kelvin. Bukankah Amaya sudah pernah mengatakan sebelumnya bahwa itu telah menjadi rahasia umum? "B-belum ada rencana sih," jawab Amaya yang tentu saja berbohong karena ia tahu Kelvin telah mengagendakan untuk kepergian mereka dalam rangka 'bu