Sepertinya, karena melihat Amaya yang terlalu shock dengan ucapan Rama, Alin yang mendengarnya pun memutuskan untuk angkat bicara. "Rama anj—" "Lin!" panggil Amaya. "Heh, Rama! Jangan ngatain Amaya ini-itu ya! Jaga tuh mulut! Kalau nggak modal tuh ngaku aja ya bangs—" "Lin!" panggil Amaya sekali lagi. Mencegah Alin melanjutkan keributan karena ia merasa Rama memang sengaja melakukan hal itu untuk memprovokasinya. "Udah," kata Amaya. "Biarin aja." "Itu udah keterlaluan banget, May!" sahut Alin. "Kita juga tahu kalik gimana nggak modalnya tuh cowok sama sahabatmu yang sok cantik itu!" Jari telunjuk Alin mengarah pada kepergian Rama dan Miranda dengan geram. Amaya menghela napasnya. Ia menengadahkan wajah untuk mencegah agar air matanya tidak jatuh. Alin merangkul bahunya saat berbisik, "Jangan pikirin apa yang dibilang sama si mokondo itu," katanya. "Kami tahu kok kalau kamu baik. Tapi ya ... itu sih sayangnya ... agak bodoh dikit, karena bisa dimanfaatin sama mereka." Amaya me
'PIKIRAN MACAM APA ITU, AMAYA!' hardik Amaya dalam hati. Kesal pada diri sendiri yang baru saja berpikir bahwa Kelvin akan menciumnya.Padahal ... yang dilakukan oleh pria itu hanyalah meraih bahunya, isyarat agar Amaya menyisih karena ia ingin membuka pintu kulkas dan memasukkan botol minuman miliknya kembali ke dalam."Saya pikir kamu pergi ke sana karena ingin menghajar saya," kata Kelvin sekali lagi. "Kenapa Pak Kelvin punya pikiran seperti itu?""Kamu 'kan sering kesal ke saya," jawab Kelvin. "Seseorang yang memiliki dendam kesumat pasti akan ... sedikit nekad. Yah ... meskipun nggak jarang dari tindakan impulsif mereka itu berakhir dengan sedikit memalukan sih."Amaya melihat salah satu sudut bibir Kelvin terangkat. Ia tahu bahwa 'sedikit memalukan' itu merujuk pada akhir 'mengenaskan' Amaya yang jatuh pingsan di ruang latihan taekwondo.Manis lesung pipi Kelvin membuat Amaya memalingkan wajah agar tak tenggelam dalam pesonanya. Ia tak ingin terpesona pada pria menyebalkan ini
"Saya nggak bilang apa-apa loh padahal," jawab Amaya seraya bergegas mengembalikan baju milik Kelvin ke dalam keranjang sementara si empunya meraih celana dalam yang jatuh di lantai dengan cepat. "Kamu memang nggak bilang apapun," kata Kelvin. "Tapi pandanganmu sangat berisik! Kamu nggak percaya kalau ini punya saya?" Amaya mengangkat sekilas kedua bahunya, "Memang agak meragukan sih," jawabnya. "Nggak kelihatan kalau Pak Kelvin itu ukurannya—Kyaak!" Amaya berlari meninggalkan ruang laundry saat melihat Kelvin satu langkah maju seraya menyingkap kaos yang ia kenakan, tatapannya seolah mengatakan, 'Kamu mau melihatnya? Sini biar saya tunjukkan!' Lari Amaya terhenti saat ia masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Menyandarkan punggungnya pada pintu yang tertutup, ia dengan cepat mengubah ekspresinya. Dari yang baru saja tersenyum lalu memasang wajah datar. 'Ngapain kamu tersenyum, May?' tanyanya pada diri sendiri. 'Senang kamu godain Kelvin begitu hah?!' Tapi jika ditelaah l
Sabtu siang yang dikhawatirkan oleh Amaya dan Kelvin itu telah tiba. Tetapi rupanya ... itu tak seburuk yang mereka pikirkan.Lewat grup chat keluarga, Kelvin menjelaskan bahwa Amaya memang ada kegiatan di West Hill—lokasi camping dan outbond tempat keluarga mereka menghabiskan akhir pekan—sehingga nantinya Amaya tak sepenuhnya bisa bergabung dengan acara keluarga.Saat Amaya dan Kelvin sebelumnya berpikir itu akan mendapat reaksi keras, tetapi ibunya Kelvin—Riana—justru mengatakan kalimat yang membuat keduanya lega.[Nggak apa-apa, Vin. Amaya memang masih kuliah. Biar dia main dengan teman-temannya, nanti kalau malam bisa gabung sebentar sama keluarga kita.]Agar tak memperpanjang urusan, Amaya dan Kelvin mengiyakannya dengan cepat.Matahari hampir condong ke barat saat bus berisi mahasiswa dari kampus Amaya tiba di West Hill. Mereka mengeluarkan barang dan menuju ke titik kumpul.Saat Amaya mencangklong ransel miliknya, ia mendengar Randy—salah seorang teman yang cukup dekat denga
“K-ke ... m-mana?” tanya Amaya dengan ragu. Ia menggigit bibirnya, meredam kegugupan karena merasa cara Kelvin memandangnya itu sedikit ... mengintimidasi. Kelvin tak serta-merta menjawab Amaya, pria itu lebih dulu menoleh ke belakang. Pada makhluk kecil dalam wujud Arsenio Mahanta yang berlarian dengan lucunya dan berhenti di samping Kelvin. Bibirnya yang kecil mengatakan hal yang sama seperti yang disebutkan oleh Kelvin padanya, yakni mengajak Amaya untuk ikut dengannya. “Apa Aunty May mau ikut sama Arsen?” tanyanya. “S-sekarang?” “Iya.” Merasa tidak enak pada teman-temannya, Amaya menoleh pada Ziel—yang ia anggap mewakili semua mahasiswa—seraya berujar, “A-aku akan pergi sebentar buat ketemu kakakku, Kak Ziel,” katanya. “Silakan,” jawabnya tak keberatan. Amaya lalu berdiri, sekilas melambaikan tangannya pada Alin dan semua teman-temannya yang menyaksikannya menggandeng Arsen pergi meninggalkan sekitaran api unggun. Bocah kecil itu berjalan di depan sebelum Kelvin mengan
Yang baru datang itu adalah Ziel. Pemuda itu terangkat kedua alisnya. Tatapannya bergantian memandang Amaya serta Kelvin yang berdiri hampir di ujung jembatan kayu.Saat Amaya berpikir keberadaannya dan Kelvin di sini akan menuai kecurigaan, tetapi Kelvin dengan sikapnya yang tenang justru balik bertanya, “Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan di sini, Ziel?”“Ah, itu ....” Ia melirik Amaya melalui sudut matanya sebelum kembali memandang Kelvin dan melanjutkan kalimatnya. “Saya melihat Amaya pergi pagi-pagi dari tenda dan mengikutinya,” katanya. “Saya dengar ada perahu di sini,” ujar Kelvin. “Saya ingin melihatnya dan kebetulan bertemu dengan Amaya.”Ziel mengangguk mengerti. Ia menundukkan kepalanya pada Kelvin saat pria itu beranjak pergi sehingga menyisakan Amaya dan Ziel yang berdiri di atas jembatan.Saat Amaya menyaksikan punggung bidang Kelvin yang lambat laun menghilang di kejauhan, Amaya merasa pria itu sedikit kecewa.Lirikan sekilasnya pada Amaya sebelum pergi sepertinya keb
Keributan yang mereka lakukan rupanya sudah sejak tadi terendus oleh anggota yang lain. Ditambah jeritan Amaya dan suaranya yang berdebam jatuh ke tanah membuat aktivitas seketika berhenti. “Ada yang jatuh!” seru sebuah suara dari dekat box container saat Amaya merintih dan memegangi kaki kanannya yang sakit menyengat. Ia meringis kesakitan, melepas sepatunya dan memijit kakinya yang salah tumpuan saat mencoba mendarat setelah didorong oleh Miranda. Beberapa lelaki yang mendengar ada yang terjatuh mendekat. Apalagi begitu mengetahui itu adalah Amaya, mereka seperti melupakan soal mengambil bendera lawan begitu saja dan lebih memilih untuk memastikan bagaimana keadaannya. “Itu pasti terkilir,” ucap salah seorang mahasiswa. “Kamu jatuh dari atas sana?” “Kok bisa?” “May!” seru Alin yang berlutut di dekat Amaya. Cemas memandang Amaya yang terlihat kesakitan. Sepasang matanya memindai Amaya yang rambutnya terlihat berantakan. Alin menoleh ke atas box container tempat Amaya terj
“Nggak!” tolak Amaya. “S-Saya ‘kan cuma bercanda?”“Secepat itu kamu berubah?” tanya Kelvin, menoleh ke belakang pada Amaya yang terjebak dalam kepanikan karena baru saja mengatakan bahwa agar ia menggigit bibir Kelvin saja. “Selain ceroboh, kamu juga plin-plan,” ejeknya. “Berpeganganlah lagi! Saya akan bawa kamu ke tenda.”“Nggak usah! Turunin saya saja sekarang!”“Dan akan bikin Mama marah saat tahu anak menantunya yang paling cantik ini jalan terpincang-pincang?”Meski sangat kesal, Amaya tidak berani membantah. Apa yang dikatakan oleh Kelvin benar. Jika sampai mereka tiba di tenda dengan keadaan kakinya yang pincang sementara Kelvin tidak membantunya, maka yang akan terjadi adalah ibu mertuanya itu akan mengomel.“Baiklah,” putus Amaya. “Jangan cari kesempatan lagi!”“Saya nggak pernah cari kesempatan!” bantahnya. “Kamu saja yang secara sukarela menyodorkannya pada saya!”“Kalau begitu sebaiknya Pak Kelvin diam dan nggak usah nyebut dada implan dan lain sebagainya,” kata Amaya, ge
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir
“Ahh—“ Suara itu lolos dari bibir Amaya setelah serangkaian pemanasan yang panjang. Saat dirinya dan Kelvin menjadi satu di bawah lampu kamar yang berpendar hangat. Kelvin yang mengganti lampunya tadi sebelum ia juga menanggalkan semua pakaiannya. Sangat mendebarkan saat Amaya mengambil oksigen dari ciuman mereka yang seolah tak akan berhenti di bibirnya. Ia membiarkan lidah mereka untuk bertemu hingga api yang sejak tadi hanya sebesar lilin itu membakar segalanya. “Ahh—“ Amaya kembali terjaga dari lamunan sesaatnya kala bibir Kelvin menyinggahi bahunya yang terbuka. Prianya ini tak pernah gagal membuatnya mabuk dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan. “Kamu suka?” tanya Kelvin dengan terus bergerak di atas Amaya, ia terlihat sangat tampan sekalipun sebagian rambutnya telah basah oleh keringat. “K-kenapa tanyanya begitu sih?” tanya Amaya balik. Batinnya bergumam, ‘Apa dia nggak bisa lihat akan seberapa berantakan aku kalau dia berhenti sekarang?’ “Cuma ingin mastiin kalau