selamat siang, semuanya ❤️ terima kasih sudah membaca ya 🙂↕️🙂↕️
“Nggak!” tolak Amaya. “S-Saya ‘kan cuma bercanda?”“Secepat itu kamu berubah?” tanya Kelvin, menoleh ke belakang pada Amaya yang terjebak dalam kepanikan karena baru saja mengatakan bahwa agar ia menggigit bibir Kelvin saja. “Selain ceroboh, kamu juga plin-plan,” ejeknya. “Berpeganganlah lagi! Saya akan bawa kamu ke tenda.”“Nggak usah! Turunin saya saja sekarang!”“Dan akan bikin Mama marah saat tahu anak menantunya yang paling cantik ini jalan terpincang-pincang?”Meski sangat kesal, Amaya tidak berani membantah. Apa yang dikatakan oleh Kelvin benar. Jika sampai mereka tiba di tenda dengan keadaan kakinya yang pincang sementara Kelvin tidak membantunya, maka yang akan terjadi adalah ibu mertuanya itu akan mengomel.“Baiklah,” putus Amaya. “Jangan cari kesempatan lagi!”“Saya nggak pernah cari kesempatan!” bantahnya. “Kamu saja yang secara sukarela menyodorkannya pada saya!”“Kalau begitu sebaiknya Pak Kelvin diam dan nggak usah nyebut dada implan dan lain sebagainya,” kata Amaya, ge
“Kamu bisa jelasin ke Ibumu, ‘kan?” tanya Amaya. “Kalau alasan aku nggak pernah datang lagi ke rumahmu itu karena kelakuanmu sendiri?” “May—” “Tapi bilang yang jelas, Mir. Jangan terus playing victim begini. Kamu sendiri loh yang bikin persahabatan kita hancur!” tuding Amaya. ‘Kepalang basah,’ pikirnya dalam hati. Sebagian besar dari mereka pasti lebih pro pada Miranda yang memohon agar Amaya menemui ibunya, dibanding memihak Amaya yang masih sakit hati dengan apa yang dilakukan oleh Miranda dulu. ‘Kalau mau mandang jelek, biar jelek sekalian, nggak usah nanggung.’ “Kamu ... keberatan?” tanya Miranda. “Bentar aja, May.” “Nggak,” tolak Amaya. “Kamu ‘kan punya teman dari geng barumu itu, minta aja mereka buat datang, kenapa harus aku?” Miranda tertegun selama beberapa detik. Bicara hilang dari kemampuannya saat Amaya membalikkan keadaan dengan menyebut bahwa ia telah memiliki teman baru. “May, mau bareng ke kantin nggak?” tanya sebuah suara yang datang dari belakang Amaya. Rand
“Ya udah sih kalau enggak, kenapa Pak Kelvin ngegas?!” Sudut bibir Amaya naik salah satunya, senang karena melihat pria itu tak bisa menyembunyikan kepanikannya.“Bukan ngegas!” ralat Kelvin. “Saya hanya mengoreksi tuduhanmu yang salah itu.” Tukasnya seraya bangun dari duduknya dan meninggalkan Amaya.“Taruh saja, biar saya yang cuci!” kata Amaya, menoleh pada Kelvin yang sepertinya akan mencuci piring yang baru saja ia gunakan.“Bagus,” jawabnya dari kejauhan. “Saya ada kerjaan juga. Terima kasih.”Pria itu beranjak pergi. Sementara Amaya membereskan makanan dan memasukkannya ke dalam kulkas untuk yang masih banyak. Menuju ke wastafel dan memutar kran airnya ....“Kyaaa! Pak Kelvin, tolong!” Ia berseru karena kerannya tiba-tiba putus sehingga airnya menyembur ke mana-mana.“Tolong!” Ia berteriak sekali lagi. Panik menutup lubang air yang tak bisa berhenti dengan menggunakan tangannya, atau menggunakan benda apapun yang bisa ia gapai.“PAK KELVIN!”“Astaga ... kamu apakan dapur say
“Jangan ngomong sembarangan, Miranda!” tegurnya dari seberang ponsel. “Tapi yang barusan itu suara—” “I love you, aku akan datang ke rumahmu nanti. Kalau ibumu sudah tidur, pastikan kamu menghubungiku.” Setelah kalimat itu, Rama menutup panggilan. Menyisakan Miranda yang duduk merosot di lantai seraya menatap ponselnya dengan mata yang berair. ‘Sudah sejauh ini,’ batinnya. Ia sudah melakukan apapun agar Rama menjadi miliknya. Sudah ia serahkan pula .... “Apa karena aku bukan dari keluarga kaya, jadi Rama bisa bersikap begini ke aku?” Napasnya naik turun diburu amarah. Ia meremas rambutnya dengan kuat, berpikir dalam hati, ‘Bagaimana kalau aku diselingkuhi?’ Lantas, jika benar hal seperti itu terjadi... apakah ia bisa disebut mengambil ‘sampah’ dari Amaya? Amaya selamat, sedangkan ia tidak? *** Di balik mejanya yang ada di ruang dosen, Kelvin sibuk dengan ponsel di tangannya siang hari ini. Gulir ke atas, gulir ke bawah. Matanya mengamati foto-foto dokumentasi yang diambil
"Jadi hari patah hati sekampus dong kalau Bapak udah nikah?""Siapa nama istrinya Pak Kelvin?""Cantik pasti ya, Pak?"Banyak pertanyaan yang membombardir Kelvin sehingga ia tak tahu harus menjawab yang mana dulu. Hal yang pertama-tama harus ia lakukan adalah menghentikan koneksi antara laptop miliknya dan interactive whiteboard yang ada di depan. Sehingga chat yang masuk melalui notifikasi itu tak bisa lagi dilihat oleh mahasiswanya.Kelvin sejenak terdiam untuk berpikir. Hati-hati dalam menjawab karena ini rawan.Menjawab 'itu bukan istri saya' adalah sebuah kebohongan dan akan menjadi 'jatuh talak' sementara mengakuinya secara blak-blakan artinya melanggar janjinya pada Amaya.Apakah ia sebaiknya mengakuinya saja?Tapi jika benar begitu, ia dan Amaya pasti dalam masalah karena skandal pernikahan dosen dan mahasiswa.Kelvin menghela napas dalam, ia memandang pada semua mahasiswanya dan memutuskan untuk menjawab, "Maaf, ke-spill sedikit ya?" Mencoba bersikap santai, dan menjaga na
"Ada Pak Kelvin di sini?" tanya Alin yang membuat Randy serta Naira menoleh padanya. "Selamat malam," sapa mereka setelah itu. "Malam." "Pak Kelvin juga bisa pergi ke mall?" tanya Randy, yang sikunya segera disenggol oleh Alin karena bisa saja itu terdengar kurang sopan. "Bisa," jawab Kelvin tanpa beban. "Kebetulan tadi pergi sana Abangnya Amaya, berhubung dia sudah pulang duluan, jadi saya keliling sebentar dan ketemu kalian." Amaya tahu itu bohong! Seringai tipis di salah satu sudut bibirnya itu buktinya. "Oh, begitu?" Mereka mengangguk mengerti. Dan teman-teman Amaya yang polos itu percaya saja apa yang dikatakan oleh Kelvin. "Kamu mau pulang bareng saya, nggak?" tanya Kelvin, menoleh pada Amaya yang hampir menolak tetapi tak bisa karena teman-temannya secara bersahutan mengatakan, "Bareng aja, May. Kita juga udah mau pulang kok." "Duluan deh, bye-bye ...." Bahkan sebelum sempat Amaya menjawab, teman-temannya sudah kabur. "Alin! Nai, Randy!" Tak ada satupun yang meny
Siang hari ini, Amaya baru saja keluar dari toilet kampus dan bertemu dengan Naira yang kebetulan juga sedang berada di sana."Dari tadi kusut amat, kenapa sih, May?" tegur Naira, berjalan di samping Amaya sekeluarnya dari sana.Amaya menghela dalam napasnya. Tak mungkin ia mengatakan betapa kesal ia semalam pada Kelvin dan itu berlanjut hingga tadi pagi. Amaya enggan bicara dengannya dan memilih untuk pergi ke kampus lebih dulu sedangkan pria itu ....Ah entahlah! Amaya tak peduli."Bete, Nai," jawab Amaya. "Gara-gara film yang dipilihin si Randy semalam?""Nggak, ada yang lebih nyebelin dari itu," jawab Amaya. Mendengus kesal setiap kali mengingat perdebatannya dengan Kelvin."Eh tapi bener 'kan kalau rumahmu tetanggaan sama orang tuanya Pak Kelvin?" tanya Naira antusias.Amaya mengangguk menjawabnya, "Iya, kenapa?""Kamu tahu nggak siapa istrinya Pak Kelvin?" tanya Naira. "Istri?""Iya, ada yang bilang kalau kemarin itu ada pesan masuk yang bisa dibaca sama mahasiswa," jawab Nai
"Nggak, saya nggak punya perasaan apapun ke dia," jawab Kelvin. "Dan saya bisa mendengarmu, Amaya. Kamu nggak perlu ngomong sekeras itu," kata Kelvin, mencoba menciptakan situasi kondusif di antara gejolak yang terlanjur tersulut ini. "Bohong kalau Pak Kelvin bisa dengar saya," tangkis Amaya. "Kalau Bapak dengar saya, udah dari kemarin-kemarin Bapak percaya kalau Caecil tuh tukang bully. Tapi nggak, 'kan?" "Amaya—" "Dari cara ngomongnya aja udah kelihatan gimana sikap aslinya tuh cewek, tapi Anda nggak percaya sama saya." Amaya melihat kedua bahu Kelvin yang perlahan jatuh. Sepertinya pria itu lebih memilih untuk berhenti menjawab Amaya dan memutuskan untuk menjadi pendengar. "Tapi percaya atau nggak percaya itu hak Anda juga sih. Yang jelas, saya udah bilang sama dia kalau saya akan ganti tasnya." Amaya berjalan melewati Kelvin sebelum kembali berhenti dan menoleh pada pria itu. "Dan nggak pakai uang dari Anda, saya pakai uang dari Papa." Langkahnya cepat meninggalkan Kelvin,
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir
“Ahh—“ Suara itu lolos dari bibir Amaya setelah serangkaian pemanasan yang panjang. Saat dirinya dan Kelvin menjadi satu di bawah lampu kamar yang berpendar hangat. Kelvin yang mengganti lampunya tadi sebelum ia juga menanggalkan semua pakaiannya. Sangat mendebarkan saat Amaya mengambil oksigen dari ciuman mereka yang seolah tak akan berhenti di bibirnya. Ia membiarkan lidah mereka untuk bertemu hingga api yang sejak tadi hanya sebesar lilin itu membakar segalanya. “Ahh—“ Amaya kembali terjaga dari lamunan sesaatnya kala bibir Kelvin menyinggahi bahunya yang terbuka. Prianya ini tak pernah gagal membuatnya mabuk dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan. “Kamu suka?” tanya Kelvin dengan terus bergerak di atas Amaya, ia terlihat sangat tampan sekalipun sebagian rambutnya telah basah oleh keringat. “K-kenapa tanyanya begitu sih?” tanya Amaya balik. Batinnya bergumam, ‘Apa dia nggak bisa lihat akan seberapa berantakan aku kalau dia berhenti sekarang?’ “Cuma ingin mastiin kalau