selamat pagi, Thor update lebih lagi ya hari ini. selamat beraktivitas akak semua, 🦩
"Kenapa tiba-tiba mau menginap?" tanya Kelvin saat Amaya masih terpaku di samping kanannya. "Apa nggak boleh kami menginap di sini?" tanya Rajendra balik. "Kami hanya ingin memastikan Amaya hidup dengan baik setelah Pak Athan pergi." "S-s-saya baik-baik saja kok, Pa," sahut Amaya. Berharap setelah mendengar ini ayah dan ibu mertuanya itu memilih pergi saja. Ia tak bermaksud mengusir beliau berdua, hanya saja ... ia tak siap jika gerak dan aktivitasnya dilihat dan diperhatikan. "Baguslah kalau baik." Riana menyahut seraya tersenyum, mendekat dan mengusap pipi Amaya dengan ibu jarinya yang lembut. "Memang sudah menjadi hak setiap istri untuk diperlakukan dengan baik oleh suaminya," lanjutnya. "Kelvin memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?" Amaya melirik Kelvin yang rupanya juga sama mencuri pandang lewat sudut matanya. 'BAIK TAPI MULUTNYA NGGAK SAMA SEKALI!' jerit Amaya dalam hati. 'Mulut Kelvin itu lebih pedas daripada habanero!' "Apakah saya memperlakukan kamu dengan bai
"Kamu hanya mendengar gosip yang belum tentu dipertanggungjawabkan kebenarannya." Suaranya yang dalam kembali terdengar saat Amaya menahan dada Kelvin dengan cepat. Senyumnya terkembang dengan ambigu tepat di depan matanya. Hidung mereka yang hampir bersentuhan, mengundang benaknya berkecamuk semakin hebat, 'A-apa dia ingin bilang kalau gosip itu salah?' tanya Amaya dalam hati. Jika itu tak benar, artinya Kelvin adalah seorang pria normal?! Pupil Amaya bergerak gugup, yang sangat jauh berbeda dengan sepasang mata Kelvin yang tenang. "Bagaimana sekarang?" tanya Kelvin lagi. "Apakah kamu masih memiliki keinginan agar lampu di kamar ini dimatikan?" "T-tidak," jawab Amaya dengan cepat. "S-saya b-bisa tidur dengan lampu menyala. Nggak perlu dimatikan!" "Bagus, karena dengan begitu kamu juga bisa melihat performa saya dengan jelas dan—" "Pak Kelvin!" seru Amaya, menyadari adanya peringatan tanda bahaya dari berubahnya arah percakapan mereka. "S-s-s—" "Kenapa kamu mendesis seperti
Amaya gemetar di tempatnya duduk, matanya bergerak gugup memandang Kelvin yang hanya menunjukkan seulas senyum saat seorang mahasiswa yang baru saja lewat di belakangnya mengatakan, 'Tidurmu ngorok semalam!' "Sssht! Ada Pak Kelvin," tegur mahasiswa yang berjalan di sebelah mahasiswa pertama. Amaya melirik dua teman lelakinya yang menunduk di samping Kelvin sebelum melanjutkan langkah mereka. Hampir saja Amaya berpikir Kelvin yang mengatakan soal 'tidur ngorok' itu karena suara mereka terdengar mirip. "B-Bapak a-ada perlu?" tanya Amaya, karena memang ia lah yang berada paling dekat dengan Kelvin. Pria itu mengangguk, "Kebetulan lewat dan melihat kalian," jawabnya. "Saya sudah memanggil beberapa ketua kelompok lain sebelumnya untuk berdiskusi soal presentasi agar materi yang kalian sampaikan bisa diterima dengan baik," lanjutnya. "Jadi saya juga ingin berdiskusi dengan ketua kelompok kalian juga. Siapa?" tanyanya, sekilas menyapukan pandang pada Amaya dan keempat temannya. "S-saya,
'Drama inap-menginap masih belum selesai,' gumam Amaya sekeluarnya ia dari ruang dosen. Langkahnya terasa berat, kepalanya berpikir keras apa yang harus ia lakukan nanti malam karena jelas ia dan Kelvin akan kembali satu kamar. Meski yang semalam berakhir dengan tak terjadi apapun ... Amaya tak akan lupa bahwa bibirnya pernah mengatakan 'Saya akan lakukan apapun yang Bapak mau' yang artinya ia masih memiliki hutang pada pria itu. Mengingat yang sebelumnya Kelvin yang secara tak kentara sebenarnya ingin menyebut bahwa ia adalah pria normal, Amaya khawatir akan satu hal, "Bagaimana kalau dia menagih kalimatku saat itu untuk ...." 'Saya tagih janjimu, Amaya. Layani saya malam ini.' Bayangan seandainya Kelvin mengatakan hal itu datang dari antah berantah menghantuinya. Amaya menyilangkan kedua tangannya di depan tubuhnya. Tapi sedetik kemudian ia menampar pipinya. "Sadar, May!" hardiknya pada diri sendiri. Daripada memikirkan itu, sebaiknya ia mengambil langkah antisipatif. 'Apa
"Mama tadi bilang mau kasih kamu hadiah, apa isinya?" tanya Kelvin dari belakang Amaya yang masih menghadap pintu. Yang membuat Amaya semakin panik dan memasukan kembali pakaian berbahan minim itu ke dalam paper bag. "S-sebaiknya Pak Kelvin nggak perlu tahu," jawab Amaya seraya memutar badannya sehingga mereka berhadapan. "Kenapa saya nggak boleh tahu?" tanya Kelvin lagi. Matanya jatuh pada paper bag yang dipeluk erat oleh Amaya. Satu langkahnya membuat Amaya menyisih agar mereka tetap memiliki jarak. "Kalau saya bilang sebaiknya Bapak nggak usah tahu tuh ya udah, jangan penasaran!" tegur Amaya seraya berjalan meninggalkan Kelvin. "Kepo!" lanjutnya sembari sekilas menoleh ke belakang dan menyimpan paper bag itu di dalam ranselnya yang berisi pakaian. "Baiklah," jawab Kelvin. "Kamu nggak perlu semarah itu juga, 'kan?" "Soalnya kalau sampai Pak Kelvin tahu nanti Anda bakalan ngatain saya sengaja godain Bapak karena—" Amaya berhenti bicara. Ia memejamkan matanya dengan kesal. Buk
“Kembalikan!” seru Amaya seraya berlari menghampiri Kelvin. Tangannya terarah ke depan, bermaksud mengambil benda itu tetapi tak bisa ia lakukan begitu saja sebab Kelvin mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Posturnya yang setinggi tiang tentu saja tidak bisa digapai Amaya sekalipun ia berjinjit. Ia hanya berdiri setinggi dada Kelvin yang malah antusias membuka isinya seraya berujar, “Isi berapa ini, Amaya?” tanyanya. “Tiga? Lima? Kamu ingin melakukan sebanyak itu dengan saya?” “KEMBALIKAN!” teriak Amaya yang masih bersikeras menggapainya. “Saya tuh beli itu karena Kak Gafi titip!” lanjutnya, mengatakan apapun agar Kelvin mengembalikan kotak berwarna merah pembawa sial itu padanya. Amaya menyesal kenapa ia benar-benar membeli benda itu tadi. Kenapa kakinya berjalan pergi meninggalkan rumah setelah diantar pulang Gafi dan berhenti di minimarket dan dengan beraninya mengambil dan membayarnya di kasir? “Aah, kalau begitu akan saya berikan ke Kak Gafi,” kata Kelvin, langkah kaki panjan
“Aku juga lihat kayaknya itu kamu deh yang keluar dari mobilnya Pak Kelvin kapan hari?” sambung suara lainnya yang membuat keringat dingin menetes di punggung Amaya. “Kalian berhenti di depan tempat foto copy. Bener, ‘kan?”Amaya menelan ludahnya dengan kasar saat menyapukan pandang pada semua pasang mata yang sedang menatap dan menunggu jawabannya.Ketegangan ini ... pertama-tama harus ia cairkan lebih dulu.Ia tertawa meski tak yakin teman-temannya ini akan terkesan. "Mana mungkin aku dekat sama Pak Kelvin?" tanya Amaya setelah tawanya selesai. "Iya aku memang kasih HP-nya Pak Kelvin," jawabnya, menata alasan agar semua orang percaya padanya."Kok bisa?" tanya Alin, teman Amaya yang duduk di sebelahnya."Ada bapak-bapak, beliau bilang sopirnya Pak Kelvin dan HP-nya ketinggalan di mobil," jawab Amaya yang tentu saja itu adalah sebuah kebohongan. "Terus pas aku baru datang Bapak itu titip biar aku kasih ke Pak Kelvin. Dan ada yang lihat katanya Pak Kelvin di dekat lapangan futsal, ma
‘Astaga!’ Amaya segera menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Ia baru sadar ini! Dirinya memang sedang tak memakai— “Tadi saya lepas pas mau rebahan, terus lupa pakai,” katanya sembari menoleh pada Kelvin yang sudah meninggalkannya cukup jauh, yang sepertinya pria itu juga tidak peduli dengan alasan yang ia sampaikan. Amaya melarikan diri dari ruang makan dan kembali ke dalam kamarnya. Ia menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dan menutup seluruh badannya dengan selimut. Ia berteriak malu, Kelvin pasti melihat dengan jelas— “AMAYA BODOH!” umpatnya pada diri sendiri, menendang-nendang selimutnya yang tak bersalah. Tahu sudah ia alasan Kelvin tak mau bertatap muka saat bicara dengannya sejak tadi. Sepasang matanya pasti menangkap ‘pemandangan’ tak biasa sejak kedatangannya, sehingga ia menjaga jarak. Amaya duduk dengan punggung tegak setelah mengumpati dirinya tanpa henti. Ia menatap kosong ke depan, abai pada rambutnya yang sudah seperti sarang burung setel
Amaya membiarkan tiga sahabatnya itu memeluknya secara bersamaan. Isak tangis Alin dan Naira sebab rindu terdengar sementara Randy tak bersuara. Tapi saat mereka saling melepaskan, Amaya bisa melihat sepasang matanya yang memerah. “Kangen banget,” kata Alin menyusul ucapan dari Naira yang menyebutkan bahwa ini sudah bulan ke enam mereka tak saling berjumpa. “Aku tanya ke Pak Gafi di kantor apa beliau nggak akan datang ke sini,” kata Randy. “Kalau mau pergi, aku bilang saya sama dua teman saya mau barengan. Dan ternyata beliau malah minta kami cuti biar hari ini bisa datang.” “Serius?” tanya Amaya, menoleh ada Gafi yang tersenyum sementara ketiga temannya itu mengangguk membenarkannya. Perlu diketahui, Alin dan Naira bekerja di Rajs Holdings—perusahaan milik keluarganya Kelvin. Keduanya menjadi tax accountant, dengan Alin yang belakangan ia dengar sedang dipromosikan untuk naik jabatan sementara Naira menjadi ketua tim. Randy ada di Hariz Corp, posisinya sudah lumayan tinggi. Ota
Amaya hendak melangkah menjauh setelah mengatakan itu, tapi ia tak bisa pergi begitu saja sebab Kelvin merengkuh pinggangnya agar mereka berdiri seperti sebelumnya. Prianya itu menunduk, dan berbisik, "Aku mencintaimu, Amaya." Kecupan sekali lagi jatuh di bibirnya. Senyum merekah saat mereka kemudian menoleh pada Amora yang menangis dan memanggil, "Mama ...." Bocah kecil itu tengah terduduk di atas rerumputan, tengah dibantu oleh si Abang agar bangun. "Nggak apa-apa, Adek ... ayo bangun," kata Keegan lalu mengusap lutut Amora sebelum merdeka menoleh pada Amaya yang bertanya, "Kenapa, Sayang-sayangnya, Mama?" "Amora jatuh, Mama," jawab Keegan. "Nggak apa-apa, 'kan? Udah ditolong Kakak?" Amora mengangguk meski bibirnya masih tertekuk dan pucuk hidungnya yang memerah. "Kalau begitu bisa berhenti sebentar lari-lariannya?" pinta Amaya yang disambut anggukan oleh si kembar. "Bisa." Maka setelah itu Amaya melihat Keegan dan Amora yang berjalan bergandengan tangan, di atas jogging tr
Vancouver, Canada. Tiga tahun kemudian. .... Amaya menggandeng tangan kecil masing-masing di sebelah kiri dan kanannya saat berjalan keluar dari mobil yang ia berhentikan di tepi jalan. Mereka tengah menunggu seseorang keluar dari pintu gerbang itu untuk berjumpa dengannya. "PAPA!" seru suara manis bocah kecil di sebelah kanan dan kiri Amaya secara bersamaan. Mereka melambaikan tangannya pada pria dengan coat panjang warna hitam yang berlari keluar dari pintu gerbang. Kelvin. Pria itu adalah Kelvin. "TWINS!" balas Kelvin tak mau kalah antusiasnya. Ia berlutut seraya merentangkan kedua tangannya, sehingga Amaya melepas 'twins' yang baru saja dikatakan oleh Kelvin itu dan mereka memeluknya. Dua bocah kecil itu adalah Keegan dan Amora, anak kembarnya yang telah lahir dan tumbuh menjadi kembar sepasang yang tampan dan cantik. Keegan Yezekail dan Amora Amarilly, tentu dengan nama keluarga Amaya dan Kelvin di belakangnya, Hariz-Asgartama. Janin kembar yang hari itu
Meski disembunyikan, atau sebesar apa usaha Amaya dan Kelvin menutupi tentang resepsi pernikahan mereka, tapi tetap saja fotonya bocor! Tak hanya resepsi pada pagi hari saja, tapi juga resepsi yang diselenggarakan pada malam hari. Semesta seperti ingin berbagi kebahagiaan itu pada semua orang. Foto-foto mereka yang manis menghiasi forum mahasiswa selama beberapa hari, dari Sabtu, Minggu hingga Senin pagi hari ini. Seseorang menghela dalam napasnya kala ia menggulir layar ponselnya, foto Kelvin yang tampak meneteskan air mata seperti baru saja membuatnya memberikan sebuah pengakuan bahwa pria itu mencintai Amaya sangat besar. Ziel, pemuda itu adalah Ziel, yang duduk di bangku taman yang tak jauh dari lapangan futsal di kampus. Seorang diri, sebelum sebuah suara datang dari samping kanannya dan ikut duduk di sana. "Bang Ziel," sapanya. Wajahnya muncul dan membuat Ziel sekilas melambaikan tangan padanya. "Ya, Randy. Aku pikir nggak masuk kamu tadi," balasnya. "Ngapain nggak masu
Amaya merasa hatinya sedang tak karuan sekarang melihat Kelvin yang menjatuhkan air mata. Saat manik mereka bertemu, Amaya melihat betapa pria itu sangat tulus meletakkan seluruh perasaannya dan seolah menunggu agar hari ini tiba. Gafi tersenyum saat memandang keduanya bergantian sebelum ia memindah tangan Amaya pada Kelvin. Pembawa acara meminta agar Gafi kemudian memberikan ruang dan tempat untuk kedua pengantin yang tengah berbahagia. Amaya tak bisa memalingkan wajahnya, ia terpesona, terperangkap pada Kelvin saat pria itu terus menatapnya dengan teduh. Gerakan bibirnya yang tanpa suara sedang mengatakan, ‘Cantik sekali.’ Dan tentu saja itu diketahui oleh semua orang yang hadir di sana dan itu membuat tubuh Amaya meremang. Apalagi saat pembawa acara mengatakan, “Bapak-Ibu tamu undangan sekalian, sepertinya kedua mempelai kita ini sudah tidak sabar untuk mengatakan apa yang mereka rasakan selama ini,” ujarnya. “Mari kita dengarkan terlebih dahulu sepatah dua patah kata dari m
Kelvin menghela dalam napasnya saat ia menunduk, memastikan bahwa groom boutonniere yang tersemat di dadanya benar dalam keadaan yang rapi.“Vin?” panggil sebuah suara yang tak asing di telinganya sehingga ia mengangkat kepalanya dengan cepat.Ia menjumpai Gafi yang muncul di dekat pintu berdaun dua di dalam kamar hotelnya entah sejak kapan.Kelvin yang melamun, atau memang kedatangannya yang memang tanpa suara?Entahlah ... yang jelas ia memang ada di sini bersamanya, dan mungkin memang sengaja menemuinya.“Kak Gaf?” balasnya seraya menunjukkan senyuman.“Gugup?”“Banget,” jawabnya. Tak menemukan kata lain untuk menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang ini selain gugup.Gugup untuk bertemu Amaya, gugup untuk melihatnya dalam balutan gaun pengantinnya yang cantik.Gugup, karena ia bisa saja tak bisa menahan diri nanti dan mencium Amaya secara tiba-tiba.“Setelah ini, aku akan membawa Amaya buat ketemu sama kamu, Vin,” ucap Gafi mula-mula. “Aku sudah pernah bilang ini ke kamu. Tapi
“Apa ini, May?” tanya Randy sembari mengambil salah satu kotak susu yang ada di hadapan Amaya. Karena Amaya terlambat mencegahnya, dan karena memang gerakan Randy sangat cepat, Amaya akhirnya membiarkannya saja. “Kok ... susu ibu hamil?” tanya Alin dengan nada bicara yang lirih. Yang barangkali hanya mereka saja yang bisa mendengarnya. “Kita mau dapat keponakan?” sahut Naira yang disambut anggukan dari Amaya. “Alasan kenapa resepsinya dimajuin tuh karena itu,” aku Amaya dengan jujur. Randy hampir melompat kesenangan jika Alin tak mencegahnya. Ia juga hampir berteriak jika Naira tak mengisyaratkan agar ia sebaiknya diam dan tetap menjaga mulutnya itu terkunci rapat. "Demi apa, demi apa kita bakalan punya keponakan?" Heboh, seperti biasanya dan Amaya dibuat terharu dengan mereka yang turut senang dengan kabar yang ia berikan ini. "Maaay! Kamu bakalan jadi hot mommy dong?" Naira sepertinya sudah membayangkan terlalu jauh. Mereka saling pandang untuk menyetujui ungkapan itu sebe
Mengetahui bahwa sorakan itu ditujukan untuknya, Amaya dengan cepat menurunkan ponselnya. Ia menggigit bibirnya, malu karena Kelvin benar-benar tak sungkan lagi menunjukkan hubungan mereka yang telah menjadi rahasia umum bahwa mereka memang menikah. Antusias itu rupanya menjadi bahan bakar bagi semua mahasiswa untuk mengikuti bincang santai tersebut. Pembicara yang dimaksudkan Kelvin lalu datang, beliau adalah seorang pengusaha yang mengatakan perjalanan bisnisnya lebih dari dua puluh tahun untuk bisa berjaya hingga hari ini yang salah satu landasannya adalah stabilitas sistem keuangan. Barangkali bukan hanya pembicaranya saja yang memang sudah berpengalaman, tapi bagaimana cara hostnya memancing agar beliau menyampaikan informasi, sepak terjangnya dalam dunia bisnis. Aah ... atau ini hanya perasaan Amaya saja yang sangat senang bisa melihat Kelvin seperti itu? Mungkin tahun ini adalah gilirannya menjadi host karena tahun sebelumnya Lucy lah yang bertugas. Dan mendengar dari
Amaya mengangguk saat pipinya terasa panas. "Padahal mau kasih kejutan nanti pas kita bahas soal resepsi yang mau dibikin maju," jawab Amaya. "Tapi si bocil Arsen ini malah tahu duluan." Amaya memandang pada Arsen yang ada di pangkuan Kelvin dan tersenyum menunjukkan barisan giginya. "Dari mana kamu tahu kalau Aunty May mau punya baby, Sen?" Kali ini Kelvin yang bertanya. "Cuma asal ngomong aja, Uncle Vin," jawabnya. "Soalnya tadi Arsen lihat Aunty May ngusap perut, persis kayak mamanya teman Arsen yang juga lagi hamil." Ia sekali lagi meringis sementara kabar gembira itu tentu saja disambut dengan senang hati oleh Gafi dan Serena. "Selamat ya ...." kata Serena. Amaya memandang Gafi yang hanya terdiam. Mata mereka bertemu, di kedua sudut netra kakak lelakinya itu, Amaya bisa melihat butiran bening yang barangkali sedang sekuat tenaga coba ia tahan agar tak jatuh. Melihatnya seperti itu membuat Amaya kembali terenyuh. Matanya bicara lebih banyak bahwa ia bahagia, dengan tak bi