“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu.
“Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—maaf, Mama,” ralatnya dengan cepat. “Atau kamu mau tinggal dulu di sini?” tawarnya membebaskan Amaya menentukan di mana ia tinggal asalkan ia nyaman. “Biar Kelvin yang nanti menemanimu.” “I-iya, Ma,” jawab Amaya. “Tapi makan dulu di rumah seberang nanti ya, Mama tunggu di sana.” “Iya, terima kasih.” Sepasang matanya menyaksikan kepergian ibunya Kelvin hingga beliau memasuki halaman rumahnya sendiri yang ada di seberang jalan. Amaya dilema, benar rupanya bahwa ‘mengakhiri pernikahan siri’ mereka itu tak bisa berlangsung begitu saja. Ada keluarga yang percaya pada mereka, ada janji dan wasiat yang harus mereka tepati. Amaya ingin keras kepala dengan bersikukuh untuk tidak terikat hubungan dengan Kelvin, tapi membayangkan kembali perlakuan keluarga pria itu yang menerimanya dengan tangan terbuka ... bukankah tidak pantas ia ribut soal itu bahkan saat tanah pemakaman ayahnya masih basah? “Baik,” putus Amaya. “Saya setuju dengan Pak Kelvin.” Ia memutar kepalanya untuk menghadap pada Kelvin yang masih berdiri tak jauh darinya. “Saya tetap mau menikah, tapi … bisakah saya mengajukan syarat? “Syarat?” ulang Kelvin memastikan. Amaya mengangguk, “Iya,” jawabnya. “Nggak boleh ada sentuhan di antara kita, dan nggak boleh ada satu orang pun di kampus yang tahu kalau kita menikah. Kita hanya dosen dan mahasiswa. Bagaimana?” “Baiklah,” tanggap Kelvin tak keberatan. “Saya setuju.” Petang hari itu mereka saling berjabat tangan menjalin kesepakatan, pernikahan berlanjut tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Yang Amaya heran adalah satu hal, kenapa Kelvin teguh pada pendiriannya? Seolah ia tak ingin melepas Amaya, dan benar-benar akan sepenuh hati menepati janjinya pada mendiang Athan. ‘Apa dia ingin menyembunyikan jati dirinya yang seorang gay dengan menikahiku?’ gumam Amaya menerka-nerka. Tapi bukankah itu tak ada gunanya juga? Karena pernikahan mereka juga terjalin secara rahasia, tak ada yang tahu. ‘Jadi apa motif pria itu?’ *** Beberapa hari berselang, Amaya meninggalkan rumah lamanya—yang ke depannya akan ditinggali oleh kakak lelaki dan keluarga kecilnya yang datang dari luar negeri—untuk tinggal bersama dengan Kelvin. Rumah Kelvin sendiri tak begitu besar, tetapi rapi dan bersih. Tidur mereka? Tentu saja terpisah. Kelvin ada di dalam kamarnya yang ada di lantai atas, sedangkan Amaya ada di lantai bawah, sedikit ke belakang, tak jauh dari ruang keluarga. Warga di komplek perumahan Kelvin tahu mereka adalah pasangan suami istri karena Kelvin sudah menyampaikannya pada pengurus RT setempat. Dan lagi, mereka bukan hanya menikah secara siri, melainkan sah secara agama dan negara. Mereka memiliki buku hijau dan coklat di tangan masing-masing—buku nikah—yang mereka dapat setelah menikah secara sederhana di kantor urusan agama. Dan setelah beberapa hari tidak tampak di kampus, hari ini Amaya akan menunjukkan eksistensinya kembali. Bagaimanapun … hidup harus berlanjut! Kesedihan tak boleh membatasi ruang geraknya. Amaya baru saja keluar dari kamar dengan keadaan siap berangkat, tepat saat itu ia bertemu dengan Kelvin yang seketika tersedak jus yang ia bawa di dalam botol. “Uhukk—uhukk—“ Pria itu terbatuk-batuk, mengusap dadanya sebelum memandang Amaya dan menunjuknya dari bawah hingga ke atas. “Apa-apaan ini?” tanya Kelvin, kedua bahunya merosot, tak habis pikir. “Bagaimana penampilan saya?” tanya Amaya balik, memutar tubuhnya sekali di hadapan Kelvin. “Apakah Bapak suka?” “Apa yang sedang kamu pakai ini, Amaya?” desaknya. “Kenapa pakaianmu warna-warni? Dan itu—“ Kelvin menunjuk pada rok di atas lutut berwarna ungu yang ia kenakan dan blouse merah jambu yang kerahnya terlalu rendah. “Kamu ingin menjadikan dirimu sebagai objek cuci mata para mahasiswa?” “Ini revenge outfit, Pak Kelvin.” “Rev—out—what?!” “Revenge outfit,” ulang Amaya. “Seperti Lady Diana yang memakai revenge dress, Amaya Madira punya revenge outfit,” terangnya. “Apakah Bapak suka?” “Nggak sama sekali!” jawab Kelvin yang seketika membuat senyum Amaya lenyap. “Kenapa?” “Jangan menyamakan dirimu dengan Lady Diana! Pakaian yang kamu kenakan ini seperti baru saja … melecehkan mata saya!” “Apa?!” sebut Amaya tak habis pikir. Ia sejenak lupa bahwa Kelvin itu mulutnya sangat ... menyebalkan dan tidak fleksibel. “Ganti!” titah Kelvin, memalingkan wajahnya dari Amaya. “Nggak mau,” jawabnya. “Rama dan Miranda harus melihat penampilan baru saya. Lagian semua baju yang saya bawa ke rumah ini isinya semua begini,” lanjut Amaya sekenanya. “Yang ada kamu akan dianggap gila sama mereka karena berpakaian seperti ondel-ondel begini!” Tapi gadis itu tak peduli, ia bersikeras akan mengenakan itu ke kampus. Ia bahkan sudah pergi meninggalkan pintu rumah, membiarkan Kelvin gagal mencegah keputusannya. “Berangkat dengan saya, Amaya!” ucap Kelvin saat pria itu membuka pintu mobil yang parkir di halaman. “Nanti ada yang melihat kita, bagaimana?” “Saya akan turunkan kamu agak jauh dari kampus.” Tak ingin berdebat, atau Kelvin akan melarangnya mengenakan pakaian yang ia pilih sebagai sarana balas dendam ini, Amaya menurut. Ia duduk di samping Kelvin yang menyetir mobilnya sendiri pergi ke kampus. Diam-diam Amaya memperhatikannya dari samping. Pria itu sempurna, rupawan, menawan dan mapan. ‘Sayangnya … dia juga suka dengan yang tampan,’ batin Amaya. “Jadi apa orientasi Bapak kalau saya boleh tahu?” tanya Amaya membuka percakapan agar yang terjadi di sana bukan hanya kediaman yang membekukan setiap sisi kendaraan. “P-Pak Kelvin b-betulan … g-ga—“ Amaya berhenti bicara karena mobil milik Kelvin tiba-tiba berhenti. “Turun!” perintah pria itu seraya mengedikkan dagunya agar Amaya cepat membuka pintu mobil. “Tapi ini masih jauh, Pak,” kata Amaya. “Belum ada separuh perjalanan. Soal pertanyaan tentang orientasi Bapak itu saya hanya—” “Saya nggak memintamu jalan ke kampus,” potong Kelvin. “Saya meminta kamu untuk membeli pakaian di toko itu!” tunjuknya pada toko pakaian yang ada di sebelah kiri jalan. Amaya mendengus, padahal ia baru saja berpikir Kelvin marah karena ia membahas perihal ketertarikannya. Tapi bukan! Tahu sudah ia niat pria ini memintanya agar ikut berangkat dengannya. Agar Amaya membeli pakaian baru—bukan mengenakan ‘atribut ondel-ondel’ seperti ini. “Saya akan turun kalau begitu, tapi jangan harap saya mau ganti pakaian! Ini cara saya membalas—“ “Fine,” putus Kelvin seraya bersedekap. “Pakai baju itu ke kampus. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti saya akan bilang ke semua mahasiswa bahwa kamu adalah istri saya, Amaya Madira Hariz!”“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“I-i-itu—” Amaya bingung menjawab ibu mertuanya. Jika ia tahu akan ada kunjungan mendadak seperti ini, Amaya pasti akan mempersiapkan jawaban. “Kenapa kamu dan Kelvin pisah kamar, Sayang?” tanya Riana sekali lagi, yang membuat Amaya tertunduk. Otaknya sedang bekerja keras agar ia dan Kelvin tak dicurigai bahwa yang mereka lakukan ini hanyalah sebatas pernikahan terpaksa—demi menyenangkan orang tua. ‘Kami akan tamat,’ batin Amaya. Rajendra dan Riana pasti akan kecewa karena ia dan Kelvin tak pernah hidup sebagai selayaknya suami dan istri pada umumnya. Di saat kritis yang nyaris saja mencekik lehernya, sebuah suara datang dari antah berantah menjawab, “Aku yang minta, Mam.” Amaya dan Riana menoleh ke arah pintu ruang makan. Seorang pria dengan kaos berkerah berlogo kampus di dadanya masuk di waktu krusial dan memberi ketegangan ekstra. Kelvin. “Aku yang minta Amaya untuk tidur di bawah sementara waktu,” lanjutnya seraya berhenti di samping sang ayah. “Kenapa kamu meminta i
"Kenapa tiba-tiba mau menginap?" tanya Kelvin saat Amaya masih terpaku di samping kanannya. "Apa nggak boleh kami menginap di sini?" tanya Rajendra balik. "Kami hanya ingin memastikan Amaya hidup dengan baik setelah Pak Athan pergi." "S-s-saya baik-baik saja kok, Pa," sahut Amaya. Berharap setelah mendengar ini ayah dan ibu mertuanya itu memilih pergi saja. Ia tak bermaksud mengusir beliau berdua, hanya saja ... ia tak siap jika gerak dan aktivitasnya dilihat dan diperhatikan. "Baguslah kalau baik." Riana menyahut seraya tersenyum, mendekat dan mengusap pipi Amaya dengan ibu jarinya yang lembut. "Memang sudah menjadi hak setiap istri untuk diperlakukan dengan baik oleh suaminya," lanjutnya. "Kelvin memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?" Amaya melirik Kelvin yang rupanya juga sama mencuri pandang lewat sudut matanya. 'BAIK TAPI MULUTNYA NGGAK SAMA SEKALI!' jerit Amaya dalam hati. 'Mulut Kelvin itu lebih pedas daripada habanero!' "Apakah saya memperlakukan kamu dengan bai
"Kamu hanya mendengar gosip yang belum tentu dipertanggungjawabkan kebenarannya." Suaranya yang dalam kembali terdengar saat Amaya menahan dada Kelvin dengan cepat. Senyumnya terkembang dengan ambigu tepat di depan matanya. Hidung mereka yang hampir bersentuhan, mengundang benaknya berkecamuk semakin hebat, 'A-apa dia ingin bilang kalau gosip itu salah?' tanya Amaya dalam hati. Jika itu tak benar, artinya Kelvin adalah seorang pria normal?! Pupil Amaya bergerak gugup, yang sangat jauh berbeda dengan sepasang mata Kelvin yang tenang. "Bagaimana sekarang?" tanya Kelvin lagi. "Apakah kamu masih memiliki keinginan agar lampu di kamar ini dimatikan?" "T-tidak," jawab Amaya dengan cepat. "S-saya b-bisa tidur dengan lampu menyala. Nggak perlu dimatikan!" "Bagus, karena dengan begitu kamu juga bisa melihat performa saya dengan jelas dan—" "Pak Kelvin!" seru Amaya, menyadari adanya peringatan tanda bahaya dari berubahnya arah percakapan mereka. "S-s-s—" "Kenapa kamu mendesis seperti
Amaya gemetar di tempatnya duduk, matanya bergerak gugup memandang Kelvin yang hanya menunjukkan seulas senyum saat seorang mahasiswa yang baru saja lewat di belakangnya mengatakan, 'Tidurmu ngorok semalam!' "Sssht! Ada Pak Kelvin," tegur mahasiswa yang berjalan di sebelah mahasiswa pertama. Amaya melirik dua teman lelakinya yang menunduk di samping Kelvin sebelum melanjutkan langkah mereka. Hampir saja Amaya berpikir Kelvin yang mengatakan soal 'tidur ngorok' itu karena suara mereka terdengar mirip. "B-Bapak a-ada perlu?" tanya Amaya, karena memang ia lah yang berada paling dekat dengan Kelvin. Pria itu mengangguk, "Kebetulan lewat dan melihat kalian," jawabnya. "Saya sudah memanggil beberapa ketua kelompok lain sebelumnya untuk berdiskusi soal presentasi agar materi yang kalian sampaikan bisa diterima dengan baik," lanjutnya. "Jadi saya juga ingin berdiskusi dengan ketua kelompok kalian juga. Siapa?" tanyanya, sekilas menyapukan pandang pada Amaya dan keempat temannya. "S-saya,
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir
“Ahh—“ Suara itu lolos dari bibir Amaya setelah serangkaian pemanasan yang panjang. Saat dirinya dan Kelvin menjadi satu di bawah lampu kamar yang berpendar hangat. Kelvin yang mengganti lampunya tadi sebelum ia juga menanggalkan semua pakaiannya. Sangat mendebarkan saat Amaya mengambil oksigen dari ciuman mereka yang seolah tak akan berhenti di bibirnya. Ia membiarkan lidah mereka untuk bertemu hingga api yang sejak tadi hanya sebesar lilin itu membakar segalanya. “Ahh—“ Amaya kembali terjaga dari lamunan sesaatnya kala bibir Kelvin menyinggahi bahunya yang terbuka. Prianya ini tak pernah gagal membuatnya mabuk dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan. “Kamu suka?” tanya Kelvin dengan terus bergerak di atas Amaya, ia terlihat sangat tampan sekalipun sebagian rambutnya telah basah oleh keringat. “K-kenapa tanyanya begitu sih?” tanya Amaya balik. Batinnya bergumam, ‘Apa dia nggak bisa lihat akan seberapa berantakan aku kalau dia berhenti sekarang?’ “Cuma ingin mastiin kalau