“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu.
“Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—maaf, Mama,” ralatnya dengan cepat. “Atau kamu mau tinggal dulu di sini?” tawarnya membebaskan Amaya menentukan di mana ia tinggal asalkan ia nyaman. “Biar Kelvin yang nanti menemanimu.” “I-iya, Ma,” jawab Amaya. “Tapi makan dulu di rumah seberang nanti ya, Mama tunggu di sana.” “Iya, terima kasih.” Sepasang matanya menyaksikan kepergian ibunya Kelvin hingga beliau memasuki halaman rumahnya sendiri yang ada di seberang jalan. Amaya dilema, benar rupanya bahwa ‘mengakhiri pernikahan siri’ mereka itu tak bisa berlangsung begitu saja. Ada keluarga yang percaya pada mereka, ada janji dan wasiat yang harus mereka tepati. Amaya ingin keras kepala dengan bersikukuh untuk tidak terikat hubungan dengan Kelvin, tapi membayangkan kembali perlakuan keluarga pria itu yang menerimanya dengan tangan terbuka ... bukankah tidak pantas ia ribut soal itu bahkan saat tanah pemakaman ayahnya masih basah? “Baik,” putus Amaya. “Saya setuju dengan Pak Kelvin.” Ia memutar kepalanya untuk menghadap pada Kelvin yang masih berdiri tak jauh darinya. “Saya tetap mau menikah, tapi … bisakah saya mengajukan syarat? “Syarat?” ulang Kelvin memastikan. Amaya mengangguk, “Iya,” jawabnya. “Nggak boleh ada sentuhan di antara kita, dan nggak boleh ada satu orang pun di kampus yang tahu kalau kita menikah. Kita hanya dosen dan mahasiswa. Bagaimana?” “Baiklah,” tanggap Kelvin tak keberatan. “Saya setuju.” Petang hari itu mereka saling berjabat tangan menjalin kesepakatan, pernikahan berlanjut tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Yang Amaya heran adalah satu hal, kenapa Kelvin teguh pada pendiriannya? Seolah ia tak ingin melepas Amaya, dan benar-benar akan sepenuh hati menepati janjinya pada mendiang Athan. ‘Apa dia ingin menyembunyikan jati dirinya yang seorang gay dengan menikahiku?’ gumam Amaya menerka-nerka. Tapi bukankah itu tak ada gunanya juga? Karena pernikahan mereka juga terjalin secara rahasia, tak ada yang tahu. ‘Jadi apa motif pria itu?’ *** Beberapa hari berselang, Amaya meninggalkan rumah lamanya—yang ke depannya akan ditinggali oleh kakak lelaki dan keluarga kecilnya yang datang dari luar negeri—untuk tinggal bersama dengan Kelvin. Rumah Kelvin sendiri tak begitu besar, tetapi rapi dan bersih. Tidur mereka? Tentu saja terpisah. Kelvin ada di dalam kamarnya yang ada di lantai atas, sedangkan Amaya ada di lantai bawah, sedikit ke belakang, tak jauh dari ruang keluarga. Warga di komplek perumahan Kelvin tahu mereka adalah pasangan suami istri karena Kelvin sudah menyampaikannya pada pengurus RT setempat. Dan lagi, mereka bukan hanya menikah secara siri, melainkan sah secara agama dan negara. Mereka memiliki buku hijau dan coklat di tangan masing-masing—buku nikah—yang mereka dapat setelah menikah secara sederhana di kantor urusan agama. Dan setelah beberapa hari tidak tampak di kampus, hari ini Amaya akan menunjukkan eksistensinya kembali. Bagaimanapun … hidup harus berlanjut! Kesedihan tak boleh membatasi ruang geraknya. Amaya baru saja keluar dari kamar dengan keadaan siap berangkat, tepat saat itu ia bertemu dengan Kelvin yang seketika tersedak jus yang ia bawa di dalam botol. “Uhukk—uhukk—“ Pria itu terbatuk-batuk, mengusap dadanya sebelum memandang Amaya dan menunjuknya dari bawah hingga ke atas. “Apa-apaan ini?” tanya Kelvin, kedua bahunya merosot, tak habis pikir. “Bagaimana penampilan saya?” tanya Amaya balik, memutar tubuhnya sekali di hadapan Kelvin. “Apakah Bapak suka?” “Apa yang sedang kamu pakai ini, Amaya?” desaknya. “Kenapa pakaianmu warna-warni? Dan itu—“ Kelvin menunjuk pada rok di atas lutut berwarna ungu yang ia kenakan dan blouse merah jambu yang kerahnya terlalu rendah. “Kamu ingin menjadikan dirimu sebagai objek cuci mata para mahasiswa?” “Ini revenge outfit, Pak Kelvin.” “Rev—out—what?!” “Revenge outfit,” ulang Amaya. “Seperti Lady Diana yang memakai revenge dress, Amaya Madira punya revenge outfit,” terangnya. “Apakah Bapak suka?” “Nggak sama sekali!” jawab Kelvin yang seketika membuat senyum Amaya lenyap. “Kenapa?” “Jangan menyamakan dirimu dengan Lady Diana! Pakaian yang kamu kenakan ini seperti baru saja … melecehkan mata saya!” “Apa?!” sebut Amaya tak habis pikir. Ia sejenak lupa bahwa Kelvin itu mulutnya sangat ... menyebalkan dan tidak fleksibel. “Ganti!” titah Kelvin, memalingkan wajahnya dari Amaya. “Nggak mau,” jawabnya. “Rama dan Miranda harus melihat penampilan baru saya. Lagian semua baju yang saya bawa ke rumah ini isinya semua begini,” lanjut Amaya sekenanya. “Yang ada kamu akan dianggap gila sama mereka karena berpakaian seperti ondel-ondel begini!” Tapi gadis itu tak peduli, ia bersikeras akan mengenakan itu ke kampus. Ia bahkan sudah pergi meninggalkan pintu rumah, membiarkan Kelvin gagal mencegah keputusannya. “Berangkat dengan saya, Amaya!” ucap Kelvin saat pria itu membuka pintu mobil yang parkir di halaman. “Nanti ada yang melihat kita, bagaimana?” “Saya akan turunkan kamu agak jauh dari kampus.” Tak ingin berdebat, atau Kelvin akan melarangnya mengenakan pakaian yang ia pilih sebagai sarana balas dendam ini, Amaya menurut. Ia duduk di samping Kelvin yang menyetir mobilnya sendiri pergi ke kampus. Diam-diam Amaya memperhatikannya dari samping. Pria itu sempurna, rupawan, menawan dan mapan. ‘Sayangnya … dia juga suka dengan yang tampan,’ batin Amaya. “Jadi apa orientasi Bapak kalau saya boleh tahu?” tanya Amaya membuka percakapan agar yang terjadi di sana bukan hanya kediaman yang membekukan setiap sisi kendaraan. “P-Pak Kelvin b-betulan … g-ga—“ Amaya berhenti bicara karena mobil milik Kelvin tiba-tiba berhenti. “Turun!” perintah pria itu seraya mengedikkan dagunya agar Amaya cepat membuka pintu mobil. “Tapi ini masih jauh, Pak,” kata Amaya. “Belum ada separuh perjalanan. Soal pertanyaan tentang orientasi Bapak itu saya hanya—” “Saya nggak memintamu jalan ke kampus,” potong Kelvin. “Saya meminta kamu untuk membeli pakaian di toko itu!” tunjuknya pada toko pakaian yang ada di sebelah kiri jalan. Amaya mendengus, padahal ia baru saja berpikir Kelvin marah karena ia membahas perihal ketertarikannya. Tapi bukan! Tahu sudah ia niat pria ini memintanya agar ikut berangkat dengannya. Agar Amaya membeli pakaian baru—bukan mengenakan ‘atribut ondel-ondel’ seperti ini. “Saya akan turun kalau begitu, tapi jangan harap saya mau ganti pakaian! Ini cara saya membalas—“ “Fine,” putus Kelvin seraya bersedekap. “Pakai baju itu ke kampus. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti saya akan bilang ke semua mahasiswa bahwa kamu adalah istri saya, Amaya Madira Hariz!”“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab
Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.” Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau
“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin