Share

5. Pernikahan Rahasia

“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu.

“Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan.

Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama.

Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar.

“Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?”

Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri.

“Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya.

“Iya, Tante—maaf, Mama,” ralatnya dengan cepat.

“Atau kamu mau tinggal dulu di sini?” tawarnya membebaskan Amaya menentukan di mana ia tinggal asalkan ia nyaman. “Biar Kelvin yang nanti menemanimu.”

“I-iya, Ma,” jawab Amaya.

“Tapi makan dulu di rumah seberang nanti ya, Mama tunggu di sana.”

“Iya, terima kasih.”

Sepasang matanya menyaksikan kepergian ibunya Kelvin hingga beliau memasuki halaman rumahnya sendiri yang ada di seberang jalan.

Amaya dilema, benar rupanya bahwa ‘mengakhiri pernikahan siri’ mereka itu tak bisa berlangsung begitu saja.

Ada keluarga yang percaya pada mereka, ada janji dan wasiat yang harus mereka tepati.

Amaya ingin keras kepala dengan bersikukuh untuk tidak terikat hubungan dengan Kelvin, tapi membayangkan kembali perlakuan keluarga pria itu yang menerimanya dengan tangan terbuka ... bukankah tidak pantas ia ribut soal itu bahkan saat tanah pemakaman ayahnya masih basah?

“Baik,” putus Amaya. “Saya setuju dengan Pak Kelvin.”

Ia memutar kepalanya untuk menghadap pada Kelvin yang masih berdiri tak jauh darinya. “Saya tetap mau menikah, tapi … bisakah saya mengajukan syarat?

“Syarat?” ulang Kelvin memastikan.

Amaya mengangguk, “Iya,” jawabnya. “Nggak boleh ada sentuhan di antara kita, dan nggak boleh ada satu orang pun di kampus yang tahu kalau kita menikah. Kita hanya dosen dan mahasiswa. Bagaimana?”

“Baiklah,” tanggap Kelvin tak keberatan. “Saya setuju.”

Petang hari itu mereka saling berjabat tangan menjalin kesepakatan, pernikahan berlanjut tetapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

Yang Amaya heran adalah satu hal, kenapa Kelvin teguh pada pendiriannya? Seolah ia tak ingin melepas Amaya, dan benar-benar akan sepenuh hati menepati janjinya pada mendiang Athan.

‘Apa dia ingin menyembunyikan jati dirinya yang seorang gay dengan menikahiku?’ gumam Amaya menerka-nerka.

Tapi bukankah itu tak ada gunanya juga? Karena pernikahan mereka juga terjalin secara rahasia, tak ada yang tahu.

‘Jadi apa motif pria itu?’

***

Beberapa hari berselang, Amaya meninggalkan rumah lamanya—yang ke depannya akan ditinggali oleh kakak lelaki dan keluarga kecilnya yang datang dari luar negeri—untuk tinggal bersama dengan Kelvin.

Rumah Kelvin sendiri tak begitu besar, tetapi rapi dan bersih. Tidur mereka? Tentu saja terpisah. Kelvin ada di dalam kamarnya yang ada di lantai atas, sedangkan Amaya ada di lantai bawah, sedikit ke belakang, tak jauh dari ruang keluarga.

Warga di komplek perumahan Kelvin tahu mereka adalah pasangan suami istri karena Kelvin sudah menyampaikannya pada pengurus RT setempat.

Dan lagi, mereka bukan hanya menikah secara siri, melainkan sah secara agama dan negara. Mereka memiliki buku hijau dan coklat di tangan masing-masing—buku nikah—yang mereka dapat setelah menikah secara sederhana di kantor urusan agama.

Dan setelah beberapa hari tidak tampak di kampus, hari ini Amaya akan menunjukkan eksistensinya kembali.

Bagaimanapun … hidup harus berlanjut!

Kesedihan tak boleh membatasi ruang geraknya.

Amaya baru saja keluar dari kamar dengan keadaan siap berangkat, tepat saat itu ia bertemu dengan Kelvin yang seketika tersedak jus yang ia bawa di dalam botol.

“Uhukk—uhukk—“

Pria itu terbatuk-batuk, mengusap dadanya sebelum memandang Amaya dan menunjuknya dari bawah hingga ke atas.

“Apa-apaan ini?” tanya Kelvin, kedua bahunya merosot, tak habis pikir.

“Bagaimana penampilan saya?” tanya Amaya balik, memutar tubuhnya sekali di hadapan Kelvin. “Apakah Bapak suka?”

“Apa yang sedang kamu pakai ini, Amaya?” desaknya. “Kenapa pakaianmu warna-warni? Dan itu—“ Kelvin menunjuk pada rok di atas lutut berwarna ungu yang ia kenakan dan blouse merah jambu yang kerahnya terlalu rendah. “Kamu ingin menjadikan dirimu sebagai objek cuci mata para mahasiswa?”

“Ini revenge outfit, Pak Kelvin.”

“Rev—out—what?!”

“Revenge outfit,” ulang Amaya. “Seperti Lady Diana yang memakai revenge dress, Amaya Madira punya revenge outfit,” terangnya. “Apakah Bapak suka?”

“Nggak sama sekali!” jawab Kelvin yang seketika membuat senyum Amaya lenyap.

“Kenapa?”

“Jangan menyamakan dirimu dengan Lady Diana! Pakaian yang kamu kenakan ini seperti baru saja … melecehkan mata saya!”

“Apa?!” sebut Amaya tak habis pikir. Ia sejenak lupa bahwa Kelvin itu mulutnya sangat ... menyebalkan dan tidak fleksibel.

“Ganti!” titah Kelvin, memalingkan wajahnya dari Amaya.

“Nggak mau,” jawabnya. “Rama dan Miranda harus melihat penampilan baru saya. Lagian semua baju yang saya bawa ke rumah ini isinya semua begini,” lanjut Amaya sekenanya.

“Yang ada kamu akan dianggap gila sama mereka karena berpakaian seperti ondel-ondel begini!”

Tapi gadis itu tak peduli, ia bersikeras akan mengenakan itu ke kampus. Ia bahkan sudah pergi meninggalkan pintu rumah, membiarkan Kelvin gagal mencegah keputusannya. “Berangkat dengan saya, Amaya!” ucap Kelvin saat pria itu membuka pintu mobil yang parkir di halaman.

“Nanti ada yang melihat kita, bagaimana?”

“Saya akan turunkan kamu agak jauh dari kampus.”

Tak ingin berdebat, atau Kelvin akan melarangnya mengenakan pakaian yang ia pilih sebagai sarana balas dendam ini, Amaya menurut.

Ia duduk di samping Kelvin yang menyetir mobilnya sendiri pergi ke kampus.

Diam-diam Amaya memperhatikannya dari samping. Pria itu sempurna, rupawan, menawan dan mapan. ‘Sayangnya … dia juga suka dengan yang tampan,’ batin Amaya.

“Jadi apa orientasi Bapak kalau saya boleh tahu?” tanya Amaya membuka percakapan agar yang terjadi di sana bukan hanya kediaman yang membekukan setiap sisi kendaraan. “P-Pak Kelvin b-betulan … g-ga—“

Amaya berhenti bicara karena mobil milik Kelvin tiba-tiba berhenti.

“Turun!” perintah pria itu seraya mengedikkan dagunya agar Amaya cepat membuka pintu mobil.

“Tapi ini masih jauh, Pak,” kata Amaya. “Belum ada separuh perjalanan. Soal pertanyaan tentang orientasi Bapak itu saya hanya—”

“Saya nggak memintamu jalan ke kampus,” potong Kelvin. “Saya meminta kamu untuk membeli pakaian di toko itu!” tunjuknya pada toko pakaian yang ada di sebelah kiri jalan.

Amaya mendengus, padahal ia baru saja berpikir Kelvin marah karena ia membahas perihal ketertarikannya.

Tapi bukan!

Tahu sudah ia niat pria ini memintanya agar ikut berangkat dengannya. Agar Amaya membeli pakaian baru—bukan mengenakan ‘atribut ondel-ondel’ seperti ini.

“Saya akan turun kalau begitu, tapi jangan harap saya mau ganti pakaian! Ini cara saya membalas—“

“Fine,” putus Kelvin seraya bersedekap. “Pakai baju itu ke kampus. Tapi jangan salahkan saya kalau nanti saya akan bilang ke semua mahasiswa bahwa kamu adalah istri saya, Amaya Madira Hariz!”

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Aya Melodi Agrifina
bilang aja klp nggak suka klo bininya dilirik mahasiswa lain pak Kelvin hahaha
goodnovel comment avatar
Diahayu Aristiani
balik lagi ke mode awal. amaya -kelvin adu mulut. pakaian amaya bukan melecehkan mata kelvin tapi kelvin kayaknya gak suka ntar amaya di liatin cowok2.
goodnovel comment avatar
Christy Lino
Keras kepala agak dkit bar2 VS Kulkas berjalan wkwkkwk mkin seru nihhhh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status