Share

4. Kita Akhiri Saja

“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!”

Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya.

“Iya. Pak Kelvin sendiri?”

“Sama,” jawab pria itu singkat.

“Bapak tidak ada kelas lagi?”

“Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.”

Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal.

Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit.

“Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?”

“Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.”

Semakin dekat pada kamar rawat ayahnya, dada Amaya berdebar oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada rasa takut yang besar saat ia melihat beberapa perawat berlarian masuk ke dalam sana.

“Papa ….” gumam Amaya seraya berlari. Dokter dan perawat berkerumun saat ia tiba di dalam.

Dengung suara monitor menyakiti indera pendengarnya. Sepanjang yang ia lihat, pada layar yang mendeteksi detak jantung Athan itu hanya menampilkan garis lurus.

Amaya berdiri terpancang, meremas coat milik Kelvin dengan kuat saat salah seorang dokter di sana terlihat memberi gelengan pada dokter lainnya dan mengatakan, “Pak Athandika Hariz kembali ke hadapan Tuhan pukul sepuluh lewat sepuluh menit.”

“PAPA!” Amaya tak bisa menahan jeritannya. Ia berlari menghambur untuk memeluk sang Ayah yang matanya terpejam rapat.

Ia mengguncang tubuh Athan yang terasa dingin.

“Papa, jangan tinggalin Amaya!”

Tangisnya tumpah, ia menyentuh wajah Athan yang pucat, memeluknya dan memintanya membuka mata, tetapi takdir telah berkata lain.

Ayahnya telah pergi.

Kelvin memintanya menjauh meski Amaya menepisnya. Yang ada di benaknya kini adalah seberkas rasa bersalah, seandainya ia datang sepuluh menit lebih cepat … mungkin ia masih bisa melihat Athan. Mungkin ia masih bisa mengatakan bahwa ia mencintainya di penghujung kehidupan.

Waktu berhenti di sekitarnya, Amaya tak tahu harus melakukan apa sekarang.

Jika ibunya Kelvin tidak datang dan merangkulnya agar ia bangun dan mengikuti proses pemakaman, ia bisa melamun seharian di kamar yang menyaksikan kepergian ayahnya itu.

Menuju sore hari, saat hujan telah menyisih dan kelamnya awan abu-abu digantikan oleh birunya langit, Amaya melihat nama ayahnya yang terukir abadi pada batu nisan, tegap berdampingan dengan makam sang ibu.

Saat para pelayat membawa kaki mereka menjauh, Amaya sempat melihat kehadiran Rama dan Miranda, tapi ia tak peduli dengan mereka.

Hatinya terlampau sakit sebab kehilangan Athan sekarang ini.

“Selamat jalan,” kata Amaya saat ia menyentuh nisan ayahnya. “Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Amaya sayang Papa.”

Amaya memeluk nisannya cukup lama sebelum ibunya Kelvin meraih bahunya dan memintanya untuk pulang.

Ia menumpang pada mobil keluarga Kelvin hingga sampai di halaman rumah, setelah ia menolak untuk bersama mereka di rumah seberang jalan.

Amaya berdiri di teras miliknya yang tiba-tiba terasa suram, asing dan membuat ia lupa bahwa memang di sinilah seharusnya ia pulang.

Amaya membuka pintu rumahnya, tubuhnya merosot duduk di lantai. Ia menunduk memandang dress panjang warna hitam yang ia kenakan.

‘Satu hari ini rasanya sangat buruk sekali,’ gumamnya dalam hati. Ia memiliki dua kehilangan yang mengoyak hatinya pada hari yang sama.

Amaya menegakkan punggung saat mendengar suara bel pintu yang ditekan dari luar. Ia bangun dan membuka pintu, menjumpai wajah Kelvin yang menyeruak dan mengayunkan kakinya masuk setelah Amaya mempersilahkannya.

“Aku sudah menghubungi Abangmu,” kata Kelvin membuka percakapan. “Penerbangannya dari Manhattan delay, kalau nggak besok mungkin lusa dia baru akan sampai.”

“Terima kasih,” jawab Amaya, kepalanya masih tertunduk sembari meremas jari-jari kecilnya.

“Mama meminta kamu untuk tinggal di rumahku,” katanya. “Tapi untuk sekarang beliau meminta kamu datang ke rumah seberang untuk makan malam.”

Amaya menghela dalam napasnya, wajahnya terangkat sehingga maniknya bertemu dengan iris Kelvin yang tak berpaling darinya sama sekali.

“Pak Kelvin,” sebutnya lirih. “Ayo kita akhiri pernikahan siri kita itu,” pintanya. “Papa sudah pergi juga, ‘kan? Kita nggak perlu berpura-pura lagi. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginan Papa di akhir hidupnya.”

Amaya menunduk sopan sebelum memalingkan wajahnya dan pergi dari hadapan Kelvin, tetapi baru satu langkah, ia tertahan di sana.

“Tidak, Amaya,” ucap Kelvin.

Penolakan itu membuat Amaya menoleh kembali pada Kelvin. Alis pria itu sedikit berkerut saat mengatakan, “Meskipun siri, saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup saya,” katanya. “Maaf, tapi saya nggak bisa mengakhiri pernikahan kita begitu saja.”

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Aya Melodi Agrifina
aq tau perasaan seperti apa yg amaya rasakan...kehilangan ayah adalah kehilangan terbesar dlam hidup... seakan² dunia ikut hancur.. smpe skr masih berasa
goodnovel comment avatar
Diahayu Aristiani
yg kuat ya amaya. udah di selingkuhin di tinggal papa nya juga. apa kelvin sebenarnya ada rasa sama amaya? tapi gak kentara karna sikap judes nya? semoga kelvin bisa buat amaya bahagia
goodnovel comment avatar
Christy Lino
Kasian Amaya udh yatim piatu,..udh bener amaya ada di tgn kelvin krn hnx kelvin yg mampu utk mnjaga & membimbing amaya ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status