“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!”
Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin dekat pada kamar rawat ayahnya, dada Amaya berdebar oleh perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada rasa takut yang besar saat ia melihat beberapa perawat berlarian masuk ke dalam sana. “Papa ….” gumam Amaya seraya berlari. Dokter dan perawat berkerumun saat ia tiba di dalam. Dengung suara monitor menyakiti indera pendengarnya. Sepanjang yang ia lihat, pada layar yang mendeteksi detak jantung Athan itu hanya menampilkan garis lurus. Amaya berdiri terpancang, meremas coat milik Kelvin dengan kuat saat salah seorang dokter di sana terlihat memberi gelengan pada dokter lainnya dan mengatakan, “Pak Athandika Hariz kembali ke hadapan Tuhan pukul sepuluh lewat sepuluh menit.” “PAPA!” Amaya tak bisa menahan jeritannya. Ia berlari menghambur untuk memeluk sang Ayah yang matanya terpejam rapat. Ia mengguncang tubuh Athan yang terasa dingin. “Papa, jangan tinggalin Amaya!” Tangisnya tumpah, ia menyentuh wajah Athan yang pucat, memeluknya dan memintanya membuka mata, tetapi takdir telah berkata lain. Ayahnya telah pergi. Kelvin memintanya menjauh meski Amaya menepisnya. Yang ada di benaknya kini adalah seberkas rasa bersalah, seandainya ia datang sepuluh menit lebih cepat … mungkin ia masih bisa melihat Athan. Mungkin ia masih bisa mengatakan bahwa ia mencintainya di penghujung kehidupan. Waktu berhenti di sekitarnya, Amaya tak tahu harus melakukan apa sekarang. Jika ibunya Kelvin tidak datang dan merangkulnya agar ia bangun dan mengikuti proses pemakaman, ia bisa melamun seharian di kamar yang menyaksikan kepergian ayahnya itu. Menuju sore hari, saat hujan telah menyisih dan kelamnya awan abu-abu digantikan oleh birunya langit, Amaya melihat nama ayahnya yang terukir abadi pada batu nisan, tegap berdampingan dengan makam sang ibu. Saat para pelayat membawa kaki mereka menjauh, Amaya sempat melihat kehadiran Rama dan Miranda, tapi ia tak peduli dengan mereka. Hatinya terlampau sakit sebab kehilangan Athan sekarang ini. “Selamat jalan,” kata Amaya saat ia menyentuh nisan ayahnya. “Terima kasih sudah menjagaku selama ini, Amaya sayang Papa.” Amaya memeluk nisannya cukup lama sebelum ibunya Kelvin meraih bahunya dan memintanya untuk pulang. Ia menumpang pada mobil keluarga Kelvin hingga sampai di halaman rumah, setelah ia menolak untuk bersama mereka di rumah seberang jalan. Amaya berdiri di teras miliknya yang tiba-tiba terasa suram, asing dan membuat ia lupa bahwa memang di sinilah seharusnya ia pulang. Amaya membuka pintu rumahnya, tubuhnya merosot duduk di lantai. Ia menunduk memandang dress panjang warna hitam yang ia kenakan. ‘Satu hari ini rasanya sangat buruk sekali,’ gumamnya dalam hati. Ia memiliki dua kehilangan yang mengoyak hatinya pada hari yang sama. Amaya menegakkan punggung saat mendengar suara bel pintu yang ditekan dari luar. Ia bangun dan membuka pintu, menjumpai wajah Kelvin yang menyeruak dan mengayunkan kakinya masuk setelah Amaya mempersilahkannya. “Aku sudah menghubungi Abangmu,” kata Kelvin membuka percakapan. “Penerbangannya dari Manhattan delay, kalau nggak besok mungkin lusa dia baru akan sampai.” “Terima kasih,” jawab Amaya, kepalanya masih tertunduk sembari meremas jari-jari kecilnya. “Mama meminta kamu untuk tinggal di rumahku,” katanya. “Tapi untuk sekarang beliau meminta kamu datang ke rumah seberang untuk makan malam.” Amaya menghela dalam napasnya, wajahnya terangkat sehingga maniknya bertemu dengan iris Kelvin yang tak berpaling darinya sama sekali. “Pak Kelvin,” sebutnya lirih. “Ayo kita akhiri pernikahan siri kita itu,” pintanya. “Papa sudah pergi juga, ‘kan? Kita nggak perlu berpura-pura lagi. Terima kasih sudah mau mengabulkan keinginan Papa di akhir hidupnya.” Amaya menunduk sopan sebelum memalingkan wajahnya dan pergi dari hadapan Kelvin, tetapi baru satu langkah, ia tertahan di sana. “Tidak, Amaya,” ucap Kelvin. Penolakan itu membuat Amaya menoleh kembali pada Kelvin. Alis pria itu sedikit berkerut saat mengatakan, “Meskipun siri, saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup saya,” katanya. “Maaf, tapi saya nggak bisa mengakhiri pernikahan kita begitu saja.”“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m
“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“I-i-itu—” Amaya bingung menjawab ibu mertuanya. Jika ia tahu akan ada kunjungan mendadak seperti ini, Amaya pasti akan mempersiapkan jawaban. “Kenapa kamu dan Kelvin pisah kamar, Sayang?” tanya Riana sekali lagi, yang membuat Amaya tertunduk. Otaknya sedang bekerja keras agar ia dan Kelvin tak dicurigai bahwa yang mereka lakukan ini hanyalah sebatas pernikahan terpaksa—demi menyenangkan orang tua. ‘Kami akan tamat,’ batin Amaya. Rajendra dan Riana pasti akan kecewa karena ia dan Kelvin tak pernah hidup sebagai selayaknya suami dan istri pada umumnya. Di saat kritis yang nyaris saja mencekik lehernya, sebuah suara datang dari antah berantah menjawab, “Aku yang minta, Mam.” Amaya dan Riana menoleh ke arah pintu ruang makan. Seorang pria dengan kaos berkerah berlogo kampus di dadanya masuk di waktu krusial dan memberi ketegangan ekstra. Kelvin. “Aku yang minta Amaya untuk tidur di bawah sementara waktu,” lanjutnya seraya berhenti di samping sang ayah. “Kenapa kamu meminta i
"Kenapa tiba-tiba mau menginap?" tanya Kelvin saat Amaya masih terpaku di samping kanannya. "Apa nggak boleh kami menginap di sini?" tanya Rajendra balik. "Kami hanya ingin memastikan Amaya hidup dengan baik setelah Pak Athan pergi." "S-s-saya baik-baik saja kok, Pa," sahut Amaya. Berharap setelah mendengar ini ayah dan ibu mertuanya itu memilih pergi saja. Ia tak bermaksud mengusir beliau berdua, hanya saja ... ia tak siap jika gerak dan aktivitasnya dilihat dan diperhatikan. "Baguslah kalau baik." Riana menyahut seraya tersenyum, mendekat dan mengusap pipi Amaya dengan ibu jarinya yang lembut. "Memang sudah menjadi hak setiap istri untuk diperlakukan dengan baik oleh suaminya," lanjutnya. "Kelvin memperlakukan kamu dengan baik, 'kan?" Amaya melirik Kelvin yang rupanya juga sama mencuri pandang lewat sudut matanya. 'BAIK TAPI MULUTNYA NGGAK SAMA SEKALI!' jerit Amaya dalam hati. 'Mulut Kelvin itu lebih pedas daripada habanero!' "Apakah saya memperlakukan kamu dengan bai
"Kamu hanya mendengar gosip yang belum tentu dipertanggungjawabkan kebenarannya." Suaranya yang dalam kembali terdengar saat Amaya menahan dada Kelvin dengan cepat. Senyumnya terkembang dengan ambigu tepat di depan matanya. Hidung mereka yang hampir bersentuhan, mengundang benaknya berkecamuk semakin hebat, 'A-apa dia ingin bilang kalau gosip itu salah?' tanya Amaya dalam hati. Jika itu tak benar, artinya Kelvin adalah seorang pria normal?! Pupil Amaya bergerak gugup, yang sangat jauh berbeda dengan sepasang mata Kelvin yang tenang. "Bagaimana sekarang?" tanya Kelvin lagi. "Apakah kamu masih memiliki keinginan agar lampu di kamar ini dimatikan?" "T-tidak," jawab Amaya dengan cepat. "S-saya b-bisa tidur dengan lampu menyala. Nggak perlu dimatikan!" "Bagus, karena dengan begitu kamu juga bisa melihat performa saya dengan jelas dan—" "Pak Kelvin!" seru Amaya, menyadari adanya peringatan tanda bahaya dari berubahnya arah percakapan mereka. "S-s-s—" "Kenapa kamu mendesis seperti
'D-dia ngapain sih?' batin Amaya penuh dengan tanya. 'Dia beneran kesel sama aku yang ngomong kalau motornya Ziel keren kemarin? Astaga ... padahal yang aku puji tuh motor barunya, bukan orangnya. Ini model cemburu apa lagi, Kelvin?'Mata Amaya terpejam sesaat. Tak ada kata damai dalam hidupnya jika sikap agresif Kelvin sering kali tak tertebak.Hari ini dengan naik motor, lalu berhenti di hadapannya seolah ia sedang menunjukkan bahwa dirinya adalah suaminya Amaya.'Tadi bukannya dia ngantar kak Gafi ke chiropractor ya?' batinnya lagi. 'Jadi dia pulang dulu buat ngambil motornya terus ke kampus gitu?'Lagi pula kenapa Amaya tak sadar bahwa itu adalah motornya Kelvin?Ia hampir melihatnya setiap hari di garasi.Semua pikiran berkecamuk tanpa henti. Amaya sedikit tersentak saat mendengar Kelvin yang mengatakan, "Ayo."Kepala pria itu sekilas miring ke kiri, meminta Amaya untuk segera naik. Salah satu tangannya mengarah ke depan, menyerahkan helm pada Amaya yang bingung harus bagaimana
“Maaf, Mir,” ucap Rama sekali lagi. “Buat semua kesalahan yang aku lakukan, buat aku yang udah menghancurkan hidupmu dan bahkan berniat membuatmu menghilang.”Miranda tertunduk di tempat ia duduk. Ia meremas jari-jarinya yang ada di atas paha.Hening kembali menghampiri, senja di luar yag menggelap menuntun mereka untuk mengingat, menapaki kembali jalan suram yang pernah mereka ambil.“Waktu itu ...” Miranda akhirnya membuka suaranya. “Waktu kamu dorong aku dari lantai dua Amore, apa itu betulan karena kamu rencanakan?” tanyanya. “Apa ... nggak seberharga itu aku buat kamu sekalipun hubungan yang sebelumnya kita lakukan itu salah?”Rama tampak menggertakkan rahangnya, ia menggeleng sebelum menjawab Miranda. “Nggak,” jawabnya. “Aku nggak pernah rencanain itu, Mir. Nggak pernah ada niat sejak awal buat dorong kamu. Aku cuma ... tertekan waktu itu. Aku takut kalau Papaku bakal buang aku ke tempat yang jauh dari sini. Maaf ....”Miranda tersenyum tipis, ia lalu menggigit bibirnya untuk me
Niat hati ingin mengelabui, ternyata malah tertangkap basah!“Siang bolong begini, Vin?” goda Riana setelah Rajendra lebih dulu berdeham dan meninggalkan mereka berdua.“Apa sih?” tanya Kelvin, ia menyapukan rambut hitamnya ke belakang saat Amaya menyenggol lengannya, isyarat agar Kelvin menjawab ibunya dengan sedikit lebih masuk akal. “Nggak ngapa-ngapain juga. Benerin ikat pinggang emangnya salah? Habis dari kamar mandi tadi.”“Oh—““Lagian kalau ngapa-ngapain tuh juga kenapa, Mam? Sama istri sendiri juga. Kayak nggak pernah muda aja,” imbuhnya. “Mama sama Papa dulu pasti juga sering—aaak!”Kelvin berteriak saat Riana mencubit dadanya, ia tarik dan ia puntir. “Mam—sakit, Mam—““Berani kamu godain Mama hah?”“Godain gimana sih?” tanya Kelvin balik seraya mengusap dadanya. Ia terdorong menyingkir dari hadapan Riana setelah ibunya itu membuatnya hampir terjengkang.“Maaf ya, Sayang ....” kata Riana pada Amaya. Mendekat dan memeluknya. “Maklum di usianya yang udah kepala tiga si Kelvin
Amaya yang mendengar celotehan Arsen yang tengah berjalan di belakang punggungnya tak bisa menahan tawa.Entah kenapa mulut julid Arsen selalu menghibur. Kali ini ... si bapaknya yang tak lolos darinya.Carl Fredricksen ia bilang?Si kakek-kakek tua berambut putih yang ada di film UP.Arsen mengatakan begitu mungkin karena jalan Gafi yang terbungkuk dengan bantuan tongkat.Dan jika Amaya perhatikan lebih jauh, tongkatnya itu sebenarnya adalah gagang sapu yang entah ia dapatkan dari mana.Ditambah dengan dirinya yang bau minyak tawon, maka sempurnalah mulut julid Arsen saat me-roasting bapaknya."Ada apa?" tanya Serena yang berpapasan jalan dengan Amaya.Kakak iparnya itu terlihat baru saja datang karena masih membawa tas di tangannya."Itu, Kak Rena—" Amaya sekilas menoleh ke belakang, pada Gafi yang dibantu berjalan oleh Kelvin sementara di depannya Arsen menjadi pemandu sorak. "AYO, PAPA! MAJU-MAJU!""Arsen bilang kalau Kak Gafi udah kayak kakek tua ubanan di film UP," lanjut Amaya
Amaya yakin kalimat Ziel yang mengatakan ‘tadinya mau nawarin bareng ke Amaya, tapi kayaknya nggak dulu deh’ yang tadi diucapkannya itu selain karena ingin mengatakan bahwa memang Randy yang akan pulang dengannya, pasti karena Ziel melihat Kelvin sudah ada di sana. Sehingga pemuda itu ‘lari tunggang-langgang’. Tapi saat hal itu Ziel lakukan, hal yang seharusnya membuat Amaya aman, dirinya malah melontarkan pujian ‘keren banget’ pada Ziel yang bisa didengar oleh Kelvin. “Suami nggak tuh!” kata Alin seraya berpegangan tangan dengan Naira. Seolah saling menguatkan diri agar tak tiba-tiba berteriak semakin keras atau memeluk tiang listrik. “Kamu mau pulang bareng aku nggak?” tanya Kelvin, masih dengan matannya yang tak berpaling dari Amaya. “Aku-kamu nggak tuh,” imbuh Naira saat mendengar sebutan Kelvin untuk Amaya. “Katanya mau habisin makanan sebelum pergi ke rumahnya Mama? Jadi?” tanya Kelvin sekali lagi. Amaya bergeming. Benar-benar tak bisa menepis apapun sekarang! “J-jadi,”
[Memutuskan—Menetapkan pemberhentian (Drop Out) mahasiswa atas nama Caecilia Harjono sebagaimana tercantum di dalam lampiran sebagai mahasiswa Universitas G....] Caecil membacanya hingga habis setelah ia mengambil ponsel dari dalam tasnya. Tangannya terasa kebas dan gemetar. Jika email ini sudah sampai kepadanya ... artinya surat fisiknya juga bisa saja telah sampai di rumah dan barangkali sudah dibaca oleh Adrian serta Belinda—kedua orang tuanya. “Akh!” Caecil menggeram kesal, matanya berair dan ia mengangkat wajahnya, pergi dari layar ponselnya yang menyala untuk menatap pada Sarah dan Oliv. “Kita harus bales ini ke Amaya!” katanya menggebu-gebu. “Bener apa yang aku bilang kalau Amaya itu kurang ajar, ‘kan? Selain ngadu ke Pak Kelvin, dia juga bikin aku di DO dari kampus.” Celotehannya justru membuat kedua bahu Sarah dan Oliv seketika jatuh. Kedua temannya itu secara kompak merotasikan bola mata mereka dengan enggan. “Kalian nggak setuju?” tanya Caecil saat menjumpai ra
"Udah masuk sendiri dia," celetuk Randy sementara mahasiswa lain yang melihat Caecil terperosok kepalanya di dalam tong sampah malah tertawa tanpa henti. "TOLONG!" seru Caecil sekali lagi. Kedua tangannya mengepak-ngepak seperti burung yang terbang sedang kepalanya bertopikan tong sampah. Amaya hampir mendekat, berniat untuk menolongnya karena tidak tega. Akan jadi buruk jika Caecil kehabisan oksigen dan tak bisa bernapas saat kepalanya terperangkap di dalam sana. Sekalipun yang ia lakukan itu adalah karena ulahnya sendiri—yang berkeinginan menyerang Alin tapi gagal—tapi mendengarnya meminta tolong membuat Amaya tergerak hatinya. Tapi, pada langkah pertamanya, ia terhenti sebab teman Caecil datang. Kedua gadis yang dikenal Amaya bernama Sarah dan Oliv itu lebih dulu menghampiri Caecil. Menariknya dan mengangkat tong sampah yang membuat kepalanya terjebak itu. Sampah-sampah yang kebetulannya adalah sampah basah berhamburan ke lantai saat tong tersebut terangkat sehingga memunculk
Setelah akhir pekan dan ditambah oleh satu hari libur, pada akhirnya kesibukan di kampus telah kembali. Pagi ini, di rumah mereka sendiri, Amaya dengan kesadaran penuh bangun lebih awal, ia membuat sarapan untuknya dan Kelvin—anggap saja ini sebagai balasan karena kemarin penuh dengan ‘princess treatment.’“Jangan pedes-pedes kenapa?” tanya Kelvin saat ia menyuap ayam bumbu yang dibuat oleh Amaya saat akhirnya mereka duduk berseberangan di meja makan.“Nggak masuk seleranya Mas Vin ya?” tanya Amaya balik.“Masuk, Sayang. Tapi ini kepedesan, buat pagi di mana perut kita belum terisi apapun, aku kurang setuju.”“K-kalau gitu simpan di kulkas aja nggak sih?” usul Amaya yang mendapat tanggapan dari Kelvin. “Boleh, yang masih ada di mangkuk masukin kulkas, kita cemilin nanti pulang dari kampus.”Amaya mengangguk, ia mengikuti Kelvin yang meneguk minuman dan memang harus ia akui rasanya memang pedas!“Tapi terima kasih buat effort kamu,” kata Kelvin setelah ia menyuap ayam bumbu terakhir
“Ahh—“ Suara itu lolos dari bibir Amaya setelah serangkaian pemanasan yang panjang. Saat dirinya dan Kelvin menjadi satu di bawah lampu kamar yang berpendar hangat. Kelvin yang mengganti lampunya tadi sebelum ia juga menanggalkan semua pakaiannya. Sangat mendebarkan saat Amaya mengambil oksigen dari ciuman mereka yang seolah tak akan berhenti di bibirnya. Ia membiarkan lidah mereka untuk bertemu hingga api yang sejak tadi hanya sebesar lilin itu membakar segalanya. “Ahh—“ Amaya kembali terjaga dari lamunan sesaatnya kala bibir Kelvin menyinggahi bahunya yang terbuka. Prianya ini tak pernah gagal membuatnya mabuk dengan sentuhan-sentuhan yang ia berikan. “Kamu suka?” tanya Kelvin dengan terus bergerak di atas Amaya, ia terlihat sangat tampan sekalipun sebagian rambutnya telah basah oleh keringat. “K-kenapa tanyanya begitu sih?” tanya Amaya balik. Batinnya bergumam, ‘Apa dia nggak bisa lihat akan seberapa berantakan aku kalau dia berhenti sekarang?’ “Cuma ingin mastiin kalau