Amaya masih diberi kesempatan untuk melihat sang ayah bangun. Sekitar pukul tujuh malam saat ia menyaksikan Kelvin menjabat tangan ayahnya seraya mengucap, “Saya terima nikah dan kawinnya Amaya Madira Hariz binti Athandika Hariz dengan mas kawin tersebut tunai.”
Pada akhirnya … Amaya mengesampingkan apapun agar bisa melihat ayahnya tersenyum. Sekarang, ia telah menjadi istri Kelvin meski masih sebatas istri siri. Athan sendiri yang menikahkan mereka beberapa saat setelah bangun dari ketidaksadarannya. “Terima kasih, Kelvin,” ucap Athan, senyum terkembang saat matanya yang masih sayu menatap Kelvin yang duduk di samping Amaya, tak jauh dari ranjang di mana ia dirawat. “Papa titip Amaya kepadamu ya?” ujarnya. “Tolong jaga dan bimbing dia karena sepertinya pria tua ini nggak bisa menjaganya lebih lama.” “Baik,” jawab Kelvin seraya menganggukkan kepalanya. Amaya menghela dalam napasnya, memandang pria di samping kanannya ini melalui sudut matanya, sadar penuh bahwa Kelvin mau menikah dengannya juga karena ia didesak oleh orang tuanya. Tadi siang, pria itu tak serta-merta setuju melainkan lebih dulu mengajukan protes, ‘Kenapa aku juga harus jadi tumbal, Mam?’ tanyanya pada sang Ibu yang paling bersemangat memintanya menikah. ‘Mama dan Papa nggak pernah menuntut apapun padamu, Vin,’ tanggap ibunya yang tadi sangat kesal. ‘Di usiamu yang sudah kepala tiga dan harusnya sudah punya anak dua, kamu nggak menikah pun kami nggak menuntut, tapi saat kami meminta agar kamu mengabulkan keinginan Om Athan pun kamu masih nggak mau? Durhaka kamu!’ Maka begitulah akhirnya Kelvin setuju untuk menikah setelah didesak ibunya yang berulang kali mengatakan perihal ‘balas budi.’ “Cium istrimu, Kelvin,” pinta Athan yang membuat Amaya terjaga dari lamunannya. Ia menoleh pada Kelvin dengan sepasang mata yang membola, mengisyaratkan ‘Coba saja kalau berani!’ Pria itu pun melakukan hal yang sama sehingga mata mereka bersirobok lebih dari beberapa detik sebelum akhirnya keduanya membuang muka. “Mungkin mereka masih malu, Pak Athan,” sahut ayahnya Kelvin yang berdiri tak jauh dari mereka. “Untuk apa malu? Kalian ‘kan sudah sah?” Amaya memandang Kelvin sekali lagi, melihat tenangnya pria itu membuat Amaya yakin ia sedang memanfaatkan situasi ini. “Ayo!” desak Athan seperti tak ingin mengulur waktu, seolah pria tua itu ingin melihat segala hal sebelum ia tak bisa lagi melihatnya. “Ayolah, sebentar saja ....” Kelvin menunduk, bibirnya jatuh di kening Amaya selama satu detik sebelum mereka saling berpaling. Amaya mengusap keningnya sementara Kelvin berdeham dan bangun dari duduknya. Setelah ciuman canggung yang tak disukai oleh Amaya itu, orang tua Kelvin berpamitan pulang, sedangkan Amaya dan Kelvin akan tinggal di rumah sakit untuk menjaga Athan. “Maaf,” ucap Athan sewaktu Amaya duduk di kursi yang berada di samping ranjang sementara Kelvin berdiri di belakangnya. “Maaf karena kalian harus menghabiskan waktu malam pertama kalian untuk menjaga Papa di sini,” lanjutnya. “Atau mungkin kalian mau pergi lebih dulu ke hotel dan—“ “Papa,” sela Amaya sebelum Athan bicara lebih jauh. Kedua bahu Amaya jatuh saat ia menggenggam tangannya semakin erat. “Tolong jangan pikirkan hal itu,” katanya. “Tolong cepatlah sembuh saja, aku nggak suka lihat Papa di sini.” Athan mengangguk, ia mengusap lembut pipi anak perempuannya itu dan tersenyum, “Jadilah istri yang baik,” katanya. “Cinta memang nggak selalu datang di awal pernikahan, tapi juga setelah kalian hidup bersama.” Dalam hati, Amaya menolak. Ia tak yakin soal ‘cinta yang datang setelah hidup bersama’ karena hatinya hanya tertuju pada satu laki-laki yang sedari tadi ada di pikirannya. Rama, pacarnya. Yang sama sekali tak menghubunginya sejak pagi, sejak Amaya meminta ia menemaninya di kantor polisi setelah menabrak tukang sayur tadi. ‘Dia ke mana?’ batinnya cemas. ‘Apa aku melakukan sesuatu yang membuatnya kesal?’ Amaya rasa tidak, bahkan sampai tadi malam mereka masih lancar saling berpesan. Ia menghela napasnya saat mendengar Kelvin yang ada di belakangnya mengatakan, “Sebaiknya Om—“ Kelvin berhenti bicara, meralat kalimatnya terlebih dahulu. “Sebaiknya Papa istirahat,” pintanya. “Iya, Kelvin,” jawab Athan. “Terima kasih.” Amaya masih menggenggam tangan Athan saat ayahnya itu perlahan memejamkan mata. Ia sama sekali tak beranjak dari tempatnya duduk dan berada di sana dengan benak yang terbagi-bagi. Cemas dengan kondisi ayahnya—apakah besok beliau masih bisa membuka mata lagi—serta pada Rama, ingin rasanya lari pada lelaki itu dan mengadu betapa beratnya satu hari yang ia lewati ini. “Kamu juga tidur sana!” kata Kelvin enggan, membuat Amaya memutar kepala untuk menghadapnya yang berjalan menjauhinya. “Lalu Pak Kelvin bisa melakukan sesuatu padaku?” selidiknya curiga. Pria itu berhenti dari langkahnya. Desah enggannya terdengar sewaktu ia kembali memandang Amaya, “Jangan harap!” jawabnya. “Kalau begitu terserah kamu mau tidur atau nggak!” tukasnya tak ambil pusing. Amaya masih tak beranjak, bola matanya mengikuti ke mana Kelvin bergerak hingga menghempaskan dirinya di atas sofa. Amaya menggapai ponselnya dari dalam tas dan mengirim pesan pada Rama. [Kamu di mana? Aku kangen.] Tak kunjung mendapatkan balasan lebih dari sepuluh menit berlalu. Sehingga ia mengirim pesan pada orang lain. Kali ini pada Miranda, sahabatnya. [Mir, kamu sudah tidur?] Tak seperti Rama, Miranda membalasnya. [Belum, May. Kenapa?] [Kamu lihat Rama? Dia nggak balas pesanku sejak tadi] [Lagi nugas mungkin, atau lagi sakit dan tidur?] Amaya membenarkan Miranda, membangun pikirannya untuk tetap positif. ‘Nggak apa-apa, aku akan bertemu dengannya besok.’ *** Meski Amaya dan Kelvin terlihat pergi bersamaan meninggalkan ruang rawat Athan setelah ayahnya Kelvin datang untuk menjaganya pada pagi harinya, mereka berpisah di luar, tanpa pamit, tanpa saling bicara. Amaya tak ingin memulai percakapan dengan Kelvin begitupun sebaliknya. Ia mengambil jalan yang berbeda dari pria itu dan memilih untuk pergi ke kampus dengan naik taksi online yang ia pesan. Tiba di kampus, Amaya bergegas mencari Rama. Di kelas yang pagi ini harusnya dihadiri oleh pacarnya itu, ia tak menjumpai sosok yang ia cari duduk di sana bersama mahasiswa lainnya. “Apa Rama belum datang?” tanyanya pada salah seorang mahasiswa yang melihat kedatangannya. “Tadi kayaknya di dekat lapangan futsal.” “Thanks,” jawab Amaya singkat. Ia membawa langkah kakinya untuk bergegas menemui Rama. Sekalian untuk menyerahkan toast yang ia beli saat di perjalanan tadi. Tiba di lapangan futsal, ia tak menjumpai satu orang pun di sana. Ini masih cukup pagi untuk seseorang berada di lapangan atau berlarian menguras keringat. ‘Nggak ada,’ batin Amaya seraya beranjak pergi. Satu langkah meninggalkan tempatnya berdiri, ia mendengar samar gelak tawa dari kejauhan. ‘Suaranya Miranda?’ tanyanya pada diri sendiri. Ia berjalan menjemput asal suara itu. Di belakang salah satu bangunan, pada bangku yang ada di bawah pohon tak jauh dari lapangan futsal, Amaya melihat seorang perempuan yang duduk di sana. Dari belakang, ia yakin bahwa itu benar Miranda. “Akan aku kejutkan dia,” gumam Amaya. Tapi … Miranda tak sendirian. Ia duduk di samping seorang lelaki yang merangkul pinggangnya serta menatapnya dengan mata yang teduh. Rama, lelaki itu adalah Rama. Amaya berdiri terpancang di belakang dua manusia itu, tubuhnya kebas sekujur badan. Rasa marah bertalu-talu di dalam dadanya hingga nyaris meledak tatkala menyaksikan lelaki yang ia rindukan sejak semalam sedang mencium bibir seorang perempuan yang tak lain adalah sahabatnya sendiri. ….“Rama?” panggil Amaya yang membuat si pemilik nama dengan cepat menoleh padanya dengan terkejut. Begitu juga dengan Miranda yang bergegas bangun dari duduknya. “B-Babe?” sebut Rama tergagap. “A-apa yang kamu lakukan di sini?” tanyanya. “Kenapa kalau aku di sini memangnya?” tanya Amaya balik, mencengkeram semakin erat paper bag berisi toast yang ada di tangan kanannya. “Nggak boleh?” lanjutnya dengan dada yang naik turun menahan marah. “Kamu nggak suka aku di sini karena aku bisa melihatmu dan Miranda berciuman?” “Ini nggak seperti yang kamu lihat, Babe,” jawab Rama. “May … aku—“ “Kalau nggak seperti yang aku lihat lalu apa yang kalian lakukan barusan memangnya?” potong Amaya sebelum Miranda turut membela diri. “Apa bibir kalian yang menempel sampai lengket itu nggak bisa disebut sebagai ciuman?” “Babe, dengar—“ Lelaki itu mendekat pada Amaya kemudian meraih pergelangan tangannya. “Jangan menyentuhku, Buaya sialan!” umpat Amaya seraya menepis kasar tangan Rama. “Kita putus! ngga
“Nggak,” jawab Amaya. “Untuk apa saya mengharapkan Bapak mencium saya? Sudah gila apa?!” Kelvin hanya mendengus. Ia membuka pintu mobil dan sekali lagi meminta Amaya agar masuk. “Masuklah! Kamu mau ke rumah sakit, ‘kan?” tanyanya. “Iya. Pak Kelvin sendiri?” “Sama,” jawab pria itu singkat. “Bapak tidak ada kelas lagi?” “Ada, tapi karena saya tadi melihatmu—“ Kelvin berhenti bicara, ia berdeham meralat kalimatnya. “Nanti saya akan kembali lagi ke kampus. Sekarang masuklah biar saya mengantarmu ke rumah sakit.” Amaya tak ingin menolak, tenaganya seperti terkuras habis sejak ia melihat Rama dan Miranda mengadu bibir di dekat lapangan futsal. Sebab jalan raya tergenang air hujan, membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama untuk mereka tiba di rumah sakit. “Pakai itu!” ucap Kelvin, menyerahkan coat miliknya saat mereka berjalan di sepanjang lorong menuju ke ruang rawat Athan. “Kamu nggak punya pakaian ganti di kamarnya Om Athan?” “Ada, kemarin dikirim sama sopirnya Papa.” Semakin
“Saya nggak mau mengkhianati janji saya pada Papamu, Amaya,” kata pria itu. “Papa juga nggak akan tahu kalau pernikahan ini selesai, Pak Kelvin,” terangnya mencari alasan. Amaya hanya ... tidak ingin hidup bersama dengan pria yang tidak ia cintai. Apalagi itu gunung es yang sikapnya menyebalkan bernama Kelvin Indra Asgartama. Sikapnya yang kaku atau perbedaan umur mereka yang terpaut enam belas tahun baginya adalah sebuah ketidakserasian yang besar. “Kamu tahu sakitnya dikhianati, bukan?” tanya Kelvin mengakhiri kebisuan sesaat di antara mereka. “Setelah tahu rasanya, apakah kamu akan mengkhianati janjimu pada Papamu juga?” Amaya meremas jari kecilnya semakin erat. Kelvin seperti sedang membiarkannya berpikir dan mencari jawabannya sendiri. “Kenapa lama sekali, Vin?” tanya sebuah suara yang datang dari ambang pintu, ibunya Kelvin. “Ayo ke rumah Mama, May,” ajak ibunya Kelvin seraya tersenyum. Hangat sikap wanita itu membuat Amaya tak enak hati untuk menolaknya. “Iya, Tante—m
“Pak Kelvin mau melanggar kesepakatan kita?” tanya Amaya, menoleh pada Kelvin yang sekilas mengangkat kedua bahunya secara bersamaan. “Memangnya kita pernah membuat kesepakatan?” tanya Kelvin balik dengan tanpa beban, membuat Amaya mendengus tak habis pikir. “Apakah ada perjanjian hitam di atas putih? Dengan materai? Dengan—” “Nggak ada,” potong Amaya dengan cepat. “Tapi Pak Kelvin ‘kan setuju kalau di kampus nggak boleh ada yang tahu kita menikah?” “Saya setuju dengan syarat yang kamu ajukan, sebagai gantinya kamu juga harus melakukan hal yang sama, Amaya,” jawabnya. “Hal yang—” “Saya bukan Papa atau Abangmu yang bisa kamu bantah dengan sikapmu yang keras kepala,” terang Kelvin. “Meski nggak ada yang tahu kita menikah, tapi bukan berarti kamu bisa melakukan segala hal sesuka hatimu. Baik dan buruknya kamu sayalah yang bertanggung jawab.” Tiba-tiba ... Amaya tak bisa bicara. Ia menelan ludahnya dengan kasar mendengar dingin dan tegasnya cara Kelvin berucap. Baru kali ini ada s
Tapi bagaimana caranya ponsel Kelvin ada di dalam tasnya? ‘Apa aku salah ambil tadi?’ batin Amaya bertanya-tanya. Seingatnya ... tadi memang ada dua ponsel yang tergeletak di meja ruang makan saat mereka melahap sarapan pagi. Amaya yang bersiap mengenakan ‘revenge outfit’ meninggalkan kursi dengan gegas dan menyambar ponsel yang salah. ‘Begonya kamu, May ....’ Amaya menggigit bibirnya, memukuli kepalanya, membodohkan dirinya sendiri yang malah terus saja mencari gara-gara dengan Kelvin! “Mampus ....” desisnya pasrah. Batinnya, ‘Bagaimana caraku bilang kalau ponsel kami tertukar?’ Apa ia harus mendatangi Kelvin di ruang dosen? Itu sama saja membongkar rahasia! “Kenapa, May?” tanya Alin yang duduk di sebelah kanannya, terbengong melihat Amaya yang bertingkah aneh. Amaya belum sempat menjawab Alin karena ia mendengar ponsel milik Kelvin yang bergetar dari dalam tasnya. Saat ia melihatnya, tangannya dibuat tremor. Kontak dengan nama ‘Arshaka Nagara’ tengah memanggil, yang mana Am
‘Dia bilang masih sayang padaku?’ ulang Amaya dalam hati setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Rama untuk mencegahnya pergi. Jika tak ingat di bangku yang tak jauh dari mereka berdiri itu Amaya menyaksikannya mengadu bibir dengan sahabatnya sendiri, Amaya pasti akan luluh. Tapi tidak! Seperti yang dikatakan oleh Kelvin bahwa tak pantas baginya merengek atau bergantung pada lelaki yang jelas-jelas ia tahu lelaki itu tidak baik, Amaya tak membiarkan Rama menggoyahkannya. “Aku nggak butuh sayang darimu, Ram,” jawab Amaya akhirnya. “May—“ “Aku ‘kan sudah bilang sebaiknya kita berpura-pura nggak kenal saja kalau ketemu? Apa itu kurang jelas buatmu?” Amaya membawa langkah kakinya untuk pergi dari hadapan lelaki dengan hoodie warna hitam itu. “Amaya—” Amaya menepis tangannya, tak sudi ia disentuh oleh lelaki pengkhianat yang bahkan sudah tidur dengan—mantan—sahabatnya. “Aku cuma mau bilang turut berduka cita buat perginya Om—” “Nggak perlu,” potong Amaya tak mau tahu. Rama te
“Wah ... bajunya basah!” sebut salah seorang mahasiswi yang duduk tak jauh dari titik insiden terjadi. “Siapa yang nyiram Pak Kelvin? Dia cari mati?!” Amaya membeku di tempatnya berdiri. Kesibukan yang ada di kantin senyap dalam sesaat kala mereka melihat aksi tak terduga Amaya yang menyiram dosennya dengan segelas jus jeruk! Amaya tak bisa bergerak atau bahkan beranjak satu inchi saat melihat kemeja putih yang dikenakan oleh Kelvin itu berakhir basah dan melekat di tubuhnya sehingga dadanya yang bidang tampak selama beberapa detik sebelum pria itu menarik kemejanya ke depan dengan sepasang mata yang menggelap saat memanggil, “Amaya Madira?” Kedua bahunya jatuh, dengus napasnya seolah mengatakan bahwa ia tak habis pikir dengan apa yang baru saja ia lakukan. Amaya menunduk, hampir membungkuk saat mengatakan, “Maaf, Pak Kelvin,” ucapnya. “Saya nggak sengaja.” Sebelum Kelvin mengatakan banyak hal atau bahkan mungkin membongkar pernikahan rahasia mereka di depan umum, Amaya berlar
“Apa?! Menikah dengan Pak Kelvin? Papa bercanda?!” Amaya hampir saja menjerit saat mengatakan itu pada sang ayah—Athan—yang sedang berbaring di atas ranjang rawat rumah sakit. Mata Amaya melebar pada ayahnya yang mengangguk dengan tegas membenarkan, “Iya, May,” jawabnya. “Nggak mau!” tolak Amaya. “Pak Kelvin itu umurnya jauh beda sama aku! Papa belum tahu saja gosip apa yang dibilang sama semua mahasiswa kalau dia itu sukanya sama … cowok juga,” lanjutnya sedikit lirih. “Mengarang!” kata ayahnya, mendengus mendegar celotehannya. Amaya hampir saja kembali memprotes Athan sebelum pria yang rambutnya bersemburat putih itu menyela, “Gimana kalau ini permintaan terakhir Papa?” tanyanya. “Apakah kamu juga masih akan menolak?” “Pa—“ “Papa lelah menghadapi kamu yang nakal dan nggak bisa diatur!” potongnya. “Menikahlah … maka dengan begitu kamu akan memiliki tanggung jawab dan memikirkan sesuatu bukan untuk kesenanganmu sendiri.” Bibir Amaya tertekuk sedih. Ia tak serta-merta menjawab