“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat
“Sialan!” Tian melemparkan tinjuan sekonyong-konyongnya ke samsak yang ada di depannya.Amarah Tian seperti sudah di ubun-ubun, saat mengetahui kalau Meira benar-benar hamil sesuai dugaannya dan wanita itu sama sekali tetap kekeh tak mau mengkonsumsi peluruh kandungan yang ia berikan.Semua ini bermula karena ulah Mamanya. Seandainya saja Mamanya tak memberikan seafood padanya. Juga Tak mencampurkan apapun di makanan dan minuman yang diberikan padanya dan Meira, ia dan Meira tak mungkin tidur bersama, lalu wanita itu tak akan hamil seperti sekarang.Oleh karena itu, meski dua bulan telah berlalu, Tian kian menunjukkan sikap dingin dan makin acuh tak acuh pada Meira.Salahnya sendiri menolak permintaannya untuk mengkonsumsi pil yang ia belikan. Jadi, wajar saja Tian makin mudah kesal pada Meira karena kesalahan wanita itu yang tak mau menuruti kehendaknya untuk meminum pil peluruh kandungan, sehingga positif hamil begini.Di tengah kondisinya yang sedang berbadan dua, Meira tampak kewa
“Aku perhatikan hampir tiap hari mukamu pucat dan matamu sembab. Kamu enggak mau berhenti kerja atau mengajukan cuti dulu, Ra? Aku yakin Pak Rama pasti kasih izin. Bukan apa, aku cuma khawatir saja sama kamu dan kandungan kamu,” ucap Rea.Kerutan di beberapa bagian wajah Rea seolah mencerminkan betapa tingginya kecemasan yang ia miliki kepada sahabatnya.Sebagai seorang sahabat, bagaimana mungkin ia tak buncah kalau hampir setiap hari disuguhi pemandangan wajah lesu dari sahabatnya yang ia ketahui sedang hamil.Meira tersenyum sebelum merespon ucapan sahabatnya. “Terima kasih kamu sudah mengkhawatirkan aku, Re. Tapi, aku masih kuat untuk bekerja. Lagian kehamilan aku masih kecil. Nanti saja kalau sudah membesar, baru aku akan mengajukan izin cuti.”Memang benar apa yang dikatakan oleh Rea, tetapi Meira tak bisa berhenti karena kalau hanya diam saja di rumah, ia takut akan perasaannya sendiri.Menghabiskan setengah waktunya di rumah dan juga secara penuh di rumah saja saat hari libur,
“Tuan muda, Anda harus kembali ke Indonesia hari ini juga. Maafkan kelancangan saya, tapi saya ditugaskan untuk segera mengantarkan Tuan Muda ke bandara sekarang.”“Yang benar saja?! Baru kemarin saya di wisuda dan saya masih mau mencari banyak pengalaman dulu di sini. Sampaikan pada Mama dan Papa kalau saya tidak bisa pulang untuk saat ini,” tolak Tian dengan tegas.Tian yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1nya di negeri paman sam, terhenyak kaget saat tiba-tiba ia disuruh pulang seperti ini. Padahal, masih banyak yang ingin ia lakukan di negara ini. Sungguh, ia begitu ingin mencoba bekerja dulu di beberapa perusahaan yang ada di negara tempatnya berkuliah saat ini. Barulah saat ia memiliki banyak pengalaman, ia akan pulang ke Indonesia dan siap membantu perusahaan Papanya.Sebagai anak orang berada, sebenarnya Tian tak perlu bekerja dan bisa saja langsung mendapatkan jabatan di perusahaan Papanya. Tetapi, ia yang sudah 4 tahun ini hidup mandiri selama menempuh pendidikan di n
“Terima kasih sudah mengantar Meira pulang, Tante,” ucap Meira ketika mobil Helena berhenti di halaman rumahnya usai mereka menjemput Tian di bandara. “Sama-sama, Sayang. Tante yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menemani Tante menjemput anak bandel ini,” balas Helena tersenyum tulus ke arah Meira sebelum gadis itu turun dari mobilnya. “Hati-hati di jalan, Tante.” Meira melambaikan tangannya ketika ia telah turun dan melihat mobil Tante Helena yang mulai berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya. Guratan senyum bahagia tidak bisa lepas juga dari wajah Meira ketika benaknya kembali mengalun tentang pertemuannya dengan Tian hari ini. Jantungnya terasa berdebar saat teringat kembali betapa bertambahnya ketampanan Tian setelah sekian lama ia tidak melihat wajah lelaki dambaan hatinya itu. Bagaimana mungkin wajah Tian tidak terbayang-bayang dalam angan Meira, kalau sepanjang perjalan tadi, ia diam-diam selalu mencuri pandang ke arah Tian? Dalam hatinya ia sungguh mengagum
Tian memijat kepalanya dan merenggangkan tubuhnya akibat terlalu lama duduk memeriksa dokumen yang harus ia tandatangani. Sungguh, Tian tak menyangka ia akan sesibuk ini dalam jangka waktu seminggu bekerja di perusahaan Papanya.Untung saja setelah disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menguras pikirannya ini, Tian bisa sejenak menenangkan diri dengan bertemu dengan kekasihnya sepulang bekerja. “Kamu sudah menunggu dari tadi, Sayang? Maaf, aku sedikit terlambat,” ucap Tian ketika melihat makanan dan minuman yang telah tersaji di restoran yang ia reservasi bersama dengan Vania–Kekasihnya—.“Aku sengaja datang duluan, supaya bisa memesankan makanan dan minuman kesukaan kamu di restoran ini, Sayang. Syukur sekali menu kesukaan kamu masih ada di restoran ini, meskipun 3 tahun telah berlalu,” jawab Vania tersenyum sampai matanya menyipit.“Terima kasih, kamu sudah sabar menungguku selama 3 tahun aku kuliah di luar negeri. Padahal, aku cuma punya waktu untuk bersama kamu saat kamu ada
Setibanya di rumah sakit usai meninggalkan hotel tempatnya menginap semalam dengan Vania, Tian melangkah panjang dan berjalan cepat ke depan ruang ICU.“Bagaimana kondisi Papa, Ma?” Tian bertanya dengan air muka yang berkerut saat melihat Mamanya sedang menangis di pelukan Meira.Menyadari keadaan Helena yang sedang dirundung kepanikan dan kesedihan, Meira pun langsung tanggap menggantikan Helena untuk menyahuti pertanyaan Tian.“Setelah pemeriksaan, dokter bilang kalau kondisi ginjal Om Harris semakin memburuk dan mengalami gagal ginjal yang membuat ginjalnya rusak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat pulih keadaan Om Harris yaitu dengan melakukan operasi pencangkokan ginjal secepat mungkin,” papar Meira menjelaskan yang ia dengar tadi kepada Tian.“Terus kenapa operasinya belum dilakukan? Apakah donor ginjal yang cocok buat Papa belum dapat?”Meira menggeleng. “Belum. Tadi Tante Helena sudah mencoba melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal. Tetapi begitu hasil tesn
Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.*****Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, meskipun sudah dibe