“Tuan muda, Anda harus kembali ke Indonesia hari ini juga. Maafkan kelancangan saya, tapi saya ditugaskan untuk segera mengantarkan Tuan Muda ke bandara sekarang.”
“Yang benar saja?! Baru kemarin saya di wisuda dan saya masih mau mencari banyak pengalaman dulu di sini. Sampaikan pada Mama dan Papa kalau saya tidak bisa pulang untuk saat ini,” tolak Tian dengan tegas.
Tian yang baru saja menyelesaikan pendidikan S1nya di negeri paman sam, terhenyak kaget saat tiba-tiba ia disuruh pulang seperti ini.
Padahal, masih banyak yang ingin ia lakukan di negara ini. Sungguh, ia begitu ingin mencoba bekerja dulu di beberapa perusahaan yang ada di negara tempatnya berkuliah saat ini. Barulah saat ia memiliki banyak pengalaman, ia akan pulang ke Indonesia dan siap membantu perusahaan Papanya.
Sebagai anak orang berada, sebenarnya Tian tak perlu bekerja dan bisa saja langsung mendapatkan jabatan di perusahaan Papanya. Tetapi, ia yang sudah 4 tahun ini hidup mandiri selama menempuh pendidikan di negara orang ini, ingin memantaskan diri ketika kembali ke Indonesia.
Tian ingin menunjukan kalaupun ia melanjutkan perusahaan Papanya, bukan hanya karena orang dalam dan adanya koneksi saja, tetapi juga karena ia memang memiliki kualifikasi yang pantas untuk menjabat posisi tinggi di perusahaan turun temurun milik keluarganya tersebut.
“Maaf, Tuan muda, tapi Anda benar-benar harus pulang sekarang juga. Penyakit ginjal Tuan Harrison kian memburuk dan kini harus menjalani perawatan penuh di rumah sakit. Oleh karena itu, Anda diminta pulang untuk membantu mengelola perusahaan selama Tuan Harrison mendapatkan perawatan di rumah sakit.
Mendengar kabar mengenai penyakit Papanya yang kian parah membuat Tian tampak bimbang sendiri. Disatu sisi ia masih ingin disini, tetapi di sisi lain ia memang harus pulang ke Indonesia.
Sebenarnya Tian ingin pulang pun bukan karena tahu Papanya sakit. Toh, hubungannya dengan Papanya tidak sedekat itu karena Papanya selalu saja bersikap dingin dan acuh tak acuh padanya sedari kecil.
Mungkin kalaupun ada alasannya untuk pulang yaitu untuk bertemu dengan Mamanya dan kekasihnya. Adapun alasan lainnya yaitu karena ia tak ingin warisannya disabotase kalau ia tidak ada di rumah kalau-kalau terjadi kemungkinan paling buruk kepada Papanya.
“Baiklah, kita ke bandara sekarang! Saya rasa tidak punya pilihan lain selain pulang, bukan? Tapi sebelum itu, tolong kau kemas semua barang-barangku. Setelah itu, baru saya bisa pergi ke bandara,” perintah Tian kepada ajudan bokapnya yang jauh-jauh datang ke Amerika hanya untuk menjemputnya.
“Siap, Tuan muda. Saya akan menyiapkan barang-barang muda secepat kilat,” sahut bodyguard dengan gerakan cepat memasukan pakaian dan beberapa barang lain milik Tuan mudanya ke dalam koper.
*****
“Meira, Bisa kamu temani Tante ke Bandara untuk menjemput Tian? Kamu sedang tidak sibuk, ‘kan?” pinta Helena–Mama Tian– kepada Meira yang merupakan anak sahabatnya.
Wajah Meira tampak tersipu ketika Helena membicarakan tentang Tian. Dengan wajah yang merona dan suara lembutnya, Meira pun menjawab sambil mengangguk, “Kebetulan saya enggak ada kesibukan, Tante. Jadi, saya bisa menemani Tante.”
“Terima kasih mau menemani Tante, Meira. Kamu ganti pakaianmu dulu saja sana. Tante akan menunggu di ruang tamu sambil mengobrol dengan Mamamu. Jangan lupa bersolek yang cantik,” ujar Halena sambil mengusap lembut rambut Meira sebelum ia melangkah keluar dari kamar gadis berlesung pipi yang berparas ayu itu.
Lengkungan senyum tiada hentinya pudar dari waja cantik Meira. Bagaimana bisa ia berhenti tersenyum kalau ia sendiri sudah tak sabar untuk bertemu dengan Tian?
Meskipun ia bukan pacar atau sekedar teman dekat Tian, tetapi ia memiliki perasaan cinta yang terpendam kepada lelaki itu.
Meira memang sudah mengenal Tian sedari kecil karena tante Helena yang selalu mengajaknya ke rumah wanita paruh baya itu setiap kali hari libur. Selain itu, ia juga selalu saja satu sekolah dengan Tian dari sekolah dasar hingga mereka memasuki sekolah menengah akhir.
Namun, perasaannya kepada Tian timbul justru saat mereka SMA. Saat itu, Tian pernah menolongnya dari cowok yang terobsesi padanya dan selalu mengejar-ngejar dirinya. Tian menghajar cowok itu hingga babak belur dan tak berani lagi muncul dan memaksa Meira untuk menjadi pacar cowok itu.
Semenjak itu, Meira merasakan gelenyar aneh merambati dirinya kala berpapasan dan tak sengaja bertemu pandang dengan Tian. Tanpa sadar ia pun mulai mengagumi segala hal tentang Tian. Setiap kegiatan yang dilakukan oleh lelaki itu tampak begitu memukau di matanya.
Namun, sayangnya ia tidak berani untuk sekedar mendekati Tian karena sekalipun sikap lelaki itu sering menunjukan sikap dingin dan tak banyak bicara, tetapi Tian merupakan siswa yang populer di sekolah. Kepopuleran Tian tentu saja tidak lepas dari ketampanan, kekayaan, dan segudang talenta yang lelaki itu punya dari mulai bidang akademik hingga non akademik.
Sampai suatu saat Tian harus pergi keluar negeri untuk kuliah, Meira tetap tak jua bisa mengugkpakan perasaan terpendamnya kepada Tian. Akhirnya ia pun hanya bisa memilih untuk menyukai Tian dalam diam. Bahkan, hingga kini mereka sama-sama telah lulus kuliah pun, perasaan sukanya untuk Tian tetap tidak hilang dan berkurang.
****
Setelah 18 jam melalui perjalan udara, akhirnya tiba juga Tian di negara kelahirannya. Sekalipun menaiki pesawat pribadi, tetapi tetap saja perjalanan Amerika-Indonesia bukanlah jarak yang mudah untuk di tempuh dengan secepat kilat.
Dilangkahkan kaki jenjangnya dengan mantap dan tanpa beban. Bagaimana mau ada beban, jika ia hanya turun dengan membawa ponsel di tangannya saja, sedangkan koper miliknya sudah dibawakan oleh ajudan Papanya.
Kaca mata hitam yang Tian pakai ia turunkan sedikit ketika ia telah menginjakkan kaki di aula kedatangan. Seorang gadis dengan setelan kaos putih panjang yang dipadukan dengan bawahan celana kulot berwarna krem tampak memegang papan nama atas dirinya.
Meskipun awalnya bingung siapa gadis yang membawa papan atas namanya, tetapi ketika melihat senyum yang dihiasi dengan dua buah lesung pipi, ia bisa langsung mengenali gadis itu.
Pasti gadis itu tidak lain dan tidak bukan merupakan Meira. Walaupun ia tidak berteman dekat dengan Meira, tetapi ia cukup sering melihat wajah gadis yang selalu satu sekolah dengannya dan senantiasa ibunya bawa ke rumah tiap kali libur sekolah.
“Akhirnya kamu pulang juga, Tian. Mama sangat merindukanmu, Nak. Bagaimana kabarmu selama di Amerika? Maafkan Mama yang tidak bisa datang ke wisudamu.”
Serentetan pertanyaan dari Mamanya langsung menerobos masuk ke dalam gendang telinga Tian, begitu ia sudah sampai di depan Meira dan juga Mamanya yang berdiri di samping gadis itu.
“Tidak masalah, Ma. Saya mengerti pasti sulit untuk Mama merawat Papa yang sedang sakit,” jawab Tian tidak mempermasalahkan kalau Mamanya tidak dapat menghadiri wisudanya.
Tian memang tahu Papanya telah mengidap ginjal selama satu tahun ini. Sehingga, wajar saja dan ia bisa memaklumi kalau Mamanya tidak bisa datang ke Amerika karena harus merawat Papanya yang sedang sakit-sakitan itu.
“Ah, anak Mama yang dulu pembangkang ini, ternyata sudah tumbuh menjadi anak yang baik dan pengertian. Kalau melihatmu tumbuh baik seperti ini, tidak sia-sia Mama menyekolahkanmu sampai Amerika,” ujar Helena menepuk lembut Pipi putranya.
“Dari dulu saya sudah baik, Ma. Hanya Mama saja yang dulu terlalu melihat saya seperti kuda liar yang tidak terkendali,” gurau Tian dengan pura-pura memasang wajah kesal di hadapan Mamanya.
“Mama rasa satu-satunya yang tak berubah darimu yaitu kelakarmu yang di luar nalar itu, Tian. Kamu pasti lelah, ‘kan? Mari kita pulang sekarang. Mama sudah memasakan makanan kesukaanmu.”
Tian mengangguk, tetapi dahinya tampak berkerut. “Tapi bagaimana dengan Papa? Bukankah katanya Mama sedang sibuk merawat Papa? Tidak masalah kalau Mama menjemput saya seperti ini?”
“Tenang saja, Sewaktu Mama datang ke rumah Meira untuk memintanya menemani Mama menjempumu, Mama sudah minta tolong Tante Maya untuk menjaga Papamu di rumah sakit. Lagi pula Mama sudah cukup merasa bersalah ketika tidak bisa menghadiri wisudamu, Mama tidak ingin tambah merasa bersalah karena tidak bisa menyambut kepulanganmu,” papar Helena dengan alis dan mata yang tertekuk ke bawah.
Mendapati raut wajah sedih penuh penyesalan di wajah Mamanya, Tian pun langsung memberikan rangkulan di pundak Mamanya.
“Sudahlah, Ma. Mama jadi terlihat tambah tua kalau memasang ekspresi sedih begini. Lagi pula Mama tidak bisa datang bukan karena Mama melupakan saya, tetapi karena keadaan yang memaksa,” tutur Tian mencoba menenangkan Mamanya dengan sedikit berkelakar.
Helena tak bisa tidak tersenyum ketika mendengar perkataan Tian. “Enak saja kamu mengatakan Mama tua, Tian. Tante belum kelihatan tua, ‘kan, Meira? Maaf karena terlalu merindukan Tian, Tante jadi mengabaikanmu, Sayang.”
Meira tersenyum hangat hingga matanya menyipit. “Tante enggak perlu merasa begitu. Meira bisa mengerti kerinduan Tante kepada Tian.”
“Aduh, baiknya kamu, Sayang. Sepertinya kamu ini cocok sekali dengan Tian karena sama-sama pengertian,” goda Helena sambil menggandeng tangan Meira di tangan kanannya dan Tian di tangan kirinya.
Pipi Meira terasa memanas dan memerah ketika mendengar kata-kata Helena. Walaupun perkatan Tante Helena dimaksudkan untuk menggodanya saja, tetapi tetap saja mampu menimbulkan getaran di hatinya. Sebuah getaran yang sudah lama tak Meira rasakan semenjak tiadanya kehadiran Tian di dekatnya.
Berbeda halnya dengan Meira yang salah tingkah dan berdebar-debar, Tian justru merasa biasa saja mendengar perkataan Mamanya yang ditujukan untuk menggoda Meira dan dirinya.
Untuk apa pula Tian merasa salah tingkah dan sebagai macamnya, kalau ia sendiri tak punya perasaan apa pun kepada Meira. Toh, ia sudah mempunyai gadis lain yang ia cintai dengan sepenuh hatinya.
“Terima kasih sudah mengantar Meira pulang, Tante,” ucap Meira ketika mobil Helena berhenti di halaman rumahnya usai mereka menjemput Tian di bandara. “Sama-sama, Sayang. Tante yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menemani Tante menjemput anak bandel ini,” balas Helena tersenyum tulus ke arah Meira sebelum gadis itu turun dari mobilnya. “Hati-hati di jalan, Tante.” Meira melambaikan tangannya ketika ia telah turun dan melihat mobil Tante Helena yang mulai berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya. Guratan senyum bahagia tidak bisa lepas juga dari wajah Meira ketika benaknya kembali mengalun tentang pertemuannya dengan Tian hari ini. Jantungnya terasa berdebar saat teringat kembali betapa bertambahnya ketampanan Tian setelah sekian lama ia tidak melihat wajah lelaki dambaan hatinya itu. Bagaimana mungkin wajah Tian tidak terbayang-bayang dalam angan Meira, kalau sepanjang perjalan tadi, ia diam-diam selalu mencuri pandang ke arah Tian? Dalam hatinya ia sungguh mengagum
Tian memijat kepalanya dan merenggangkan tubuhnya akibat terlalu lama duduk memeriksa dokumen yang harus ia tandatangani. Sungguh, Tian tak menyangka ia akan sesibuk ini dalam jangka waktu seminggu bekerja di perusahaan Papanya.Untung saja setelah disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menguras pikirannya ini, Tian bisa sejenak menenangkan diri dengan bertemu dengan kekasihnya sepulang bekerja. “Kamu sudah menunggu dari tadi, Sayang? Maaf, aku sedikit terlambat,” ucap Tian ketika melihat makanan dan minuman yang telah tersaji di restoran yang ia reservasi bersama dengan Vania–Kekasihnya—.“Aku sengaja datang duluan, supaya bisa memesankan makanan dan minuman kesukaan kamu di restoran ini, Sayang. Syukur sekali menu kesukaan kamu masih ada di restoran ini, meskipun 3 tahun telah berlalu,” jawab Vania tersenyum sampai matanya menyipit.“Terima kasih, kamu sudah sabar menungguku selama 3 tahun aku kuliah di luar negeri. Padahal, aku cuma punya waktu untuk bersama kamu saat kamu ada
Setibanya di rumah sakit usai meninggalkan hotel tempatnya menginap semalam dengan Vania, Tian melangkah panjang dan berjalan cepat ke depan ruang ICU.“Bagaimana kondisi Papa, Ma?” Tian bertanya dengan air muka yang berkerut saat melihat Mamanya sedang menangis di pelukan Meira.Menyadari keadaan Helena yang sedang dirundung kepanikan dan kesedihan, Meira pun langsung tanggap menggantikan Helena untuk menyahuti pertanyaan Tian.“Setelah pemeriksaan, dokter bilang kalau kondisi ginjal Om Harris semakin memburuk dan mengalami gagal ginjal yang membuat ginjalnya rusak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat pulih keadaan Om Harris yaitu dengan melakukan operasi pencangkokan ginjal secepat mungkin,” papar Meira menjelaskan yang ia dengar tadi kepada Tian.“Terus kenapa operasinya belum dilakukan? Apakah donor ginjal yang cocok buat Papa belum dapat?”Meira menggeleng. “Belum. Tadi Tante Helena sudah mencoba melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal. Tetapi begitu hasil tesn
Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.*****Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, meskipun sudah dibe
“Apa?! Papa dan Mama ingin menjodohkan saya dengan Meira? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena dia mendonorkan ginjalnya untuk Papa, makanya kalian ingin mengorbankan saya untuk balas budi?!”Kedua keluarga memang telah menyetujui kesepakatan untuk menikahkan Tian dan Meira. Tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan reaksi Tian sewaktu diberitahukan kalau kedua keluarga setuju untuk menjodohkan Meira dan Tian.“Papa tidak akan bohong kalau menyuruhmu menikahi Meira karena hutang budi. Selain itu, Papa juga sudah berjanji untuk menikahkan kamu dengan Meira atas permintaan yang Papa paksa dari keluarga Meira,” jelas Harris.“Hubungan kita tidak sebaik itu, Pa! Jadi, untuk apa saya harus menanggung hutang budi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Papa. Di saat seperti ini, Papa baru memohon kepada saya. Sedangkan sedari saya kecil, Papa sendiri tak pernah memberikan kehangatan seorang Papa untuk saya!” dengus Tian dengan bibir menyeringai.“Papa minta maaf atas perlaku
“Tak apa, Anda urus saja istri Anda. Saya bisa mengerti kalau istri dan calon anak Anda saat ini adalah hal terpenting untuk Anda. Kebetulan saya juga tidak bisa lama-lama disini karena masih ada agenda lain yang harus saya hadiri.”“Baik, terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sekali lagi karena sudah datang ke acara saya,” balas Diko bersinggungan tangan dengan Tian sebelum kakinya melangkah pergi membawa Vania untuk beristirahat.Senyum kecut terpampang jelas di bibir Tian dan matanya tak henti memicing tajam memandangi tubuh Vania yang dibawa pergi oleh Diko. Ada kegetiran dan sejumput nyeri yang menusuk-nusuk dada Tian kala kebusukan kekasihnya terpampang nyata di netranya sendiri. Sungguh tega sekali wanita yang ia cintai itu karena telah mematahkan hatinya dan meluluh lantahkan semua kepercayaan yang pernah ia berikan padanya. Padahal, ia begitu mencintai dan memuja Vania begitu dalam, tetapi inikah balasan dari kesetiaannya? Mengapa setianya harus di balas oleh du
“Kapan acara sialan ini selesai?!” batin Tian menggerutu dalam hatinya, tatkala setelah acara pemberkatan pernikahan selesai dilakukan, tetapi ia masih harus berdiri di atas pelaminan untuk melangsungkan acara resepsi.Kakinya pegal dan hampir mati rasa karena dipaksa berdiri dari siang hingga hampir malam begini. Seperti ada semut-semut yang menggerayangi tumit dan telapak kakinya karena rentetan tamu-tamu tak henti-hentinya berdatangan.“Kalau kamu capek duduk aja. Biar aku saja yang berdiri menyalami tamu,” usul Meira berbisik ke arah Tian.Sedari tadi, mata Meira tak bisa lepas dari pergerakan Tian yang beberapa kali menggerak-gerakan kakinya secara berulang. Peluh juga berjatuhan di kening lelaki itu meskipun ruangan gedung ini memiliki AC di setiap sudut ruang.“Sudah lah diam saja! Saya masih sanggup berdiri,” balas Tian berbisik dengan nada kegeraman yang begitu kentara menyapa telinga Meira.Menyadari betapa kesal dan dinginnya nada suara Tian ketika menyahuti perkataannya, M
“Meira pamit ya, Bun. Mulai hari ini Meira enggak akan tinggal sama Ayah Bunda lagi, pasti Meira bakal kangen banget,” lontar Meira.Dengan erat dan penuh haru dipelukanya tubuh Ayah dan bundanya usai acara resepsi pernikahannya telah selesai. Kini, ia harus ikut pulang bersama dengan Tian ke rumah lelaki itu karena telah terikat pernikahan dan resmi menjadi istri Tian.“Bunda dan Ayah juga pasti akan merindukanmu, Mei. Tapi, sekarang kamu sudah jadi istri Tian dan harus ikut kemana pun suamimu mengajakmu pergi”Sekuat tenaga Maya berusaha untuk tetap tegar dan memberikan putrinya wejangan, walaupun air mata terus mengalir membasahi pipinya.“Ayah, titip Meira padamu, Tian. Tolong jaga dia dengan baik dan sayangi dia dengan tulus.”Hartanto memilih berbicara dengan Tian karena lidahnya terasa tercekat ketika berbicara dengan putrinya. Ada ketidak relaan dalam hatinya untuk melepaskan Meria menjalani hidup barunya sebagai seorang istri.Berat sekali untuk bisa merelakan Meira karena ga