Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.
“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.
“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.
*****
Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah.
Namun, meskipun sudah diberikan izin untuk pulang, Harris belum diperbolehkan untuk melakukan aktivitas fisik yang bisa menguras tenaganya dan diminta untuk beristirahat saja selama 6 minggu ke depan.
“Diminum dulu obatnya, Mas. Setelah itu, Mas harus istirahat lagi,” tutur Helena dengan suara yang begitu lembut sambil menyodorkan obat dan segelas air kepada suaminya.
“Terima kasih sudah menjaga dan merawat saya selama saya sakit, Helena. Maafkan saya karena selama ini saya selalu bersikap dingin dan mengacuhkan kamu juga putra kita. Saya baru sadar setelah sakit, kalau hanya kamu satu-satunya orang yang bersedia ada di sisi saya dengan tulus, tanpa mengeluh dan mengenal lelah.”
Untuk pertama kalinya, Harrison Arthur Wijaya yang selama ini selalu menunjukan sikap dingin dan penuh pengabaian kepada Helena, mengatakan kata-kata penyesalan yang terdengar begitu dalam dan tulus.
“Sudahlah, Mas. Aku bisa memaklumi segala sikap tak hangatmu selama ini karena memang kita menikah atas dasar perjodohan. Jadi wajar saja kalau kamu bersikap begitu dan tak bisa menunjukan rasa cintamu kepadaku, Mas,” sahut Helena.
Helena menatap dalam mata Harris yang kini tampak melunak dan tak terlihat dingin seperti dulu lagi ketika beradu pandang dengannya. Sepertinya, ia akan melihat adanya perubahan baik dari suaminya.
Helena berharap dengan adanya perubahan dari diri Harris, bisa membuat terbalasnya rasa cinta yang ia miliki selama lebih dari 23 tahun ini kepada suaminya itu.
“Mulai sekarang saya akan mencoba untuk mengubah sikap saya padamu dan Tian, Hel. Saya ingin bisa menebus kesalahan saya dan membalas pengabdianmu yang penuh kebaikan selama ini dengan belajar untuk mencintaimu.”
“Terima kasih, Mas. Aku sungguh terharu mendengar perkataan yang baru kali terdengar manis di telingaku, Mas,” ujar Helena sambil memberikan pelukan kepada Harris dengan mata yang berkaca-kaca.”
Harris pun untuk kali pertama membalas pelukan Helena. Lalu tak lama ia berkata, “Hel, bisakah kau panggilan keluarga Meira untuk datang kemari. Aku ingin mengucapkan terima kasih secara langsung kepada mereka.”
“Baiklah, Mas. Akan kukabari Maya dan menyuruh supir untuk menjemput mereka kemari,” jawab Maya yang langsung bergegas ke mengambil ponselnya dan menghubngin Maya untuk datang kemari.
Tiga puluh menit berlalu, Maya dan Hartanto datang ke rumah Helena dengan membawa bingkisan kecil. Sekalian menengok Harris yang baru keluar dari rumah sakit pikir mereka.
“Padahal enggak perlu repot-repot membawa bingkisan segala, May. Tapi, terima kasih untuk pemberiannya,” ucap Helena ketika menerima bingkisan yang diserahkan Maya kepadanya dan meminta pembantunya untuk menaruh bingkisan itu di dapur.
“Bagaimana mungkin keluargaku datang kemari, tapi tidak membawa apa pun, Len. Sedangkan selama ini saja kamu selalu membawakan banyak buah tangan setiap kamu mampir ke rumah kami,” sanggah Maya.
“Ya sudah, kalau begitu ayo kita ke atas,” ajak Helena mengantar Maya dan Hartanto untuk menemui suaminya di lantai atas.
Meira sendiri tidak bisa ikut kemari karena masih harus menghabiskan banyak waktu untuk beristirahat. Sama halnya dengan Harris, Meria juga diharuskan untuk banyak istirahat dan tidak boleh melakukan aktivitas berat. Sehingga Helena sengaja menyuruh Maya dan Hartanto untuk datang berdua saja dan tak perlu mengajak Meira.
“Saya sungguh ingin berterima kasih atas kebaikan Meira yang mau mendonorkan salah satu ginjalnya kepadanya saya. Berkat ginjal Meira, saya bisa pulih kembali seperti ini. Oleh karena itu, izinkan saya untuk memberikan kalian cek ini dan mengabulkan apa pun permintaan kalian berdua sebagai balas budi atas pertolongan Meira.”
Begitu lah kata-kata yang meluncur dari mulut Harris saat melihat Hartanto dan Maya yang merupakan orang tua Meira duduk di hadapannya. Ia juga menyerahkan sebuah cek berisi uang 500 juta.
“Tidak usah repot-repot, Pak Harris. Selama ini, saya sekeluarga sudah cukup banyak mendapatkan bantuan dari Pak Harris, jadi kami tidak bisa meminta permintaan apa pun. Anggap saja kebaikan Meira sebagai balasan atas kebaikan Pak Harris sekeluarga kepada kami,” tolak Hartanto.
Selama ini, keluarganya sudah cukup banyak menerima bantuan kebaikan dari Helena dan Harris. Oleh karena itu, ia yang masih mempunyai harga diri tak bisa menerima cek dari Harris dan tak akan sanggup meminta apa pun kepada Harrison.
Dari gelagat keluarga Gunawan, Harris menyadari sepertinya mereka bukan keluarga yang gila harta dan tidak akan pernah meminta apa pun padanya meski ia memaksa. Tetapi, tetap saja dengan harga dirinya yang tinggi, Harris tidak bisa merasakan punya hutang budi tanpa membayarnya.
“Kalau kalian memang tidak bisa menerima cek dari saya, setidaknya saya mohon kepada kalian mintalah sesuatu. Saya benar-benar tidak bisa hidup dengan tenang, sebelum membalas kebaikan yang orang lakukan kepada saya,” mohon Harris dengan tangan bersedekap di depan wajahnya.
Merasa tak enak melihat Harris yang memohon sampai sedemikian rupanya, membuat Maya dan Hartanto saling berbisik untuk mendiskusikan hal yang sepertinya mau tak mau harus mereka minta dari Harris.
“Baiklah, karena Pa Harris memaksa, maka hanya ada satu saja permintaan saya. Hal ini berkaitan dengan Meira yang tinggal mempunyai satu ginjal. Saya takut tidak ada lelaki yang mau menikahi Meira karena menggap Meira cacat sebab tahu putri saya hidup hanya dengan satu ginjal saja. Oleh karena itu, kalau Pak Harris tidak keberatan, bagaimana kalau saya ingin Meira dinikahkan dengan putra Bapak?”
“Tentu saja saya tidak keberatan, justru saya malah merasa senang. Dari kecil Meira sering main kemari dan saya perhatikan kalau Meira merupakan gadis yang baik. Saya rasa anak baik seperti Meira akan cocok mendampingi Tian. Dengan ini, saya berjanji akan memenuhi permintaan kalian dengan menikahkan Tian dan Meira.”
“Apa?! Papa dan Mama ingin menjodohkan saya dengan Meira? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena dia mendonorkan ginjalnya untuk Papa, makanya kalian ingin mengorbankan saya untuk balas budi?!”Kedua keluarga memang telah menyetujui kesepakatan untuk menikahkan Tian dan Meira. Tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan reaksi Tian sewaktu diberitahukan kalau kedua keluarga setuju untuk menjodohkan Meira dan Tian.“Papa tidak akan bohong kalau menyuruhmu menikahi Meira karena hutang budi. Selain itu, Papa juga sudah berjanji untuk menikahkan kamu dengan Meira atas permintaan yang Papa paksa dari keluarga Meira,” jelas Harris.“Hubungan kita tidak sebaik itu, Pa! Jadi, untuk apa saya harus menanggung hutang budi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Papa. Di saat seperti ini, Papa baru memohon kepada saya. Sedangkan sedari saya kecil, Papa sendiri tak pernah memberikan kehangatan seorang Papa untuk saya!” dengus Tian dengan bibir menyeringai.“Papa minta maaf atas perlaku
“Tak apa, Anda urus saja istri Anda. Saya bisa mengerti kalau istri dan calon anak Anda saat ini adalah hal terpenting untuk Anda. Kebetulan saya juga tidak bisa lama-lama disini karena masih ada agenda lain yang harus saya hadiri.”“Baik, terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sekali lagi karena sudah datang ke acara saya,” balas Diko bersinggungan tangan dengan Tian sebelum kakinya melangkah pergi membawa Vania untuk beristirahat.Senyum kecut terpampang jelas di bibir Tian dan matanya tak henti memicing tajam memandangi tubuh Vania yang dibawa pergi oleh Diko. Ada kegetiran dan sejumput nyeri yang menusuk-nusuk dada Tian kala kebusukan kekasihnya terpampang nyata di netranya sendiri. Sungguh tega sekali wanita yang ia cintai itu karena telah mematahkan hatinya dan meluluh lantahkan semua kepercayaan yang pernah ia berikan padanya. Padahal, ia begitu mencintai dan memuja Vania begitu dalam, tetapi inikah balasan dari kesetiaannya? Mengapa setianya harus di balas oleh du
“Kapan acara sialan ini selesai?!” batin Tian menggerutu dalam hatinya, tatkala setelah acara pemberkatan pernikahan selesai dilakukan, tetapi ia masih harus berdiri di atas pelaminan untuk melangsungkan acara resepsi.Kakinya pegal dan hampir mati rasa karena dipaksa berdiri dari siang hingga hampir malam begini. Seperti ada semut-semut yang menggerayangi tumit dan telapak kakinya karena rentetan tamu-tamu tak henti-hentinya berdatangan.“Kalau kamu capek duduk aja. Biar aku saja yang berdiri menyalami tamu,” usul Meira berbisik ke arah Tian.Sedari tadi, mata Meira tak bisa lepas dari pergerakan Tian yang beberapa kali menggerak-gerakan kakinya secara berulang. Peluh juga berjatuhan di kening lelaki itu meskipun ruangan gedung ini memiliki AC di setiap sudut ruang.“Sudah lah diam saja! Saya masih sanggup berdiri,” balas Tian berbisik dengan nada kegeraman yang begitu kentara menyapa telinga Meira.Menyadari betapa kesal dan dinginnya nada suara Tian ketika menyahuti perkataannya, M
“Meira pamit ya, Bun. Mulai hari ini Meira enggak akan tinggal sama Ayah Bunda lagi, pasti Meira bakal kangen banget,” lontar Meira.Dengan erat dan penuh haru dipelukanya tubuh Ayah dan bundanya usai acara resepsi pernikahannya telah selesai. Kini, ia harus ikut pulang bersama dengan Tian ke rumah lelaki itu karena telah terikat pernikahan dan resmi menjadi istri Tian.“Bunda dan Ayah juga pasti akan merindukanmu, Mei. Tapi, sekarang kamu sudah jadi istri Tian dan harus ikut kemana pun suamimu mengajakmu pergi”Sekuat tenaga Maya berusaha untuk tetap tegar dan memberikan putrinya wejangan, walaupun air mata terus mengalir membasahi pipinya.“Ayah, titip Meira padamu, Tian. Tolong jaga dia dengan baik dan sayangi dia dengan tulus.”Hartanto memilih berbicara dengan Tian karena lidahnya terasa tercekat ketika berbicara dengan putrinya. Ada ketidak relaan dalam hatinya untuk melepaskan Meria menjalani hidup barunya sebagai seorang istri.Berat sekali untuk bisa merelakan Meira karena ga
Sekeluarnya Meira dari dalam kamar mandi, ia sama sekali tidak melihat kehadiran Tian berada di dalam kamar. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri dengan menggosok tubuhnya berkali-kali ketika mandi karena siapa tahu malam ini Tian akan meminta haknya sebagai seorang suami untuk pertama kali.Mungkin kah Tian masih merokok? Tetapi mengapa lama sekali? Bukankah dari sebelum ia masuk ke kamar mandi lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya itu sudah bilang akan merokok.Apakah biasanya Tian kalau merokok memang membutuhkan waktu selama ini? Atau sebenarnya suaminya itu hanya mencari alasan untuk menghindarinya.Sedari awal, Meira sadar kalau sepertinya tidak pernah ada ketertarikan yang Tian tunjukan kepada dirinya ini. Ia juga bisa tahu kalau Tian hanya menganggapnya sebagai teman sekolahnya saja. Satu-satunya alasan Tian mau menikahinya yaitu sebagai balas budi karena ia telah mendonorkan ginjalnya kepada Om Harris. Tapi, haruskah sampai begininya Tian tega mengabaikannya d
“Kenapa belum tidur juga?!” tanya Tian ketika ia selesai mandi Meira masih duduk di pinggir ranjang. Sia-sia saja Tian sengaja berlama-lama di kamar mandi dengan harapan Meira sudah tidur ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia malas sekali harus berbasa-basi lagi dengan gadis yang baru menjadi istrinya itu “Ah … Aku hanya belum bisa tidur,” jawab Meira. Sengaja Meira tak menyematkan panggilan Kakak lagi karena tak ingin Tian kesal padanya kalau tak menuruti keinginan yang terkesan memaksa darinya. Biar nanti saja, ia memanggilnya begitu kalau sudah tumbuh perasaan Tian padanya dan juga kalau sedang ada di depan keluarganya. Selain itu, Meira terpaksa berbohong kalau ia tak bisa tidur atas pertanyaan Tian barusan. Tentu saja ia sudah mengantuk, tetapi ia sengaja menahan kantuknya takutnya Tian membutuhkan dirinya untuk membantu suaminya itu. “Kalau begitu, minumlah obat tidur yang ada di laci nakas samping tempat tidur.” Meira hanya bisa melongo dan tertegun karena jawaban dan re
“Nona Meira, mengapa di dapur, Non? Aduh, kalau Nyonya tahu pasti saya dimarahi,” lontar Bi Darmi–Asisten Rumah Tangga di rumah keluarga Wijaya–dengan wajah mengerut gusar.“Enggak apa, Bi. Nanti, kalau Mama marah biar Meira yang bela bibi,” sahut Meira santai saja sambil tetap fokus menggongseng masakannya hingga harum.Panggilan Tante pada Helena memang telah hilang dan ia ganti dengan Mama sebab mertuanya itu yang meminta dipanggil seperti itu. Lagi pula, tanpa diminta pun Meira akan memanggil mertuanya dengan sebutan demikian. Bukan kah tidak lucu seorang menantu memanggil mertuanya dengan sebutan Tante“Masak kan tugas Bibi di pagi hari, Non. Kalau Non Meira yang ambil alih, Bibi harus ngapain?” Bi Darmi memang sudah mengenal Meira sedari kecil karena seringnya Meira main ke rumah majikannya ini. Selain itu, Meira juga anaknya sopan, baik, dan tak malu untuk berbaur dengan pembantu seperti dirinya Oleh karena itu, Bi Darmi bisa dengan santainya berbicara dan bergurau dengan Mei
“Ya sudah, kalau begitu besok aku siapkan yang warnanya enggak cerah. Kamu suka warna gelap, ‘kan? Mulai besok akan aku memilihkan setelan kantor dengan warna kesukaanmu itu.”Meira sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak menyerah menghadapi Tian. Apa lagi kemarin Tian sudah berjanji akan mengizinkan dirinya menyiapkan segala keperluannya, bukan? Enak saja mau ingkar janji.Tian hanya bisa menganjurkan nafas berat. “Terserat lah. Intinya, saya hanya akan memberikan kesempatan sekali lagi untukmu. Jika besok pakaian pilihanmu tidak sesuai dengan selera saya, selamanya jangan pernah menyentuh pakaian saya!”“Deal,” kata Meira dengan penuh persetujuan dan keyakinan kalau pakaian yan
“Aku perhatikan hampir tiap hari mukamu pucat dan matamu sembab. Kamu enggak mau berhenti kerja atau mengajukan cuti dulu, Ra? Aku yakin Pak Rama pasti kasih izin. Bukan apa, aku cuma khawatir saja sama kamu dan kandungan kamu,” ucap Rea.Kerutan di beberapa bagian wajah Rea seolah mencerminkan betapa tingginya kecemasan yang ia miliki kepada sahabatnya.Sebagai seorang sahabat, bagaimana mungkin ia tak buncah kalau hampir setiap hari disuguhi pemandangan wajah lesu dari sahabatnya yang ia ketahui sedang hamil.Meira tersenyum sebelum merespon ucapan sahabatnya. “Terima kasih kamu sudah mengkhawatirkan aku, Re. Tapi, aku masih kuat untuk bekerja. Lagian kehamilan aku masih kecil. Nanti saja kalau sudah membesar, baru aku akan mengajukan izin cuti.”Memang benar apa yang dikatakan oleh Rea, tetapi Meira tak bisa berhenti karena kalau hanya diam saja di rumah, ia takut akan perasaannya sendiri.Menghabiskan setengah waktunya di rumah dan juga secara penuh di rumah saja saat hari libur,
“Sialan!” Tian melemparkan tinjuan sekonyong-konyongnya ke samsak yang ada di depannya.Amarah Tian seperti sudah di ubun-ubun, saat mengetahui kalau Meira benar-benar hamil sesuai dugaannya dan wanita itu sama sekali tetap kekeh tak mau mengkonsumsi peluruh kandungan yang ia berikan.Semua ini bermula karena ulah Mamanya. Seandainya saja Mamanya tak memberikan seafood padanya. Juga Tak mencampurkan apapun di makanan dan minuman yang diberikan padanya dan Meira, ia dan Meira tak mungkin tidur bersama, lalu wanita itu tak akan hamil seperti sekarang.Oleh karena itu, meski dua bulan telah berlalu, Tian kian menunjukkan sikap dingin dan makin acuh tak acuh pada Meira.Salahnya sendiri menolak permintaannya untuk mengkonsumsi pil yang ia belikan. Jadi, wajar saja Tian makin mudah kesal pada Meira karena kesalahan wanita itu yang tak mau menuruti kehendaknya untuk meminum pil peluruh kandungan, sehingga positif hamil begini.Di tengah kondisinya yang sedang berbadan dua, Meira tampak kewa
“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat
“Jangan mendekat!” larang Tian pada Meira yang ia lirik dari sudut matanya akan mendekat ke arahnya sambil menenteng kotak P3K.“Tapi luka kamu harus segera diobati. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan terlalu lama, Tian.”Meira tak memperdulikan larangan Tian dan terus melanjutkan langkahnya menuju tempat Tian sedang berdiri.Masa bodo kalau lelaki itu akan memarahi dan mengomelinya karena tak menuruti perintahnya. Intinya, Meira sudah sangat khawatir setengah mati karena memperhatikan kian derasnya darah yang mengalir dari tangan Tian. Seolah darah itu adalah air terjun yang tak mau berhenti berambai-ambai.“Saya bisa mengobati tangan saya sendiri! Lebih baik kamu menjauh saja. Saya enggak nyaman ada orang lain saat saya tidak mengenakan pakaian!” hardik Tian menarik dengan kasar tangannya yang akan diobati oleh Meira. “Apa sih masalahnya? Aku istri kamu, jadi wajar saja kalau aku melihat kamu dalam kondisi kayak gini. Lagian aku cuma mau mengobati luka kamu supaya enggak infeksi!”
Sensasi pusing tidak kepalang terasa menyergapi kepala Meira begitu ia membuka mata. Dikerjapkan matanya berkali-kali, sebelum ia menyadari bahwa kepalanya menempel di permukaan yang terasa keras, bidang, dan lapang. Siapa yang menyangka ternyata kepala Meira menempel di dada telanjang Tian. Menyadari hal itu, ia langsung menjauh kan kepalanya karena tak ingin Tian marah-marah kalau tahu kepalanya menempel di dada lelaki itu.Untuk sesaat, Meira belum menyadari apa yang terjadi antara ia dan Tian. Tetapi, sewaktu melihat area sekitar pundak dan atas dadanya terbuka, Meira tak bisa menahan tangannya untuk tak menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dan Tian.“Jangan-jangan semalam aku sama Tian sudah melakukan itu!” batin Meira merapatkan selimut yang membungkus tubuh polosnya ini sampai menutupi dagunya.Seketika pikirannya berkelana pada ingatan semalam. Adegan demi adegan semalam samar-samar mulai menerobos dalam kepalanya.Dimulai dari kepalanya yang terasa pusing dan tubuhny
“Bisa mati bosan kalau saya kebanyakan makan seafood ini, Ma! Saya mau pesan menu lain juga!” lontar Rafka mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan makanan lain.Namun, belum sepenuhnya terangkat, tangannya sudah diturunkan paksa oleh Mamanya dengan menepuk kencang tangannya.“Jangan mengada-ada, Tian! Kalau kamu memesan menu lain, lantas siapa yang menghabiskan seafood sebanyak ini? Kamu mau kolesterol Mama dan Papa naik? Tega kah kamu kalau sampai perut Meira kembung kalau menyantap sendiri semua makanan ini?” Helaan nafas pasrah terdengar jelas dari bibir Tian. Ingin mengeluarkan bantahan, tetapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena Mamanya pasti bertambah garang kalau ia kembali menyanggah.Akhirnya disingkirkannya tiram di hadapannya dan diganti dengan ikan saja. Sepertinya kandungan ikan untuk menambah gairah seksual tak seganas tiram segar kegemarannya itu.Ah … Kalau saja ia berbulan madu dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak perlu tersiksa seperti i
Sambil mengenakan setelan santai miliknya, Tian terus merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia sempat terpesona pada penampilan Meira, padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh wanita itu.Sialnya, sisi kelaki-lakiannya yang membara susah sekali di kekang. Terlebih lagi terakhir kali hasratnya terpenuhi ketika malam laknat bersama dengan wanita jalang yang telah mengkhianatinya.Meski begitu, ada untungnya juga pagi ini ia mendapati penampilan seksi Meira. Kalau tidak, ia tidak akan mengetahui kalau ternyata miliknya masih bisa berfungsi dengan baik. Tian kira, miliknya tak ada bisa bereaksi lagi saat mengetahui kalau ia berhubungan badan dengan kekasihnya yang telah menjadi istri orang lain. Parahnya lagi wanita itu tengah mengandung, tetapi tak berkata jujur saat berhubungan dengannya.Membayangkannya lagi saja sudah membuat Tian ingin mual. Sebejat-bejatnya dirinya, ia tidak akan mau melakukan hubungan dengan wanita bersuami, kalau saja ia tidak dibohon
Meira menyeret kopernya ke walk in closet karena ia ingin mengambil baju ganti untuk ia bawa ke kamar mandi.Namun, matanya membelak, seakan mau keluar dari tempatnya, tatkala melihat sekumpulan pakaian di kopernya berbeda jauh dengan yang ia siapkan sehari sebelum ia pergi kemari.Tak ada busana kasual yang biasa ia kenakan. Entah kemana pula hilangnya kaos-kaos dan celana jeans kesayangannya? Belum lagi gaun maxi dan midi selengan miliknya malah berganti dengan gaun mini di atas lutut dan bertali spageti.Melihatnya saja Meira sudah membuatnya bergidik ngeri. Ia sungguh tak terbiasa dengan pemandangan pakaian-pakaian kelewat seksi seperti yang berada di kopernya saat ini.Selam
“Tian, kamu bawakan sekalian koper punya Meira.”Helena memindahkan paksa koper Meira ke tangan Tian. Lalu, dengan santainya ia menggandeng Meira dan berjalan cepat mendahului Tian agar tak perlu mendengarkan kicauan protes dari putra semata wayangnya tersebut.“Eh … kasian Kak Tian, Ma. Meira bisa bawa kopernya sendiri, kok,” tutur Meira dengan matanya yang beberapa kali menengok gelisah ke arah belakang.Sungguh, Meira kasihan karena Tian harus membawa beban kopernya juga, padahal sedari perjalan di pesawat paras Tian tidak hentinya tertekuk muram.Jujur Meira takut kalau sampai Tian memendam kesal yang semakin dalam padanya karena sudah lah dipaksa pergi berbulan madu, kini malah di tambah beban untuk membawakan koper miliknya.Mengamati bertambah keruh dan masamnya raut wajah Tian saja mampu membuat bulu romanya merinding. Seandainya saja bisa, ia ingin merebut kopernya kembali. Sayangnya tangan mertuanya ini begitu kuat menggandeng tangannya.“Sudah, biarkan saja, Mei. Toh, seben