“Nona Meira, mengapa di dapur, Non? Aduh, kalau Nyonya tahu pasti saya dimarahi,” lontar Bi Darmi–Asisten Rumah Tangga di rumah keluarga Wijaya–dengan wajah mengerut gusar.“Enggak apa, Bi. Nanti, kalau Mama marah biar Meira yang bela bibi,” sahut Meira santai saja sambil tetap fokus menggongseng masakannya hingga harum.Panggilan Tante pada Helena memang telah hilang dan ia ganti dengan Mama sebab mertuanya itu yang meminta dipanggil seperti itu. Lagi pula, tanpa diminta pun Meira akan memanggil mertuanya dengan sebutan demikian. Bukan kah tidak lucu seorang menantu memanggil mertuanya dengan sebutan Tante“Masak kan tugas Bibi di pagi hari, Non. Kalau Non Meira yang ambil alih, Bibi harus ngapain?” Bi Darmi memang sudah mengenal Meira sedari kecil karena seringnya Meira main ke rumah majikannya ini. Selain itu, Meira juga anaknya sopan, baik, dan tak malu untuk berbaur dengan pembantu seperti dirinya Oleh karena itu, Bi Darmi bisa dengan santainya berbicara dan bergurau dengan Mei
“Ya sudah, kalau begitu besok aku siapkan yang warnanya enggak cerah. Kamu suka warna gelap, ‘kan? Mulai besok akan aku memilihkan setelan kantor dengan warna kesukaanmu itu.”Meira sudah berjanji dengan dirinya sendiri untuk tidak menyerah menghadapi Tian. Apa lagi kemarin Tian sudah berjanji akan mengizinkan dirinya menyiapkan segala keperluannya, bukan? Enak saja mau ingkar janji.Tian hanya bisa menganjurkan nafas berat. “Terserat lah. Intinya, saya hanya akan memberikan kesempatan sekali lagi untukmu. Jika besok pakaian pilihanmu tidak sesuai dengan selera saya, selamanya jangan pernah menyentuh pakaian saya!”“Deal,” kata Meira dengan penuh persetujuan dan keyakinan kalau pakaian yan
“Pagi-pagi sudah kecut saja muka pengantin baru kita,” ledek Rea—rekan se divisi sekaligus sahabat Meira. “Kena serangan datang bulan, ya?, makanya enggak bisa malam pertama. Jadi kamu uring-uringan kayak gini.”Geregetan dengan temannya yang bisa-bisanya membicarakan masalah ranjang di kantor, tangan Meira langsung saja mendaratkan tangannya untuk menjitak kepala Rea. “Ish, filter dong ucapmu, Re. Kita lagi di kantor tahu,” tegur Meira. “Sudah, balik kerja sana. Nanti kalau Pak Rama lihat kita terlibat obrolan waktu jam kerja, bisa-bisa kita kena SP.”“Pak Rama mana pernah marah sama kamu, Ra. Dia kalau sama kamu kayak kucing, tapi kalau sama karyawan yang lain kayak singa,” kata Rea tak ada nada iri di sana hanya ada nada mengejek saja.“Mungkin karena Pak Rama kenal sama aku dari waktu SMA, jadi dia merasa enggak enak untuk menegurku, Re,” sanggah Meira tak ingin ada kesalahpahaman yang bukan-bukan.Pak Rama merupakan kepala manajer di divisinya. Kebetulan sewaktu SMA dulu Meira
“Malas, Ma. Saya masih lelah dan tidak ada waktu untuk membuka hadiah-hadiah sialan ini. Mama saja yang membuka hadiah pernikahan ini bersama Meira karena kan Mama yang berulah.” “Enak saja kamu berani memerintah Mama. Semua ini kan hadiah perkawinanmu, jadi yang wajib membukanya adalah kamu dan Meira. Mama tidak mau ikut campur.” Setelah mengatakan itu dan mendekatkan tubuh Meira ke arah Tian, Helena langsung tunggang langgang dari kamar anaknya. “Kalau kamu enggak mau buka hadiahnya. Biar aku saja yang buka sendiri. Kamu mandi saja dan tunggu di sofa. Nanti kalau sudah selesai, aku kasih tahu,” cetus Meira menyadari keenganan di mata suaminya. Meskipun malas, penat dan enggan, tetapi Tian tak sampai hati juga membiarkan Meira membuka kado sebanyak ini seorang diri. Ia memang tak mencintai Meira, tetapi sebagai seorang pria sejati ia masih punya hati untuk tak memperbudak seorang wanita. “Kita buka berdua saja supaya lebih cepat,” pungkas Tian menyeret tangan Meira dan membawa
“Loh, Tian sama Meira mana, Bi?” tanya Helena saat melihat Bi Darmi yang ia suruh memanggil Tian dan Meira, malah turun sendiri dari lantai atas.“Anu, Nyonya. Saya enggak berani membangunkannya. Soalnya Non Meira sama Tuan Muda ketiduran,” jawab Bi Darmi takut-takut disentak Nyonyanya karena tak memenuhi perintahnya.“Ya sudah, Bibi lanjutkan saja menyiapkan makanan. Biar saya yang membangunkan mereka berdua,” kata Helena bergegas ke kamar Rafka.Sesampainya di dalam kamar anak bujang semata wayangnya, ia tak sanggup menahan diri untuk tak tersenyum. Bagaimana ia tak tersenyum kalau mendapatkan suguhan romantisme dari sepasang pengantin baru yang tidur sambil berpelukan. Helena sungguh terenyuh sekali melihatnya karena menyadari bahwa Tain dan Meira menikah atas dasar perjodohan. Oleh karena itu, ia tak menyangka kalau ternyata anak dan menantunya itu bisa terlihat seharmonis ini.Mungkin kah semalam anak dan menantunya itu telah melakukan hubungan suami istri, sehingga mereka tamp
“Sepertinya kami tidak butuh tiket bulan madu sekarang. Saya masih sibuk dengan pekerjaan di kantor. Meira juga sepertinya cukup sibuk dengan pekerjaannya juga,” kilah Tian berusaha berkelit supaya tak usah ada bulan madu untuknya dan Meira.Lagi pula pernikahan yang tak dilandaskan oleh cinta untuk apa juga perlu menjalani bulan madu. Justru Tian menghindari menyentuh Meira dan melakukan kontak fisik dengan wanita itu. Ia tak mau sampai pernikahannya dengan Meira menghadirkan seorang anak tanpa cinta seperti dirinya ini.“Kalian kan baru menikah alias pengantin baru. Mama yakin kalau kalian mengambil cuti barang 3 hari, pasti akan diizinkan. Sayang sekali tiket bulan madu yang sudah kami pesan kalau kalian tidak berangkat.”Sesungguh Meira sangat ingin sekali pergi bulan madu bersama dengan Tian. Tetapi, melihat betapa keruhnya air muka Tian membuatnya takut dan meragu untuk menerima tiket bulan madu dari mertuanya.“Kenapa tidak Mama dan Papa saja yang pergi bulan madu kalau begitu
“Tian, kamu bawakan sekalian koper punya Meira.”Helena memindahkan paksa koper Meira ke tangan Tian. Lalu, dengan santainya ia menggandeng Meira dan berjalan cepat mendahului Tian agar tak perlu mendengarkan kicauan protes dari putra semata wayangnya tersebut.“Eh … kasian Kak Tian, Ma. Meira bisa bawa kopernya sendiri, kok,” tutur Meira dengan matanya yang beberapa kali menengok gelisah ke arah belakang.Sungguh, Meira kasihan karena Tian harus membawa beban kopernya juga, padahal sedari perjalan di pesawat paras Tian tidak hentinya tertekuk muram.Jujur Meira takut kalau sampai Tian memendam kesal yang semakin dalam padanya karena sudah lah dipaksa pergi berbulan madu, kini malah di tambah beban untuk membawakan koper miliknya.Mengamati bertambah keruh dan masamnya raut wajah Tian saja mampu membuat bulu romanya merinding. Seandainya saja bisa, ia ingin merebut kopernya kembali. Sayangnya tangan mertuanya ini begitu kuat menggandeng tangannya.“Sudah, biarkan saja, Mei. Toh, seben
Meira menyeret kopernya ke walk in closet karena ia ingin mengambil baju ganti untuk ia bawa ke kamar mandi.Namun, matanya membelak, seakan mau keluar dari tempatnya, tatkala melihat sekumpulan pakaian di kopernya berbeda jauh dengan yang ia siapkan sehari sebelum ia pergi kemari.Tak ada busana kasual yang biasa ia kenakan. Entah kemana pula hilangnya kaos-kaos dan celana jeans kesayangannya? Belum lagi gaun maxi dan midi selengan miliknya malah berganti dengan gaun mini di atas lutut dan bertali spageti.Melihatnya saja Meira sudah membuatnya bergidik ngeri. Ia sungguh tak terbiasa dengan pemandangan pakaian-pakaian kelewat seksi seperti yang berada di kopernya saat ini.Selam