Setibanya di rumah sakit usai meninggalkan hotel tempatnya menginap semalam dengan Vania, Tian melangkah panjang dan berjalan cepat ke depan ruang ICU.
“Bagaimana kondisi Papa, Ma?” Tian bertanya dengan air muka yang berkerut saat melihat Mamanya sedang menangis di pelukan Meira.
Menyadari keadaan Helena yang sedang dirundung kepanikan dan kesedihan, Meira pun langsung tanggap menggantikan Helena untuk menyahuti pertanyaan Tian.
“Setelah pemeriksaan, dokter bilang kalau kondisi ginjal Om Harris semakin memburuk dan mengalami gagal ginjal yang membuat ginjalnya rusak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat pulih keadaan Om Harris yaitu dengan melakukan operasi pencangkokan ginjal secepat mungkin,” papar Meira menjelaskan yang ia dengar tadi kepada Tian.
“Terus kenapa operasinya belum dilakukan? Apakah donor ginjal yang cocok buat Papa belum dapat?”
Meira menggeleng. “Belum. Tadi Tante Helena sudah mencoba melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal. Tetapi begitu hasil tesnya keluar, sayang sekali ginjal Tante Helena tidak cocok untuk didonorkan pada Om Harris.”
“Kalau begitu, dimana ruang tes kecocokan ginjalnya? Saya juga mau memeriksakan apakah ginjal saya cocok atau tidak dengan Papa? Seandainya ginjal saya cocok, saya yakin operasinya bisa lebih cepat dilaksanakan.”
“Sebenarnya saya juga baru saja melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal dan hasilnya belum keluar. Tetapi kalau kamu mau ikut melakukan tesnya juga, ruangannya ada di—”
Ucapan Meira yang baru saja ingin memberitahukan Tian dimana letak ruang pemeriksaan tes kecocokan ginjal terpaksa terhenti. Karena sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Helena tampak angkat bicara sambil melingkarkan tangannya di pergelangan tangan Tian.
“Tunggu, Tian. Sebaiknya kita menunggu hasil tes Meira dulu. Kalau nanti hasilnya tidak cocok, baru kamu boleh melakukan tesnya,” cegah Helena.
Helena berupaya keras untuk mencegah Tian melakukan tes kecocokan ginjal. Semburat wajah ketakutan sekeras mungkin Helena coba sembunyikan. Pasalnya ada satu hal yang telah ia rahasiakan dari Harris maupun keluarga besar Wijaya.
Sungguh, Helena tak ingin sampai rahasia yang telah susah payah ia pendam selama ini terbongkar di hadapan suaminya. Oleh karena itu, Helena akan melakukan segala cara agar rahasinya tak pernah terungkapkan, bahkan sampai ia mati sekali pun.
“Memangnya kenapa, Ma? Bukankah justru bagus kalau saya melakukan tesnya sekarang. Sehingga, seandainya nanti ginjal Meira dinyatakan tidak cocok untuk bisa didonorkan pada Papa, hasil punya saya juga bisa lebih cepat untuk keluar, Ma.”
“Bukannya Mama melarangmu, Tian. Tapi, kamu adalah pengganti Papa selama Papamu sakit untuk mengawasi perusahaan. Mama tidak mau sampai terjadi apa pun padamu kalau kamu yang harus mendonorkan ginjal untuk Papamu, Nak. Lagi pula kamu kan punya darah rendah, jadi Mama tidak ingin penyakitmu kumat saat diambil darah sewaktu tesnya dilakukan. ”
Mengerti kegundahan dan kesedihan yang sedang dirasakan oleh Mamanya, Tian memilih untuk tidak mendebat perkataan Mamanya. Lebih baik, ia duduk di samping Helena dan mencoba menyalurkan kekuatan agar Mamanya bisa mengurangi sedikit rasa sedih dalam hatinya.
*****
Usai menunggu cukup lama, akhirnya hasil tes kecocokan donor ginjal yang Meira lakukan keluar juga. Tak ada satu pun yang menyangka kalau setelah menjalani semua prosedur pemeriksaaan kecocokan donor ginjal, ternyata ginjal Meira cocok untuk ditransplasikan kepada Harris.
Tak ingin membuang-buang waktu, operasi pencangkokan salah satu ginjal Meira untuk Harris pun dilakukan sesegera mungkin. Meski pun jantungnya terus berdebar-debar karea baru kali Meira melakukan prosedur operasi, tetapi ia berusaha untuk bersikap rileks.
Kendati tak mempunyai hubungan kerabat dengan keluarga Tian, tetapi Mamanya dan Mama Tian masih lah memiliki pertalian sebagai sepasang sahabat. Selain itu, selama ini Tante Helena dan keluarga Wijaya sudah banyak membantu keluarga Meira.
Seperti saat Papanya bangkrut, dengan baik hati keluarga Wijaya membantu menyuntikan modal agar Papanya bisa membangun usaha kembali.
Mungkin memang usaha yang kini Papanya jalani tidak lagi mengalami keuntungan yang sebanyak dulu, tetapi setidaknya Papanya masih mampu memenuhi kebutuhan hidup Meira dan Mamanya.
“Meira, Tante sangat berterima kasih sekali sama kamu karena kamu memutuskan mau mendonorkan ginjal kamu untuk suami Tante. Mengingat usai kamu yang masih muda, Tante tahu pasti tidak mudah mengambil keputusan ini,” ucap Helena.
Dengan berlinangan air mata, Helena menggeman erat tangan Meira sebelum gadis itu masuk ke dalam ruang operasi.
“Tante enggak perlu berterima kasih sama Meira. Justru Meira yang seharusnya berterima kasih karena Tante dan Om Harris sudah banyak membantu keluarga Meira. Anggap saja Meira mendonorkan ginjal ini sebagai ucapan terima kasih atas kebaikan Om dan Tante selama ini.”
Meira benar-benar tulus saat mengatakan ucapan terima kasih yang ia utarakan. Pasalnya, bantuan yang Tante Helena berikan pada keluarganya tak hanya membatu saat usaha Papanya bangkrut. Tetapi juga membantu membayarkan uang sekolah Meira dan membayarkan setiap les serta kursus yang Meira lakukan.
Bahkan, saking baik hatinya, Tante Helena selalu saja memberikan banyak barang kebutuhan rumah tangga setiap minggunya ke rumahnya. Merasa tak enak dengan kebaikan Tante Helena yang terus menerus, pernah suatu waktu ia dan Mamanya meminta pada Tante Helena untuk tidak usah melakukannya lagi.
Meira dan keluarganya meminta hal itu bukan karena mereka tak menghargai kebaikan Helena. Hanya saja, mereka rasanya tak enak hidup dalam hutang budi atas segala bantuan yang pernah diberikan Helena.
Oleh karena itu, saat ada kesempatan bagi Meira untuk membalas kebaikan dan membayar hutang budi keluarga terhadap keluarga Tian, Meira tak ingin menyia-nyiakannya.
Kesempatan yang sudah dari lama ia tunggu-tunggu akhirnya datang juga. Meskipun dengan mengambil kesempatan itu, ia harus mengorbankan salah satu ginjalnya.
Namun, tak mengapa karena bagi Meira yang terpenting ia bisa melunasi hutang budi sekaligus mengganjar perbuatan baik dari Tante Helena sekeluarga.
*****
“Tenang lah, Ma. Operasinya pasti berjalan lancar. Saya yakin, baik Papa maupun Meira keduanya akan melewati operasi ini dengan baik,” tutur Tian sambil merangkul dan mengusap lembut bahu Mamanya.
“Mama juga sedang berusaha untuk tenang, Tian. Hanya saja, air mata Mama tidak bisa berhenti mengalir. Rasanya Mama tidak dapat menghentikan air mata Mama, sebelum operasinya selesai dan dokter mengatakan kalau operasinya berjalan dengan sukses,” lirih Meira menggigiti kukunya untuk menghalau rasa cemas dalam hatinya.
Helena cemas karena sudah 4 jam berlalu semenjak terakhir kali ia mengobrol dengan Meira dan tak lama gadis itu dibawa masuk ke ruang operasi, tetapi hingga kini belum ada tanda-tanda operasi akan selesai dilakukan.
Bunyi alat monitor masih terdengar jelas dari dalam ruangan operasi dan belum ada satu pun dokter yang keluar dari ruangan operasi. Jadi bagaimana rasa panik dalam dirinya ini bisa hilang, kalau sudah menunggu selama ini, tetapi tak kunjung ada kabar baik yang bisa Helena dengar?
Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.*****Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, meskipun sudah dibe
“Apa?! Papa dan Mama ingin menjodohkan saya dengan Meira? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena dia mendonorkan ginjalnya untuk Papa, makanya kalian ingin mengorbankan saya untuk balas budi?!”Kedua keluarga memang telah menyetujui kesepakatan untuk menikahkan Tian dan Meira. Tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan reaksi Tian sewaktu diberitahukan kalau kedua keluarga setuju untuk menjodohkan Meira dan Tian.“Papa tidak akan bohong kalau menyuruhmu menikahi Meira karena hutang budi. Selain itu, Papa juga sudah berjanji untuk menikahkan kamu dengan Meira atas permintaan yang Papa paksa dari keluarga Meira,” jelas Harris.“Hubungan kita tidak sebaik itu, Pa! Jadi, untuk apa saya harus menanggung hutang budi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Papa. Di saat seperti ini, Papa baru memohon kepada saya. Sedangkan sedari saya kecil, Papa sendiri tak pernah memberikan kehangatan seorang Papa untuk saya!” dengus Tian dengan bibir menyeringai.“Papa minta maaf atas perlaku
“Tak apa, Anda urus saja istri Anda. Saya bisa mengerti kalau istri dan calon anak Anda saat ini adalah hal terpenting untuk Anda. Kebetulan saya juga tidak bisa lama-lama disini karena masih ada agenda lain yang harus saya hadiri.”“Baik, terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sekali lagi karena sudah datang ke acara saya,” balas Diko bersinggungan tangan dengan Tian sebelum kakinya melangkah pergi membawa Vania untuk beristirahat.Senyum kecut terpampang jelas di bibir Tian dan matanya tak henti memicing tajam memandangi tubuh Vania yang dibawa pergi oleh Diko. Ada kegetiran dan sejumput nyeri yang menusuk-nusuk dada Tian kala kebusukan kekasihnya terpampang nyata di netranya sendiri. Sungguh tega sekali wanita yang ia cintai itu karena telah mematahkan hatinya dan meluluh lantahkan semua kepercayaan yang pernah ia berikan padanya. Padahal, ia begitu mencintai dan memuja Vania begitu dalam, tetapi inikah balasan dari kesetiaannya? Mengapa setianya harus di balas oleh du
“Kapan acara sialan ini selesai?!” batin Tian menggerutu dalam hatinya, tatkala setelah acara pemberkatan pernikahan selesai dilakukan, tetapi ia masih harus berdiri di atas pelaminan untuk melangsungkan acara resepsi.Kakinya pegal dan hampir mati rasa karena dipaksa berdiri dari siang hingga hampir malam begini. Seperti ada semut-semut yang menggerayangi tumit dan telapak kakinya karena rentetan tamu-tamu tak henti-hentinya berdatangan.“Kalau kamu capek duduk aja. Biar aku saja yang berdiri menyalami tamu,” usul Meira berbisik ke arah Tian.Sedari tadi, mata Meira tak bisa lepas dari pergerakan Tian yang beberapa kali menggerak-gerakan kakinya secara berulang. Peluh juga berjatuhan di kening lelaki itu meskipun ruangan gedung ini memiliki AC di setiap sudut ruang.“Sudah lah diam saja! Saya masih sanggup berdiri,” balas Tian berbisik dengan nada kegeraman yang begitu kentara menyapa telinga Meira.Menyadari betapa kesal dan dinginnya nada suara Tian ketika menyahuti perkataannya, M
“Meira pamit ya, Bun. Mulai hari ini Meira enggak akan tinggal sama Ayah Bunda lagi, pasti Meira bakal kangen banget,” lontar Meira.Dengan erat dan penuh haru dipelukanya tubuh Ayah dan bundanya usai acara resepsi pernikahannya telah selesai. Kini, ia harus ikut pulang bersama dengan Tian ke rumah lelaki itu karena telah terikat pernikahan dan resmi menjadi istri Tian.“Bunda dan Ayah juga pasti akan merindukanmu, Mei. Tapi, sekarang kamu sudah jadi istri Tian dan harus ikut kemana pun suamimu mengajakmu pergi”Sekuat tenaga Maya berusaha untuk tetap tegar dan memberikan putrinya wejangan, walaupun air mata terus mengalir membasahi pipinya.“Ayah, titip Meira padamu, Tian. Tolong jaga dia dengan baik dan sayangi dia dengan tulus.”Hartanto memilih berbicara dengan Tian karena lidahnya terasa tercekat ketika berbicara dengan putrinya. Ada ketidak relaan dalam hatinya untuk melepaskan Meria menjalani hidup barunya sebagai seorang istri.Berat sekali untuk bisa merelakan Meira karena ga
Sekeluarnya Meira dari dalam kamar mandi, ia sama sekali tidak melihat kehadiran Tian berada di dalam kamar. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri dengan menggosok tubuhnya berkali-kali ketika mandi karena siapa tahu malam ini Tian akan meminta haknya sebagai seorang suami untuk pertama kali.Mungkin kah Tian masih merokok? Tetapi mengapa lama sekali? Bukankah dari sebelum ia masuk ke kamar mandi lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya itu sudah bilang akan merokok.Apakah biasanya Tian kalau merokok memang membutuhkan waktu selama ini? Atau sebenarnya suaminya itu hanya mencari alasan untuk menghindarinya.Sedari awal, Meira sadar kalau sepertinya tidak pernah ada ketertarikan yang Tian tunjukan kepada dirinya ini. Ia juga bisa tahu kalau Tian hanya menganggapnya sebagai teman sekolahnya saja. Satu-satunya alasan Tian mau menikahinya yaitu sebagai balas budi karena ia telah mendonorkan ginjalnya kepada Om Harris. Tapi, haruskah sampai begininya Tian tega mengabaikannya d
“Kenapa belum tidur juga?!” tanya Tian ketika ia selesai mandi Meira masih duduk di pinggir ranjang. Sia-sia saja Tian sengaja berlama-lama di kamar mandi dengan harapan Meira sudah tidur ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia malas sekali harus berbasa-basi lagi dengan gadis yang baru menjadi istrinya itu “Ah … Aku hanya belum bisa tidur,” jawab Meira. Sengaja Meira tak menyematkan panggilan Kakak lagi karena tak ingin Tian kesal padanya kalau tak menuruti keinginan yang terkesan memaksa darinya. Biar nanti saja, ia memanggilnya begitu kalau sudah tumbuh perasaan Tian padanya dan juga kalau sedang ada di depan keluarganya. Selain itu, Meira terpaksa berbohong kalau ia tak bisa tidur atas pertanyaan Tian barusan. Tentu saja ia sudah mengantuk, tetapi ia sengaja menahan kantuknya takutnya Tian membutuhkan dirinya untuk membantu suaminya itu. “Kalau begitu, minumlah obat tidur yang ada di laci nakas samping tempat tidur.” Meira hanya bisa melongo dan tertegun karena jawaban dan re
“Nona Meira, mengapa di dapur, Non? Aduh, kalau Nyonya tahu pasti saya dimarahi,” lontar Bi Darmi–Asisten Rumah Tangga di rumah keluarga Wijaya–dengan wajah mengerut gusar.“Enggak apa, Bi. Nanti, kalau Mama marah biar Meira yang bela bibi,” sahut Meira santai saja sambil tetap fokus menggongseng masakannya hingga harum.Panggilan Tante pada Helena memang telah hilang dan ia ganti dengan Mama sebab mertuanya itu yang meminta dipanggil seperti itu. Lagi pula, tanpa diminta pun Meira akan memanggil mertuanya dengan sebutan demikian. Bukan kah tidak lucu seorang menantu memanggil mertuanya dengan sebutan Tante“Masak kan tugas Bibi di pagi hari, Non. Kalau Non Meira yang ambil alih, Bibi harus ngapain?” Bi Darmi memang sudah mengenal Meira sedari kecil karena seringnya Meira main ke rumah majikannya ini. Selain itu, Meira juga anaknya sopan, baik, dan tak malu untuk berbaur dengan pembantu seperti dirinya Oleh karena itu, Bi Darmi bisa dengan santainya berbicara dan bergurau dengan Mei