Tian memijat kepalanya dan merenggangkan tubuhnya akibat terlalu lama duduk memeriksa dokumen yang harus ia tandatangani. Sungguh, Tian tak menyangka ia akan sesibuk ini dalam jangka waktu seminggu bekerja di perusahaan Papanya.
Untung saja setelah disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menguras pikirannya ini, Tian bisa sejenak menenangkan diri dengan bertemu dengan kekasihnya sepulang bekerja.
“Kamu sudah menunggu dari tadi, Sayang? Maaf, aku sedikit terlambat,” ucap Tian ketika melihat makanan dan minuman yang telah tersaji di restoran yang ia reservasi bersama dengan Vania–Kekasihnya—.
“Aku sengaja datang duluan, supaya bisa memesankan makanan dan minuman kesukaan kamu di restoran ini, Sayang. Syukur sekali menu kesukaan kamu masih ada di restoran ini, meskipun 3 tahun telah berlalu,” jawab Vania tersenyum sampai matanya menyipit.
“Terima kasih, kamu sudah sabar menungguku selama 3 tahun aku kuliah di luar negeri. Padahal, aku cuma punya waktu untuk bersama kamu saat kamu ada kerjaan modeling di Amerika dan waktu aku sedang libur kuliah,” ujar Tian mengajak Vania untuk berdiri karena ia ingin memeluk wanita yang sudah lama tak ia bawa kerengkuhannya.
Sesaat seutas senyum terpasang di wajah cantik Vania, tetapi tak lama senyum itu berganti dengan guratan kesedihan. Rasa sedih yang bahkan mampu membuat dadanya sesak karena ia sangat mencintai Tian, tetapi ada satu hal yang sulit sekali untuk ia akui secara jujur kepada lelaki yang sudah menjadi kekasihnya selama 3 tahun ini
Vania tak bisa jujur atas hal yang membuatnya sedih itu karena ia tidak ingin hubungan yang awalnya bersemi di Amerika ini berakhir. Ia ingin cinta Tian untuknya tak akan pernah pudar, jadi bagaimanapun caranya ia akan terus menutupi rahasia yang sedang ia sembunyikan saat ini.
“Jangan kan 3 tahun, berapa tahun lamanya pun aku akan selalu menunggu kamu karena cuma kamu satu-satunya lelaki yang aku cintai, Tian. Aku bersyukur sekali bisa dapat job modeling 3 tahun yang lalu di Amerika. Kalau enggak, kita enggak akan pernah ketemu dan menjalin hubungan.”
Dibenamkannya kepala di dada Tian dan tangannya pun semakin erat membalas pelukan Tian ditubuhnya. Tanpa sadar karena kesedihan yang sempat ia rasakan, air mata pun jatuh dari pelupuk mata Vania.
“Hei, kenapa malah menangis?”
Dengan panik Tian menyudahi pelukannya dan menangkup wajah Vania dengan lembut. Diusapkan juga air mata yang mengalir di wajah cantik wanitanya ini. Tak akan ia biarkan setitik air mata pun merusak pemandangan pipi merah merona na lembut milik Vania.
“Tenang lah, Sayang. Aku hanya menangis karena terlalu bahagia. Akhirnya setelah sekian lama, bisa bertatap muka dan memeluk tubuh kamu lagi,” jelas Vania yang tak ingin Tian memasang wajah yang mengerut khawatir karena melihatnya menangis.
Senyum kembali terbit di wajah Tian kala mendengar penjelasan Vania bahwa kekasihnya itu menangis karena bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah sekian lama.
“Kalau alasanmu menangis karena bahagia, aku lega mendengarnya. Lebih baik, sekarang kita makan dulu. Kasihan makanannya sudah menunggu kita dari tadi,” ajak Tian dengan sedikit menambahkan gurauan di akhir kalimatnya.
Selanjutnya mereka berdua menikmati malam romantis sambil memakan hidangan di piring masih-masing. Sesekali mereka saling menyuapi. Di sela-sela makan, Tian dan Vania juga menambahkan suasana romantik di antara mereka dengan saling mengobrol dan mengungkapkan hal-hal yang dirindukan antara satu sama lain.
*****
“Tian, kenapa semalam kamu tidak pulang?” tanya Mamanya begitu Tian yang baru saja bangun mengangkat telepon dari Mamanya itu.
Sebelum menjawab pertanyaan Mamanya, Tian tampak memijat kepalanya yang pengar akibat semalam terlalu banyak meminum wine bersama dengan Vania.
Kebetulan karena terlalu mabuk semalam, Tian memilih memesan penginapan bersama Vania. Bahkan saking mabuknya, tanpa sadar mereka bercinta dengan penuh gelora. Seakan Tian dan Vania sama-sama ingin menyalurkan rasa cinta dan kerinduan mendalam dalam hati mereka.
“Sorry, Ma. Semalam, sepulang kerja saya bertemu teman lama, Ma. Terlalu lama mengobrol dan minum-minum bersama membuat saya agak mabuk. Takut ada apa-apa di jalan, saya pilih menginap di hotel saja, Ma,” terang Tian tak sepenuhnya jujur, tetapi tak seutuhnya berbohong juga.
“Kalau begitu alasannya Mama juga setuju dengan tindakanmu, Tian,” sahut Helena dari seberang sana.” Tapi, bisakah pagi ini kamu ke rumah sakit dulu. Keadaan Papamu semakin kritis dan sekarang sedang ditangani di ruang ICU. Mama takut sekali kalau sampai terjadi hal buruk pada Papamu, Tian.”
Mendengar nada kepanikan dari Mamanya, Tian pun segera mengenakan pakaiannya sambil berkata, “Baik, Ma. Saya akan segera kesana. Mama tenang lah, saya yakin Papa akan baik-baik saja.”
“Kamu mau kemana? Bukannya ini hari minggu dan seharusnya kantormu libur?” tanya Vania dengan suaranya yang parau karena baru bangun tidur saat merasakan pergerakan Tian yang beranjak dari atas ranjang.
“Sorry, Sayang. Aku ada urusan mendadak, jadi harus pergi sekarang. Kamu tidak masalah kan aku tinggal duluan. Maaf aku tidak bisa mengantarkan kamu pulang,” jawab Tian dengan sorot mata yang meluruh.
Sungguh, Tian merasa bersalah karena harus meninggalkan Vania seperti halnya pelacur usai meniduri wanitanya itu semalaman.
Harusnya kalau tidak ada masalah mendesak yang membuat ia mencemaskan mamanya, Tian akan mengantarkan Vania pulang dan mengajak wanita cantiknya itu untuk sarapan bersama.
“Pergi lah, Tian. Aku tidak masalah karena aku mengerti kalau kamu pasti punya banyak kesibukan. Terima kasih untuk semalam, aku senang sekali bisa menghabiskan malam indah bersama kamu lagi, Sayang.”
“Terima kasih juga untuk semalam. Aku juga bahagia mengisi malam indah bersamamu, Van,” tutur Tian lalu mengecup bibir Vania sekilas sebelum Tian benar-benar pergi meninggalkan kamar hotel tempatnya melakukan percintaan panas dengan kekasihnya semalam.
*****
“Darimana saja, kamu baru pulang, Vania? Kamu sedang hamil anak kita, apa tidak bisa kamu di rumah saja dan menjaga kehamilanmu dengan baik!” cecar Diko.
Sekuat tenaga Diko mencoba menahan amarah dalam dirinya ketika mendapati istrinya baru pulang saat siang hari. Lebih parahnya lagi, semalaman istrinya tidak pulang ke rumah dan tidak ada sama sekali inisiatif mengabari dirinya.
“Berapa kali aku bilang untuk jangan menyebut anak sialan dalam perut aku ini sebagai anak kita! Anggap saja anak ini memang anakmu, tapi aku enggak sudi menganggapnya sebagai anakku! Karena aku enggak pernah menginginkan benih keparat milik kamu bersarang di rahimku!” berang Vania dengan mata yang membelalak merah.
“Kuakui memang salahku karena mabuk dan tanpa sengaja menghamilimu, Vania. Tapi, kumohon jangan kau limpahkan rasa kesalmu kepada anak yang tidak berdosa di rahimmu. Salahkan saja aku sepuasmu!”
“Aku sudah muak terus mengumpatimu, Bangsat! Gara-gara kelakuanmu dan kehadiran anak haram ini, aku jadi tidak bisa melanjutkan karierku sebagai model. Lebih parahnya, aku harus menikah denganmu dan dipaksa mempertahankan anak bajingan ini karena kamu menyogok orang tuaku dengan uang!”
“Salahkan lelaki sepertiku ingin bertanggung jawab setelah menghamili seorang gadis, Vania?! Lagi pula, aku hanya berinvestasi di perusahaan Papamu dan bukannya menyuapnya dengan uangan untuk bisa menikahimu. Selain itu, orang tuamu juga yang menuntut pertanggung jawabanku untuk segera menikahimu sewaktu mereka tahu kamu hamil denganku!”
“Akhhh! Diam! Aku tidak mau mendengar ocehan dan omong kosongmu! Kalau kamu mau tahu kenapa aku tak betah di rumah dan semalam tak pulang yaitu karena aku muak melihat wajahmu dan mendengar suaramu!” pekik Vania dengan suara nyaring.
Lelah berteriak, Vania memutuskan untuk berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya. Baru sekejap ia bisa tersenyum bahagia karena menghabiskan waktu bersama Tian.Tetapi, mengapa rasa senang yang membuncah dalam hatinya itu harus di rusakan oleh lelaki sialan bernama Diko itu.
Lelaki sialan yang telah membuatnya mengandung benih menjijikan dari hasil hubungan satu malam yang tak sengaja mereka lakukan. Waktu itu, ia dan Diko menghadiri acara yang sama dimana Diko merupakan sponsor agensi modelnya. Saat keduanya terlalu banyak minum hingga mabuk, tanpa sadar mereka tidur bersama.
Meskipun, Vania tahu ia hamil seperti ini bukan sepenuhnya kesalahan Diko karena malam itu ia dan Diko melakukannya atas dasar mabuk. Tetapi, tetap saja, ia merasa tak terima karena hamil dengan lelaki yang tak ia cintai.
Andai saja ia tidak hamil dengan lelaki bajingan itu, akan kah hubungannya dengan Tian semalam akan membuahkan hasil? Rasanya, Vania sangat rela mengandung benih Tian di rahimnya. Tetapi sayangnya, telah ada bibit lelaki lain yang telah tumbuh dengan subur di dalam peranakannya.
Meskipun begitu, Vanian tidak akan jujur kepada Tian. Apa pun yang terjadi selama pria yang ia cintai itu belum tahu kebenaran tentang dirinya yang telah menikah, Vania akan tetap menemui dan mempertahankan hubungan pacarannya dengan Tian.
Semalam, Vanian memang sengaja membuat Tian mabuk agar ia bisa melakukan percintaan dengan Tian. Vania terpaksa membiarkan Tian mabuk agar lelaki itu tidak sadar tengah meniduri dirinya yang telah hamil 3 bulan.
Setibanya di rumah sakit usai meninggalkan hotel tempatnya menginap semalam dengan Vania, Tian melangkah panjang dan berjalan cepat ke depan ruang ICU.“Bagaimana kondisi Papa, Ma?” Tian bertanya dengan air muka yang berkerut saat melihat Mamanya sedang menangis di pelukan Meira.Menyadari keadaan Helena yang sedang dirundung kepanikan dan kesedihan, Meira pun langsung tanggap menggantikan Helena untuk menyahuti pertanyaan Tian.“Setelah pemeriksaan, dokter bilang kalau kondisi ginjal Om Harris semakin memburuk dan mengalami gagal ginjal yang membuat ginjalnya rusak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat pulih keadaan Om Harris yaitu dengan melakukan operasi pencangkokan ginjal secepat mungkin,” papar Meira menjelaskan yang ia dengar tadi kepada Tian.“Terus kenapa operasinya belum dilakukan? Apakah donor ginjal yang cocok buat Papa belum dapat?”Meira menggeleng. “Belum. Tadi Tante Helena sudah mencoba melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal. Tetapi begitu hasil tesn
Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.*****Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, meskipun sudah dibe
“Apa?! Papa dan Mama ingin menjodohkan saya dengan Meira? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena dia mendonorkan ginjalnya untuk Papa, makanya kalian ingin mengorbankan saya untuk balas budi?!”Kedua keluarga memang telah menyetujui kesepakatan untuk menikahkan Tian dan Meira. Tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan reaksi Tian sewaktu diberitahukan kalau kedua keluarga setuju untuk menjodohkan Meira dan Tian.“Papa tidak akan bohong kalau menyuruhmu menikahi Meira karena hutang budi. Selain itu, Papa juga sudah berjanji untuk menikahkan kamu dengan Meira atas permintaan yang Papa paksa dari keluarga Meira,” jelas Harris.“Hubungan kita tidak sebaik itu, Pa! Jadi, untuk apa saya harus menanggung hutang budi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Papa. Di saat seperti ini, Papa baru memohon kepada saya. Sedangkan sedari saya kecil, Papa sendiri tak pernah memberikan kehangatan seorang Papa untuk saya!” dengus Tian dengan bibir menyeringai.“Papa minta maaf atas perlaku
“Tak apa, Anda urus saja istri Anda. Saya bisa mengerti kalau istri dan calon anak Anda saat ini adalah hal terpenting untuk Anda. Kebetulan saya juga tidak bisa lama-lama disini karena masih ada agenda lain yang harus saya hadiri.”“Baik, terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sekali lagi karena sudah datang ke acara saya,” balas Diko bersinggungan tangan dengan Tian sebelum kakinya melangkah pergi membawa Vania untuk beristirahat.Senyum kecut terpampang jelas di bibir Tian dan matanya tak henti memicing tajam memandangi tubuh Vania yang dibawa pergi oleh Diko. Ada kegetiran dan sejumput nyeri yang menusuk-nusuk dada Tian kala kebusukan kekasihnya terpampang nyata di netranya sendiri. Sungguh tega sekali wanita yang ia cintai itu karena telah mematahkan hatinya dan meluluh lantahkan semua kepercayaan yang pernah ia berikan padanya. Padahal, ia begitu mencintai dan memuja Vania begitu dalam, tetapi inikah balasan dari kesetiaannya? Mengapa setianya harus di balas oleh du
“Kapan acara sialan ini selesai?!” batin Tian menggerutu dalam hatinya, tatkala setelah acara pemberkatan pernikahan selesai dilakukan, tetapi ia masih harus berdiri di atas pelaminan untuk melangsungkan acara resepsi.Kakinya pegal dan hampir mati rasa karena dipaksa berdiri dari siang hingga hampir malam begini. Seperti ada semut-semut yang menggerayangi tumit dan telapak kakinya karena rentetan tamu-tamu tak henti-hentinya berdatangan.“Kalau kamu capek duduk aja. Biar aku saja yang berdiri menyalami tamu,” usul Meira berbisik ke arah Tian.Sedari tadi, mata Meira tak bisa lepas dari pergerakan Tian yang beberapa kali menggerak-gerakan kakinya secara berulang. Peluh juga berjatuhan di kening lelaki itu meskipun ruangan gedung ini memiliki AC di setiap sudut ruang.“Sudah lah diam saja! Saya masih sanggup berdiri,” balas Tian berbisik dengan nada kegeraman yang begitu kentara menyapa telinga Meira.Menyadari betapa kesal dan dinginnya nada suara Tian ketika menyahuti perkataannya, M
“Meira pamit ya, Bun. Mulai hari ini Meira enggak akan tinggal sama Ayah Bunda lagi, pasti Meira bakal kangen banget,” lontar Meira.Dengan erat dan penuh haru dipelukanya tubuh Ayah dan bundanya usai acara resepsi pernikahannya telah selesai. Kini, ia harus ikut pulang bersama dengan Tian ke rumah lelaki itu karena telah terikat pernikahan dan resmi menjadi istri Tian.“Bunda dan Ayah juga pasti akan merindukanmu, Mei. Tapi, sekarang kamu sudah jadi istri Tian dan harus ikut kemana pun suamimu mengajakmu pergi”Sekuat tenaga Maya berusaha untuk tetap tegar dan memberikan putrinya wejangan, walaupun air mata terus mengalir membasahi pipinya.“Ayah, titip Meira padamu, Tian. Tolong jaga dia dengan baik dan sayangi dia dengan tulus.”Hartanto memilih berbicara dengan Tian karena lidahnya terasa tercekat ketika berbicara dengan putrinya. Ada ketidak relaan dalam hatinya untuk melepaskan Meria menjalani hidup barunya sebagai seorang istri.Berat sekali untuk bisa merelakan Meira karena ga
Sekeluarnya Meira dari dalam kamar mandi, ia sama sekali tidak melihat kehadiran Tian berada di dalam kamar. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri dengan menggosok tubuhnya berkali-kali ketika mandi karena siapa tahu malam ini Tian akan meminta haknya sebagai seorang suami untuk pertama kali.Mungkin kah Tian masih merokok? Tetapi mengapa lama sekali? Bukankah dari sebelum ia masuk ke kamar mandi lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya itu sudah bilang akan merokok.Apakah biasanya Tian kalau merokok memang membutuhkan waktu selama ini? Atau sebenarnya suaminya itu hanya mencari alasan untuk menghindarinya.Sedari awal, Meira sadar kalau sepertinya tidak pernah ada ketertarikan yang Tian tunjukan kepada dirinya ini. Ia juga bisa tahu kalau Tian hanya menganggapnya sebagai teman sekolahnya saja. Satu-satunya alasan Tian mau menikahinya yaitu sebagai balas budi karena ia telah mendonorkan ginjalnya kepada Om Harris. Tapi, haruskah sampai begininya Tian tega mengabaikannya d
“Kenapa belum tidur juga?!” tanya Tian ketika ia selesai mandi Meira masih duduk di pinggir ranjang. Sia-sia saja Tian sengaja berlama-lama di kamar mandi dengan harapan Meira sudah tidur ketika ia keluar dari kamar mandi. Ia malas sekali harus berbasa-basi lagi dengan gadis yang baru menjadi istrinya itu “Ah … Aku hanya belum bisa tidur,” jawab Meira. Sengaja Meira tak menyematkan panggilan Kakak lagi karena tak ingin Tian kesal padanya kalau tak menuruti keinginan yang terkesan memaksa darinya. Biar nanti saja, ia memanggilnya begitu kalau sudah tumbuh perasaan Tian padanya dan juga kalau sedang ada di depan keluarganya. Selain itu, Meira terpaksa berbohong kalau ia tak bisa tidur atas pertanyaan Tian barusan. Tentu saja ia sudah mengantuk, tetapi ia sengaja menahan kantuknya takutnya Tian membutuhkan dirinya untuk membantu suaminya itu. “Kalau begitu, minumlah obat tidur yang ada di laci nakas samping tempat tidur.” Meira hanya bisa melongo dan tertegun karena jawaban dan re