“Terima kasih sudah mengantar Meira pulang, Tante,” ucap Meira ketika mobil Helena berhenti di halaman rumahnya usai mereka menjemput Tian di bandara.
“Sama-sama, Sayang. Tante yang harusnya berterima kasih karena kamu mau menemani Tante menjemput anak bandel ini,” balas Helena tersenyum tulus ke arah Meira sebelum gadis itu turun dari mobilnya.
“Hati-hati di jalan, Tante.” Meira melambaikan tangannya ketika ia telah turun dan melihat mobil Tante Helena yang mulai berjalan meninggalkan halaman depan rumahnya.
Guratan senyum bahagia tidak bisa lepas juga dari wajah Meira ketika benaknya kembali mengalun tentang pertemuannya dengan Tian hari ini. Jantungnya terasa berdebar saat teringat kembali betapa bertambahnya ketampanan Tian setelah sekian lama ia tidak melihat wajah lelaki dambaan hatinya itu.
Bagaimana mungkin wajah Tian tidak terbayang-bayang dalam angan Meira, kalau sepanjang perjalan tadi, ia diam-diam selalu mencuri pandang ke arah Tian? Dalam hatinya ia sungguh mengagumi pahatan karya Sang Maha Kuasa yang menciptakan pahatan wajah seelok Tian.
Lengkungan alisnya berbentuk tebal sempurna di atas mata cokelat yang dalam, rambut kecoklatannya yang selalu tertata rapi semenjak SMA tampaknya tak banyak berubah, dan rahangnya pun terukir tegas bak tugu monas.
****
“Hari ini kamu beristirahat saja, Tian. Mama tahu kamu pasti lelah sekali sehabis mengarungi perjalan jauh dari Amerika. Nanti makananmu akan Mama suruh pelayan untuk mengantarkannya ke kamarmu,” tutur Helena saat ia dan Tian telah sampai di rumah mereka.
Tian hanya mengangguk saja sebagai jawaban bahwa ia akan menuruti apa yang dikatakan oleh Mamanya itu. Lagi pula ia memang benar-benar lelah dan membutuhkan waktu untuk meredakan lelahnya dengan beristirahat penuh.
Sekilas menatap sekeliling kamra yang sudah lama tak ia tinggali, Tian memutuskan untuk membersihkan diri dengan mandi. Selesai menyegarkan diri, Tian merasakan kantuk menyerang dirinya dan tanpa sadar ia pun sudah terbawa ke alam mimpi.
“Tuan muda, maaf saya ditugaskan oleh Nyonya untuk membangunkan Anda.” Seorang pelayan paruh baya mengatakan itu sambil menyingkap tirai yang menutupi kamar Tian.
Tian melenguh sebentar ketika matanya baru samar-samar terbuka. Untungnya ia sudah terbiasa terbangun mendengar suara alarm, jadi ketika ada sedikit saja suara yang mengusiknya di pagi hari, dengan mudahnya Tian bisa terbangun.
“Katakan pada Mama, dalam 15 menit saya akan ke bawah, Bi,” sahut Tian beranjak juga dari ranjangnya.
“Baik, Tuan muda. Akan saya sampaikan kepada Nyonya. Kalau begitu saya permisi, Tuan muda,” ujar sang pelayan. “Maaf, Nyonya juga tadi menyampaikan agar Tuan muda mengenakan setelan kantor yang rapi.”
Usai mengatakan itu, sang pelayan pun pergi dari kamar Tian. Sepeninggalan sang pelayan, Tian segera mengambil handuk dan lari ke kamar mandinya. Dengan secepat kilat Tian menyelesaikan acaranya mandinya dan juga bersiap-siap mengenakan setelan kantor serapi mungkin.
“Pagi, Ma,” sapa Tian setibanya ia di meja makan yang sudah lama sekali tidak pernah ia singgahi.
“Duduklah, Tian. Mama sudah menunggumu dari tadi karena ada hal penting yang ingin Mama bicarakan denganmu. Tapi, sebelum itu, kita makan saja dulu. Mama tahu semalam kamu ketiduran dan tidak sempat menyantap satu pun makanan di rumah ini,” tutur Helena sambil memasukan nasi goreng ke piring Tian.
Untuk beberapa saat hanya dentingan sendok dan garpu beradu dengan piring yang terdengar di meja makan kala Tian dan Helena sama-sama sibuk memakan sarapan mereka.
“Mama mau bicara apa sama saya?” tanya Tian ketika ia yang sudah terlebih dahulu menghabiskan makanannya, melihat Helena akhirnya selesai juga menyantap sarapan Mamanya tersebut.
“Begini, hari ini Mamam akan mengajakmu ke perusahaan, Tian. Mama sudah berbicara dengan dewan direksi kalau selama Papamu dirawat di rumah sakit, kamu yang akan menggantikannya mengawasi dan mengelola perusahaan,” papar Helena to the point.
“Tapi saya baru lulus kuliah, Ma. Memangnya para dewan direksi tidak keberatan dipimpin oleh fresh graduate seperti saya?”
“Kamu tenang saja, Tian. Mama sudah meyakinkan para dewan direksi bahwa anak secerdas kamu yang lulus dengan predikat summa cumlaude seperti kamu pasti mampu memimpin perusahaan lebih baik. Lagi pula, Kamu tidak perlu khawatir karena asisten kepercayaan Papa akan membantu dan membimbingmu, Tian.”
Helena memberikan tatapan lembut dan penuh binar kepercayaan bahwa Tian pasti bisa melakukan yang terbaik untuk memimpin perusahaan menggantikan suaminya sementara waktu memimpin perusahaan.
“Padahal, tadinya saya mau mencari pengalaman bekerja dulu di Amerika. Baru saya akan kembali ke Indonesia ketika saya merasa punya banyak pengalaman yang bisa saya gunakan untuk membantu mengembangkan perusahaan.”
“Tanpa perlu melakukannya pun, Mama yakin kalau kamu mampu megembangkan perusahan. Dengan kapasitas kecerdasanmu yang mumpuni, kamu pasti bisa memajukan perusahaan hanya dengan berbekal jam terbangmu selama bekerja di perusahaan Papamu, Tian.”
“Saya mengerti akan hal itu, Ma. Hanya saja, saya tidak ingin dihormati dan dipandang oleh orang lain karena pengaruh orang tua saya. Tapi, saya juga mau orang menghormati saya karena kompetensi yang saya punya, Ma.”
“Kita cukupkan saja pembicaraan sampai disini, Tian. Kepala Mama rasanya mau pecah kalau terus-terusan beradu kata denganmu. Lebih baik kita berangkat sekarang saja ke perusahaan, agar Mama bisa segera memperkenalkan kamu ke seluruh dewan direksi dan karyawan di perusahaan,” pungkas Helena yang beranjak dari meja makan mendahului Tian yang masih duduk.
*****
“Mari, biar saya tunjukan ruangan kerja Tuan muda mulai hari ini,” ucap Ferdino –asisten Papanya– setelah mereka keluar dari ruang rapat usai Mamanya memperkenalkan dirinya kepada para dewan direksi.
“Bukankah ini ruangan Papa? Tidak masalah kah saya memakai ruangan beliau?”
Sebelum berangkat kuliah keluar negeri dulu, beberapa kali Tian pernah di ajak oleh Mamanya ke ruang kerja Papanya di perusahaan ini. Oleh karena itu, ia masih bisa mengingat bahwa ruangan kerja yang saat ini Ferdinan tunjukan kepadanya adalah ruangan kantor pribadi milik Papanya.
“Saya ditugaskan Bu Helena untuk mengizinkan Tuan muda bekerja di sini selama Tuan Harrison di rawat di rumah sakit. Setelah Tuan Harrison sembuh nanti, saya akan menyuruh orang untuk menyiapkan ruangan kerja khusus untuk Tuan muda,” jelas Ferdino membungkuk hormat di hadapan Tian.
“Baiklah, kalau begitu Bapak boleh kembali ke ruangan Bapak,” kata Tian mengambil posisi duduk di singgasana milik Papanya. “Terima kasih sudah mengantarkan saya kemari.”
“Tuan muda tidak perlu berterima kasih karena memang ini sudah tugas saya. Permisi, Tuan muda.” Sesudah mengatakan itu, Ferdino pun langsung tunggang langgang dari ruangan kerja bosnya.
“Fyuh!” Tian memgembusakn npas lelh. Ia sungguh berpikir bisakah ia bekerja dan menjadi pemimpin yang baik dan bisa diandalkan untuk menggantikan Papanya yang sedang sakit sementara waktu ini.
Meskipun, saat ini ia dipenuhi pemirkan yang merugikan dirinya sendiri, tetapi kalau mengingat perkataan Mamanya yang sangat mengandalkan dirinya, ia pun harus bisa mengenyahkan pikiran itu dan menjadi penuh percaya diri.
“Mama lega sekali karena kamu sudah pulang dan bisa menggantikan Mama yang selama beberapa bulan ini selalu bolak-balik rumah sakit, kantor, dan rumah. Sekarang karena ada kamu disini, Mama bisa lebih fokus mendamping Papa di rumah sakit dan tidak perlu memikirkan masalah perusahan lagi. Mama yakin sekali kalau kamu mampu menghandle urusan kantor dengan baik, Tian”
Tian memijat kepalanya dan merenggangkan tubuhnya akibat terlalu lama duduk memeriksa dokumen yang harus ia tandatangani. Sungguh, Tian tak menyangka ia akan sesibuk ini dalam jangka waktu seminggu bekerja di perusahaan Papanya.Untung saja setelah disibukan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menguras pikirannya ini, Tian bisa sejenak menenangkan diri dengan bertemu dengan kekasihnya sepulang bekerja. “Kamu sudah menunggu dari tadi, Sayang? Maaf, aku sedikit terlambat,” ucap Tian ketika melihat makanan dan minuman yang telah tersaji di restoran yang ia reservasi bersama dengan Vania–Kekasihnya—.“Aku sengaja datang duluan, supaya bisa memesankan makanan dan minuman kesukaan kamu di restoran ini, Sayang. Syukur sekali menu kesukaan kamu masih ada di restoran ini, meskipun 3 tahun telah berlalu,” jawab Vania tersenyum sampai matanya menyipit.“Terima kasih, kamu sudah sabar menungguku selama 3 tahun aku kuliah di luar negeri. Padahal, aku cuma punya waktu untuk bersama kamu saat kamu ada
Setibanya di rumah sakit usai meninggalkan hotel tempatnya menginap semalam dengan Vania, Tian melangkah panjang dan berjalan cepat ke depan ruang ICU.“Bagaimana kondisi Papa, Ma?” Tian bertanya dengan air muka yang berkerut saat melihat Mamanya sedang menangis di pelukan Meira.Menyadari keadaan Helena yang sedang dirundung kepanikan dan kesedihan, Meira pun langsung tanggap menggantikan Helena untuk menyahuti pertanyaan Tian.“Setelah pemeriksaan, dokter bilang kalau kondisi ginjal Om Harris semakin memburuk dan mengalami gagal ginjal yang membuat ginjalnya rusak. Satu-satunya cara yang bisa dilakukan untuk membuat pulih keadaan Om Harris yaitu dengan melakukan operasi pencangkokan ginjal secepat mungkin,” papar Meira menjelaskan yang ia dengar tadi kepada Tian.“Terus kenapa operasinya belum dilakukan? Apakah donor ginjal yang cocok buat Papa belum dapat?”Meira menggeleng. “Belum. Tadi Tante Helena sudah mencoba melakukan tes kecocokan untuk donor ginjal. Tetapi begitu hasil tesn
Di tengah kegundahan yang melanda hatinya, Helena pun bisa bernapas lega karena akhirnya ia melihat beberapa dokter keluar dari ruang operasi. Salah satu dokter yang selama ini menangani penyakit ginjal suaminya terlihat berjalan menghampirinya.“Bagaimana operasinya, Dok? Semuanya berjalan lancar, bukan?” tanya Helena dengan tidak sabaran begitu dokter itu berada di hadapannya.“Syukurlah pelaksanaan operasinya berjalan lancar. Hanya saja, selama seminggu ini kami masih harus memantau kondisi Pak Harris karena ditakutkan terjadinya komplikasi penolakan oleh metabolisme tubuhnya terhadap ginjal yang baru ditransplantasikan,” jelas dokter tersebut lalu berpamitan untuk kembali ke ruangan kerjanya.*****Seminggu berlalu dengan cepatnya dan kondisi kesehatan Harris tampaknya sudah semakin membaik. Setelah dinyatakan tidak ada komplikasi yang terjadi dan ginjal baru yang id dapatkan diterima baik oleh tubuhnya, Harris pun diperbolehkan untuk kembali ke rumah. Namun, meskipun sudah dibe
“Apa?! Papa dan Mama ingin menjodohkan saya dengan Meira? Tapi kenapa tiba-tiba seperti ini? Apa karena dia mendonorkan ginjalnya untuk Papa, makanya kalian ingin mengorbankan saya untuk balas budi?!”Kedua keluarga memang telah menyetujui kesepakatan untuk menikahkan Tian dan Meira. Tetapi, hal itu justru berbanding terbalik dengan reaksi Tian sewaktu diberitahukan kalau kedua keluarga setuju untuk menjodohkan Meira dan Tian.“Papa tidak akan bohong kalau menyuruhmu menikahi Meira karena hutang budi. Selain itu, Papa juga sudah berjanji untuk menikahkan kamu dengan Meira atas permintaan yang Papa paksa dari keluarga Meira,” jelas Harris.“Hubungan kita tidak sebaik itu, Pa! Jadi, untuk apa saya harus menanggung hutang budi yang seharusnya menjadi tanggung jawab Papa. Di saat seperti ini, Papa baru memohon kepada saya. Sedangkan sedari saya kecil, Papa sendiri tak pernah memberikan kehangatan seorang Papa untuk saya!” dengus Tian dengan bibir menyeringai.“Papa minta maaf atas perlaku
“Tak apa, Anda urus saja istri Anda. Saya bisa mengerti kalau istri dan calon anak Anda saat ini adalah hal terpenting untuk Anda. Kebetulan saya juga tidak bisa lama-lama disini karena masih ada agenda lain yang harus saya hadiri.”“Baik, terima kasih atas pengertiannya dan terima kasih sekali lagi karena sudah datang ke acara saya,” balas Diko bersinggungan tangan dengan Tian sebelum kakinya melangkah pergi membawa Vania untuk beristirahat.Senyum kecut terpampang jelas di bibir Tian dan matanya tak henti memicing tajam memandangi tubuh Vania yang dibawa pergi oleh Diko. Ada kegetiran dan sejumput nyeri yang menusuk-nusuk dada Tian kala kebusukan kekasihnya terpampang nyata di netranya sendiri. Sungguh tega sekali wanita yang ia cintai itu karena telah mematahkan hatinya dan meluluh lantahkan semua kepercayaan yang pernah ia berikan padanya. Padahal, ia begitu mencintai dan memuja Vania begitu dalam, tetapi inikah balasan dari kesetiaannya? Mengapa setianya harus di balas oleh du
“Kapan acara sialan ini selesai?!” batin Tian menggerutu dalam hatinya, tatkala setelah acara pemberkatan pernikahan selesai dilakukan, tetapi ia masih harus berdiri di atas pelaminan untuk melangsungkan acara resepsi.Kakinya pegal dan hampir mati rasa karena dipaksa berdiri dari siang hingga hampir malam begini. Seperti ada semut-semut yang menggerayangi tumit dan telapak kakinya karena rentetan tamu-tamu tak henti-hentinya berdatangan.“Kalau kamu capek duduk aja. Biar aku saja yang berdiri menyalami tamu,” usul Meira berbisik ke arah Tian.Sedari tadi, mata Meira tak bisa lepas dari pergerakan Tian yang beberapa kali menggerak-gerakan kakinya secara berulang. Peluh juga berjatuhan di kening lelaki itu meskipun ruangan gedung ini memiliki AC di setiap sudut ruang.“Sudah lah diam saja! Saya masih sanggup berdiri,” balas Tian berbisik dengan nada kegeraman yang begitu kentara menyapa telinga Meira.Menyadari betapa kesal dan dinginnya nada suara Tian ketika menyahuti perkataannya, M
“Meira pamit ya, Bun. Mulai hari ini Meira enggak akan tinggal sama Ayah Bunda lagi, pasti Meira bakal kangen banget,” lontar Meira.Dengan erat dan penuh haru dipelukanya tubuh Ayah dan bundanya usai acara resepsi pernikahannya telah selesai. Kini, ia harus ikut pulang bersama dengan Tian ke rumah lelaki itu karena telah terikat pernikahan dan resmi menjadi istri Tian.“Bunda dan Ayah juga pasti akan merindukanmu, Mei. Tapi, sekarang kamu sudah jadi istri Tian dan harus ikut kemana pun suamimu mengajakmu pergi”Sekuat tenaga Maya berusaha untuk tetap tegar dan memberikan putrinya wejangan, walaupun air mata terus mengalir membasahi pipinya.“Ayah, titip Meira padamu, Tian. Tolong jaga dia dengan baik dan sayangi dia dengan tulus.”Hartanto memilih berbicara dengan Tian karena lidahnya terasa tercekat ketika berbicara dengan putrinya. Ada ketidak relaan dalam hatinya untuk melepaskan Meria menjalani hidup barunya sebagai seorang istri.Berat sekali untuk bisa merelakan Meira karena ga
Sekeluarnya Meira dari dalam kamar mandi, ia sama sekali tidak melihat kehadiran Tian berada di dalam kamar. Padahal, ia sudah mempersiapkan diri dengan menggosok tubuhnya berkali-kali ketika mandi karena siapa tahu malam ini Tian akan meminta haknya sebagai seorang suami untuk pertama kali.Mungkin kah Tian masih merokok? Tetapi mengapa lama sekali? Bukankah dari sebelum ia masuk ke kamar mandi lelaki yang baru beberapa jam lalu menjadi suaminya itu sudah bilang akan merokok.Apakah biasanya Tian kalau merokok memang membutuhkan waktu selama ini? Atau sebenarnya suaminya itu hanya mencari alasan untuk menghindarinya.Sedari awal, Meira sadar kalau sepertinya tidak pernah ada ketertarikan yang Tian tunjukan kepada dirinya ini. Ia juga bisa tahu kalau Tian hanya menganggapnya sebagai teman sekolahnya saja. Satu-satunya alasan Tian mau menikahinya yaitu sebagai balas budi karena ia telah mendonorkan ginjalnya kepada Om Harris. Tapi, haruskah sampai begininya Tian tega mengabaikannya d
“Aku perhatikan hampir tiap hari mukamu pucat dan matamu sembab. Kamu enggak mau berhenti kerja atau mengajukan cuti dulu, Ra? Aku yakin Pak Rama pasti kasih izin. Bukan apa, aku cuma khawatir saja sama kamu dan kandungan kamu,” ucap Rea.Kerutan di beberapa bagian wajah Rea seolah mencerminkan betapa tingginya kecemasan yang ia miliki kepada sahabatnya.Sebagai seorang sahabat, bagaimana mungkin ia tak buncah kalau hampir setiap hari disuguhi pemandangan wajah lesu dari sahabatnya yang ia ketahui sedang hamil.Meira tersenyum sebelum merespon ucapan sahabatnya. “Terima kasih kamu sudah mengkhawatirkan aku, Re. Tapi, aku masih kuat untuk bekerja. Lagian kehamilan aku masih kecil. Nanti saja kalau sudah membesar, baru aku akan mengajukan izin cuti.”Memang benar apa yang dikatakan oleh Rea, tetapi Meira tak bisa berhenti karena kalau hanya diam saja di rumah, ia takut akan perasaannya sendiri.Menghabiskan setengah waktunya di rumah dan juga secara penuh di rumah saja saat hari libur,
“Sialan!” Tian melemparkan tinjuan sekonyong-konyongnya ke samsak yang ada di depannya.Amarah Tian seperti sudah di ubun-ubun, saat mengetahui kalau Meira benar-benar hamil sesuai dugaannya dan wanita itu sama sekali tetap kekeh tak mau mengkonsumsi peluruh kandungan yang ia berikan.Semua ini bermula karena ulah Mamanya. Seandainya saja Mamanya tak memberikan seafood padanya. Juga Tak mencampurkan apapun di makanan dan minuman yang diberikan padanya dan Meira, ia dan Meira tak mungkin tidur bersama, lalu wanita itu tak akan hamil seperti sekarang.Oleh karena itu, meski dua bulan telah berlalu, Tian kian menunjukkan sikap dingin dan makin acuh tak acuh pada Meira.Salahnya sendiri menolak permintaannya untuk mengkonsumsi pil yang ia belikan. Jadi, wajar saja Tian makin mudah kesal pada Meira karena kesalahan wanita itu yang tak mau menuruti kehendaknya untuk meminum pil peluruh kandungan, sehingga positif hamil begini.Di tengah kondisinya yang sedang berbadan dua, Meira tampak kewa
“Minum lah pil ini! Saya belikan untukmu supaya bisa langsung meluruhkan yang ada di perutmu, seandainya yang tidak sengaja kita lakukan 3 hari lalu membuahkan hasil.” Alis Meira berkerut. Apa kah yang Tian maksud yaitu kejadian saat mereka tidak sengaja tidur bersama sewaktu bulan madu yang berakhir sehari lalu? Ah … kenapa otaknya lemot sekali. Tentu saja yang Tian maksud memang kejadian malam itu. Lagi pula kapan lagi mereka pernah berhubungan selain malam itu? Dalam keadaan sadar, mana sudi Tian menyentuhnya, meski mereka telah sah sebagai suami istri. Bulan madu mereka pun rasanya hambar. Tian memilih tidur di sofa setelah kejadian malam itu. Hari terakhir bulan madu mereka pun hanya dihabiskan dengan Tian yang sibuk bekerja dan Meira yang hanya bisa menyibukan diri dengan deretan ebook di kindle-nya. Kendati demikian, kenapa pula Tian sampai terpikirkan membelikan pil ini untuknya? Tidak mau kah Tian punya anak dari wanita biasa seperti Meira? Bukan kah di luaran sana, rat
“Jangan mendekat!” larang Tian pada Meira yang ia lirik dari sudut matanya akan mendekat ke arahnya sambil menenteng kotak P3K.“Tapi luka kamu harus segera diobati. Nanti bisa infeksi kalau dibiarkan terlalu lama, Tian.”Meira tak memperdulikan larangan Tian dan terus melanjutkan langkahnya menuju tempat Tian sedang berdiri.Masa bodo kalau lelaki itu akan memarahi dan mengomelinya karena tak menuruti perintahnya. Intinya, Meira sudah sangat khawatir setengah mati karena memperhatikan kian derasnya darah yang mengalir dari tangan Tian. Seolah darah itu adalah air terjun yang tak mau berhenti berambai-ambai.“Saya bisa mengobati tangan saya sendiri! Lebih baik kamu menjauh saja. Saya enggak nyaman ada orang lain saat saya tidak mengenakan pakaian!” hardik Tian menarik dengan kasar tangannya yang akan diobati oleh Meira. “Apa sih masalahnya? Aku istri kamu, jadi wajar saja kalau aku melihat kamu dalam kondisi kayak gini. Lagian aku cuma mau mengobati luka kamu supaya enggak infeksi!”
Sensasi pusing tidak kepalang terasa menyergapi kepala Meira begitu ia membuka mata. Dikerjapkan matanya berkali-kali, sebelum ia menyadari bahwa kepalanya menempel di permukaan yang terasa keras, bidang, dan lapang. Siapa yang menyangka ternyata kepala Meira menempel di dada telanjang Tian. Menyadari hal itu, ia langsung menjauh kan kepalanya karena tak ingin Tian marah-marah kalau tahu kepalanya menempel di dada lelaki itu.Untuk sesaat, Meira belum menyadari apa yang terjadi antara ia dan Tian. Tetapi, sewaktu melihat area sekitar pundak dan atas dadanya terbuka, Meira tak bisa menahan tangannya untuk tak menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya dan Tian.“Jangan-jangan semalam aku sama Tian sudah melakukan itu!” batin Meira merapatkan selimut yang membungkus tubuh polosnya ini sampai menutupi dagunya.Seketika pikirannya berkelana pada ingatan semalam. Adegan demi adegan semalam samar-samar mulai menerobos dalam kepalanya.Dimulai dari kepalanya yang terasa pusing dan tubuhny
“Bisa mati bosan kalau saya kebanyakan makan seafood ini, Ma! Saya mau pesan menu lain juga!” lontar Rafka mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan dan memesan makanan lain.Namun, belum sepenuhnya terangkat, tangannya sudah diturunkan paksa oleh Mamanya dengan menepuk kencang tangannya.“Jangan mengada-ada, Tian! Kalau kamu memesan menu lain, lantas siapa yang menghabiskan seafood sebanyak ini? Kamu mau kolesterol Mama dan Papa naik? Tega kah kamu kalau sampai perut Meira kembung kalau menyantap sendiri semua makanan ini?” Helaan nafas pasrah terdengar jelas dari bibir Tian. Ingin mengeluarkan bantahan, tetapi ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena Mamanya pasti bertambah garang kalau ia kembali menyanggah.Akhirnya disingkirkannya tiram di hadapannya dan diganti dengan ikan saja. Sepertinya kandungan ikan untuk menambah gairah seksual tak seganas tiram segar kegemarannya itu.Ah … Kalau saja ia berbulan madu dengan wanita yang ia cintai. Ia tidak perlu tersiksa seperti i
Sambil mengenakan setelan santai miliknya, Tian terus merutuki dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia sempat terpesona pada penampilan Meira, padahal ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menyentuh wanita itu.Sialnya, sisi kelaki-lakiannya yang membara susah sekali di kekang. Terlebih lagi terakhir kali hasratnya terpenuhi ketika malam laknat bersama dengan wanita jalang yang telah mengkhianatinya.Meski begitu, ada untungnya juga pagi ini ia mendapati penampilan seksi Meira. Kalau tidak, ia tidak akan mengetahui kalau ternyata miliknya masih bisa berfungsi dengan baik. Tian kira, miliknya tak ada bisa bereaksi lagi saat mengetahui kalau ia berhubungan badan dengan kekasihnya yang telah menjadi istri orang lain. Parahnya lagi wanita itu tengah mengandung, tetapi tak berkata jujur saat berhubungan dengannya.Membayangkannya lagi saja sudah membuat Tian ingin mual. Sebejat-bejatnya dirinya, ia tidak akan mau melakukan hubungan dengan wanita bersuami, kalau saja ia tidak dibohon
Meira menyeret kopernya ke walk in closet karena ia ingin mengambil baju ganti untuk ia bawa ke kamar mandi.Namun, matanya membelak, seakan mau keluar dari tempatnya, tatkala melihat sekumpulan pakaian di kopernya berbeda jauh dengan yang ia siapkan sehari sebelum ia pergi kemari.Tak ada busana kasual yang biasa ia kenakan. Entah kemana pula hilangnya kaos-kaos dan celana jeans kesayangannya? Belum lagi gaun maxi dan midi selengan miliknya malah berganti dengan gaun mini di atas lutut dan bertali spageti.Melihatnya saja Meira sudah membuatnya bergidik ngeri. Ia sungguh tak terbiasa dengan pemandangan pakaian-pakaian kelewat seksi seperti yang berada di kopernya saat ini.Selam
“Tian, kamu bawakan sekalian koper punya Meira.”Helena memindahkan paksa koper Meira ke tangan Tian. Lalu, dengan santainya ia menggandeng Meira dan berjalan cepat mendahului Tian agar tak perlu mendengarkan kicauan protes dari putra semata wayangnya tersebut.“Eh … kasian Kak Tian, Ma. Meira bisa bawa kopernya sendiri, kok,” tutur Meira dengan matanya yang beberapa kali menengok gelisah ke arah belakang.Sungguh, Meira kasihan karena Tian harus membawa beban kopernya juga, padahal sedari perjalan di pesawat paras Tian tidak hentinya tertekuk muram.Jujur Meira takut kalau sampai Tian memendam kesal yang semakin dalam padanya karena sudah lah dipaksa pergi berbulan madu, kini malah di tambah beban untuk membawakan koper miliknya.Mengamati bertambah keruh dan masamnya raut wajah Tian saja mampu membuat bulu romanya merinding. Seandainya saja bisa, ia ingin merebut kopernya kembali. Sayangnya tangan mertuanya ini begitu kuat menggandeng tangannya.“Sudah, biarkan saja, Mei. Toh, seben