Saat telah sampai di depan kamar orang tuanya, niat Sisil untuk menginterogasi sang mama jadi ciut. Kenyataannya, ia tidak sampai hati jika harus membangunkan mamanya yang tampaknya sudah terlelap. Apalagi sampai meminta ayahnya untuk keluar kamar dan meninggalkan dirinya bersama Sinta sesaat. Tapi rasa ingin tahu atas kebenaran yang sangat mengganggunya, juga tidak terbendung.
Maka, kini Sisil berdiri di depan pintu kamar orang tuanya. Hanya berdiri. Tanpa bersuara untuk memanggil ataupun mengetuk pintu.
"Sisil? Apa yang kau lakukan di sini? Jantung Ayah sampai mau copot!" ujar Hendry yang tetiba membuka pintu dan mendapati putri tirinya berdiri mematung di sana. Ia sampai memegangi dadanya karena keterkejutan yang hampir-hampir membuatnya berteriak.
Sementara itu Sisil yang tidak kalah kaget atas kemunculan sang ayah yang sangat mendadak, kini hanya meringis tanpa menjawab pertanyaan Hendry.
"Sayan
"Tenanglah Ayah. Menangis seperti ini tidak ada gunanya. Sampai kapan pun Ibu tidak akan pernah bisa hidup lagi. Akan lebih baik jika kita mendoakannya saja. Semoga Ibu tenang di sana," jawab Smith yang mengelus lengan ayahnya."Ya, kau benar. Ayah sudah sangat menyusahkan ibumu ketika dia masih hidup. Ayah tidak ingin membuat dia tidak tenang di alam sana karena segala keluh-kesah Ayah. Kalau begitu besok Ayah akan pergi ke makam ibumu. Apa kau akan ikut bersama ayah?"Smith mengangguk dengan senyum serta air mata. Ia sangat senang karena akhirnya Hendry telah menyadari semuanya setelah bertahun-tahun hanya mendengarkan ucapan Sinta.Hal itu tentu akan berdampak baik pada rencana Smith untuk membalaskan dendam pada Sinta dan Sisil. Smith tahu, sesudah ini ayahnya akan selalu ada di pihaknya."Aku mungkin bisa memaafkan kesalahan Ayah. Tapi sampai kapan pun, aku tidak akan pernah bisa memaafkan
Sinta masih terbaring di atas ranjang mewahnya. Tapi matanya sudah terlanjur terbuka dan tidak bisa terpejam lagi. Meski lampu kamar telah mati, tidak ada sisa-sisa kantuk yang cukup untuk membuatnya sekadar menguap.Beberapa kali Sinta terlihat menoleh ke belakang, menengok ke arah suaminya yang tertidur nyenyak di sampingnya. Sinta mengumpat tiada henti dalam batin. Ia sungguh mengutuk apa pun yang terjadi malam ini.Ada banyak rentetan peristiwa yang tidak mengenakan terjadi berturut-turut dalam satu malam. Mulai dari makan malam menjemukan bersama Janu. Dilanjutkan dengan peristiwa mengejutkan di dalam kamar mandi. Entah dari mana Smith mendapat kekuatan dan keberanian itu, yang jelas Sinta merasa pemberontakan yang diberikan Smith tampaknya akan sangat merepotkan.Setelah Sinta menghabiskan cukup banyak waktu di dalam kamarnya untuk menenangkan diri dan pikirannya yang kusut, tiba-tiba saja anak gadisnya datang ke kamarnya dan
Dalam batinnya Sinta berharap Smith menolak keinginan ayahnya. Akan lebih baik jika dirinya berbaring sepanjang hari di dalam kamar ketimbang harus pergi keluar ke kuburan Lisa."Apa Ayah bercanda? Tentu saja aku akan sangat senang kalau Tante Sinta ikut bersama kita," sahut Smith dengan senyum tidak kalah lebar. Ia pikir jika Sinta ikut bersamanya, akan ada kesempatan untuk menciptakan momen dimana perempuan sint*ng itu meminta maaf pada ibunya."Dia harus menangis dan meminta maaf pada ibuku. Aku harus membuatnya melakukan itu," tekad Smith dalam batin."Bagus! Sinta, mandi cepat dan kami akan menunggumu di ruang makan. Aku dan Smith akan sarapan lebih dulu.""Tapi, sayang. Sepertinya aku tidak bisa ikut. Kepalaku masih sedikit pening. Sebaiknya aku beristirahat saja di rumah. Lain waktu aku akan ikut ke makam Lisa."Tentu saja Sinta berusaha untuk mengelak agar tidak ikut pergi ke makam Lis
Smith benar. Segala sesak yang selama ini aku rasakan, bahkan sampai membuat dadaku sakit, menjadi berkurang ketika aku telah meminta maaf pada Smith untuk semua kesalahanku. Dan rasanya semakin lapang setelah aku meminta maaf pada Lisa. Jadi, ada baiknya jika kau juga melakukan hal yang sama, Sinta. Sebagai suamimu, aku tidak ingin melihatmu merasa cemas dan gelisah setiap waktu. Apalagi jika hal itu sampai membuatmu jatuh sakit," ucap Hendry sesuai dengan yang diinginkan Smith. Sempurna!Smith tersenyum semakin lebar. Ayahnya benar-benar membantu memudahkan serangan yang ia luncurkan pada Sinta."Kau harus menangis di depan nisan ibuku. Tidak peduli walau itu air mata palsu. Kau akan mengeluarkan air mata sungguhan dalam waktu yang tidak lama lagi. Bahkan kau akan kesulitan untuk bisa menghentikannya," tutur Smith tanpa suara.Sinta menjadi murka. Tetapi ia hanya bisa menelan semua kedongkolannya karena tidak bisa menunjukkannya p
Hari ini gosip tentang Smith dan Janu menjadi semakin panas saja. Hal itu lantaran Smith membagikan undangan pada teman satu kelasnya. Benar, Smith memang ingin teman satu kelasnya hadir dalam pesta pernikahan yang akan diadakan sang ayah. Ia pikir, mungkin itu adalah saat yang tepat untuk menunjukkan identitasnya yang sebenarnya, setelah selama bertahun-tahun ia sembunyikan.Semua orang tahu, Smith seolah anti dan jijik pada laki-laki. Mengaku bahwa Janu adalah kekasihnya saja sudah menggemparkan ketenangan kampus. Apalagi ini, menyatakan akan segera menikah dengan Janu.Maka, berbagai spekulasi pun mulai berkembang. Semua orang bertanya-tanya apa yang membuat Smith dan Janu seolah terburu-buru untuk menikah. Apakah ada yang mereka sembunyikan? Apakah sudah terjadi sesuatu, misalnya Smith telah hamil mungkin?Akan tetapi, dugaan Smith yang hamil di luar nikah itu menciut dan seolah mustahil ketika mereka melihat Janu. Mereka sangsi, apa iya orang sebaik Janu bisa
Kediaman rumah Tuan Hendry Sasongko terlihat semakin menawan dengan aneka lampu kristal, juga hiasan-hiasan bunga asli yang menambah lingkungan menjadi semerbak wangi. Dari gerbang menuju ruang tamu tergelar karpet merah premium.Di halaman rumah terpasang tenda yang tampak elegan dengan perpaduan warna putih dan emas. Di pojok kanan, terdapat jajaran pelayan dengan aneka hidangan lezat penggugah selera di depannya. Berbagai makanan khas Nusantara yang tersaji disiapkan khusus untuk para tamu undangan. Sementara itu di pojok kanan, berbagai hidangan internasional juga tersedia.Hendry dan Sinta memasang senyum lebar menyambut beberapa tamu yang terlihat sudah datang. Hendry tampak sangat bahagia. Sedangkan Sinta terpaksa terlihat bahagia.Bagi Sinta, malam pernikahan ini adalah hari yang paling buruk dan menjemukan baginya. Kalau saja ia memiliki kesempatan untuk memilih, pastilah Sinta memilih untuk tidak ada di dalam momen y
"Sisil," panggil Smith menahan Sisil yang hendak membuka pintu."Setelah dari kamar mandi, tolong pergi ke kamar tamu untuk melihat Janu. Apakah dia sudah cukup menawan atau belum. Aku ingin kau memastikannya untukku. Jangan lupa, tolong kau berikan sedikit riasan di wajahnya. Aku ingin melihat dia lebih tampan dari sebelumnya, hingga aku lupa, ada lelaki lain yang juga hidup di bumi ini," kata Smith dengan senyum lebar. Entah dari mana ia mendapatkan kata-kata gombal seperti itu. Yang pasti ia harus menahan mual saat mengatakannya.pIa memberi penekanan saat mengucapkan kata 'tolong'. Smith mengenal Sisil dengan sangat baik, saudaranya itu tidak akan sanggup menolak permohonan orang lain yang membutuhkannya. Terlebih jika yang meminta adalah saudaranya sendiri.Sisil mengangguk sembari menyunggingkan senyum yang alakadarnya. Lantas menghilang bersama tertutupnya kembali pintu kamar Smith yang dibuka sesaat.
Janu duduk di atas meja rias, menunggu Sisil mengeluarkan perlengkapan rias yang baru saja diambil dari kamar Smith karena tertinggal."Sisil, terima kasih banyak. Aku tidak menyangka jika sebentar lagi kita akan menjadi saudara. Kau sangat baik. Aku sangat beruntung bisa memiliki teman sepertimu," kata Janu tulus dari dalam hati.Sisil yang sedari tadi telah membendung sakit hatinya dan berusaha keras untuk tidak menangis, kini harus tersenyum kecut, lagi-lagi demi menunjukkan kebahagiaan palsu. Padahal, tenggorokannya sudah seperti tercekik oleh kenyataan yang membuatnya hanya menjadi teman untuk Janu, dari dulu sampai sekarang."Aku akan memberi sedikit bedak di wajahmu," ucap Sisil dengan suara parau. Meski ia telah berusaha untuk biasa saja, tetap saja tubuhnya menunjukkan apa yang sedang ia rasakan."Sisil, kenapa suaramu serak? Apa kau baik-baik saja? Kalau kau sedang tidak sehat, beristirahatlah. Aku s