Janu duduk di atas meja rias, menunggu Sisil mengeluarkan perlengkapan rias yang baru saja diambil dari kamar Smith karena tertinggal.
"Sisil, terima kasih banyak. Aku tidak menyangka jika sebentar lagi kita akan menjadi saudara. Kau sangat baik. Aku sangat beruntung bisa memiliki teman sepertimu," kata Janu tulus dari dalam hati.
Sisil yang sedari tadi telah membendung sakit hatinya dan berusaha keras untuk tidak menangis, kini harus tersenyum kecut, lagi-lagi demi menunjukkan kebahagiaan palsu. Padahal, tenggorokannya sudah seperti tercekik oleh kenyataan yang membuatnya hanya menjadi teman untuk Janu, dari dulu sampai sekarang.
"Aku akan memberi sedikit bedak di wajahmu," ucap Sisil dengan suara parau. Meski ia telah berusaha untuk biasa saja, tetap saja tubuhnya menunjukkan apa yang sedang ia rasakan.
"Sisil, kenapa suaramu serak? Apa kau baik-baik saja? Kalau kau sedang tidak sehat, beristirahatlah. Aku s
Janu masih bungkam. Ia tidak ingin salah bicara dan membuat hati Sisil semakin sakit.Dalam masa-masa yang sangat tidak nyaman itu, Janu merasa waktu berjalan sangat lambat. Ia sungguh ingin keluar dari situasi tersebut dan segera menghampiri Smith.Akan tetapi Janu tidak bisa melakukannya karena walau bagaimanapun ia harus tetap tinggal untuk mendengarkan pengakuan Sisil. Menyimak cerita rahasia Sisil yang selama ini tentu membebani pikiran dan perasaan gadis itu."Apa kau juga tidak tahu jawabannya?" tanya Sisil lagi dengan suara yang terdengar semakin kesal.Janu menelan ludah dan menjawab, "Tidak. Aku tidak tahu.""Hahaha, sudah aku duga. Baiklah mari dengarkan penjelasanku baik-baik. Akan aku katakan padamu mengapa kau tidak bisa merasakan ataupun melihat semua rasa cintaku padamu selama ini. Benar, aku memang sudah gila, menjawab sendiri pertanyaan yang barusan tadi aku tanyakan padamu,"
Kamar tamu menjadi hening. Janu menunggu Sisil mengutarakan permintaannya. Sedangkan Sisil menunggu dirinya sendiri untuk siap berkata jujur."Sebenarnya, permintaanku ini sedikit gila. Tidak, tidak. Mungkin sangat gila. Dan bisa membuatmu menjadi tidak simpati lagi padaku. Bahkan mungkin juga muak. Tapi bagaimana lagi, setelah ini kau akan menjadi orang yang berbeda dengan status barumu sebagai suami dari Smith. Jadi, aku pikir ini adalah kesempatan terakhir," ucap Sisil dengan perasaan cemas.Gadis itu tidak mengerti tentang apa yang terjadi padanya sekarang. Ia tahu benar jika dirinya mengatakan permintaan konyolnya pasti akan membuat Janu jijik padanya dan berpikir bahwa dirinya adalah perempuan murahan. Tapi Sisil juga tidak sanggup untuk membendung keinginannya."Katakan saja, Sisil."Janu berusaha untuk senetral mungkin, baik nada bicara maupun ekspresi wajahnya. Meski tidak dipungkiri, ia semakin gugup
Pemuda itu berhasil membuat jantung Smith yang telah berdetak normal, kembali seperti kereta api yang melaju ekspres. Bahkan jantungnya sudah seperti mau melompat keluar.Entah bagaimana perkataan Janu seperti membiusnya. Smith belum pernah merasakan hal itu sebelumnya lantaran memang tidak ada lelaki yang berani mendekatinya.Namun yang membuat hati Smith bergetar adalah ia tahu pasti bahwa Janu tidak sedang membual. Ucapan itu bukan gombalan belaka. Smith bisa merasakan kesungguhan dan ketulusan dari janji yang dikatakan Janu barusan.Di saat yang sama, hati gadis lainnya sedang teriris perih hingga membuatnya menangis lagi. Benar, Sisil melihat dan mendengar sendiri betapa manisnya sikap Janu pada Smith. Tentu akan sangat membahagiakan jika dirinya yang berdiri di posisi Smith sekarang."Jika aku yang ada di posisi itu, pasti aku akan memeluk Janu dan tidak akan pernah melepaskannya. Tidak peduli meski selu
Teman-teman satu kelas Smith dan Janu mulai menebak-nebak perihal yang sebenarnya. Tapi secara garis besar, mereka sepakat untuk berburuk sangka pada pasangan yang mendadak menikah itu. Dalam pikiran mereka telah tertanam keyakinan bahwa Smith dan Janu telah membodohi mereka dengan memberikan undangan pernikahan orang lain yang dimanipulasi nama pengantinnya.Mereka pun sampai mengabaikan aneka hidangan dengan kelezatan khas bintang lima, yang tentu sangat jarang mereka temukan di tempat lain sebagai mahasiswa. Hidangan yang dibandrol dengan harga selangit yang mungkin melebihi biaya kuliah satu semester per porsinya.Semua nafsu makan mereka seolah tertahan lantaran rasa penasaran yang teramat besar terhadap pesta pernikahan yang luar biasa mewah itu. Mereka belum mendapat kepastian atas kebenaran praduga di benak mereka masing-masing.Para mahasiswa itu bahkan kini berdiri berjajar rapi di dekat tangga tempat mem
Sisil memejamkan matanya cukup lama saat para tamu undangan kompak mengatakan "Sah" atas ijab kabul yang baru saja dilakukan. Gadis malang itu kembali bocor matanya. Tidak sanggup menahannya karena ia belum bisa berhenti mengharapkan Janu.Meskipun demikian, dalam hatinya Sisil turut mendoakan Smith dan Janu agar hidup bahagia dan terus bersama hingga kakek nenek. Tidak lupa juga ia berdoa supaya pernikahan mereka terhindar dari godaan orang ketiga.Setelah doa dari bapak penghulu selesai, Sisil membuka matanya dengan perlahan. Ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi di hadapannya. Sisil harus tegar melihat Smith mencium tangan Janu sebagai pelengkap dari prosesi pernikahan.Apakah Sisil merasa sakit hati? Tentu saja! Dalam pikiran gadis itu, ia masih sangat ingin berada di posisi Smith, menjadi mempelai untuk Janu.Sisil tidak mengerti apakah kini kepingan hatinya yang remuk masih te
Melihat putrinya diam dengan mulut tertutup rapat, membuat Sinta semakin naik pitam. Kini kedua alisnya sudah hampir menyatu dengan wajah sangat merah seperti kepiting rebus."Sisil! Angkat kepalamu dan jawab pertanyaan Mama?" bentak Sinta dengan gigi-gigi yang digeretakkan.Sisil tetap menunduk, masih tanpa mengatakan apa pun. Hanya air matanya yang terus menetes hingga membuat gaun yang ia kenakan basah.Sinta sudah tidak tahan lagi. Sebagai putri dari pelakor bermental baja seperti dirinya, Sisil memang terlalu lemah dan sungguh mengecewakan. Padahal Sinta telah mengajarkan mental baja itu pada Sisil sejak kecil, bahwa walau apa pun yang terjadi, jangan berhenti berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kurangi air mata dan perbanyak tindakan.Sinta juga selalu mengajarkan pada Sisil untuk mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Tidak usah peduli pada urusan orang jika tidak membaw
Malam telah larut. Para pelayan dan orang-orang yang membereskan sisa-sisa pesta pernikahan Smith dan Janu telah pergi.Janu yang tetap tinggal di tempat menuruti permintaan Smith untuk menunggu orang-orang pulang, sudah tidak bisa menghitung berapa kali dirinya menguap. Semua orang tahu benar bahwa menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Terlebih jika dilakukan sendiri saja. Dan yang membuat Janu semakin bosan adalah karena ia sadar, apa yang ia lakukan itu nyaris tidak ada gunanya.Janu berusaha membuka matanya lebar-lebar untuk melihat jalan menuju kamar Smith. Entah bagaimana ia menjadi rindu pada kamar kostnya yang sangat dekat dengan pintu gerbang. Tidak seperti jarak dari beranda rumah Smith menuju kamarnya yang cukup jauh.Janu menaiki tangga perlahan. Ia bahkan menghitung banyaknya anak tangga untuk menjaga kewaspadaan."Jangan sampai kantuk ini membuatku ceroboh dan terpeleset seperti O
Smith kembali mendekat pada pembatas lantai. Ia ingin mendengar apa yang akan dikatakan Janu pada ayahnya sebab sebenarnya Smith juga ingin tahu mengapa Janu tidur di sofa.Smith sempat membatin, apakah tadi Janu telah mengetuk pintu kamarnya tapi ia tidak mendengar karena tertidur. Lalu Smith mencoba untuk mengingat-ingat. Dan gadis itu mendengus kesal karena dirinya bahkan tidak bisa tidur. Sudah pasti jika memang pintu kamarnya diketuk, ia akan mendengarnya."Apa Smith melarangmu tidur di kamarnya? Haaah, anak itu. Bagaimana mungkin dia membiarkan Ayah dari calon bayinya tidur di sofa," kata Hendry curiga. Melihat sikap Janu selama ini, Hendry menebak dengan yakin bahwa yang mendominasi hubungan Smith dan Janu adalah putrinya."Tidak! Aku tidak pernah melarangnya tidur di kamarku. Aku hanya memintanya untuk mengetuk pintu sebelum masuk. Apa itu salah? Apa setelah menikah tata krama seperti itu sudah tidak berlaku?" gum
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j