Melihat putrinya diam dengan mulut tertutup rapat, membuat Sinta semakin naik pitam. Kini kedua alisnya sudah hampir menyatu dengan wajah sangat merah seperti kepiting rebus.
"Sisil! Angkat kepalamu dan jawab pertanyaan Mama?" bentak Sinta dengan gigi-gigi yang digeretakkan.
Sisil tetap menunduk, masih tanpa mengatakan apa pun. Hanya air matanya yang terus menetes hingga membuat gaun yang ia kenakan basah.
Sinta sudah tidak tahan lagi. Sebagai putri dari pelakor bermental baja seperti dirinya, Sisil memang terlalu lemah dan sungguh mengecewakan. Padahal Sinta telah mengajarkan mental baja itu pada Sisil sejak kecil, bahwa walau apa pun yang terjadi, jangan berhenti berusaha untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Kurangi air mata dan perbanyak tindakan.
Sinta juga selalu mengajarkan pada Sisil untuk mendahulukan kepentingannya di atas kepentingan orang lain. Tidak usah peduli pada urusan orang jika tidak membaw
Malam telah larut. Para pelayan dan orang-orang yang membereskan sisa-sisa pesta pernikahan Smith dan Janu telah pergi.Janu yang tetap tinggal di tempat menuruti permintaan Smith untuk menunggu orang-orang pulang, sudah tidak bisa menghitung berapa kali dirinya menguap. Semua orang tahu benar bahwa menunggu adalah pekerjaan yang membosankan. Terlebih jika dilakukan sendiri saja. Dan yang membuat Janu semakin bosan adalah karena ia sadar, apa yang ia lakukan itu nyaris tidak ada gunanya.Janu berusaha membuka matanya lebar-lebar untuk melihat jalan menuju kamar Smith. Entah bagaimana ia menjadi rindu pada kamar kostnya yang sangat dekat dengan pintu gerbang. Tidak seperti jarak dari beranda rumah Smith menuju kamarnya yang cukup jauh.Janu menaiki tangga perlahan. Ia bahkan menghitung banyaknya anak tangga untuk menjaga kewaspadaan."Jangan sampai kantuk ini membuatku ceroboh dan terpeleset seperti O
Smith kembali mendekat pada pembatas lantai. Ia ingin mendengar apa yang akan dikatakan Janu pada ayahnya sebab sebenarnya Smith juga ingin tahu mengapa Janu tidur di sofa.Smith sempat membatin, apakah tadi Janu telah mengetuk pintu kamarnya tapi ia tidak mendengar karena tertidur. Lalu Smith mencoba untuk mengingat-ingat. Dan gadis itu mendengus kesal karena dirinya bahkan tidak bisa tidur. Sudah pasti jika memang pintu kamarnya diketuk, ia akan mendengarnya."Apa Smith melarangmu tidur di kamarnya? Haaah, anak itu. Bagaimana mungkin dia membiarkan Ayah dari calon bayinya tidur di sofa," kata Hendry curiga. Melihat sikap Janu selama ini, Hendry menebak dengan yakin bahwa yang mendominasi hubungan Smith dan Janu adalah putrinya."Tidak! Aku tidak pernah melarangnya tidur di kamarku. Aku hanya memintanya untuk mengetuk pintu sebelum masuk. Apa itu salah? Apa setelah menikah tata krama seperti itu sudah tidak berlaku?" gum
"Hehe, apa yang bisa aku lakukan Ayah? Tidak masalah jika aku harus tidur di kolong jembatan atau pun di bawah pohon, tapi aku tidak bisa membiarkan Smith dan janinnya kedinginan karena tidur tanpa atap dan dinding. Jadi, hehe demi kedamaian bersama, aku tidur di kursi panjang yang ada di beranda rumah Ibu kost. Sedangkan Smith tidur di kamar."Hendry tersenyum tanpa menimpali. Tidak seperti sebelumnya, sekarang Hendry hanya diam. Ia sangat terharu dan senang karena Janu menjaga putrinya dengan sangat baik. Pemuda itu begitu peduli dan perhatian pada Smith.Melihat Hendry hanya diam, kekhawatiran mulai memasuki hati Janu. Kalau-kalau ada perkataannya yang salah. Jangan-jangan mertuanya itu tidak senang mendengar anaknya tidur di tempat yang menurutnya tidak layak. Jangan-jangan Hendry kembali teringat pada kesedihan dan kekecewaannya saat putri kandungnya minggat dari rumah. Serta jangan-jangan lainnya yang memenuhi pikiran Janu.
Pukul 04.30, Smith akhirnya memutuskan untuk menelepon Janu, mengatakan agar lelaki itu lekas ke atas dalam waktu tiga menit. Jika tidak, Smith mengancam tidak akan pernah mengizinkan Janu untuk masuk ke kamarnya sampai kapan pun.Tentu saja hal itu membuat Janu langsung berkesiap. Ia yang baru saja terlelap langsung kehilangan rasa kantuknya karena tidak ingin Smith melakukan ancamannya. Meskipun ia berkata jujur pada mertuanya saat mengatakan bahwa sofa di ruang tamu sangat nyaman dan empuk, Janu tentu tidak ingin tidur di sana selamanya. Ia tentu lebih ingin tidur di kamar yang sama dengan istrinya, sebagaimana suami istri pada umumnya.Maka, Janu pun tergopoh-gopoh berlari menuju lantai dua mengingat banyaknya anak tangga yang harus ia tanjaki. Kini ia telah berdiri di depan kamar Smith dengan badan setengah membungkuk dan napas terengah-engah.Klek!Gagang pintu ditekan. Smith segera menyembul keluar setelah be
Berita tentang pernikahan Smith dan Janu yang sangat mewah terus menjadi bahan pembicaraan di kalangan mahasiswa satu jurusan. Berita itu menjadi topik paling panas sepanjang waktu dan semakin banyak orang membicarakannya. Bahkan beberapa dosen juga membicarakannya.Hari ini Janu datang ke kampus sendiri saja tanpa Smith. Smith merasa harus beristirahat karena badannya memang sedikit demam. Entah karena lelah, entah karena terkejut melihat tubuh Janu yang menggoda.Hendry meminta Janu agar ke kampus menaiki mobil Smith. Tapi Janu menolaknya dan memilih untuk menaiki motor lawasnya. Walau bagaimanapun akan terasa sangat aneh jika dirinya ke kampus dengan mengendarai mobil. Apalagi mobil Smith adalah mobil mewah yang harganya mungkin cukup untuk biaya kuliahnya sampai dengan mendapat gelar doktor.Janu meminta waktu pada Hendry untuk bisa menyesuaikan diri. Meski Janu memimpikan memiliki sebuah mobil mewah, ia merasa tidak enak jika m
Sisil memutuskan untuk mengirim pesan pada Janu bahwa dirinya ingin bertemu dan membicarakan hal penting. Ia memilih untuk menunggu iparnya itu di sebuah kafe kecil sederhana. Jika dipikirkan dengan kepala dingin setelah mengesampingkan segala kekusutan di kepala dan hatinya, Sisil kira akan sangat tidak baik jika dirinya menemui Janu di kampus sebab bisa menimbulkan kasak-kusuk yang meresahkan.Di zaman sekarang seseorang bisa dengan mudah dan tanpa beban menciptakan fitnah. Selanjutnya setelah fitnah tercetus, akan diteruskan ke banyak pihak dengan argumen yang seolah itu adalah fakta hanya dalam satu kali klik. Lantas khalayak ramai akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran tanpa mencari tahu kebenaran sesungguhnya.Sisil memang sangat mencintai Janu. Bahkan sampai detik ini perasaan itu tidak berkurang sedikit pun. Tapi hati nurani dan akal sehatnya masih berfungsi. Jadi ia tidak akan pernah mengambil Janu dari Smith meski sangat menging
Janu bergeming. Ia sudah berusaha untuk menutupi rahasianya dengan Smith. Tapi kenyataannya, sikapnya justru membuat Sisil menjadi semakin curiga."Janu, jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa Smith benar-benar hamil?" kata Sisil dengan suara penuh penekanan. Matanya terbuka lebar. Kentara sekali ada air yang melingkupi bola matanya hingga tampak seperti ada kaca di sana.Saking besarnya perasaan yang berkecamuk di hati Sisil, sampai membuat Sisil hampir menangis. Janu yakin, sekali saja Sisil berkedip, sudah pasti kaca-kaca di matanya akan pecah."Sisil, apa lagi yang harus aku katakan padamu? Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Smith memang hamil. Dan sebab itulah kami menikah. Kau tidak mungkin lupa saat kami membuat pengakuan untuk pertama kalinya di hadapan kalian malam itu," jawab Janu mencoba mengelak. Ia berusaha untuk meyakinkan Sisil. Tapi Janu sendiri ragu, apakah wajahnya sudah cukup meyakinkan atau belum.
Sisil dejavu. Ingatannya kembali pada waktu itu, ketika dirinya berdiri di depan pintu setelah memasuki gerbang rumah seseorang. Seseorang yang dipanggil oleh mamanya sebagai anj*ng penjaga Smith.Sudah sekian lama berlalu, Sisil menyadari satu hal, yakni keberaniannya tidak berkembang sama sekali. Ia masih sama takutnya dengan saat itu. Terlebih saat ia mengingat segala pertikaian yang pernah terjadi antara perempuan itu dengan mamanya.Sisil menelan ludah. Jari telunjuknya sudah hampir menyentuh bel. Tapi segala keraguan dan pikiran buruk membuatnya berat untuk menekan bel itu."Huuuft!" Sisil menghembuskan napas panjang. Dan ting ... tong .... Bel pun berbunyi."Sebentar ...."Telinga Sisil mengenal suara itu dengan baik. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Membuat detak jantungnya menjadi semakin cepat.Sisil menunduk. Melihat tangan kanannya yang terbuka
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j