Berita tentang pernikahan Smith dan Janu yang sangat mewah terus menjadi bahan pembicaraan di kalangan mahasiswa satu jurusan. Berita itu menjadi topik paling panas sepanjang waktu dan semakin banyak orang membicarakannya. Bahkan beberapa dosen juga membicarakannya.
Hari ini Janu datang ke kampus sendiri saja tanpa Smith. Smith merasa harus beristirahat karena badannya memang sedikit demam. Entah karena lelah, entah karena terkejut melihat tubuh Janu yang menggoda.
Hendry meminta Janu agar ke kampus menaiki mobil Smith. Tapi Janu menolaknya dan memilih untuk menaiki motor lawasnya. Walau bagaimanapun akan terasa sangat aneh jika dirinya ke kampus dengan mengendarai mobil. Apalagi mobil Smith adalah mobil mewah yang harganya mungkin cukup untuk biaya kuliahnya sampai dengan mendapat gelar doktor.
Janu meminta waktu pada Hendry untuk bisa menyesuaikan diri. Meski Janu memimpikan memiliki sebuah mobil mewah, ia merasa tidak enak jika m
Sisil memutuskan untuk mengirim pesan pada Janu bahwa dirinya ingin bertemu dan membicarakan hal penting. Ia memilih untuk menunggu iparnya itu di sebuah kafe kecil sederhana. Jika dipikirkan dengan kepala dingin setelah mengesampingkan segala kekusutan di kepala dan hatinya, Sisil kira akan sangat tidak baik jika dirinya menemui Janu di kampus sebab bisa menimbulkan kasak-kusuk yang meresahkan.Di zaman sekarang seseorang bisa dengan mudah dan tanpa beban menciptakan fitnah. Selanjutnya setelah fitnah tercetus, akan diteruskan ke banyak pihak dengan argumen yang seolah itu adalah fakta hanya dalam satu kali klik. Lantas khalayak ramai akan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran tanpa mencari tahu kebenaran sesungguhnya.Sisil memang sangat mencintai Janu. Bahkan sampai detik ini perasaan itu tidak berkurang sedikit pun. Tapi hati nurani dan akal sehatnya masih berfungsi. Jadi ia tidak akan pernah mengambil Janu dari Smith meski sangat menging
Janu bergeming. Ia sudah berusaha untuk menutupi rahasianya dengan Smith. Tapi kenyataannya, sikapnya justru membuat Sisil menjadi semakin curiga."Janu, jawab pertanyaanku dengan jujur. Apa Smith benar-benar hamil?" kata Sisil dengan suara penuh penekanan. Matanya terbuka lebar. Kentara sekali ada air yang melingkupi bola matanya hingga tampak seperti ada kaca di sana.Saking besarnya perasaan yang berkecamuk di hati Sisil, sampai membuat Sisil hampir menangis. Janu yakin, sekali saja Sisil berkedip, sudah pasti kaca-kaca di matanya akan pecah."Sisil, apa lagi yang harus aku katakan padamu? Aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Smith memang hamil. Dan sebab itulah kami menikah. Kau tidak mungkin lupa saat kami membuat pengakuan untuk pertama kalinya di hadapan kalian malam itu," jawab Janu mencoba mengelak. Ia berusaha untuk meyakinkan Sisil. Tapi Janu sendiri ragu, apakah wajahnya sudah cukup meyakinkan atau belum.
Sisil dejavu. Ingatannya kembali pada waktu itu, ketika dirinya berdiri di depan pintu setelah memasuki gerbang rumah seseorang. Seseorang yang dipanggil oleh mamanya sebagai anj*ng penjaga Smith.Sudah sekian lama berlalu, Sisil menyadari satu hal, yakni keberaniannya tidak berkembang sama sekali. Ia masih sama takutnya dengan saat itu. Terlebih saat ia mengingat segala pertikaian yang pernah terjadi antara perempuan itu dengan mamanya.Sisil menelan ludah. Jari telunjuknya sudah hampir menyentuh bel. Tapi segala keraguan dan pikiran buruk membuatnya berat untuk menekan bel itu."Huuuft!" Sisil menghembuskan napas panjang. Dan ting ... tong .... Bel pun berbunyi."Sebentar ...."Telinga Sisil mengenal suara itu dengan baik. Tidak ada yang berubah sedikit pun. Membuat detak jantungnya menjadi semakin cepat.Sisil menunduk. Melihat tangan kanannya yang terbuka
Sejatinya Sisil benar-benar ingin duduk. Kakinya sudah lelah berdiri terus sedari tadi. Ia juga merasa sangat lemas karena mengalami banyak sekali guncangan batin hari ini."Tante, apa Tante tahu alasan Smith menikah dengan Janu?" tanya Sisil berusaha keras menguatkan kakinya agar tetap tegak berdiri."Tentu saja! Janu sangat mencintai Smith. Apa lagi? Apa kau pikir selama ini Janu cinta padamu? Yang benar saja. Janu tidak buta! Mata hatinya bisa memilih orang yang tepat. Dia tahu mana gadis yang berhati baik dan mana yang berhati busuk!" kata Sheira yang memberikan penekanan pada akhir kalimatnya sembari menunjukkan gestur yang memperjelas kepada siapa ucapan itu ditujukan. Memberi tamparan keras pada Sisil.Sheira memang cerdas. Rasa-rasanya terlalu sadis jika ia memukul Sisil secara langsung sebagaimana yang ia lakukan pada Sinta, lantaran pembawaan Sisil yang kalem, sopan, dan cenderung tidak membalas serangannya. Akan leb
"Bangs*t! Apa-apaan ini? Untuk apa Sisil memohon pada anj*ng penjaga itu? Ini tidak bisa dibiarkan! Aku tidak akan membiarkan perempuan itu hidup! Dia sudah membuat putriku melakukan hal memalukan! Dia harus mati!"Sinta seperti meledak hatinya melihat video tanpa suara yang menayangkan anak kesayangannya menangis, memohon-mohon di kaki Sheira. Ia tidak terima melihat Sisil diperlakukan seperti itu. Darahnya langsung mendidih dan kemarahan telah sampai di ubun-ubun.Kunjungan Sisil ke rumah Sheira memang telah ditunggu-tunggu. Jauh sebelum hal itu terjadi, Sheira telah merencanakan untuk membuat Sisil memohon dan berlutut di kakinya dengan cara apa pun. Perempuan itu meminta satpamnya untuk turut membantu melancarkan rencananya itu. Ia menyuruh satpam untuk merekam adegan menyedihkan yang dibintangi Sisil.Sheira sengaja membuat video itu tanpa suara. Ia menonaktifkan suara dari video itu supaya Sinta tidak tahu apa yang sedang mere
Hendry menggelengkan kepala. Mana mungkin ia hanya diam menunggu ketika istrinya keluar untuk keselamatan putrinya. Jadi siapa yang jantan di keluarga Sasongko jika dirinya sebagai suami hanya duduk manis di rumah saat Sinta keluar untuk menantang orang yang berbuat buruk pada keluarganya?Maka, dengan penuh kemantapan hati, Hendry memutuskan untuk mengikuti Sinta. Ia harus tahu apa yang terjadi. Hendry bahkan berpikir untuk meminta bodyguard turut serta dalam rencananya. Ia pastikan akan bertindak tegas pada mereka yang mencoba mengusik kedamaian keluarganya.Namun setelah sampai di ruang tamu, Hendry menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik sofa lantaran Sinta yang telah sampai di depan pintu juga berhenti.Satu-satunya alasan yang membuat Sinta berdiri mematung dengan wajah cemas adalah mobil merah yang melewati gerbang, memasuki halaman rumah. Tidak diragukan lagi, itu adalah mobil Sisil.Meski Sin
Smith berjalan pelan seperti singa lapar. Ia terus menatap Sinta bahkan tanpa berkedip. Tulang rahang gadis itu mengeras, menahan amarahnya melihat orang yang paling berjasa dalam hidupnya, Bibi Ipah, diperlakukan dengan sangat buruk."Smith, kemarilah nak. Jangan memandang Tante Sinta seperti itu. Haha, kau bisa membuatnya takut," kata Hendry mengingatkan dengan nada bergurau. Sejatinya ia tidak senang jika Smith menunjukkan tatapan tajam pada Sinta. Walau bagaimanapun, Sinta adalah ibu tirinya. Selain itu, terlepas dari hal tersebut, Sinta lebih tua dari Smith. Jadi sudah sepatutnya jika Smith menunjukkan rasa hormatnya."Aku sedang memandang iblis, Ayah!" kata Smith menggeretakkan giginya."Smith, apa yang kau katakan? Kau tidak boleh berbicara seperti itu. Dengarkan Ayah, kau harus belajar mengendalikan lisanmu saat berbicara pada orang yang lebih tua. Sekarang, minta maaflah pada Tante Sinta," tegur Hendry lagi.
Sesaat suhu di ruang tamu meningkat hingga membuat orang-orang kepanasan. Padahal ada lebih dari tiga pendingin ruangan di sana.Sementara itu, Bibi Ipah yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri tak jauh dari jam raksasa karena kakinya yang terasa kaku, kini hanya bisa menangisi Smith.Perempuan tua itu merasa sangat bersalah. Karena membela dirinya, sang nona sampai dimarahi ayahnya, bahkan juga ditampar oleh saudaranya yang ia kenal sebagai gadis lembut dan baik hati.Sejujurnya Bibi Ipah sangat ingin berdiri di depan Smith, melindungi gadis itu dari apa pun dan siapa pun. Jika ia memang telah dianggap sebagai nenek sendiri oleh Nona Smith, lalu nenek seperti apa yang hanya diam melihat cucunya dipukul orang? Bahkan jika ia menumpahkan seluruh air matanya pun tidak akan mengubah apa-apa.Akan tetapi Bibi Ipah tidak akan pernah lupa bahwa ia hanyalah pembantu di rumah itu. Mana mungkin seorang a
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j