Hendry menggelengkan kepala. Mana mungkin ia hanya diam menunggu ketika istrinya keluar untuk keselamatan putrinya. Jadi siapa yang jantan di keluarga Sasongko jika dirinya sebagai suami hanya duduk manis di rumah saat Sinta keluar untuk menantang orang yang berbuat buruk pada keluarganya?
Maka, dengan penuh kemantapan hati, Hendry memutuskan untuk mengikuti Sinta. Ia harus tahu apa yang terjadi. Hendry bahkan berpikir untuk meminta bodyguard turut serta dalam rencananya. Ia pastikan akan bertindak tegas pada mereka yang mencoba mengusik kedamaian keluarganya.
Namun setelah sampai di ruang tamu, Hendry menghentikan langkahnya dan bersembunyi di balik sofa lantaran Sinta yang telah sampai di depan pintu juga berhenti.
Satu-satunya alasan yang membuat Sinta berdiri mematung dengan wajah cemas adalah mobil merah yang melewati gerbang, memasuki halaman rumah. Tidak diragukan lagi, itu adalah mobil Sisil.
Meski Sin
Smith berjalan pelan seperti singa lapar. Ia terus menatap Sinta bahkan tanpa berkedip. Tulang rahang gadis itu mengeras, menahan amarahnya melihat orang yang paling berjasa dalam hidupnya, Bibi Ipah, diperlakukan dengan sangat buruk."Smith, kemarilah nak. Jangan memandang Tante Sinta seperti itu. Haha, kau bisa membuatnya takut," kata Hendry mengingatkan dengan nada bergurau. Sejatinya ia tidak senang jika Smith menunjukkan tatapan tajam pada Sinta. Walau bagaimanapun, Sinta adalah ibu tirinya. Selain itu, terlepas dari hal tersebut, Sinta lebih tua dari Smith. Jadi sudah sepatutnya jika Smith menunjukkan rasa hormatnya."Aku sedang memandang iblis, Ayah!" kata Smith menggeretakkan giginya."Smith, apa yang kau katakan? Kau tidak boleh berbicara seperti itu. Dengarkan Ayah, kau harus belajar mengendalikan lisanmu saat berbicara pada orang yang lebih tua. Sekarang, minta maaflah pada Tante Sinta," tegur Hendry lagi.
Sesaat suhu di ruang tamu meningkat hingga membuat orang-orang kepanasan. Padahal ada lebih dari tiga pendingin ruangan di sana.Sementara itu, Bibi Ipah yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri tak jauh dari jam raksasa karena kakinya yang terasa kaku, kini hanya bisa menangisi Smith.Perempuan tua itu merasa sangat bersalah. Karena membela dirinya, sang nona sampai dimarahi ayahnya, bahkan juga ditampar oleh saudaranya yang ia kenal sebagai gadis lembut dan baik hati.Sejujurnya Bibi Ipah sangat ingin berdiri di depan Smith, melindungi gadis itu dari apa pun dan siapa pun. Jika ia memang telah dianggap sebagai nenek sendiri oleh Nona Smith, lalu nenek seperti apa yang hanya diam melihat cucunya dipukul orang? Bahkan jika ia menumpahkan seluruh air matanya pun tidak akan mengubah apa-apa.Akan tetapi Bibi Ipah tidak akan pernah lupa bahwa ia hanyalah pembantu di rumah itu. Mana mungkin seorang a
Sinta menunggu Sisil yang sedang mandi dengan gusar. Hatinya yang panas membuatnya tidak bisa duduk tenang, mondar-mandir di depan pintu toilet."Sisil, kau sudah selesai. Mama akan menyuapimu sekarang. Kau harus makan yang banyak," kata Sinta menarik tangan Sisil dan memintanya untuk duduk di atas ranjang masih dengan handuk yang melingkupi rambutnya."Mama, aku akan ganti baju dulu," kata Sisil yang terlihat lebih baik setelah membersihkan badannya."Baiklah. Mama akan menunggumu."Pikir Sinta, ia harus segera menyadarkan putrinya untuk tetap bersikap tegas pada Smith. Dengan cara apa pun, Sinta akan mencegah Sisil untuk meminta maaf atas hal luar biasa yang dilakukan pada Smith.Di samping itu, tentu saja Sinta akan menanyakan pada Sisil perihal video yang dikirim Sheira padanya. Untuk apa Sisil ke rumah Sheira dan mengapa putrinya itu sampai berlutut di depan anj*ng penjaga Smith.
"A-apa yang akan kau lakukan? Mundur! Menjauh dariku!" teriak Smith dengan wajah takut."Smith, apa yang kau bicarakan? Memangnya apa yang akan aku lakukan?" ucap Janu benar-benar bingung.Janu sangat ingin menenangkan istrinya. Namun, gerakan Janu yang mengulurkan tangan seperti mau menyentuh Smith, malah membuat Smith semakin takut."Mundur! Mundur sekatang juga! Cepat mundur atau aku akan melempar vas bunga ini!" perintah Smith sambil mengangkat vas bunga yang ada di atas meja, tak jauh dari tempatnya berdiri. Gadis itu membuat mawar dan air yang ada di dalamnya terjatuh di lantai."Oke, oke. Aku mundur sekarang," sahut Janu semakin heran. Meski ia tidak tahu apa yang terjadi pada Smith, ia tetap melakukan apa yang diucapkan istrinya itu."Apa ini bagian dari efek hamil? Tapi apa penjelasan logisnya untuk ini? Dia sering melakukan hal-hal aneh setelah menikah. Ada-ada sa
Sisil telah duduk di kursi ruang makan. Tepat di samping kirinya telah duduk Sinta yang menunggu dengan wajah masam. Dan orang lain yang juga telah siap untuk makan malam adalah Hendry.Hendry sengaja meminta Sinta dan Sisil untuk menunggu Smith dan Janu turun. Mereka telah membiarkan hidangan di meja nganggur saja selama lebih dari sepuluh menit dari waktu biasa makan malam dilakukan."Bangs*t! Gadis itu pasti sengaja! Duh, perutku sudah sakit lagi!" gerutu Sinta membatin.Hendry memang ingin memulai makan malam secara serempak. Ada hal yang ingin ia sampaikan sebelum makan malam dimulai. Tapi tampaknya Smith masih malas bertemu dengannya."Apa aku perlu memanggil mereka?" tanya Sinta menawarkan diri. Ia sudah tidak tahan lagi.Sinta bersumpah jika sampai suaminya mengiyakan tawarannya, ia tidak akan mengajak Smith dan Janu untuk makan bersama. Tetapi ia akan mendatangi ka
Janu masih belum berani mengatakan apa-apa. Tapi sesekali ia menoleh ke belakang untuk menengok istrinya yang duduk anteng di belakangnya.Jika pasangan suami istri yang baru menikah pada umunya terlihat mesra dan terkesan tidak ingin terpisah, menempel terus termasuk saat berboncengan menaiki motor, tidak demikian dengan Smith dan Janu. Tidak ada yang berubah. Sama seperti saat mereka belum menikah, Smith lebih memilih untuk memegang jok motor yang menyebabkan jarak antara dirinya dengan sang suami semakin kentara, cukup untuk diduduki satu orang lagi di tengah-tengah mereka.Namun, itu sama sekali bukan masalah serius. Janu tidak sedang pusing memikirkan cara agar Smith mau melingkarkan tangan di perutnya, tetapi pikiran Janu menjadi kusut lantaran Smith belum mengatakan satu patah kata pun sejak mereka menaiki motor.Biasanya, jika Smith dalam kondisi normal, tentu kini telah terdengar ocehan yang menyuruh Janu untuk
Heningnya malam sampai membuat suara angin terdengar. Juga dedaunan pada pohon yang bergerak-gerak sendiri.Smith terus memandang mata kucing Janu tanpa berucap. Ia masih menunggu suaminya itu untuk bicara."Smith, tadi pagi Sisil menemuiku. Kami berbincang di kafe kecil dekat kampus. Aku tidak mengerti mengapa dia sangat ingin berbicara padaku hingga harus repot-repot menyusulku dan tidak sabar untuk menungguku pulang.""Apa yang dia katakan?" sergap Smith supaya Janu lekas menceritakan intinya."Sisil, aku tidak tahu kenapa ... ""Berhenti berputar-putar. Aku tahu kau tidak tahu apa-apa. Katakan saja langsung secara terus terang. Kenapa kau senang sekali membuatku kesal? Sekarang katakan apa yang Sisil katakan padamu!" tukas Smith memotong perkataan Janu. Ia sungguh geregetan mendengar omongan Janu yang bertele-tele."Dia menanyakan padaku, apa kau benar-be
"Anak ini harus diberi pelajaran!" ujar Sinta dalam batin mendidih.Sinta terus berjalan tanpa peduli pada ucapan Sisil. Ia bahkan mencengkeram lebih kuat tangan putrinya ketika Sisil berusaha untuk melawan. Ia sudah muak dengan semuanya dan memutuskan untuk bersikap tegas pada Sisil detik ini juga.Sinta pada akhirnya harus mengambil pilihan itu sebab tampaknya Sisil memang tidak pernah menghiraukan semua perkataannya yang meminta putrinya itu untuk tidak kalah dari Smith. Sisil bahkan tetap ngeyel mau minta maaf pada Smith meski Sinta telah melarangnya berulang-ulang."Mama! Kenapa Mama selalu memaksakan kehendak Mama padaku? Tidak bisakah Mama membiarkan aku melakukan apa yang aku inginkan? Lagi pula, apa salahnya jika aku meminta maaf pada Smith? Bahkan Ayah juga mendukungku untuk berbaikan dengan Smith," protes Sisil setelah masuk ke dalam kamarnya dengan tangan yang masih digenggam erat oleh Sinta.
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j