"Bibi Ipah tidak usah cemas. Saya tetap akan mengirimkan uang ke rekening Bibi setiap bulan. Jadi Bibi tidak perlu memikirkan keuangan lagi. Bibi bisa menikmati masa tua Bibi dengan tenang di panti bersama orang tua lainnya tanpa harus mengerjakan tugas rumah. Setelah ini Pak Jono akan mengantar Bibi. Maafkan saya karena tidak bisa ikut. Ada urusan pekerjaan yang harus saya selesaikan," jelas Hendry tanpa basa-basi.
Bibi Ipah menggeser pandangannya pada Pak Jono yang sejak ia turun ke lantai bawah, telah berdiri di belakang Hendry. Membuat Pak Jono tidak tega untuk menuruti permintaan Hendry. Pak Jono tahu benar kalau Bibi Ipah tidak ingin pergi dari rumah itu. Bibi Ipah ingin tetap di sana bersama sang nona muda.
Pak Jono adalah satu-satunya orang yang menjadi saksi kedekatan hubungan antara Bibi Ipah dan Smith. Ia paham benar bahwa keduanya saling menyayangi. Pak Jono yakin jika saat ini hati Bibi Ipah pasti hancur, batinnya tidak bisa menerima keputusan Tuan Hendry.
Perkuliahan telah selesai. Janu dan Smith pun ingin langsung pulang saja karena mencemaskan keadaan Bibi Ipah."Ayo Janu, kemudikan mobilnya cepat. Entah mengapa dari tadi firasatku tidak enak. Aku takut terjadi sesuatu pada Bibi Ipah. Kau tahu sendiri Tante Sinta seperti apa. Bagaimana kalau perempuan sint*ng itu menyuruh Bibi Ipah untuk melakukan ini dan itu. Haaah, aku melakukan kesalahan besar dengan membiarkan Bibi Ipah sendirian bersama perempuan sint*ng itu," gerutu Smith tanpa henti. Sejak tadi perasaannya sangat tidak enak. Tidak bisa berhenti memikirkan Bibi Ipah."Smith, kau sangat menyayangi Bibi Ipah ya?" tanya Janu yang telah memegang setir, tapi belum juga menyalakan mesin."Janu, aku mohon, tahan kesint*nganmu. Jangan kumat dulu. Kita harus segera pulang dan memastikan apakah Bibi Ipah baik-baik saja atau tidak. Mengerti?" kata Smith mengacungkan telunjuknya. Ia kadang tidak habis pikir pada suaminya yang kerap menanyakan hal-hal aneh di sa
Saat mobil yang dikemudikan Janu telah sampai di halaman rumah mewah Hendry Sasongko, Smith lekas-lekas membuka pintu mobil dan melompat ke luar. Ia harus bergegas melihat Bibi Ipah supaya hatinya menjadi tenang. Smith sungguh berharap firasat buruk yang sedari tadi berkutat di pikirannya hanya karena ia terlalu berlebihan memikirkan Bibi Ipah, dan semoga saja tidak terjadi.Smith bisa masuk dengan mudah karena pintu terbuka lebar. Sebenarnya hal itu sedikit aneh, tidak biasanya pintu rumah itu dibiarkan terbuka. Kecuali jika memang ada acara tertentu yang mengundang orang luar untuk datang atau mungkin ada tamu yang sedang ditunggu kedatangannya. Tapi siapa?"Di mana Bibi Ipah?" gumam Smith yang melihat ke kanan dan ke kiri sambil terus melangkah. Tempat pertama yang ingin ia tuju adalah kamar Bibi Ipah, tapi untuk itu ia akan memastikan dulu apakah Bibi Ipah ada di luar kamar atau tidak, apakah orang-orang menyuruh Bibi Ipah untuk bekerja atau tidak."Smith, t
Janu berlari cepat mengejar istrinya. Ia harus mencegah Smith menemui Hendry dalam keadaan emosi meledak. Kalau tidak, perang dunia benar-benar akan terjadi."Smith," kata Janu sambil memegang tangan Smith dan menahannya. Sudah barang tentu kalau Smith akan memberontak dan berusaha keras untuk melepaskan genggaman tangan suaminya. Tapi Janu tidak akan melepaskan tangan yang susah payah ia tangkap."Smith, tenanglah. Apa gunanya marah seperti ini? Kau hanya akan memperburuk suasana. Dengarkan aku, kau masih ingat dengan yang aku katakan padamu tadi, tentang niatan Ayah yang ingin membelikan Bibi Ipah rumah kan? Mungkin saja Bibi Ipah ada di rumah barunya sekarang," ujar Janu tanpa jeda.Smith berhenti memberontak. Apa yang dikatakan suaminya ada benarnya. Ia kemudian menghembuskan napas berat. Mungkin ia memang sudah sangat berlebihan dalam berprasangka buruk pada keluarganya sendiri.Prok ... prok ... prok ....Sinta berjalan menuju tangga sambil b
Melihat wajah Smith yang justru tampak sedang menantang dirinya, amarah Hendry kian meroket. Dadanya benar-benar seperti dipenuhi timah panas yang membuatnya tidak tahan lagi.Plakkk!Minem refleks menutup mata dan mulutnya saat melihat majikan barunya mengulangi perbuatannya, menampar pipi putrinya sendiri. Leher Minem seperti tercekik hingga membuat darah tidak mengalir sempurna ke otaknya.Yang ada di dalam pikiran Minem sekarang adalah ia harus segera mengundurkan diri dari rumah itu setelah pertikaian yang ia saksikan itu selesai. Pikir Minem, kalau dengan putrinya sendiri saja Tuan Hendry begitu tega menghajarnya tanpa ampun, apalagi kepada pembantunya. Bagaimana jika nanti ia melakukan sebuah kesalahan yang tidak termaafkan? "Aku bisa mati di sini!" kata Minem dalam hati.Hal sebaliknya ditunjukkan Sinta dan Sisil. Keduanya kompak membuka mata lebar-lebar seolah ingin melihat dengan jelas kejadian langka itu. Mulut mereka juga menganga hingga
Smith tersenyum kecut, juga tertawa mengejek. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya bisa termakan oleh omongan Sinta dan Sisil dengan begitu mudah? Ayah macam apa yang meminta menantunya menceraikan anaknya sendiri untuk dinikahkan dengan anaknya yang lain? Meskipun mungkin sikapnya pada Janu tidak selayaknya istri pada suaminya, bukan berarti ia ingin berpisah dengan lelaki itu. Gila! Smith tidak mengira jika ayahnya terkena serangan sint*ng akut!Namun, Smith tidak peduli. Bukankah ayahnya memang sudah hilang akal sejak dulu? Jika beberapa waktu lalu sang ayah menunjukkan sedikit perbaikan, bukan berarti sudah sembuh kan? Apa anehnya jika sekarang ayahnya kembali menjadi orang yang tidak waras? Smith sungguh-sungguh tertawa kali ini."Smith, apa kau baik-baik saja?" tanya Janu mengkhawatirkan istrinya. Janu paham benar kalau Smith sekarang pasti sedang sangat terguncang batinnya. Akan lebih menenangkan jika Smith menangis saja ketimbang tertawa seperti sekarang
Ucapan Hendry itu membuat hati Smith dan Janu seperti dihantam palu besi. Bukankah sang ayah telah memberikan rumah itu pada Smith? Lalu mengapa kini mereka malah diusir.Namun bukan itu yang membuat hati Smith cekit-cekit. Bagi Smith, tidak masalah jika ia tidak mendapatkan rumah itu dan harus tinggal di tempat lain. Smith hanya tidak habis pikir atas pikiran sempit ayahnya. Bagaimana mungkin ayahnya bertindak dan mengambil keputusan sebelum mendengarkan cerita darinya, hanya mendengar cerita versi Sisil saja. Hal tersebut cukup untuk menunjukkan seberapa besar kepercayaan dan rasa sayang sang ayah padanya."Tidak apa, Smith. Ini bukan rumah yang baik untuk tinggal. Aku akan memberikan kehidupan yang lebih manusiawi padamu," tukas Janu yang mengajak Smith untuk melangkahkan kembali kakinya menuju kamar. Meninggalkan sang ayah yang masih berdiri dengan tatapan tajam pada putri dan menantunya. Janu khawatir jika ia tidak lekas beranjak dari tempat itu, amarahnya akan se
Sisil jelas diliputi kegalauan. Ia yang masih mencoba menjadi orang jahat, menjadi ragu saat perbuatan jahatnya ternyata tidak juga mampu membuat dirinya mendapatkan apa yang ia inginkan. Lebih daripada itu, sejak berusaha untuk menjatuhkan Smith, ada perasaan tertentu yang membuatnya menjadi tidak tenang. Itu bukan perasaan takut, melainkan perasaan entah yang membuat Sisil menjadi gelisah.Lantas dalam benak yang berkecamuk, terlintas juga banyangan sang ayah yang tadi menampar keras Smith. Sisi baik dari dirinya mulai menyembul. Yang kemudian mendatangkan banyak pertanyaan yang ia ajukan pada dirinya sendiri."Apa aku sudah sangat jahat karena membuat Ayah memukuli Smith? Padahal Smith adalah anak kandung Ayah. Sedangkan aku hanya anak tiri. Smith sudah berbaik hati membiarkan ayahnya untuk menjadi ayahku juga. Tapi apa yang sudah aku lakukan? Aku malah membuat Ayah benci pada Smith," batin Sisil."Aku telah memfitnah Smith. Smith menamparku karena aku yang l
Sinta yang sudah tidak sabar ingin melihat Smith ke luar dari rumah itu, lantas mengajak Sisil untuk ke luar kamar guna melihat keadaan. Jika ternyata Smith masih leyeh-leyeh di kamarnya, Sinta akan mendobrak pintu kamar Smith dan menyeretnya ke luar bersama suaminya yang tidak berguna."Ayo Sisil, cepat! Kita tidak boleh ketinggalan momen paling membahagiakan ini. Mama sudah tidak sabar ingin menikmati wajah Smith yang menyedihkan," kata Sinta yang kembali menarik tangan putrinya agar bergegas ke luar.Saat mereka telah berada di luar kamar, Sinta mempercepat langkahnya menuju pagar besi pembatas lantai untuk memastikan Smith dan Janu telah ke bawah atau masih di kamar."Wah, itu mereka. Baguslah kalau mereka sudah mau pergi. Sisil ayo kita ke bawah juga. Percepat langkahmu, jangan sampai ketinggalan. Kau ingin melihat wajah Janu untuk terakhir kali kan? Eh maksud Mama sebelum dia pergi dari sini, tentu kau ingin melihatnya kan?" ucap Sinta sambil terus berjala