Smith tersenyum kecut, juga tertawa mengejek. Ia tidak habis pikir bagaimana bisa ayahnya bisa termakan oleh omongan Sinta dan Sisil dengan begitu mudah? Ayah macam apa yang meminta menantunya menceraikan anaknya sendiri untuk dinikahkan dengan anaknya yang lain? Meskipun mungkin sikapnya pada Janu tidak selayaknya istri pada suaminya, bukan berarti ia ingin berpisah dengan lelaki itu. Gila! Smith tidak mengira jika ayahnya terkena serangan sint*ng akut!
Namun, Smith tidak peduli. Bukankah ayahnya memang sudah hilang akal sejak dulu? Jika beberapa waktu lalu sang ayah menunjukkan sedikit perbaikan, bukan berarti sudah sembuh kan? Apa anehnya jika sekarang ayahnya kembali menjadi orang yang tidak waras? Smith sungguh-sungguh tertawa kali ini.
"Smith, apa kau baik-baik saja?" tanya Janu mengkhawatirkan istrinya. Janu paham benar kalau Smith sekarang pasti sedang sangat terguncang batinnya. Akan lebih menenangkan jika Smith menangis saja ketimbang tertawa seperti sekarang
Ucapan Hendry itu membuat hati Smith dan Janu seperti dihantam palu besi. Bukankah sang ayah telah memberikan rumah itu pada Smith? Lalu mengapa kini mereka malah diusir.Namun bukan itu yang membuat hati Smith cekit-cekit. Bagi Smith, tidak masalah jika ia tidak mendapatkan rumah itu dan harus tinggal di tempat lain. Smith hanya tidak habis pikir atas pikiran sempit ayahnya. Bagaimana mungkin ayahnya bertindak dan mengambil keputusan sebelum mendengarkan cerita darinya, hanya mendengar cerita versi Sisil saja. Hal tersebut cukup untuk menunjukkan seberapa besar kepercayaan dan rasa sayang sang ayah padanya."Tidak apa, Smith. Ini bukan rumah yang baik untuk tinggal. Aku akan memberikan kehidupan yang lebih manusiawi padamu," tukas Janu yang mengajak Smith untuk melangkahkan kembali kakinya menuju kamar. Meninggalkan sang ayah yang masih berdiri dengan tatapan tajam pada putri dan menantunya. Janu khawatir jika ia tidak lekas beranjak dari tempat itu, amarahnya akan se
Sisil jelas diliputi kegalauan. Ia yang masih mencoba menjadi orang jahat, menjadi ragu saat perbuatan jahatnya ternyata tidak juga mampu membuat dirinya mendapatkan apa yang ia inginkan. Lebih daripada itu, sejak berusaha untuk menjatuhkan Smith, ada perasaan tertentu yang membuatnya menjadi tidak tenang. Itu bukan perasaan takut, melainkan perasaan entah yang membuat Sisil menjadi gelisah.Lantas dalam benak yang berkecamuk, terlintas juga banyangan sang ayah yang tadi menampar keras Smith. Sisi baik dari dirinya mulai menyembul. Yang kemudian mendatangkan banyak pertanyaan yang ia ajukan pada dirinya sendiri."Apa aku sudah sangat jahat karena membuat Ayah memukuli Smith? Padahal Smith adalah anak kandung Ayah. Sedangkan aku hanya anak tiri. Smith sudah berbaik hati membiarkan ayahnya untuk menjadi ayahku juga. Tapi apa yang sudah aku lakukan? Aku malah membuat Ayah benci pada Smith," batin Sisil."Aku telah memfitnah Smith. Smith menamparku karena aku yang l
Sinta yang sudah tidak sabar ingin melihat Smith ke luar dari rumah itu, lantas mengajak Sisil untuk ke luar kamar guna melihat keadaan. Jika ternyata Smith masih leyeh-leyeh di kamarnya, Sinta akan mendobrak pintu kamar Smith dan menyeretnya ke luar bersama suaminya yang tidak berguna."Ayo Sisil, cepat! Kita tidak boleh ketinggalan momen paling membahagiakan ini. Mama sudah tidak sabar ingin menikmati wajah Smith yang menyedihkan," kata Sinta yang kembali menarik tangan putrinya agar bergegas ke luar.Saat mereka telah berada di luar kamar, Sinta mempercepat langkahnya menuju pagar besi pembatas lantai untuk memastikan Smith dan Janu telah ke bawah atau masih di kamar."Wah, itu mereka. Baguslah kalau mereka sudah mau pergi. Sisil ayo kita ke bawah juga. Percepat langkahmu, jangan sampai ketinggalan. Kau ingin melihat wajah Janu untuk terakhir kali kan? Eh maksud Mama sebelum dia pergi dari sini, tentu kau ingin melihatnya kan?" ucap Sinta sambil terus berjala
Janu meminta Smith menunggu di pos satpam, sementara ia ke garasi untuk mengambil motornya. Janu memang melarang Smith untuk membawa mobilnya. Akan lebih baik jika mereka membawa pergi barang yang sejak awal menjadi milik Janu. Itu sebabnya Smith membiarkan kunci mobilnya berada di dalam laci kamarnya. Meski Smith tidak begitu peduli pada mobilnya, ia tidak rela jika mobil itu sampai dikendarai Sisil dan Sinta."Pak Jono," tegur Smith sambil tersenyum saat sopir sang ayah menghampirinya untuk memberikan salam terakhir sebelum sang nona pergi."Nona Smith ... " panggil Pak Jono sangat lirih dengan suara sedikit serak. Ia meraih tangan Smith dan menyalaminya dengan punggung sedikit membungkuk.Mata Smith membulat ketika ia merasakan ada sesuatu yang diselipkan Pak Jono ke tangannya. Ia menatap Pak Jono lekat-lekat. Lantas Pak Jono pun mengedipkan matanya lebih cepat beberapa kali. Smith mengerti bahwa apa yang diberikan Pak Jono padanya adalah sesuatu yang r
Smith Bab 164_ Jangan Tatap Istriku!Janu melongokkan kepalanya untuk melihat kertas kecil di tangan istrinya. Ia langsung mengerutkan dahinya. Lalu mengambil kertas itu dan mengamatinya lagi.Benar! Tidak salah lagi. Ia memang mengenal alamat itu. Ia bahkan pernah ke sana untuk mengantarkan nenek dari teman satu kostnya yang sebelumnya tinggal sendiri di kampung."Ini alamat panti jompo," desis Janu."Apa? Jadi maksudmu Bibi Ipah sekarang ada di panti jompo?" pekik Smith dengan mata nyaris ke luar"Mungkin saja. Tapi aku yakin ini memang alamat sebuah panti jompo. Aku pernah ke alamat itu untuk mengantar nenek temanku yang sudah sangat tua ke sana dengan mengendarai mobil sewa. Letaknya sekitar 29 kilo kalau dari rumahmu," jelas Janu yang sebenarnya juga terkejut dengan pesan singkat yang dituliskan Pak Jono di kertas itu.Janu mengira ayah mertuanya telah membelikan sebuah rumah untuk Bibi Ipah sebagaimana yang dulu dikatakan padanya.
Janu tidak mengerti mengapa Smith memintanya untuk menghentikan motornya di depan halte bus. Tapi ia tetap memenuhi permintaan istrinya tanpa membantah atau bertanya.Halte bus tampak kosong tanpa ada seorang pun calon penumpang yang menunggu kedatangan bus. Mungkin lantaran malam telah terlalu larut dan sudah tidak ada lagi bus yang lewat."Duduklah, ada hal penting yang ingin aku katakan padamu," kata Smith sambil menepuk kursi kosong di samping kirinya.Janu mengangguk dan duduk di sebelah Smith tanpa mengatakan apa-apa. Ia menatap wajah Smith lekat-lekat. Wajah ayu Smith terlihat agak muram.Smith menghembuskan napas berat. Ia tertunduk sebentar, seolah apa yang hendak ia sampaikan adalah hal yang tidak menyenangkan. Tapi Janu masih menguatkan diri untuk tetap menutup mulutnya dulu.Smith meraih tangan kiri suaminya. Lantas digenggam cukup erat. Tentu saja berhasil membuat jantung Janu nyaris melompat ke luar."Apa istriku baik-baik saja
Smith menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kadang-kadang Janu menjadi lebih keras kepala darinya. Satu hal yang ada dalam pikiran Smith adalah ia tidak yakin jika Janu akan bahagia jika tetap menjadi suaminya.Sesungguhnya Smith tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan suami istri dengan siapa pun. Sedangkan dalam pernikahan hal itu termasuk kebutuhan batin yang mesti terpenuhi.Selain itu, Smith sangat mengerti bagaimana keadaan perekonomian Janu. Sangat tidak bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan dua orang, apalagi tiga orang jika Bibi Ipah sudah berada di antara mereka. Pasti hal itu akan membuat Janu bekerja keras sebagaimana dulu ketika lelaki itu merasa bertanggung jawab untuk membiayai persalinan Smith yang hanya pura-pura hamil. Lantas ia akan tertidur di dalam kelas saat perkuliahan berlangsung. Menyedihkan!Sedangkan Smith sendiri tidak memiliki kekayaan lagi. Ia tahu bagaimana watak sang ayah. Hendry tidak akan mau lagi me
Setelah berputar-putar mencari tempat untuk tidur, akhirnya Janu menemukan sebuah penginapan yang masih buka. Semoga saja masih ada kamar yang kosong untuk mereka. Terus terang Janu mencemaskan istrinya. Ia ingin melihat Smith istirahat secepatnya agar tidak terlalu kelelahan. Penginapan yang masih buka itu tidak terlalu besar. Hanya ada sepuluh kamar di dalamnya dengan ukuran 3 x 4 meter, yang saling berhadapan. Kamar satu di depan kamar dua, kamar dua di depan kamar tiga, dan seterusnya. "Pak, apa masih ada kamar kosong?" tanya Janu sambil tersenyum. Resepsionis membalas senyum Janu dengan senyuman entah. Lelaki itu juga memandang Janu dan Smith dengan tatapan yang tidak biasa. "Wah, kalian beruntung sekali. Tinggal satu kamar yang kosong. Jadi kalian bisa tiduran dengan nyaman ketimbang harus gelap-gelapan di kebon," jawab lelaki berkumis tebal yang berusia sekitar 40 tahun. Janu tidak begitu menanggapi resepsionis yang
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j