"Pak Jono," tegur Smith sambil tersenyum saat sopir sang ayah menghampirinya untuk memberikan salam terakhir sebelum sang nona pergi.
"Nona Smith ... " panggil Pak Jono sangat lirih dengan suara sedikit serak. Ia meraih tangan Smith dan menyalaminya dengan punggung sedikit membungkuk.
Mata Smith membulat ketika ia merasakan ada sesuatu yang diselipkan Pak Jono ke tangannya. Ia menatap Pak Jono lekat-lekat. Lantas Pak Jono pun mengedipkan matanya lebih cepat beberapa kali. Smith mengerti bahwa apa yang diberikan Pak Jono padanya adalah sesuatu yang r
Smith Bab 164_ Jangan Tatap Istriku!Janu melongokkan kepalanya untuk melihat kertas kecil di tangan istrinya. Ia langsung mengerutkan dahinya. Lalu mengambil kertas itu dan mengamatinya lagi.Benar! Tidak salah lagi. Ia memang mengenal alamat itu. Ia bahkan pernah ke sana untuk mengantarkan nenek dari teman satu kostnya yang sebelumnya tinggal sendiri di kampung."Ini alamat panti jompo," desis Janu."Apa? Jadi maksudmu Bibi Ipah sekarang ada di panti jompo?" pekik Smith dengan mata nyaris ke luar"Mungkin saja. Tapi aku yakin ini memang alamat sebuah panti jompo. Aku pernah ke alamat itu untuk mengantar nenek temanku yang sudah sangat tua ke sana dengan mengendarai mobil sewa. Letaknya sekitar 29 kilo kalau dari rumahmu," jelas Janu yang sebenarnya juga terkejut dengan pesan singkat yang dituliskan Pak Jono di kertas itu.Janu mengira ayah mertuanya telah membelikan sebuah rumah untuk Bibi Ipah sebagaimana yang dulu dikatakan padanya.
Janu tidak mengerti mengapa Smith memintanya untuk menghentikan motornya di depan halte bus. Tapi ia tetap memenuhi permintaan istrinya tanpa membantah atau bertanya.Halte bus tampak kosong tanpa ada seorang pun calon penumpang yang menunggu kedatangan bus. Mungkin lantaran malam telah terlalu larut dan sudah tidak ada lagi bus yang lewat."Duduklah, ada hal penting yang ingin aku katakan padamu," kata Smith sambil menepuk kursi kosong di samping kirinya.Janu mengangguk dan duduk di sebelah Smith tanpa mengatakan apa-apa. Ia menatap wajah Smith lekat-lekat. Wajah ayu Smith terlihat agak muram.Smith menghembuskan napas berat. Ia tertunduk sebentar, seolah apa yang hendak ia sampaikan adalah hal yang tidak menyenangkan. Tapi Janu masih menguatkan diri untuk tetap menutup mulutnya dulu.Smith meraih tangan kiri suaminya. Lantas digenggam cukup erat. Tentu saja berhasil membuat jantung Janu nyaris melompat ke luar."Apa istriku baik-baik saja
Smith menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kadang-kadang Janu menjadi lebih keras kepala darinya. Satu hal yang ada dalam pikiran Smith adalah ia tidak yakin jika Janu akan bahagia jika tetap menjadi suaminya.Sesungguhnya Smith tidak pernah berpikir untuk melakukan hubungan suami istri dengan siapa pun. Sedangkan dalam pernikahan hal itu termasuk kebutuhan batin yang mesti terpenuhi.Selain itu, Smith sangat mengerti bagaimana keadaan perekonomian Janu. Sangat tidak bisa diandalkan untuk menopang kebutuhan dua orang, apalagi tiga orang jika Bibi Ipah sudah berada di antara mereka. Pasti hal itu akan membuat Janu bekerja keras sebagaimana dulu ketika lelaki itu merasa bertanggung jawab untuk membiayai persalinan Smith yang hanya pura-pura hamil. Lantas ia akan tertidur di dalam kelas saat perkuliahan berlangsung. Menyedihkan!Sedangkan Smith sendiri tidak memiliki kekayaan lagi. Ia tahu bagaimana watak sang ayah. Hendry tidak akan mau lagi me
Setelah berputar-putar mencari tempat untuk tidur, akhirnya Janu menemukan sebuah penginapan yang masih buka. Semoga saja masih ada kamar yang kosong untuk mereka. Terus terang Janu mencemaskan istrinya. Ia ingin melihat Smith istirahat secepatnya agar tidak terlalu kelelahan. Penginapan yang masih buka itu tidak terlalu besar. Hanya ada sepuluh kamar di dalamnya dengan ukuran 3 x 4 meter, yang saling berhadapan. Kamar satu di depan kamar dua, kamar dua di depan kamar tiga, dan seterusnya. "Pak, apa masih ada kamar kosong?" tanya Janu sambil tersenyum. Resepsionis membalas senyum Janu dengan senyuman entah. Lelaki itu juga memandang Janu dan Smith dengan tatapan yang tidak biasa. "Wah, kalian beruntung sekali. Tinggal satu kamar yang kosong. Jadi kalian bisa tiduran dengan nyaman ketimbang harus gelap-gelapan di kebon," jawab lelaki berkumis tebal yang berusia sekitar 40 tahun. Janu tidak begitu menanggapi resepsionis yang
Mata Smith beradu dengan mata kucing Janu. Keduanya saling memandang cukup lama.Smith merasakan detak jantungnya menjadi sangat kencang. Ia khawatir Janu bisa merasakan jantungnya yang berdebar kuat. Itu sangat memalukan dan bisa membuat Janu besar kepala.Namun, hal yang lebih meresahkan Smith bukan itu. Sebab ia pun bisa merasakan debaran jantung dari suaminya.Smith menjadi sangat gugup karena kenyataannya bibir suaminya sangat menggoda. Mengingat mereka sudah gagal ciuman dua kali, sejatinya Smith ingin membayarnya hari ini. Tapi tentu saja ia tidak berani. Juga malu kalau harus memulai lebih dulu.Dalam benaknya Smith mengatakan bahwa ia tidak akan menolak ataupun marah jika Janu menarik kepalanya, sehingga wajah mereka menjadi lebih dekat dan menempel. Ia berjanji akan pasrah dan manut saja pada aksi suaminya.Sementara itu, keinginan untuk mencium bibir Smith yang ranum, juga dirasakan oleh Janu. Darahnya berdesir cepat ingin lekas-lekas me
Pagi baru saja dimulai. Tapi kediaman Hendry Sasongko sudah gaduh oleh suara Sinta yang mengoceh tanpa jeda. Suara itu bahkan sampai membuat Hendry yang baru bisa tidur pukul 04.30 jadi terbangun.Hendry menengok pada jam weker di meja. Ternyata baru pukul 06.00. Tapi istrinya sudah mengomel entah karena apa dan dengan siapa."Apa yang membuat Sinta marah-marah sepagi ini?" gumam Hendry yang beranjak dari tempat tidurnya. Dengan terburu-buru Hendry membasuh wajahnya dan mengelapnya dengan handuk.Hendry menghembuskan napas berat. Ada kekecewaan di sana. Tapi helaan napas tidak mengurangi sesak di dadanya sama sekali. Hanya berharap bisa membuat dadanya menjadi lebih lapang.Hendry jelas keheranan. Jika sumber dari semua kekacauan di rumahnya adalah Smith, kenapa rasa damai tidak kunjung mampir ke rumahnya setelah Smith angkat kaki dari sana?Dalam langkahnya yang terasa berat, Hendry teringat pada semua hal yang dulu pernah dikatakan Smith padanya,
"Minem! Kenapa kau masih menghadap ke sana? Balikkan badanmu cepat! Tuan Hendry ingin berbicara denganmu!" pekik Sinta yang mengira kalau Hendry kembali untuk melakukan suatu hal yang akan membuat pembantu barunya itu tidak merengek minta dipecat lagi.Sinta sangat percaya pada kewibawaan suaminya. Juga kuasanya dalam membuat semua orang menerima keputusannya. Kalau Smith si Singa Jantan itu saja dihempaskan oleh Hendry dengan sekali perintah, apalagi ini Minem yang hanya seorang pembantu penakut.Minem menelan ludah. Lalu memberanikan diri untuk membalikkan badan dan kembali berhadapan dengan sang majikan, tapi tanpa mengangkat kepalanya sedikit pun."Iya Tuan," kata Minem dengan suara bergetar."Tadi kamu bilang mau berhenti kerja karena takut padaku," kata Hendry masih dengan wajah dingin.Dengan kepala yang semakin tertunduk, hingga dagunya hampir menempel pada lehernya, Minem menjawab dengan sedikit terbata, "Be-nar Tuan. Maafkan saya."
"Cepatlah ke kelas. Kau bisa telat nanti. Aku akan pergi dulu. Tenang saja, aku sudah izin sakit pada dosen," bisik Janu."Apa?" teriak Smith nyaris copot jantungnya karena kaget. Kedua bola matanya juga hampir ke luar mendengar ucapan suaminya.Smith semakin tidak paham dengan apa yang dilakukan Janu. Bukankah tadi yang seperti orang kebakaran jenggot karena takut terlambat adalah Janu? Tapi sekarang Janu malah membolos, dengan alasan berbohong pula.Jika sebelumnya Smith menilai bahwa sebagai orang sint*ng Janu terlalu waras, kini penilaiannya berbalik arah dengan garis yang menukik tajam ke bawah. Sebagai orang sint*ing, Janu kelewatan sint*ngnya."Nanti kalau ada yang tanya padamu, siapa yang mengantarmu ke kampus, bilang saja teman atau tetangga satu kost Janu. Oke? Aku pergi dulu. Jangan lupa tersenyum!"Janu pergi meninggalkan kedongkolan tingkat puncak di batin Smith, lengkap dengan tanda tanya besar yang memenuhi kepala Smith.
Janu menelan ludah setelah mengetahui yang sebenarnya terjadi. Ia menghembuskan napas panjang, menyayangkan kecelakaan yang sampai menewaskan Sinta."Janu, Ayah minta maaf. Kau benar, Ayah sudah melakukan kesalahan besar. Kini semua telah terungkap. Sinta sudah menunjukkan siapa dia sebenarnya.""Tidak, Ayah sudah keliru jika meminta maaf padaku. Ayah tidak punya salah padaku," kata Janu memasang senyum lebar. Sama sekali tidak menunjukkan adanya kemarahan apalagi dendam."Tapi Ayah sudah mengusirmu dari rumah.""Tidak Ayah. Sejak awal itu bukan rumahku. Tapi sejak kecil, Smith telah tinggal dan tumbuh besar di sana. Ada banyak kenangan manis di rumah itu. Jadi, akan lebih tepat jika Ayah meminta maaf pada Smith.""Benar, itu semua benar. Ayah tahu kesalahan Ayah pada Smith tidak akan termaafkan.""Tidak Ayah. Smith sudah berjanji untuk memaafkan Ayah."Janu pun ke luar untuk memanggil Smith. Sesaat kemudian Janu kembali dengan mengga
Bruaaakkk!"Mama!" jerit Sisil saat melihat mobil yang ditumpangi Sinta bertabrakan dengan mobil lain.Sontak saja jalanan sekitar menjadi sangat ramai. Orang-orang mulai berkerumun untuk melihat lebih dekat kecelakaan itu.Sementara itu, Smith masih berada dalam dekapan Janu. Peristiwa kecelakaan itu berada tepat di belakang mereka. Suara dua mobil yang bertubrukan itu terdengar begitu keras di telinga mereka. Kerasnya tabrakan yang terjadi bahkan sampai membuat salah satu mobil terbalik.Sisil langsung menghentikan mobilnya begitu saja, tanpa menepi dulu. Ia ke luar dengan berlinang air mata. Berlari mendekat untuk melihat keadaan mamanya."Mama ...!" jerit Sisil lebih lantang melihat mamanya mengeluarkan banyak darah dari kepala dan telinga.Smith dan Janu langsung menoleh. Mereka mengenal dengan baik suara perempuan yang berteriak itu. Smith dan Janu langsung terbelalak karena mengenal mobil yang terlibat kecelakaan lalu lint
Mendadak Smith dan Janu menjadi buronan banyak orang. Anak buah Hendry dan orang-orang Sinta sedang berusaha keras melacak keberadaan pasangan muda itu. Sedangkan Sisil, diam-diam mengikuti mamanya.Baik Hendry maupun Sinta sama-sama sibuk menghubungi nomor ponsel Smith, tapi jelas tidak tersambung karena ponsel Smith ikut terbakar. Mereka lantas menghubungi Janu, tapi tidak bisa juga. Ponsel Janu terjatuh ketika lelaki itu pingsan."Bangs*t! Lihat saja, kalau aku sampai menemukan kalian, aku pastikan kalian mamp*s!" umpat Sinta sambil mengendarai mobilnya. Sesekali ia menagih informasi hasil dari pencarian anak buahnya.***"Apa kau yakin kau tidak apa-apa?" tanya Smith melihat suaminya yang masih tampak pucat."Aku baik-baik saja. Selama kau bersamaku, aku akan selalu baik," jawab Janu sambil memegang tangan istrinya. Ia juga menyunggingkan senyum yang membuat hati Smith leleh hingga tanpa sadar pipinya memerah.Di dalam angkot itu hanya a
Dengan dada hampir meledak, Hendry membuka pintu rumahnya. Tidak cukup sampai di situ, Hendry juga berteriak-teriak memanggil sang istri.Pak Jono yang melihat hal itu, menjadi sangat takut. Ia tahu majikannya sedang sangat murka setelah mendengarkan pengakuannya.Sejujurnya Pak Jono terhitung nekat. Sinta telah melarangnya untuk mengatakan pada siapa pun bahwa majikannya itu telah pergi ke lingkungan kost Smith. Tapi Pak Jono tidak bisa menyembunyikan apa yang ia ketahui. Tuan Hendry harus tahu semuanya, begitulah pikir Pak Jono."Ada apa, Ayah?" kata Sisil yang baru saja membuka kulkas di dapur untuk mengambil air dingin. Ia Langsung berlari menghampiri sang ayah yang terdengar murka menyebut nama mamanya."Di mana mamamu?" bentak Hendry dengan urat leher yang mencuat.Sisil menelan ludah. Ia tidak mengerti mengapa ayahnya sampai membentak dirinya. Sisil merasa tidak melakukan suatu kesalahan apa pun."Mama ... Mama sedang ke luar, Ayah,"
Sudah barang tentu kalau wajah Hendry tidak bisa menyembunyikan kecemasan yang luar biasa besar melihat lingkungan kost tempat Smith dan Janu tinggal telah hangus terbakar. Bahkan hingga kini api masih diusahakan untuk dipadamkan.Tanpa pikir panjang, Hendry langsung ke luar dari dalam mobilnya. Ia pun berlari mendekat, bertanya pada siapa saja yang ia temui terkait keberadaan putri dan menantunya. Tapi tentu saja semua yang ia tanyai menggeleng. Tidak ada satu pun yang mengenal orang bernama Smith dan Janu. Mereka bahkan tidak tahu siapa lelaki berkemeja hitam yang bertanya pada mereka.Benar, meski Hendry Sasongko adalah pengusaha sukses yang sering muncul dalam koran bisnis ataupun berita-berita di internet, bahkan televisi, kenyataannya sosoknya tidak menjadi penting dan berharga bagi orang-orang pinggiran di sana.Bagi mereka hidup adalah perjuangan tiada akhir. Tidak berjuang artinya tidak akan makan, sama dengan menggali lubang sendiri. Hal-hal terk
Janu melepas sendiri selang oksigen yang terpasang. Ia merasa kurang leluasa untuk berbicara. Tentu saja hal itu membuat Smith menanyakan kondisinya. Smith tampak sangat gusar melihat Janu yang masih pucat dan lemah."Tidak apa. Aku baik-baik saja. Melihatmu ada di hadapanku seperti ini membuatku langsung sembuh. Katakan padaku apa kau terluka? Apa ada tubuhmu yang terkena api?" kata Janu yang merasa seperti satu tahun tidak bertemu dengan istrinya."Sebagai orang yang baru sadar, kau terlalu banyak bicara," tukas Smith dengan wajah kesal, tapi hatinya sangat senang dan lega."Maafkan aku. Aku tidak bisa menahan diri. Selalu ingin berbicara saat bersamamu. Sekarang jawablah, apa kau terluka?""Tidak, aku baik-baik saja. Katakan padaku bagaimana dengan napasmu? Apa masih terasa sesak?" tanya Smith dengan jantung yang nyaris melompat ke luar."Tidak," jawab Janu yang kemudian menghela napas panjang untuk memastikan napasnya memang telah normal.
Smith terbatuk-batuk. Tidak dipungkiri kepulan asap membuat dadanya menjadi sangat sesak. Juga penglihatan yang menjadi sangat terbatas. Ia berkedip beberapa kali karena asap itu juga membuat matanya perih.Janu masih mengira bahwa Smith yang alergi debu menjadi sangat tersiksa karena asap yang memenuhi bilik kost mereka. Ia lekas-lekas mengambil dua pakaian dari dalam lemari dan mencelupkannya ke dalam bak air. Dengan sigap Janu menutupkan baju itu ke hidung istrinya.Dari luar, suara teriakan Pak Herman memberi peringatan pada Smith dan Janu yang masih terperangkap api. Pak Herman menjadi sangat was-was melihat dua sandal yang ada di depan pintu kost nomor empat. Asal tahu saja, bagian depan bilik, termasuk atap dan pintu telah dipenuhi api. Tidak ada jalan bagi Smith dan Janu untuk ke luar."Smith jangan biarkan kain ini lepas dari mulutmu. Aku akan mengambil selimut," kata Janu setengah berteriak. Ia bersicepat menarik selimut putih yang ada di atas ranjang.
Pagi-pagi sekali Sinta telah rapi. Ia mengendap diam-diam ke luar dari kamar, tidak ingin diketahui oleh Hendry. Sinta akan melakukan pekerjaan besar hari ini. Sebuah pekerjaan yang akan sangat menyenangkan jika sampai berhasil dilakukan.Dengan cepat Sinta berjalan menuju lantai dasar. Ia bahkan membuka pintu rumah dengan hati-hati agar tidak ada orang rumah yang mendengar.Sinta tersenyum lebar saat melihat Pak Jono sedang mengelap mobil. Ia pun bergegas menghampiri Pak Jono."Pak, cepat antarkan aku!" perintah Sinta tanpa basa-basi. Semakin cepat ia pergi, akan semakin baik."Ke mana Nyonya?" tanya Pak Jono keheranan. Biasanya majikannya itu lebih memilih untuk ke luar dengan mengemudikan mobil sendiri. Selain itu, hari masih terlalu pagi untuk Nyonya Sinta bangun.Satu-satunya alasan Sinta memilih untuk ke luar diantar Pak Jono adalah lantaran ia tidak tahu pasti lokasi yang dituju sebab belum pernah ke sana. Meski Sinta mengantungi alamatnya,
Pak Jono menghembuskan napas panjang, bingung dengan tujuan dari sang majikan yang memintanya mengantar ke satu tempat dan berpindah ke tempat lain, tanpa tahu apa yang ingin dilakukan.Pak Jono mengamati ekspresi wajah sang majikan yang tampak tetap berkerut dahinya. Ia juga bisa melihat gurat kecemasan yang membuat sang majikan menatap ke arah jendela mobil, memandang entah."Tuan ... " panggil Pak Jono akhirnya setelah tidak mampu lagi menahan rasa ingin tahunya."Ada apa Pak Jono?" sahut Hendry masih dengan kening mengernyit."Apa ... tadi Tuan ingin menemui Bibi Ipah?""Ya," jawab Hendry cepat dan singkat. Seolah sebagai tanda tidak boleh ada dialog lagi sesudahnya.Entah mengapa jawaban Hendry itu membuat Pak Jono menelan ludah. Sejujurnya Pak Jono ingin bertanya lebih lanjut menyoal tujuan majikannya itu menemui Bibi Ipah padahal hari sudah larut dan semestinya majikannya itu tahu kalau panti tentu sudah tutup.Pak Jono j