"Me--menikah?"
Kalimat itu jatuh seperti petir yang menyambar di tengah keheningan. Amora membeku di tempatnya, pikirannya berputar tanpa kendali. "Melahirkan seorang anak?" bisiknya, seolah berharap ia salah dengar. "Kamu... kamu tidak serius, kan?" tanyanya dengan suara gemetar, mencoba mencari tanda-tanda bahwa ini hanyalah gurauan yang kejam. "Tak ada yang bercanda dari ucapanku Amora. Dan Setelah anak itu lahir," lanjut Dirga dengan nada rendah, "pernikahan kita akan berakhir. Aku hanya membutuhkan seorang keturunan, tidak lebih." Kata-kata itu menghantam Amora seperti badai. Napasnya tercekat, dan ia hanya bisa menatap Dirga dengan ekspresi terkejut sekaligus terluka. Pria itu tidak sedikit pun memalingkan wajahnya atau menunjukkan keraguan. Ia seperti batu karang yang tidak bisa digoyahkan oleh badai emosi apa pun. Amora masih terpaku, pikirannya berkecamuk dengan berbagai emosi yang bercampur aduk. Namun, Dirga tidak memberinya waktu lama untuk mencerna semuanya. "Jika kau setuju," ucap Dirga, nada suaranya tetap dingin dan tegas, "akan ada beberapa perjanjian yang harus kau tandatangani. Perjanjian ini bersifat mengikat dan tidak bisa diubah." Amora menatapnya dengan mata berkaca-kaca, mencoba menemukan secercah empati dalam ekspresinya yang dingin. "Perjanjian?" tanyanya dengan suara serak. "Ya," jawab Dirga tanpa ragu. "Semua sudah kuatur. Kau tidak perlu khawatir soal detailnya. Yang perlu kau lakukan hanyalah memastikan kau memahami setiap poin sebelum menandatanganinya." Amora menggigit bibirnya, dadanya terasa sesak. "Dan... apa saja isi perjanjian itu?" Dirga menyandarkan tubuhnya kembali ke sofa, memandang Amora seperti seorang pengusaha yang sedang memberikan penawaran bisnis. "Kau, dengarkan ini baik-baik. Pertama, pernikahan ini murni kontrak. Tidak ada campur tangan perasaan atau keterikatan. Setelah anak itu lahir, kita akan bercerai, dan kau tidak akan memiliki hak atas anak itu." Amora terhenyak, tubuhnya gemetar. "Tidak memiliki hak atas anakku sendiri?" desisnya, hampir tak percaya. Dirga mengangguk, tetap tenang. "Anak itu adalah penerus keluargaku. Hak asuhnya sepenuhnya milikku. Namun, sebagai kompensasi, aku akan memastikan kau mendapatkan sejumlah uang yang cukup untuk menghidupi dirimu dan keluargamu. Dengan syarat, kau tidak mencampuri hidupku atau anak itu setelah perjanjian ini selesai." Amora hanya bisa menelan ludah. Setiap kata yang keluar dari mulut Dirga terasa seperti pisau yang menusuk hatinya, membuatnya semakin sulit bernapas. Dirga menatap Amora dengan dingin, melanjutkan penjelasannya. "Selain itu, ada beberapa hal lagi yang harus kau patuhi selama kontrak pernikahan ini berlangsung." Amora tetap diam, namun sorot matanya mengisyaratkan ketidakpercayaan dan kegelisahan. Ia pikir hanya poin di atas yang akan Dirga berikan padanya, Namun ternyata masih banyak lagi. Dirga menyilangkan kedua tangannya di dada, "kau tidak boleh mencampuri urusan pribadiku, baik itu dalam hal pekerjaan maupun kehidupan sosialku." Amora menggigit bibirnya, tangannya meremas ujung tas yang ada di pangkuannya. "Jadi, aku hanya sekadar—" "Ya," potong Dirga tajam, matanya menatap lurus ke arahnya. "Hanya seorang istri di atas kertas." Ia melanjutkan tanpa jeda. "Selanjutnya, kau tidak boleh membuat aturan atau memaksakan pendapatmu pada hidupku, begitu juga sebaliknya. Kita menjalani hidup masing-masing, dengan tujuan satu-satunya adalah menunggu anak itu lahir." Kata-kata Dirga begitu tajam, membuat Amora merasa seolah berdiri di hadapan tembok es yang mustahil digoyahkan. Dirga mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya semakin menusuk. "Dan segala bentuk hubungan fisik atau komunikasi yang tidak terkait dengan kontrak ini akan dihindari sebisa mungkin. Tidak ada tempat untuk hal-hal yang tidak perlu." Amora memalingkan wajahnya, mencoba menguasai emosinya. Jelas bagi Dirga bahwa wanita itu sedang bergulat dengan luka yang tidak ia tunjukkan. Dirga kembali menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Kau harus paham, Amora. Ini murni perjanjian bisnis. Jika kau setuju, maka semua ini akan berjalan lancar. Jika tidak..." Ia mengangkat bahunya sedikit. "Kau tahu di mana pintunya." ***** Amora sudah kembali berada di rumah sakit, tepatnya di ruang ICU tempat ayahnya di rawat. Hatinya kembali hancur tatkala ia mengingat takdir hidupnya yang berantakan seperti ini. Amora berdiri di samping tempat tidur ayahnya, tangannya menggenggam jemari ayahnya yang dingin. Ia menatap wajah yang terpejam itu dengan perasaan sesak yang sulit diungkapkan. "Hai ayah, apa kabar?..." Amora berbicara perlahan, suaranya serak. "Ayah, Kapan kau akan membuka matamu? aku rindu." Amora mengusap air matanya yang terjatuh. "Ayah, Ayah kenal Dirga kan? Ayah masih ingat dia nggak? Dulu, saat masih SMA, Amora sering cerita tentang Dirga sama ayah kan? Pasti sekarang ayah nggak tahu kalau Dirga sekarang sudah sukses. Dia jadi bos Amora sekarang ayah. Tapi yah," Suara Amora tercekat. Dadanya terasa sakit saat ia ingin melanjutkan kalimatnya. "Tapi sekarang, semuanya berbeda Yah. Keputusanku ini benarkan Yah? Aku bener kan?." Amora tertunduk sebentar lalu kembali menatap ayahnya. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. "Dia bilang padaku, Jika dia akan melunasi semua biaya rumah sakit Ayah. Tapi dia meminta sebuah syarat padaku. Dia,..... Maafkan aku ayah. Maafkan aku." Amora berdiri sedikit dari duduknya lalu menunduk untuk mencium kening ayahnya itu. "Aku tidak tahu apakah Ayah bisa mengerti kenapa aku melakukan ini," lanjutnya dengan suara bergetar. "Tapi ini satu-satunya cara untuk membuat Ayah tetap hidup. Aku... aku akan melakukannya. Untuk Ayah." Ia menggenggam tangan ayahnya lebih erat, mencium punggung tangan itu dengan lembut. "Aku berharap ini semua benar, bahwa aku membuat keputusan yang tepat. Tapi jika Ayah bisa bangun dan melihat aku, aku hanya ingin Ayah tahu, aku melakukannya untuk kita berdua." ***** Amora menatap pintu apartemen Dirga dengan tatapan kosong. Takdirnya akan ditentukan setelah ia masuk ke ruangan yang ada di balik pintu ini. Perjanjian itu akan berlaku setelah ia menginjakkan kaki di dalam sana. Ia kembali menghela nafas berat. Entah yang keberapa kalinya ia melakukan itu, yang jelas ia merasakan sesak di dadanya yang tak kunjung selesai. Tapi inilah konsekuensi yang harus dia hadapi. Ia tak ingin kehilangan ayahnya. Jadi apapun akan ia hadapi setelah langkahnya masuk ke dalam. Amora mengangkat jemarinya sedikit bergetar. Ia menekan bel apartemen Dirga dan tak lama pintu terbuka memunculkan Dirga dengan raut wajah yang sama, Datar namun menawan. "Maaf aku sedikit terlambat dari Yang Kau minta. Aku harus berpamitan terlebih dahulu dengan ayahku." Ucapnya dengan suara sedikit bergetar. "Masuklah!" Hanya satu kata itu yang Dirga ucapan sebelum pria itu kembali masuk ke dalam. Amora melangkahkan kakinya masuk ke apartemen Dirga, dan saat pintu tertutup di belakangnya, ia tahu hidupnya tak akan pernah sama lagi. Semua yang pernah ia miliki, impian, kebahagiaan, bahkan kebebasannya, terasa lenyap begitu saja. Mulai detik itu, ia harus menjalani peran sebagai istri kontrak seorang pria yang hanya melihatnya sebagai alat untuk memenuhi ambisinya. Dengan hati yang telah mati rasa, Amora bertekad mengubur segala perasaan dan menjalani hari-harinya sebagai sosok yang tak lagi memiliki dirinya sendiri. Karena mulai saat ini, tubuhnya dan hidupnya akan ada dalam genggaman Dirga. *****Amora berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen baru yang kini disebut sebagai "rumah." Ia baru saja 'sah' menjadi istri seorang Dirgantara. bahkan Gaun putih sederhana yang ia kenakan tadi masih membalut tubuhnya dengan sangat indah. Jika pernikahan ini karena cinta, Sudah bisa dipastikan dirinya akan menjadi pengantin wanita paling bahagia di dunia ini. tapi nyatanya, Ia harus menelan pil pahit karena semuanya hanyalah sebuah perjanjian. Pernikahan yang sangat Amora impikan, hanyalah sebuah perjanjian. Amora semakin dibuat lirih saat ia menatap jari manisnya yang tak melingkar apapun. Seharusnya ada cincin di sini. tapi justru yang ia lihat hanyalah jemarinya saja tanpa cincin pengikat."Hahaha, Apa yang kau harapkan Amora! semuanya hanya perjanjian. Hamil lah dan lahirkan anaknya setelah itu kau harus siap dibuang seperti sampah." Ujarnya pada dirinya sendiri sembari menatap ke depan cermin."Oh, kau masih di depan cermin? keluarlah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Jam menunjukkan pukul tiga subuh. Dirga masih terjaga setelah pergulatan panjangnya dengan Amora yang baru selesai satu jam yang lalu. Ia tak menyangka keberanian Amora membuat mereka berakhir di atas ranjang yang sama. Entah berapa kali ia melepaskan calon anaknya di Rahim Amora. Dan ia berharap jika itu bisa cepat menghasilkan. Dirga memejamkan matanya. Ia bersandar di sandaran tempat tidur. Hanya sebentar, ia kembali membuka matanya dan menatap Amora yang kini sudah terlelap dengan tubuh telanjang yang hanya ditutupi selimut tebal. Tatapan Dirga terlihat kosong. Ia kembali teringat satu bulan yang lalu, kakeknya memberikan ancaman padanya.Satu bulan yang lalu, "Dirga, jangan bermimpi menjadi penerus utama keluarga ini jika kau belum memiliki keturunan. Warisan ini bukan untuk pria yang tak bisa melanjutkan garis keluarga." Dirga mengepalkan tangannya, merasa terdesak oleh tuntutan keluarga yang tak pernah memberinya ruang untuk memilih. Itulah alasan ia membuat keputusan dingin
Dirga duduk di ruang kerja di kantornya, mencoba fokus pada dokumen yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya terus kembali pada wajah Amora yang basah oleh air mata yang ia lihat tadi malam saat ia hendak kembali ke apartemen lama dan hendak melihat keadaan Amora untuk sebentar.Ia tak pernah peduli sebelumnya-air mata orang lain adalah urusan mereka, bukan urusannya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang aneh mengusik hatinya, seperti duri kecil yang menyakitkan meski tak terlihat. Dirga menepis pikirannya, menganggap itu hanya rasa bersalah yang seharusnya tak perlu ia rasakan. "Dia tahu konsekuensinya," gumamnya pelan, tapi suara itu terdengar lebih seperti pembelaan daripada keyakinan.Namun semakin lama Dirga mencoba fokus, semua semakin membuatnya sakit kepala. Dirga memijat pelipisnya, mencoba menghalau rasa lelah yang tak biasa. Pikirannya terus mengembara, kembali ke apartemen tempat Amora berada. Sudah satu bulan mereka menikah, dan meskipun hubungan mereka didasark
"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi.Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka."Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin.Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas."Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?"A
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora. Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh. Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya. Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur. Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. Wa
Seperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kedua tangannya. Wajahnya kusut, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya terus dihantui oleh bayangan Amora. Sudah satu minggu sejak Amora menghilang, dan selama itu pula ia merasa hidupnya benar-benar berantakan.Dirga tak menyangka hidupnya bisa separah ini sekarang tanpa Amora disisinya. Ia pikir perjanjian itu akan bisa ia atasi, Namun ternyata kali ini ia mengakui jika dirinya sudah kalah telak.Semua usaha telah ia lakukan—melibatkan Ryan untuk melacak sinyal, mencari di tempat-tempat yang mungkin menjadi lokasi penculikan, hingga menyewa detektif swasta—namun hasilnya nihil.Ia memukul meja kerjanya keras-keras hingga beberapa dokumen di atasnya berantakan. "Kenapa begitu sulit? Di mana mereka?!" gumamnya dengan suara bergetar. Dirga selalu menjadi pria yang tenang dan penuh kendali, tetapi kehilangan Amora membuat dirinya berada di ambang kehancuran. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sebelumnya."Kamu
Amora melangkah memasuki kamar yang telah disiapkan untuknya di villa Tuan Abraham. Langit-langitnya tinggi dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Tirai-tirai putih melambai lembut diterpa angin, memberikan nuansa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, yang paling mencuri perhatiannya adalah box bayi berwarna putih dengan hiasan renda halus di sudut ruangan. Matanya membelalak, dan dadanya terasa sesak oleh campuran emosi yang tak terjelaskan."Nyaman, bukan?" suara seorang wanita menyapa dari belakang. Amora menoleh dan mendapati seorang asisten rumah tangga berdiri di sana dengan senyum ramah. "Kami ingin memastikan Anda merasa seperti di rumah sendiri, Nyonya Amora."Amora masih canggung mendengar dirinya disebut "Nyonya." Ia hanya mengangguk pelan dan tersenyum. "Terima kasih... semua ini terasa terlalu mewah untuk saya."Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Tuan Abraham berpesan agar Anda mendapatkan yang terbaik. Jika ada yang Anda butuhkan, Anda hanya perlu
Ruangan kantor Dirga terasa mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Dirga mondar-mandir dengan raut wajah penuh kecemasan, ponselnya terus-menerus ia genggam erat, berharap ada kabar masuk tentang Amora. Namun, yang ada hanyalah keheningan yang membuat pikirannya semakin kacau. Bayangan Amora yang berteriak sambil diseret ke dalam mobil hitam di depan matanya terus menghantui. Ia merasa tak berdaya, dan rasa bersalah perlahan menggerogoti hatinya.Dengan napas tersengal, Dirga menghubungi Ryan, sahabatnya semasa kuliah yang kini bekerja sebagai ahli IT di perusahaan besar. Telepon itu diangkat hanya dalam hitungan detik.“Ryan, aku butuh bantuanmu sekarang,” suara Dirga terdengar tergesa-gesa, hampir seperti perintah.“Ada apa? Suaramu terdengar kacau,” tanya Ryan dengan nada serius.“Amora… dia diculik. Tepat di depan mataku. Aku tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Aku butuh keahlianmu, Ryan. Lacak mobil itu, apapun caranya!” Dirga memukul meja kerjanya dengan frustras
"Jadi maksudmu, dia menjadikan pernikahannya sebagai pernikahan di atas kertas dan akan selesai saat waktunya tiba?" Tuan Abraham duduk di sofa mahal di villanya sembari menatap lurus ke depan, menopangkan kedua tangannya pada tongkat kesayangannya."Ia Tuan. Yang tahu hal ini hanya Tuan Andreas dan istrinya, serta mantan kekasih Dirga yang tahu dari maminya Dirga."Abraham mengulum senyum, namun bagi yang melihat senyum Abraham, tidak akan pernah berpikir jika senyum itu menandakan pria itu puas atau bahagia. Ia masih ingat saat ia memberikan syarat pada Andreas untuk Dirga bisa menjadi penerus utama Abraham Company. Tapi ia tak menyangka jika Dirga bisa melakukan hal semenjijikan ini hanya untuk sebuah jabatan. "Berarti kalau dihitung-hitung sejak Dirga menikah, ini sudah 8 bulan.""Benar tuan.""Baiklah, terima kasih atas informasi yang kau berikan Antonio. Kau boleh pergi."Sepeninggalan Antonio, Abraham langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Saya punya satu
Tiga hari sudah Amora berada di rumah sakit dan hari ini ia akan bersiap-siap pulang ke apartemen. Semenjak ia dirawat di rumah sakit, ia tak tahu lagi Bagaimana kabar di luaran sana. Pasalnya Dirga benar-benar menjaga semuanya dengan baik. Namun satu hal yang ia tahu, di apartemen saat ini ada bodyguard perempuan yang disewa oleh Dirga untuk menjaga keadaan di rumah. Bodyguard cantik itu bernama Kiara. Dan terakhir yang ia tahu Kiara 5 tahun di bawahnya. Mungkin ini tujuan Dirga mencari Kiara, Karena untuk bisa berteman dengan dirinya. "Kita pulang hari ini nona." Ucap Kiara dengan wajah kakunya. Amora menatap Kiara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dan tatapan itu langsung membuat Kiara gugup."Bicaralah dengan sedikit lebih santai denganku Kiara. Kamu ngomong begini aku yang sesak nafas." Gerutu Amora. Bi Susi yang mendengar itu langsung mengulum senyumnya. Ia lalu menatap Kiara yang nampak juga bingung. "Lakukan sesuai perintah dia. Dia cukup usil kalau kau mau melih
Kemarahan Dirga saat keluar dari rumah utama, membuat Andreas berinisiatif untuk mengunjungi Amora di rumah sakit. Ia menatap gusar jalan Raya. Ada rasa takut di hatinya jika papanya yang tak lain adalah kakek kandung dari Dirga mengetahui kabar ini. "Kamu jangan beritahu siapa-siapa Bobby? Yang tahu kegaduhan ini hanya keluarga inti saja dan juga kamu." Ucap Andreas pada sopir pribadinya. ''Baik Pak. Tapi bagaimana kalau cerita ini sampai ke telinga Tuan Abraham?""Entahlah. Saya sendiri juga bingung harus menjelaskannya seperti apa."Andreas menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Ia masih ingat Bagaimana papanya dulu mengatakan pada Andreas jika Dirga harus menikah. Karena kakeknya Dirga itu tidak ingin memberikan warisannya untuk Dirga jika cucunya itu masih lajang. Banyak hal yang ia rahasiakan saat ini dari papanya Itu. Pertama masalah yang terjadi hari ini, kedua Dirga yang lebih memilih menjadikan istrinya sebagai istri kontrak, yang mana jika papanya tahu, pasti akan mur
Sementara itu di rumah sakit, Amora masih belum sanggup untuk bicara. Sejak ia tersadar sampai saat ini, hanya tiga kata yang ia ucapkan pada Dirga tadi yang keluar dari mulutnya. Bik Susi bahkan merasa sangat kasihan pada Amora."Non, non Amora mau sesuatu?" Tanya bi Susi dan lagi-lagi jawaban Amora hanya gelengan saja. Wanita paruh baya itu seketika menghela nafas panjang. Ia mendekatkan kursinya pada Amora, "Non, non Amora tahu tidak, Bagaimana gilanya Tuan Dirga tadi Saat ia sampai di rumah sakit." Ucap Bik Susi sedikit memancing, namun Amora justru langsung melirik ke arah bi Susi. Bi Susi sedikit bersorak dalam hatinya karena sudah berhasil memancing istri dari majikannya ini. Dan tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membangkitkan kembali semangat Amora. "Tuan Dirga sedang rapat saat bibi menelponnya dan mengatakan jika non masuk rumah sakit. Dan saat Tuan Dirga sampai di rumah sakit, Dia benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Bahkan rambutnya juga
Dirga berlari kencang menerobos lorong rumah sakit yang saat ini sedang ramai. Ia bahkan tak mempedulikan orang-orang yang ia tabrak. Pikirannya benar-benar kacau, suasana hatinya buruk dan emosinya naik sampai ubun-ubun.Saat ia sedang rapat, ia mendapat kabar dari asisten rumah tangganya jika Amora pingsan karena di dorong oleh perempuan bernama Silva yang di bawa oleh maminya."Shit! Kau akan dapat akibatnya Silva!!" Geramnya. Ia langsung berlari menuju ruang ICU. Dan dari kejauhan ia bisa melihat asisten rumah tangganya yang duduk di depan ruangan. Wajah wanita paruh baya itu terlihat nampak cemas. "Bik, Bagaimana Amora?" Tanyanya dengan suasana yang juga terlihat sangat berantakan. "Non Amora masih di dalam tuan. Tapi sudah sejak tadi dokter belum keluar juga. Bagaimana ini tuan. Saya sudah mencoba menolong tapi, tapi mami Tuan sama, perempuan itu," bi Susi tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya masih mengingat dengan jelas apa yang tadi Silva lakukan pada Amora. Pintu kamar s
Amora menatap dasi yang Dirga berikan padanya. "Pakaikan?" Ulangnya. Dirga mengangguk. "Kamu bukannya bisa pakai sendiri?""Tapi ini tugas kamu Amora."Amora terdiam seketika. "Tugas?""Iya. Sudah sepatutnya bukan seorang istri memakaikan dasi suaminya."Deg!Jantung Amora berdebar seketika. Darahnya berdesir, tubuhnya meremang. Ia yakin saat ini pipinya sudah merona malu. Secara perlahan Amora mengambil dasi yang ada di tangan Dirga. Tapi satu hal yang membuat Amora kesusahan, yaitu tinggi Dirga yang seketika membuatnya lelah.Dirga yang saat jika Amora sedang kesulitan, langsung melangkah menuju tepian ranjang dan duduk di sana. "Sini!" Perintahnya.Amora menurut dan masih dengan debaran yang sama. Ia melangkah mendekati Dirga dan berdiri tepat di hadapan pria tersebut. Ia sedikit menunduk karena kini posisinya sedikit lebih tinggi dari Dirga.Namun posisi ini yang membuatnya semakin gila. Pasalnya wajahnya menjadi semakin dekat dengan wajah Dirga. Apalagi pria itu yang kini menata