"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.
Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi. Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. "Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin. Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas. "Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?" Amora mengangkat wajahnya perlahan, mata merah dan lelah bertemu tatapan Dirga yang penuh pertanyaan. "Aku... aku merasa mual...Rasanya sakit Dirga..wuuekk wuekkk..." Dirga menghela napas, menahan sesuatu di dadanya yang entah kenapa terasa berat melihat kondisi Amora seperti ini. “Kau harus diperiksa. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.” Amora memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku bisa sendiri." “Jangan membantah, Amora,” tegas Dirga, suaranya mengandung perintah, tapi tangannya tetap lembut membantu Amora berdiri. "Kita pergi sekarang." Amora tak lagi melawan, terlalu lelah untuk memprotes, sementara Dirga dengan cekatan menopangnya keluar dari kamar mandi, diam-diam menekan kekhawatirannya yang kian terasa nyata. __ Dirga dan Amora duduk bersebelahan di ruangan dokter Kiki yang sengaja Dirga siapkan untuk hal ini. Suasana hening di antara mereka terasa menekan. Dirga melipat tangannya di dada, tatapan matanya lurus ke depan seolah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, sementara Amora memandang tangannya sendiri, jari-jarinya saling menggenggam erat. Pintu ruang konsultasi akhirnya terbuka, dan dokter Kiki yang menangani Amora masuk ke dalam dengan senyum profesional. Ditangan Dokter Kiki ada selembar kertas yang isinya sangat ditunggu oleh Dirga dan Amora. Dokter Kiki duduk di kursinya. Ia memandang Amora dan Dirga yang ada di hadapannya, “Selamat, bapak Dirga,” ucapnya, membuat Amora langsung mendongak. “Pemeriksaannya menunjukkan hasil positif. Istri Anda sedang hamil, usia kandungannya sekitar enam minggu.” Kata-kata itu menggema di telinga Amora, membuatnya terdiam. Sementara itu, Dirga menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah, antara terkejut dan… lega. “Hamil?” gumam Amora pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya menatap dokter itu dengan tatapan kosong. Pantas saja jika dirinya belum datang bulan. “Ya, Nyonya. Kondisi Anda dan janin cukup baik, tetapi mengingat tadi Anda sempat mengeluh mual dan lemas, saya sarankan lebih banyak beristirahat. Hindari stres, dan jaga asupan makanan, nanti akan saya resepkan vitamin dan asam folat untuk kandungan anda.” jelas dokter itu dengan nada ramah. Namun ada satu hal yang membuat Dirga bingung. Ia dan Amora baru menikah satu bulan, kenapa kandungan Amora sudah berjalan 6 Minggu?. "Saya dan 'istri saya' baru menikah satu bulan yang lalu, kenapa kandungannya bisa 6 Minggu?" Tanya Dirga namun membuat Dokter Kiki tersenyum. "Kenapa pak? Apa bapak cemburu kalau istri bapak selingkuh?" Dirga menatap Amora. Tatapan itu dingin dan tak terbantahkan. "Tidak pak Dirga. Masa hitung usia kandungan itu dimulai sejak hari pertama selesai datang bulan. Jadi kemungkinan besar, buk Amora sudah hamil sejak dua Minggu yang lalu, namun terasanya baru hari ini." Dirga mengangguk singkat. “Baik, kami mengerti. Terima kasih, Dokter,” jawabnya, nada suaranya datar, namun sulit menyembunyikan rasa puas yang tiba-tiba menyeruak. Saat mereka melangkah keluar dari ruang konsultasi, Amora berjalan pelan di belakang Dirga, perasaannya bercampur aduk. Dirga menoleh sekilas, berhenti sejenak untuk menunggu Amora yang tampak limbung. “Ayo pulang,” ujar Dirga singkat, nada suaranya tak hangat, tapi ada sedikit perhatian tersembunyi dalam tatapannya. Amora hanya mengangguk lemah, belum sepenuhnya memproses kenyataan baru ini—kenyataan bahwa di dalam tubuhnya kini tumbuh sebuah kehidupan yang tak pernah ia rencanakan, namun menjadi tujuan dari semua kontrak ini. ___ Amora duduk diam di kursi penumpang, tangannya memegang erat seat belt yang melingkar di perutnya. Pandangannya lurus ke jalanan, sementara Dirga mengemudi dengan tenang. Suasana hening itu begitu menyesakkan, hingga akhirnya Dirga memulai pembicaraan. "Aku harap kau mulai paham sekarang, Amora. Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga kandungan itu baik-baik." Amora melirik Dirga sekilas, namun tak mengatakan apa pun. "Dokter bilang kondisimu cukup baik, tapi aku tidak ingin ada risiko sekecil apa pun. Demi anak ini, kau harus menjaga dirimu. Jangan keras kepala." Amora menunduk, menggigit bibirnya sendiri. Ia ingin membalas, tetapi suara Dirga terdengar terlalu tegas untuk dibantah. "Aku sudah tahu tanggung jawabku Dirga. Kau tak perlu mengulanginya lagi dan lagi." Dirga meliriknya sekilas, tatapannya datar. "Bagus kalau kau mengerti. Mulai sekarang, apa pun yang kau lakukan, pikirkan dampaknya untuk anak ini. Aku tak peduli apa yang kau rasakan, yang terpenting adalah dia. Dia keturunan yang akan menjadi bagian dari hidupku nantinya." Amora menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. "Bagaimana dengan aku, Dirga? Apakah aku hanya alat bagimu?" Dirga menghela napas berat. "Kau tahu perjanjian kita, Amora. Kau setuju dengan semua ini. Anak ini adalah prioritas utamaku. Kalau itu berarti kau harus merasa sedikit repot dengan ini, maka terimalah. Toh aku sudah memberimu fasilitas terbaik untuk pengobatan ayahmu." Amora meremas lebih kuat tali seat belt tersebut, merasa hatinya seperti tertusuk. "Aku sudah tahu jika ini demi anak ini. Aku juga ingin dia tumbuh dengan sangat baik agar ia bisa lahir dengan selamat. Setelah itu aku akan pergi." Dirga tetap memandang jalan dengan ekspresi keras. "Memang itu yang seharusnya kau lakukan Amora." Amora terdiam, tak ada gunanya memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas sejak awal. Namun, di dalam dirinya, luka itu semakin dalam, seperti lubang yang terus membesar tanpa ada yang bisa menghentikannya. Amora memalingkan wajahnya ke luar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Udara dingin dari pendingin mobil seolah membekukan hatinya. Dirga masih fokus mengemudi, tak sedikit pun menoleh ke arah Amora. Dirga kembali memecah keheningan, suaranya lebih pelan namun tetap dingin. "Aku akan meminta Bik Susi untuk memperhatikan kebutuhanmu. Jangan coba-coba membebani dirimu dengan pekerjaan atau hal-hal yang tak perlu. Amora mendengus kecil, setengah sarkastik. "Lagi-lagi demi anakmu, kan?" Amora merasakan ada sesuatu yang berat di dadanya, perasaan tak dihargai yang terus-menerus menghantui. Namun ia tahu, membalas Dirga hanya akan menjadi debat tanpa akhir. Ia memilih untuk tetap diam, membiarkan perasaan itu terkubur dalam. Saat mobil akhirnya memasuki kompleks apartemen, Amora menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sementara Dirga memarkir mobil tanpa banyak bicara, Amora berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin aku hanya harus belajar menerima. Semua ini bukan tentang aku... tapi tentang anaknya." "Amora, aku ingin memastikan kau akan mematuhi semua perjanjian kita." Suaranya tenang namun penuh tekanan saat mereka keluar dari mobil. Amora berhenti melangkah di depan lift, menatap pantulan dirinya di pintu logam. "Aku sudah tahu itu, Dirga. Kau tak perlu terus mengingatkanku." "Bagus kalau kau mengerti." Ia menekan tombol lift, berdiri beberapa langkah di belakang Amora. "Mulai sekarang, kau tidak akan kekurangan apa pun. Semua kebutuhanmu akan terpenuhi." Amora melirik sekilas, merasa semua kata-kata Dirga dingin dan tanpa emosi. "Demi anakmu, kan? Aku tak perlu ragukan itu. Mungkin jika aku mati setelah melahirkan anakmu ini, kau tak akan peduli padaku.." Dirga tak menjawab. Bukan karena itu tak bisa, namun karena kalimatnya tercekat di tenggorokannya. Lift berbunyi dan pintu terbuka. Mereka masuk tanpa melanjutkan pembicaraan. Amora berdiri di sudut, mencoba menahan perasaan getir yang terus menggerogoti hatinya. Ketika mereka sampai di apartemen, Dirga membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu. Ia berhenti di ruang tamu, menatap Amora dengan sorot mata yang sulit diartikan. *****Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora. Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh. Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya. Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur. Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. Wa
Seperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga melangkah menuju dapur. Ia menatap dari tempatnya berdiri Amora yang sedang menyantap makanan yang tadi Bik Susi buatkan untuk wanita itu.Dirga mengambil sebotol minuman dingin dan membawanya ke ruang TV dan memilih duduk di samping Amora. Ia bisa melihat Amora terkejut dari sudut matanya. Namun Dirga mencoba bersikap senatural mungkin."Apa yang kamu makan?" Tanyanya."O? Ini? Spaghetti buatan bik Susi. Kamu mau?"Dirga menggeleng, "Habiskan saja itu.""Baiklah."Kecanggungan kembali terjadi. Kali ini tak hanya Amora saja yang merasakannya, Dirga pun juga ikut mati kata. Ia mengumpat dalam hatinya mencaci maki keadaan yang seperti ini."Ayahmu....""Dirga Ayahku,"Keduanya terdiam setelah sama-sama bicara dengan topik yang sama."Kenapa ayahmu?" Tanya Dirga akhirnya.Amora menatap Dirga, "Aku rindu ayahku. Apa aku boleh ke rumah sakit?" Ucapnya bertanya, namun tak ada respon dari Dirga, "Kalau tak boleh juga tak,""Habiskan makananmu, setelah itu bersiap. Kau pergi denganku."
Amora!!" Panggil Dirga lagi namun kali ini dengan nada suara yang sedikit ketus.Amora yang mulai tersadar dengan situasi ini, langsung berpamitan pada Rega dan juga Silva. Tentu saja dengan raut wajah bingung dari keduanya.Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Sudah beberapa kali Amora melirik ke arah Dirga namun raut wajah pria itu tetap tajam.Amora tak tahu harus memulai seperti apa. Sebenarnya ia juga ada banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Dan salah satunya adalah Silva. Siapa Silva? Dan kenapa Dirga menjawab dengan jawaban ketus seperti tadi. Dan jika iya dengar dari jawaban Dirga, sepertinya Silva adalah mantan kekasih pria tersebut.Tak jauh-jauh dari pikiran Amora, Dirga juga memikirkan hal yang sama, namun orang yang berbeda. Dalam benar Dirga saat ini adalah perihal Rega dan Amora yang sudah bertukar nomor ponsel."Ga..." Panggilan Amora memecah kesunyian.Pria itu melirik sekilas lalu kembali menatap lurus, "hm?" Gumamnya."Kenapa mobilnya nggak jalan? Apa masih ada y
"Nggak. Nggak ada ya salah. Nggak ada yang salah dengan kamu. Kamu, selalu benar." Amora mendengus. Hatinya benar-benar kesal. Tak mau berlama-lama berhadapan dengan Dirga, Amora pun memutuskan untuk melangkah ke kamar mandi. namun Baru beberapa langkah ia meninggalkan Dirga, tubuhnya kembali ditarik oleh Dirga dan detik berikutnya ia merasakan bibir Dirga bermain di atas bibirnya.Amora membola kaget. Ia mencoba menarik kembali kesadarannya dan saat ia dapatkan, Amora langsung memukul dada bidang Dirga dengan kuat berharap pria itu mau melepaskan ciuman tersebut. Namun bukan Dirga namanya bisa kalah begitu saja. Dirga justru menarik Amora lebih dalam dengan merangkul pinggang istrinya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menahan tengkuk Amora. Pemberontakan dan perlawanan Amora berikan, namun tetap tak bisa. sampai entah kenapa Amora tiba-tiba melunak dan justru mulai menikmati setiap lumatan yang Dirga berikan pada bibirnya. Tangan Amora yang tadi memberontak kini
Amora terbangun lebih dulu. Ia membuka matanya secara perlahan. Masih dengan posisi yang sama yaitu dalam pelukan Dirga dan tanpa busana.Dirga masih memeluk tubuhnya erat. Dan jujur, Amora cukup terkejut dengan posisi mereka saat ini. Amora ingat, pertengkaran mereka tadi membuat keduanya berakhir di ranjang yang panas. "Dirga," bisiknya membangunkan pria tersebut. Amora melirik sekilas ke arah jendela kamar dan ternyata sudah gelap. "Dirga." Ulangnya dan sedikit respon dari Dirga membuat Amora tersenyum gemas. "Dirga bangun. Sudah malam." Dirga meregangkan tubuhnya lalu ikut melirik ke arah jendela. Ia mengarahkan pandangannya pada Amora yang sudah duduk. "Aku mandi dulu. Bik Susi pasti sudah menyiapkan makanan sejak tadi." Ucap Amora lalu mencoba meraih pakaiannya, namun tak kunjung bisa diraihnya. Dirga yang menatap Amora, lebih tepatnya pada bekas hasil kerjanya tadi. Ia tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis. Dirg
Dirga duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kedua tangannya. Wajahnya kusut, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya terus dihantui oleh bayangan Amora. Sudah satu minggu sejak Amora menghilang, dan selama itu pula ia merasa hidupnya benar-benar berantakan.Dirga tak menyangka hidupnya bisa separah ini sekarang tanpa Amora disisinya. Ia pikir perjanjian itu akan bisa ia atasi, Namun ternyata kali ini ia mengakui jika dirinya sudah kalah telak.Semua usaha telah ia lakukan—melibatkan Ryan untuk melacak sinyal, mencari di tempat-tempat yang mungkin menjadi lokasi penculikan, hingga menyewa detektif swasta—namun hasilnya nihil.Ia memukul meja kerjanya keras-keras hingga beberapa dokumen di atasnya berantakan. "Kenapa begitu sulit? Di mana mereka?!" gumamnya dengan suara bergetar. Dirga selalu menjadi pria yang tenang dan penuh kendali, tetapi kehilangan Amora membuat dirinya berada di ambang kehancuran. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sebelumnya."Kamu
Amora melangkah memasuki kamar yang telah disiapkan untuknya di villa Tuan Abraham. Langit-langitnya tinggi dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Tirai-tirai putih melambai lembut diterpa angin, memberikan nuansa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, yang paling mencuri perhatiannya adalah box bayi berwarna putih dengan hiasan renda halus di sudut ruangan. Matanya membelalak, dan dadanya terasa sesak oleh campuran emosi yang tak terjelaskan."Nyaman, bukan?" suara seorang wanita menyapa dari belakang. Amora menoleh dan mendapati seorang asisten rumah tangga berdiri di sana dengan senyum ramah. "Kami ingin memastikan Anda merasa seperti di rumah sendiri, Nyonya Amora."Amora masih canggung mendengar dirinya disebut "Nyonya." Ia hanya mengangguk pelan dan tersenyum. "Terima kasih... semua ini terasa terlalu mewah untuk saya."Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Tuan Abraham berpesan agar Anda mendapatkan yang terbaik. Jika ada yang Anda butuhkan, Anda hanya perlu
Ruangan kantor Dirga terasa mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Dirga mondar-mandir dengan raut wajah penuh kecemasan, ponselnya terus-menerus ia genggam erat, berharap ada kabar masuk tentang Amora. Namun, yang ada hanyalah keheningan yang membuat pikirannya semakin kacau. Bayangan Amora yang berteriak sambil diseret ke dalam mobil hitam di depan matanya terus menghantui. Ia merasa tak berdaya, dan rasa bersalah perlahan menggerogoti hatinya.Dengan napas tersengal, Dirga menghubungi Ryan, sahabatnya semasa kuliah yang kini bekerja sebagai ahli IT di perusahaan besar. Telepon itu diangkat hanya dalam hitungan detik.“Ryan, aku butuh bantuanmu sekarang,” suara Dirga terdengar tergesa-gesa, hampir seperti perintah.“Ada apa? Suaramu terdengar kacau,” tanya Ryan dengan nada serius.“Amora… dia diculik. Tepat di depan mataku. Aku tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Aku butuh keahlianmu, Ryan. Lacak mobil itu, apapun caranya!” Dirga memukul meja kerjanya dengan frustras
"Jadi maksudmu, dia menjadikan pernikahannya sebagai pernikahan di atas kertas dan akan selesai saat waktunya tiba?" Tuan Abraham duduk di sofa mahal di villanya sembari menatap lurus ke depan, menopangkan kedua tangannya pada tongkat kesayangannya."Ia Tuan. Yang tahu hal ini hanya Tuan Andreas dan istrinya, serta mantan kekasih Dirga yang tahu dari maminya Dirga."Abraham mengulum senyum, namun bagi yang melihat senyum Abraham, tidak akan pernah berpikir jika senyum itu menandakan pria itu puas atau bahagia. Ia masih ingat saat ia memberikan syarat pada Andreas untuk Dirga bisa menjadi penerus utama Abraham Company. Tapi ia tak menyangka jika Dirga bisa melakukan hal semenjijikan ini hanya untuk sebuah jabatan. "Berarti kalau dihitung-hitung sejak Dirga menikah, ini sudah 8 bulan.""Benar tuan.""Baiklah, terima kasih atas informasi yang kau berikan Antonio. Kau boleh pergi."Sepeninggalan Antonio, Abraham langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Saya punya satu
Tiga hari sudah Amora berada di rumah sakit dan hari ini ia akan bersiap-siap pulang ke apartemen. Semenjak ia dirawat di rumah sakit, ia tak tahu lagi Bagaimana kabar di luaran sana. Pasalnya Dirga benar-benar menjaga semuanya dengan baik. Namun satu hal yang ia tahu, di apartemen saat ini ada bodyguard perempuan yang disewa oleh Dirga untuk menjaga keadaan di rumah. Bodyguard cantik itu bernama Kiara. Dan terakhir yang ia tahu Kiara 5 tahun di bawahnya. Mungkin ini tujuan Dirga mencari Kiara, Karena untuk bisa berteman dengan dirinya. "Kita pulang hari ini nona." Ucap Kiara dengan wajah kakunya. Amora menatap Kiara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dan tatapan itu langsung membuat Kiara gugup."Bicaralah dengan sedikit lebih santai denganku Kiara. Kamu ngomong begini aku yang sesak nafas." Gerutu Amora. Bi Susi yang mendengar itu langsung mengulum senyumnya. Ia lalu menatap Kiara yang nampak juga bingung. "Lakukan sesuai perintah dia. Dia cukup usil kalau kau mau melih
Kemarahan Dirga saat keluar dari rumah utama, membuat Andreas berinisiatif untuk mengunjungi Amora di rumah sakit. Ia menatap gusar jalan Raya. Ada rasa takut di hatinya jika papanya yang tak lain adalah kakek kandung dari Dirga mengetahui kabar ini. "Kamu jangan beritahu siapa-siapa Bobby? Yang tahu kegaduhan ini hanya keluarga inti saja dan juga kamu." Ucap Andreas pada sopir pribadinya. ''Baik Pak. Tapi bagaimana kalau cerita ini sampai ke telinga Tuan Abraham?""Entahlah. Saya sendiri juga bingung harus menjelaskannya seperti apa."Andreas menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Ia masih ingat Bagaimana papanya dulu mengatakan pada Andreas jika Dirga harus menikah. Karena kakeknya Dirga itu tidak ingin memberikan warisannya untuk Dirga jika cucunya itu masih lajang. Banyak hal yang ia rahasiakan saat ini dari papanya Itu. Pertama masalah yang terjadi hari ini, kedua Dirga yang lebih memilih menjadikan istrinya sebagai istri kontrak, yang mana jika papanya tahu, pasti akan mur
Sementara itu di rumah sakit, Amora masih belum sanggup untuk bicara. Sejak ia tersadar sampai saat ini, hanya tiga kata yang ia ucapkan pada Dirga tadi yang keluar dari mulutnya. Bik Susi bahkan merasa sangat kasihan pada Amora."Non, non Amora mau sesuatu?" Tanya bi Susi dan lagi-lagi jawaban Amora hanya gelengan saja. Wanita paruh baya itu seketika menghela nafas panjang. Ia mendekatkan kursinya pada Amora, "Non, non Amora tahu tidak, Bagaimana gilanya Tuan Dirga tadi Saat ia sampai di rumah sakit." Ucap Bik Susi sedikit memancing, namun Amora justru langsung melirik ke arah bi Susi. Bi Susi sedikit bersorak dalam hatinya karena sudah berhasil memancing istri dari majikannya ini. Dan tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membangkitkan kembali semangat Amora. "Tuan Dirga sedang rapat saat bibi menelponnya dan mengatakan jika non masuk rumah sakit. Dan saat Tuan Dirga sampai di rumah sakit, Dia benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Bahkan rambutnya juga
Dirga berlari kencang menerobos lorong rumah sakit yang saat ini sedang ramai. Ia bahkan tak mempedulikan orang-orang yang ia tabrak. Pikirannya benar-benar kacau, suasana hatinya buruk dan emosinya naik sampai ubun-ubun.Saat ia sedang rapat, ia mendapat kabar dari asisten rumah tangganya jika Amora pingsan karena di dorong oleh perempuan bernama Silva yang di bawa oleh maminya."Shit! Kau akan dapat akibatnya Silva!!" Geramnya. Ia langsung berlari menuju ruang ICU. Dan dari kejauhan ia bisa melihat asisten rumah tangganya yang duduk di depan ruangan. Wajah wanita paruh baya itu terlihat nampak cemas. "Bik, Bagaimana Amora?" Tanyanya dengan suasana yang juga terlihat sangat berantakan. "Non Amora masih di dalam tuan. Tapi sudah sejak tadi dokter belum keluar juga. Bagaimana ini tuan. Saya sudah mencoba menolong tapi, tapi mami Tuan sama, perempuan itu," bi Susi tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya masih mengingat dengan jelas apa yang tadi Silva lakukan pada Amora. Pintu kamar s
Amora menatap dasi yang Dirga berikan padanya. "Pakaikan?" Ulangnya. Dirga mengangguk. "Kamu bukannya bisa pakai sendiri?""Tapi ini tugas kamu Amora."Amora terdiam seketika. "Tugas?""Iya. Sudah sepatutnya bukan seorang istri memakaikan dasi suaminya."Deg!Jantung Amora berdebar seketika. Darahnya berdesir, tubuhnya meremang. Ia yakin saat ini pipinya sudah merona malu. Secara perlahan Amora mengambil dasi yang ada di tangan Dirga. Tapi satu hal yang membuat Amora kesusahan, yaitu tinggi Dirga yang seketika membuatnya lelah.Dirga yang saat jika Amora sedang kesulitan, langsung melangkah menuju tepian ranjang dan duduk di sana. "Sini!" Perintahnya.Amora menurut dan masih dengan debaran yang sama. Ia melangkah mendekati Dirga dan berdiri tepat di hadapan pria tersebut. Ia sedikit menunduk karena kini posisinya sedikit lebih tinggi dari Dirga.Namun posisi ini yang membuatnya semakin gila. Pasalnya wajahnya menjadi semakin dekat dengan wajah Dirga. Apalagi pria itu yang kini menata