"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.
Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi. Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka. "Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin. Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas. "Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?" Amora mengangkat wajahnya perlahan, mata merah dan lelah bertemu tatapan Dirga yang penuh pertanyaan. "Aku... aku merasa mual...Rasanya sakit Dirga..wuuekk wuekkk..." Dirga menghela napas, menahan sesuatu di dadanya yang entah kenapa terasa berat melihat kondisi Amora seperti ini. “Kau harus diperiksa. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi.” Amora memejamkan mata, mengambil napas dalam-dalam. "Aku... aku bisa sendiri." “Jangan membantah, Amora,” tegas Dirga, suaranya mengandung perintah, tapi tangannya tetap lembut membantu Amora berdiri. "Kita pergi sekarang." Amora tak lagi melawan, terlalu lelah untuk memprotes, sementara Dirga dengan cekatan menopangnya keluar dari kamar mandi, diam-diam menekan kekhawatirannya yang kian terasa nyata. __ Dirga dan Amora duduk bersebelahan di ruangan dokter Kiki yang sengaja Dirga siapkan untuk hal ini. Suasana hening di antara mereka terasa menekan. Dirga melipat tangannya di dada, tatapan matanya lurus ke depan seolah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, sementara Amora memandang tangannya sendiri, jari-jarinya saling menggenggam erat. Pintu ruang konsultasi akhirnya terbuka, dan dokter Kiki yang menangani Amora masuk ke dalam dengan senyum profesional. Ditangan Dokter Kiki ada selembar kertas yang isinya sangat ditunggu oleh Dirga dan Amora. Dokter Kiki duduk di kursinya. Ia memandang Amora dan Dirga yang ada di hadapannya, “Selamat, bapak Dirga,” ucapnya, membuat Amora langsung mendongak. “Pemeriksaannya menunjukkan hasil positif. Istri Anda sedang hamil, usia kandungannya sekitar enam minggu.” Kata-kata itu menggema di telinga Amora, membuatnya terdiam. Sementara itu, Dirga menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah, antara terkejut dan… lega. “Hamil?” gumam Amora pelan, suaranya hampir tak terdengar. Matanya menatap dokter itu dengan tatapan kosong. Pantas saja jika dirinya belum datang bulan. “Ya, Nyonya. Kondisi Anda dan janin cukup baik, tetapi mengingat tadi Anda sempat mengeluh mual dan lemas, saya sarankan lebih banyak beristirahat. Hindari stres, dan jaga asupan makanan, nanti akan saya resepkan vitamin dan asam folat untuk kandungan anda.” jelas dokter itu dengan nada ramah. Namun ada satu hal yang membuat Dirga bingung. Ia dan Amora baru menikah satu bulan, kenapa kandungan Amora sudah berjalan 6 Minggu?. "Saya dan 'istri saya' baru menikah satu bulan yang lalu, kenapa kandungannya bisa 6 Minggu?" Tanya Dirga namun membuat Dokter Kiki tersenyum. "Kenapa pak? Apa bapak cemburu kalau istri bapak selingkuh?" Dirga menatap Amora. Tatapan itu dingin dan tak terbantahkan. "Tidak pak Dirga. Masa hitung usia kandungan itu dimulai sejak hari pertama selesai datang bulan. Jadi kemungkinan besar, buk Amora sudah hamil sejak dua Minggu yang lalu, namun terasanya baru hari ini." Dirga mengangguk singkat. “Baik, kami mengerti. Terima kasih, Dokter,” jawabnya, nada suaranya datar, namun sulit menyembunyikan rasa puas yang tiba-tiba menyeruak. Saat mereka melangkah keluar dari ruang konsultasi, Amora berjalan pelan di belakang Dirga, perasaannya bercampur aduk. Dirga menoleh sekilas, berhenti sejenak untuk menunggu Amora yang tampak limbung. “Ayo pulang,” ujar Dirga singkat, nada suaranya tak hangat, tapi ada sedikit perhatian tersembunyi dalam tatapannya. Amora hanya mengangguk lemah, belum sepenuhnya memproses kenyataan baru ini—kenyataan bahwa di dalam tubuhnya kini tumbuh sebuah kehidupan yang tak pernah ia rencanakan, namun menjadi tujuan dari semua kontrak ini. ___ Amora duduk diam di kursi penumpang, tangannya memegang erat seat belt yang melingkar di perutnya. Pandangannya lurus ke jalanan, sementara Dirga mengemudi dengan tenang. Suasana hening itu begitu menyesakkan, hingga akhirnya Dirga memulai pembicaraan. "Aku harap kau mulai paham sekarang, Amora. Apa pun yang terjadi, kau harus menjaga kandungan itu baik-baik." Amora melirik Dirga sekilas, namun tak mengatakan apa pun. "Dokter bilang kondisimu cukup baik, tapi aku tidak ingin ada risiko sekecil apa pun. Demi anak ini, kau harus menjaga dirimu. Jangan keras kepala." Amora menunduk, menggigit bibirnya sendiri. Ia ingin membalas, tetapi suara Dirga terdengar terlalu tegas untuk dibantah. "Aku sudah tahu tanggung jawabku Dirga. Kau tak perlu mengulanginya lagi dan lagi." Dirga meliriknya sekilas, tatapannya datar. "Bagus kalau kau mengerti. Mulai sekarang, apa pun yang kau lakukan, pikirkan dampaknya untuk anak ini. Aku tak peduli apa yang kau rasakan, yang terpenting adalah dia. Dia keturunan yang akan menjadi bagian dari hidupku nantinya." Amora menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang mulai membuncah. "Bagaimana dengan aku, Dirga? Apakah aku hanya alat bagimu?" Dirga menghela napas berat. "Kau tahu perjanjian kita, Amora. Kau setuju dengan semua ini. Anak ini adalah prioritas utamaku. Kalau itu berarti kau harus merasa sedikit repot dengan ini, maka terimalah. Toh aku sudah memberimu fasilitas terbaik untuk pengobatan ayahmu." Amora meremas lebih kuat tali seat belt tersebut, merasa hatinya seperti tertusuk. "Aku sudah tahu jika ini demi anak ini. Aku juga ingin dia tumbuh dengan sangat baik agar ia bisa lahir dengan selamat. Setelah itu aku akan pergi." Dirga tetap memandang jalan dengan ekspresi keras. "Memang itu yang seharusnya kau lakukan Amora." Amora terdiam, tak ada gunanya memperdebatkan sesuatu yang sudah jelas sejak awal. Namun, di dalam dirinya, luka itu semakin dalam, seperti lubang yang terus membesar tanpa ada yang bisa menghentikannya. Amora memalingkan wajahnya ke luar jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang menjulang. Udara dingin dari pendingin mobil seolah membekukan hatinya. Dirga masih fokus mengemudi, tak sedikit pun menoleh ke arah Amora. Dirga kembali memecah keheningan, suaranya lebih pelan namun tetap dingin. "Aku akan meminta Bik Susi untuk memperhatikan kebutuhanmu. Jangan coba-coba membebani dirimu dengan pekerjaan atau hal-hal yang tak perlu. Amora mendengus kecil, setengah sarkastik. "Lagi-lagi demi anakmu, kan?" Amora merasakan ada sesuatu yang berat di dadanya, perasaan tak dihargai yang terus-menerus menghantui. Namun ia tahu, membalas Dirga hanya akan menjadi debat tanpa akhir. Ia memilih untuk tetap diam, membiarkan perasaan itu terkubur dalam. Saat mobil akhirnya memasuki kompleks apartemen, Amora menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Sementara Dirga memarkir mobil tanpa banyak bicara, Amora berbisik pada dirinya sendiri, "Mungkin aku hanya harus belajar menerima. Semua ini bukan tentang aku... tapi tentang anaknya." "Amora, aku ingin memastikan kau akan mematuhi semua perjanjian kita." Suaranya tenang namun penuh tekanan saat mereka keluar dari mobil. Amora berhenti melangkah di depan lift, menatap pantulan dirinya di pintu logam. "Aku sudah tahu itu, Dirga. Kau tak perlu terus mengingatkanku." "Bagus kalau kau mengerti." Ia menekan tombol lift, berdiri beberapa langkah di belakang Amora. "Mulai sekarang, kau tidak akan kekurangan apa pun. Semua kebutuhanmu akan terpenuhi." Amora melirik sekilas, merasa semua kata-kata Dirga dingin dan tanpa emosi. "Demi anakmu, kan? Aku tak perlu ragukan itu. Mungkin jika aku mati setelah melahirkan anakmu ini, kau tak akan peduli padaku.." Dirga tak menjawab. Bukan karena itu tak bisa, namun karena kalimatnya tercekat di tenggorokannya. Lift berbunyi dan pintu terbuka. Mereka masuk tanpa melanjutkan pembicaraan. Amora berdiri di sudut, mencoba menahan perasaan getir yang terus menggerogoti hatinya. Ketika mereka sampai di apartemen, Dirga membuka pintu dan melangkah masuk lebih dulu. Ia berhenti di ruang tamu, menatap Amora dengan sorot mata yang sulit diartikan. *****Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora. Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh. Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya. Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur. Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. Wa
Seperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga melangkah menuju dapur. Ia menatap dari tempatnya berdiri Amora yang sedang menyantap makanan yang tadi Bik Susi buatkan untuk wanita itu.Dirga mengambil sebotol minuman dingin dan membawanya ke ruang TV dan memilih duduk di samping Amora. Ia bisa melihat Amora terkejut dari sudut matanya. Namun Dirga mencoba bersikap senatural mungkin."Apa yang kamu makan?" Tanyanya."O? Ini? Spaghetti buatan bik Susi. Kamu mau?"Dirga menggeleng, "Habiskan saja itu.""Baiklah."Kecanggungan kembali terjadi. Kali ini tak hanya Amora saja yang merasakannya, Dirga pun juga ikut mati kata. Ia mengumpat dalam hatinya mencaci maki keadaan yang seperti ini."Ayahmu....""Dirga Ayahku,"Keduanya terdiam setelah sama-sama bicara dengan topik yang sama."Kenapa ayahmu?" Tanya Dirga akhirnya.Amora menatap Dirga, "Aku rindu ayahku. Apa aku boleh ke rumah sakit?" Ucapnya bertanya, namun tak ada respon dari Dirga, "Kalau tak boleh juga tak,""Habiskan makananmu, setelah itu bersiap. Kau pergi denganku."
Amora!!" Panggil Dirga lagi namun kali ini dengan nada suara yang sedikit ketus.Amora yang mulai tersadar dengan situasi ini, langsung berpamitan pada Rega dan juga Silva. Tentu saja dengan raut wajah bingung dari keduanya.Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Sudah beberapa kali Amora melirik ke arah Dirga namun raut wajah pria itu tetap tajam.Amora tak tahu harus memulai seperti apa. Sebenarnya ia juga ada banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Dan salah satunya adalah Silva. Siapa Silva? Dan kenapa Dirga menjawab dengan jawaban ketus seperti tadi. Dan jika iya dengar dari jawaban Dirga, sepertinya Silva adalah mantan kekasih pria tersebut.Tak jauh-jauh dari pikiran Amora, Dirga juga memikirkan hal yang sama, namun orang yang berbeda. Dalam benar Dirga saat ini adalah perihal Rega dan Amora yang sudah bertukar nomor ponsel."Ga..." Panggilan Amora memecah kesunyian.Pria itu melirik sekilas lalu kembali menatap lurus, "hm?" Gumamnya."Kenapa mobilnya nggak jalan? Apa masih ada y
"Nggak. Nggak ada ya salah. Nggak ada yang salah dengan kamu. Kamu, selalu benar." Amora mendengus. Hatinya benar-benar kesal. Tak mau berlama-lama berhadapan dengan Dirga, Amora pun memutuskan untuk melangkah ke kamar mandi. namun Baru beberapa langkah ia meninggalkan Dirga, tubuhnya kembali ditarik oleh Dirga dan detik berikutnya ia merasakan bibir Dirga bermain di atas bibirnya.Amora membola kaget. Ia mencoba menarik kembali kesadarannya dan saat ia dapatkan, Amora langsung memukul dada bidang Dirga dengan kuat berharap pria itu mau melepaskan ciuman tersebut. Namun bukan Dirga namanya bisa kalah begitu saja. Dirga justru menarik Amora lebih dalam dengan merangkul pinggang istrinya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menahan tengkuk Amora. Pemberontakan dan perlawanan Amora berikan, namun tetap tak bisa. sampai entah kenapa Amora tiba-tiba melunak dan justru mulai menikmati setiap lumatan yang Dirga berikan pada bibirnya. Tangan Amora yang tadi memberontak kini
Amora terbangun lebih dulu. Ia membuka matanya secara perlahan. Masih dengan posisi yang sama yaitu dalam pelukan Dirga dan tanpa busana.Dirga masih memeluk tubuhnya erat. Dan jujur, Amora cukup terkejut dengan posisi mereka saat ini. Amora ingat, pertengkaran mereka tadi membuat keduanya berakhir di ranjang yang panas. "Dirga," bisiknya membangunkan pria tersebut. Amora melirik sekilas ke arah jendela kamar dan ternyata sudah gelap. "Dirga." Ulangnya dan sedikit respon dari Dirga membuat Amora tersenyum gemas. "Dirga bangun. Sudah malam." Dirga meregangkan tubuhnya lalu ikut melirik ke arah jendela. Ia mengarahkan pandangannya pada Amora yang sudah duduk. "Aku mandi dulu. Bik Susi pasti sudah menyiapkan makanan sejak tadi." Ucap Amora lalu mencoba meraih pakaiannya, namun tak kunjung bisa diraihnya. Dirga yang menatap Amora, lebih tepatnya pada bekas hasil kerjanya tadi. Ia tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis. Dirg
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.
Silva berdiri di depan apartemen mewah milik Adrian, menggenggam tas tangannya erat-erat seolah-olah itu adalah satu-satunya yang bisa memberikan keberanian. Ia menatap pintu besar di depannya, merasakan gemuruh di dadanya yang semakin kuat. Keputusannya untuk datang ke sini tanpa memberi tahu Ryan terasa seperti beban yang berat, namun ia tahu bahwa ini adalah sesuatu yang harus ia selesaikan sendiri.Langkahnya terasa berat ketika ia mendekati pintu dan menekan bel. Hanya beberapa detik kemudian, suara Adrian terdengar dari interkom, dingin namun penuh kendali. "Silva. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Naiklah."Pintu otomatis terbuka, dan Silva melangkah masuk ke dalam gedung. Lift membawanya ke lantai tertinggi, tempat Adrian tinggal. Setiap lantai yang terlewati membuat jantungnya berdetak semakin cepat. Ia bertanya-tanya apakah keputusannya ini benar, namun ia menepis keraguan itu. Ia tidak ingin terus dibayangi oleh masa lalu.Ketika pintu lift terbuka, Adrian sudah berdiri
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya menggenggam sebuah map cokelat yang terlihat cukup tebal. Raut wajahnya tegang, mencerminkan keseriusan yang jarang Silva lihat sebelumnya. Sementara itu, Silva duduk di sampingnya dengan gelisah, jemarinya saling meremas tanpa sadar. Suasana di ruangan itu mendadak terasa sunyi, hanya terdengar suara kipas angin yang berputar pelan.Dengan gerakan perlahan, Ryan membuka map tersebut dan menarik napas panjang sebelum menyerahkannya kepada Silva. "Baca ini," katanya singkat, nadanya dingin namun tegas.Silva menatap map itu dengan keraguan. Tangannya sedikit gemetar saat menerimanya. Ia membuka map tersebut dan mulai membaca lembar demi lembar dokumen yang ada di dalamnya. Pandangannya segera berubah, dari kebingungan menjadi ketakutan."Ryan... bagaimana kamu bisa mendapatkan semua ini?" tanya Silva dengan suara bergetar. Ia menatap Ryan, berharap ada jawaban yang membuatnya merasa lebih tenang. Namun Ryan hanya diam, menatapnya
Ryan duduk di sofa ruang tamu apartemen Silva, tangannya memegang secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Pandangannya tertuju pada Silva yang sedang membereskan beberapa buku di rak. Ia juga menatap senyum tipis yang selalu terbit dari bibir Silva. Dan entah kenapa ia menyukai senyum tersebut.“Sepertinya hidupmu sekarang jauh lebih tenang, ya?” Ryan membuka pembicaraan dengan nada santai. Silva menoleh, senyumnya kecil tapi tulus. “Iya, sejak Tante Nina berhenti menghubungiku, aku merasa seperti bisa bernapas lagi,” jawabnya sambil meletakkan buku terakhir di rak.“Syukurlah,” ujar Ryan sambil mengangguk. “Aku senang melihat kamu mulai pulih. Tapi... apa kamu yakin dia benar-benar sudah berhenti? Maksudku, Tante Nina bukan tipe orang yang menyerah begitu saja.” Silva terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Ryan. “Aku nggak tahu, Ryan. Tapi sampai sekarang dia nggak lagi menghubungiku, dan itu sudah lebih dari cukup buatku. Setidaknya untuk sementara waktu aku bisa bernafas lega tanp
Detik berlalu begitu lama menurut Amora. Padahal setelah panggilan itu tertutup baru lewat 2 menit saja. Namun ia sudah merasa seperti 2 jam menunggu mertuanya keluar dari kamar. Ia benar-benar Tak sabar bisa masak bersama dengan ibu mertuanya itu. Impian semua menantu bukan? Bisa akrab dengan ibu mertua. Karena memang faktanya yang selalu menjadi banyak masalah dan momok menakutkan bagi menantu dalam rumah tangga adalah mertua perempuan.Dan saat ia sudah bisa berhasil membujuk mertua perempuannya untuk melihat dirinya secara baik-baik terlebih dahulu, membuat Amora cukup bangga dengan usahanya. Tapi yakin ini baru di awal saja karena masih ada beberapa rintangan lagi yang tentunya harus ia jalani. Pintu kamar tiba-tiba terbuka memunculkan Nina dengan pakaian santainya. Ia menatap Amora sekilas selalu melenggang menuju dapur. "Ngapain kamu masih duduk di sana, sini masak sama saya." Ucap Nina dengan ketus namun suaminya paham jika istrinya itu sebenarnya sudah menganggap Amora sebag
Malam semakin larut, dan hawa dingin mulai menyelimuti taman rumah Dirga. Kiara menarik jaketnya lebih rapat sambil menguap kecil. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Ia menguap beberapa kali membuat Dion tertawa gemas. “Sepertinya ada yang sudah tak bisa menahan kantuknya lagi." Goda Dion.Kiara tersenyum malu, "aku Ngantuk, masuk yuk." Jawabnya sambil berdiri. Dion mengangguk setuju. Kiara melangkah lebih dulu berjalan menuju pintu masuk rumah dan Dion mengekori dari belakang. Mereka saling bertukar pandang dan tersenyum sebelum berpisah di lorong menuju kamar mereka masing-masing.Sementara itu di kamar Dirga, pasangan suami istri itu belum tertidur. Keduanya masih asik berbicara hal-hal kecil dengan suasana yang nyaman. "Mas nggak pernah ke rumah mami lagi?" Tanya Amora sembari memainkan jemari suaminya.Dirga menghela nafas panjang. "Mas belum sempat. Lagian untuk saat ini berjumpa dengan Mami hanya akan menambah emosi Mas saja. Jadi lebih baik seperti ini dulu." "Tapi mas, bagai
Ryan berdiri di dapur apartemen Silva, memandang sekeliling dengan sedikit kebingungannya. Dapur itu tidak terlalu besar, namun cukup nyaman dan rapi. Bau masakan ringan mulai tercium dari kompor, tanda bahwa suasana sudah kembali tenang setelah kejadian yang cukup membuat hati mereka berdua berdebar. Silva, yang tadi sempat canggung dan bingung, kini sudah mulai tersenyum sedikit saat berjalan mendekat dengan tangan membawa bahan-bahan untuk makan malam."Jadi, apa yang harus kita masak?" tanya Silva sambil membuka lemari es, memilih beberapa bahan yang akan dijadikan hidangan malam itu. Ryan, yang masih agak terkejut dengan kejadian sebelumnya, akhirnya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau pasta?" jawabnya, berharap agar pilihannya itu tidak membuat suasana menjadi canggung lagi. Silva mengangguk, lalu mulai mengeluarkan peralatan masak dengan cekatan. "Pasta ya? Aku setuju. Tapi kamu bantu, kan?" tanyanya dengan sedikit gurauan, mencoba membuat suasana semakin ringan.