Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora.
Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh.Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya.Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur.Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. WaSeperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga melangkah menuju dapur. Ia menatap dari tempatnya berdiri Amora yang sedang menyantap makanan yang tadi Bik Susi buatkan untuk wanita itu.Dirga mengambil sebotol minuman dingin dan membawanya ke ruang TV dan memilih duduk di samping Amora. Ia bisa melihat Amora terkejut dari sudut matanya. Namun Dirga mencoba bersikap senatural mungkin."Apa yang kamu makan?" Tanyanya."O? Ini? Spaghetti buatan bik Susi. Kamu mau?"Dirga menggeleng, "Habiskan saja itu.""Baiklah."Kecanggungan kembali terjadi. Kali ini tak hanya Amora saja yang merasakannya, Dirga pun juga ikut mati kata. Ia mengumpat dalam hatinya mencaci maki keadaan yang seperti ini."Ayahmu....""Dirga Ayahku,"Keduanya terdiam setelah sama-sama bicara dengan topik yang sama."Kenapa ayahmu?" Tanya Dirga akhirnya.Amora menatap Dirga, "Aku rindu ayahku. Apa aku boleh ke rumah sakit?" Ucapnya bertanya, namun tak ada respon dari Dirga, "Kalau tak boleh juga tak,""Habiskan makananmu, setelah itu bersiap. Kau pergi denganku."
Amora!!" Panggil Dirga lagi namun kali ini dengan nada suara yang sedikit ketus.Amora yang mulai tersadar dengan situasi ini, langsung berpamitan pada Rega dan juga Silva. Tentu saja dengan raut wajah bingung dari keduanya.Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Sudah beberapa kali Amora melirik ke arah Dirga namun raut wajah pria itu tetap tajam.Amora tak tahu harus memulai seperti apa. Sebenarnya ia juga ada banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Dan salah satunya adalah Silva. Siapa Silva? Dan kenapa Dirga menjawab dengan jawaban ketus seperti tadi. Dan jika iya dengar dari jawaban Dirga, sepertinya Silva adalah mantan kekasih pria tersebut.Tak jauh-jauh dari pikiran Amora, Dirga juga memikirkan hal yang sama, namun orang yang berbeda. Dalam benar Dirga saat ini adalah perihal Rega dan Amora yang sudah bertukar nomor ponsel."Ga..." Panggilan Amora memecah kesunyian.Pria itu melirik sekilas lalu kembali menatap lurus, "hm?" Gumamnya."Kenapa mobilnya nggak jalan? Apa masih ada y
"Nggak. Nggak ada ya salah. Nggak ada yang salah dengan kamu. Kamu, selalu benar." Amora mendengus. Hatinya benar-benar kesal. Tak mau berlama-lama berhadapan dengan Dirga, Amora pun memutuskan untuk melangkah ke kamar mandi. namun Baru beberapa langkah ia meninggalkan Dirga, tubuhnya kembali ditarik oleh Dirga dan detik berikutnya ia merasakan bibir Dirga bermain di atas bibirnya.Amora membola kaget. Ia mencoba menarik kembali kesadarannya dan saat ia dapatkan, Amora langsung memukul dada bidang Dirga dengan kuat berharap pria itu mau melepaskan ciuman tersebut. Namun bukan Dirga namanya bisa kalah begitu saja. Dirga justru menarik Amora lebih dalam dengan merangkul pinggang istrinya itu dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya menahan tengkuk Amora. Pemberontakan dan perlawanan Amora berikan, namun tetap tak bisa. sampai entah kenapa Amora tiba-tiba melunak dan justru mulai menikmati setiap lumatan yang Dirga berikan pada bibirnya. Tangan Amora yang tadi memberontak kini
Amora terbangun lebih dulu. Ia membuka matanya secara perlahan. Masih dengan posisi yang sama yaitu dalam pelukan Dirga dan tanpa busana.Dirga masih memeluk tubuhnya erat. Dan jujur, Amora cukup terkejut dengan posisi mereka saat ini. Amora ingat, pertengkaran mereka tadi membuat keduanya berakhir di ranjang yang panas. "Dirga," bisiknya membangunkan pria tersebut. Amora melirik sekilas ke arah jendela kamar dan ternyata sudah gelap. "Dirga." Ulangnya dan sedikit respon dari Dirga membuat Amora tersenyum gemas. "Dirga bangun. Sudah malam." Dirga meregangkan tubuhnya lalu ikut melirik ke arah jendela. Ia mengarahkan pandangannya pada Amora yang sudah duduk. "Aku mandi dulu. Bik Susi pasti sudah menyiapkan makanan sejak tadi." Ucap Amora lalu mencoba meraih pakaiannya, namun tak kunjung bisa diraihnya. Dirga yang menatap Amora, lebih tepatnya pada bekas hasil kerjanya tadi. Ia tersenyum tipis. Bahkan sangat tipis. Dirg
Amora menatap dasi yang Dirga berikan padanya. "Pakaikan?" Ulangnya. Dirga mengangguk. "Kamu bukannya bisa pakai sendiri?""Tapi ini tugas kamu Amora."Amora terdiam seketika. "Tugas?""Iya. Sudah sepatutnya bukan seorang istri memakaikan dasi suaminya."Deg!Jantung Amora berdebar seketika. Darahnya berdesir, tubuhnya meremang. Ia yakin saat ini pipinya sudah merona malu. Secara perlahan Amora mengambil dasi yang ada di tangan Dirga. Tapi satu hal yang membuat Amora kesusahan, yaitu tinggi Dirga yang seketika membuatnya lelah.Dirga yang saat jika Amora sedang kesulitan, langsung melangkah menuju tepian ranjang dan duduk di sana. "Sini!" Perintahnya.Amora menurut dan masih dengan debaran yang sama. Ia melangkah mendekati Dirga dan berdiri tepat di hadapan pria tersebut. Ia sedikit menunduk karena kini posisinya sedikit lebih tinggi dari Dirga.Namun posisi ini yang membuatnya semakin gila. Pasalnya wajahnya menjadi semakin dekat dengan wajah Dirga. Apalagi pria itu yang kini menata
Dirga berlari kencang menerobos lorong rumah sakit yang saat ini sedang ramai. Ia bahkan tak mempedulikan orang-orang yang ia tabrak. Pikirannya benar-benar kacau, suasana hatinya buruk dan emosinya naik sampai ubun-ubun.Saat ia sedang rapat, ia mendapat kabar dari asisten rumah tangganya jika Amora pingsan karena di dorong oleh perempuan bernama Silva yang di bawa oleh maminya."Shit! Kau akan dapat akibatnya Silva!!" Geramnya. Ia langsung berlari menuju ruang ICU. Dan dari kejauhan ia bisa melihat asisten rumah tangganya yang duduk di depan ruangan. Wajah wanita paruh baya itu terlihat nampak cemas. "Bik, Bagaimana Amora?" Tanyanya dengan suasana yang juga terlihat sangat berantakan. "Non Amora masih di dalam tuan. Tapi sudah sejak tadi dokter belum keluar juga. Bagaimana ini tuan. Saya sudah mencoba menolong tapi, tapi mami Tuan sama, perempuan itu," bi Susi tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya masih mengingat dengan jelas apa yang tadi Silva lakukan pada Amora. Pintu kamar s
Sementara itu di rumah sakit, Amora masih belum sanggup untuk bicara. Sejak ia tersadar sampai saat ini, hanya tiga kata yang ia ucapkan pada Dirga tadi yang keluar dari mulutnya. Bik Susi bahkan merasa sangat kasihan pada Amora."Non, non Amora mau sesuatu?" Tanya bi Susi dan lagi-lagi jawaban Amora hanya gelengan saja. Wanita paruh baya itu seketika menghela nafas panjang. Ia mendekatkan kursinya pada Amora, "Non, non Amora tahu tidak, Bagaimana gilanya Tuan Dirga tadi Saat ia sampai di rumah sakit." Ucap Bik Susi sedikit memancing, namun Amora justru langsung melirik ke arah bi Susi. Bi Susi sedikit bersorak dalam hatinya karena sudah berhasil memancing istri dari majikannya ini. Dan tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membangkitkan kembali semangat Amora. "Tuan Dirga sedang rapat saat bibi menelponnya dan mengatakan jika non masuk rumah sakit. Dan saat Tuan Dirga sampai di rumah sakit, Dia benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Bahkan rambutnya juga
Malam itu terasa begitu tenang di kediaman kakek Dirga. Angin pegunungan berhembus sejuk, membawa aroma dedaunan basah yang menenangkan. Di balkon kamar Silva, ia bersandar di dada Ryan, menikmati momen langka tanpa rasa cemas. "Anginnya enak banget di sini, ya," ucap Silva sambil menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Ryan melingkarkan lengannya di pinggang Silva, mempererat pelukan mereka. "Iya, tenang banget. Kalau begini, aku harap waktu berhenti saja," balas Ryan dengan suara pelan. Ia menundukkan kepalanya, menatap wajah Silva yang terlihat damai dalam dekapan. Silva tersenyum kecil, kemudian mendongak menatap Ryan. "Kalau waktu berhenti, masalah kita juga nggak akan selesai, Ryan." Ia tertawa kecil, mencoba menyisipkan humor di tengah kenyamanan mereka. Ryan ikut tersenyum. "Masalah itu selalu ada, Sayang. Tapi yang penting, kita hadapi bareng-bareng. Aku nggak akan biarin kamu hadapi semuanya sendirian." Ucapan itu terdengar tulus, membuat Silva merasakan hangat di
Dirga menyandarkan tubuhnya di kursi mobil sambil melirik Ryan yang duduk di sebelahnya sambil menyetir mobil. Mereka sedang dalam perjalanan ke apartemen Ryan untuk menjemput Silva. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, Dirga memutuskan bahwa Silva akan lebih aman jika tinggal di kediaman kakeknya. Dan Dirga sendiri sudah berbicara pada kakeknya untuk meminjamkan salah satu rumah milik kakek Dirga agar Silva bisa tinggal di sana, namun harus tetap memberikan pantauan yang aman.Dirga juga sudah menceritakan semuanya pada kakeknya tentang hubungan Ryan dan Silva dan Silva yang saat ini sudah berubah dan tidak seperti Silva yang dulu lagi. Karena itulah, kakeknya Dirga setuju dengan permintaan Dirga itu.“Kamu tahu, Ryan,” Dirga membuka pembicaraan, “Silva sebenarnya menolak pindah dari apartemenmu bukan karena dia keras kepala.”Ryan, yang sedang fokus menyetir, melirik Dirga sekilas. “Terus apa alasannya?” tanyanya dengan nada penasaran.Dirga tersenyum tipis, matanya menatap kel
Dirga duduk mematung di ruang tamu apartemen Ryan, matanya membelalak saat Silva tiba-tiba muncul dari salah satu kamar. “Silva?” tanyanya dengan nada penuh keterkejutan. Silva tampak canggung, melangkah pelan keluar dari kamar tamu dengan kepala tertunduk. Dirga mengalihkan pandangannya ke Ryan, meminta penjelasan.Ryan mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Dirga. “Dirga, biar aku jelaskan. Silva sudah tinggal di sini selama dua hari. Dia membutuhkan tempat aman, dan aku tidak bisa membiarkannya sendirian.” ucap Ryan yang tentu saja berbohong semua karena memang Ryan yang memaksa Silva untuk tinggal bersamanya. Silva bahkan mendengus kesal mendengar ucapan Ryan tadi.Dirga menghela napas panjang. “Kamu tahu, Ryan, aku nggak suka dilibatkan dalam hal yang aku nggak tahu sebelumnya." Ucapnya. "Aku tahu Dirga. Tapi aku juga tak bisa membiarkan Silva sendirian. Apalagi dengan situasi seperti ini. Lelaki gila mana yang membiarkan kekasihnya dikejar oleh pria lain dan untuk dijadikan
Hari itu adalah pagi yang sibuk di kantor Abraham Company. Dirga sedang memeriksa beberapa dokumen penting di ruangannya ketika seorang karyawan mengetuk pintu dan mengabarkan bahwa ada tamu tak diundang yang ingin menemuinya. Dirga mengerutkan kening, penasaran siapa yang datang tanpa janji terlebih dahulu.“Siapa?” tanya Dirga singkat, tetap fokus pada dokumennya.“Pak Adrian dari Angkasa Group,” jawab karyawan itu dengan sedikit ragu.Mendengar nama itu, Dirga langsung mendongak. Adrian? Dirga tahu siapa pria itu, CEO dari salah satu perusahaan besar yang cukup terkenal. Tapi ia tidak pernah punya urusan dengan Adrian, apalagi menjalin hubungan kerja sama.“Suruh dia masuk,” kata Dirga akhirnya, penasaran dengan maksud kedatangan pria tersebut.Tak lama kemudian, pintu ruangannya terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan percaya diri. Penampilannya rapi dan karismatik, tetapi ada aura tegang yang jelas terlihat dari sorot matanya. Dirga berdiri untuk menyambut, tetapi tetap menjag
Adrian menghempaskan pintu apartemen Silva dengan keras. Matanya langsung menyapu setiap sudut ruangan, mencari keberadaan gadis yang selama ini membuatnya merasa punya kendali penuh. Namun, apartemen itu kosong. Sunyi. Hanya ada bayangan dirinya yang terpantul di kaca besar ruang tamu.Ia melangkah cepat ke kamar Silva, membuka pintu lemari dengan kasar. Hatinya langsung bergejolak melihat ruang yang hampir kosong. Beberapa gantungan pakaian masih ada di sana, tapi mayoritas pakaian dan koper Silva sudah menghilang. Adrian mengepalkan tinjunya, merasakan amarah yang mulai membara dalam dadanya.“Silva! Apa-apaan ini?!” gumamnya dengan nada geram. Ia berbalik ke meja rias, mencari tanda-tanda lain. Semua barang yang biasa Silva gunakan juga tidak ada di tempatnya. Adrian merasa seperti ditinggalkan tanpa peringatan, dan itu memukul egonya dengan keras.Tidak ingin berlama-lama dalam ketidakpastian, Adrian berjalan ke ruang tamu dan mengeluarkan ponselnya. Ia langsung menekan nomor Sil
Merajuk. Itulah yang Silva lakukan. Setelah beberapa kali Ryan menciumnya ia memilih untuk tak menyapa Ryan walaupun pria itu selalu membujuknya."Va, Jangan marah." Bujuknya pada Silva. Namun lagi-lagi Silva tak mengindahkan. Baginya mendiamkan Ryan bisa memberikan sedikit jera untuk pria tersebut agar tak asal tempel bibir.Ryan melangkah mendekati Silva lalu memeluk gadis tersebut. "Jangan marah, hm..." Pintanya gemas.Silva menghela nafas berat, Ia melipat tangan ke dada lalu menatap Ryan, "Kamu mikir nggak sih yang kamu lakuin barusan?" ucapnya. Ryan dengan entengnya mengangguk, "Mikir kok. kenapa emangnya?""Hah? Kenapa? Kamu masih nanya kenapa? Ryan, Kamu itu udah kelewatan. Kamu pikir kamu tadi ngapain? kenapa bisa leluasa seperti itu?""Oooo, Aku pikir kenapa. gini lho," Ryan menarik pinggang Silva untuk duduk mendekat padanya namun Silva menolaknya. "Ngomong aja, nggak perlu tarik-tarik segala. Aku lagi kesel sama kamu. jadi jangan sok manis." ucapnya yang langsung membua
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.