Jam menunjukkan pukul tiga subuh. Dirga masih terjaga setelah pergulatan panjangnya dengan Amora yang baru selesai satu jam yang lalu. Ia tak menyangka keberanian Amora membuat mereka berakhir di atas ranjang yang sama. Entah berapa kali ia melepaskan calon anaknya di Rahim Amora. Dan ia berharap jika itu bisa cepat menghasilkan.
Dirga memejamkan matanya. Ia bersandar di sandaran tempat tidur. Hanya sebentar, ia kembali membuka matanya dan menatap Amora yang kini sudah terlelap dengan tubuh telanjang yang hanya ditutupi selimut tebal. Tatapan Dirga terlihat kosong. Ia kembali teringat satu bulan yang lalu, kakeknya memberikan ancaman padanya. Satu bulan yang lalu, "Dirga, jangan bermimpi menjadi penerus utama keluarga ini jika kau belum memiliki keturunan. Warisan ini bukan untuk pria yang tak bisa melanjutkan garis keluarga." Dirga mengepalkan tangannya, merasa terdesak oleh tuntutan keluarga yang tak pernah memberinya ruang untuk memilih. Itulah alasan ia membuat keputusan dingin dan penuh perhitungan, menjadikan Amora alat untuk mencapai tujuannya. Ia tidak peduli bagaimana Amora memandangnya, karena baginya, ini semua hanya langkah untuk mempertahankan kekuasaan yang sudah ia genggam. Dirga menyibak selimutnya. Ia mengumpulkan kembali semua pakaian miliknya yang berserakan di lantai lalu mengenakan pakaian itu sebelum Dirga memutuskan untuk kembali ke apartemennya yang lama. Ya. Dirga sudah memutuskan untuk tak tinggal bersama dengan Amora. Ini memang rencananya sejak awal. Ia menemui Amora hanya untuk melakukan proses mendapatkan keturunan. Setelah itu ia akan kembali ke apartemen lamanya dan menjalankan hidupnya seperti biasa. Sementara untuk Amora, Ia sudah menyiapkan asisten rumah tangga yang bisa membantu apapun semua pekerjaan Amora. Namun Dirga tetap akan mengunjungi Amora sesekali. Sebelum Dirga keluar dari kamar, ia kembali menatap Amora yang masih terlelap di balik selimut tebal. Amora terbangun sedikit lebih siang. Ia merasakan semua tubuhnya terasa sakit. Ia tak lupa kejadian semalam di mana ia menyerahkan semuanya pada Dirga. Namun Ia juga tak lupa semua itu terjadi hanya karena sebuah perjanjian. Ia harus cepat hamil dan melahirkan anak Dirga, setelah itu menghilang dari kehidupan Dirga dan anak yang ia lahirkan. Semuanya terdengar sangat mudah untuk dikerjakan. Sedia berharap di pertengahan nanti tak ada yang berubah. "Kamu harus kuat Amora. Ini demi ayah." Ucapnya. Amora turun dari tempat tidur, secara perlahan ia melangkah menuju kamar mandi dan membersihkan dirinya. Tak ada kebahagiaan, Tak ada cinta, tak ada rutinitas sebagai seorang istri yang ia lakukan, walaupun dimata agama pernikahannya sah. Amora menatap dirinya di cermin. Lagi-lagi ia kembali menguatkan untuk bisa sabar sampai kontrak itu selesai. Amora melangkah keluar dari kamarnya. Ia tak menemukan siapapun ada di apartemen tersebut kecuali seorang wanita paruh baya yang saat ini sedang berkutat di dapur. "Ibuk?" Sapa Amora lebih dulu. Wanita paruh baya itu sedikit tersentak, namun ia langsung tersenyum ramah saat melihat Amora ada di depannya. "Nona sudah bangun?" Tanyanya. Namun pertanyaan itu justru membuat Amora bingung. Kenapa tiba-tiba ada yang memanggilnya nona. "Maaf sebelumnya saya lancang bertanya, ibu siapa ya?" "Oh kenalkan non, saya Susi. Saya diperintahkan Tuan Dirga untuk menjaga nona selagi Tuan Dirga tidak ada di sini." Pernyataan itu justru membuat Amora bingung "maksudnya?" Tanyanya. "Tadi setelah saya datang, Tuan Dirga bilang kalau dia akan kembali ke apartemen lamanya. Dan akan datang ke sini sesekali. Jadi kalau non Amora butuh sesuatu, non bisa minta saya untuk membuatkan atau pergi keluar untuk membeli sesuatu." ucap Susi. Kembali Amora dibuat tertampar dengan keadaannya saat ini. Jadi bisa dikatakan Dirga hanya butuh tubuhnya dan rahimnya saja. Bahkan untuk tinggal satu atap dengannya saja Dirga tidak mau. Amora mengangguk pelan, "Terima kasih ya bu." Ucapnya. Amora kembali berbalik badan dan melangkah menuju kamar namun geraknya dihentikan, "Nona mau makan apa? biar bi Susi siapkan.." "Nggak usah Bu. Aku nggak laper." "Tapi tadi pesan Tuan Dirga, setelah bangun tidur, non harus makan." Amora tersenyum kecut. "Harus makan?" "Iya non. Biar non bisa cepat hamil. Tuan Dirga juga belikan susu untuk Promil. Sepertinya Tuan Dirga sudah nggak sabar buat punya anak non. Tuan Dirga sayang banget sama non kayaknya." Amora tersenyum kecut. "Cepat hamil? Anak?" Lirihnya. "Ya sudah buk. Roti bakar pakai telur aja buk." "Baik non." Amora melangkah menuju ruang santai. Ia menyalakan televisi besar yang ada di sana. Walaupun tubuhnya ada di sana namun pikirannya melayang pada ayahnya. Entah bagaimana kondisi ayahnya saat ini. padahal Ia masih sehat, masih bugar dan masih kuat untuk menjaga ayahnya namun, faktanya ia membiarkan orang lain menjaga ayahnya sendiri. Walaupun orang tersebut adalah suruhan dari Dirga dan juga seorang dokter, ia tak ada artinya lagi sebagai seorang anak. Banyak hal yang harus ia korbankan di usianya yang masih menginjak 27 tahun ini. Ia harus merelakan rahimnya diisi oleh seorang bayi yang nanti bayinya akan ia tinggalkan, ia juga harus rela membuang impiannya tentang indahnya pernikahan dan menggantinya menjadi pernikahan di atas kertas. Dia juga harus rela jauh dari ayahnya. Sementara di kantor, Bagian pemasaran dihebohkan dengan Amora yang berhenti bekerja. Padahal tim di kantor sangat tahu jika Amora sedang berjuang mengumpulkan uang untuk pengobatan ayahnya. "Dapat kabar nggak sih kalian? Masa berhenti gitu aja. Ayahnya baik-baik aja kan?" Tanya Dini teman dekat Amora di kantor. "Coba kamu tanya sama bos deh. Siapa tahu Amora lapor bos." "Nggak ah. Nyari mati namanya. Udah tahu pak bos nggak mau ngurus yang begituan." "Ya terus gimana dong? Kan aneh Amora tiba-tiba nggak masuk. Kita semua tahu kan kalau dia itu gila kerja. apalagi ayahnya kan lagi dirawat di rumah sakit. Nggak Mungkin dia tiba-tiba berhenti gitu aja." Dini terdiam. Amora tak pernah bicara padanya. padahal Amora yang paling dekat dengannya di kantor. Iya juga takut menghadap Dirga hanya untuk bertanya perihal keberadaan Amora. Karena ia tahu bosnya itu tidak sedekat yang dibayangkan. Dirga termasuk salah satu bos yang sulit untuk tersenyum pada anak buahnya. __ Waktu berlalu. Lima kali Dirga menemuinya, lima kali jualah Dirga menyentuhnya setelah itu Dirga akan kembali ke apartemen lamanya dan meninggalkan Amora sendirian. Seperti sekarang. Mereka baru saja selesai berhubungan badan dengan kembali Dirga membuang calon anaknya di dalam rahim Amora. Amora keluar dari kamar mandi dan lagi-lagi ia tak menemukan Dirga di kamar. Amora menghela nafas berat. Ia menyentuh perutnya, "Kamu kapan ada di perutku. Kenapa belum ada juga. Padahal sudah satu bulan aku Dia dia menikah." Gumamnya. Amora melangkah keluar kamar. Ia yang awalnya mengira jika Dirga akan menghilang lagi, ternyata ia salah. Pria itu kini berada di ruang santai apartemen tersebut. Amora melangkah mendekati Dirga yang tengah asik menonton. Sementara buk Susi berada di dapur menyiapkan makanan yang mungkin pesanan Dirga sendiri. "Dirga," panggil Amora pelan. Dirga melirik sekilas pada Amora setelah itu ya kembali menatap ke arah televisi. "Ada apa?" Jawabnya masih dengan nada dingin. Amora tak langsung menjawab. Wanita itu melangkah semakin dekat dengan Dirga dan memberanikan dirinya untuk duduk di samping Dirga. Dan Amora pikir Dirga akan membentaknya Namun ternyata pria itu hanya diam saja. "Bagaimana kabar ayahku?" Dirga menghentikan jemarinya yang tengah sibuk memencet tombol yang ada pada remote TV. Dirga tak menjawab namun pria itu langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi dokter Hans lewat video call. Selama panggilan itu tersambung dan Dirga menyerahkan ponsel tersebut pada Amora. "Ayah.." bisiknya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca. "Ayahmu tidak apa-apa. Kondisinya benar-benar stabil dan semakin baik." Jawab dokter Hans dari seberang sana. Amora mengangguk lega. Ia lalu menatap Dirga sebentar lalu kembali menatap ayahnya. "Ayah, aku akan segera menemui mu. Tunggulah sedikit lebih lama, Yah." Hanya dalam hatinya ia sanggup bicara seperti itu. Karena perjanjian itu membuatnya tak bisa leluasa berbicara. "Terima kasih dokter." Ucap Amora tulus. Panggilan tersebut diputuskan sepihak oleh Dirga. Ia lalu menyerahkan ponsel Dirga kembali, "Makasi Dirga. Terima kasih sudah menjaga ayahku dengan baik." Dirga tertegun. Entah kenapa, kata "Ayahku" membuatnya sedikit tercubit. Dirga mengambil ponsel tersebut dan menjawab ucapan terima kasih Amora dengan gumaman. Amora kembali melangkah. Bahunya tampak bergetar memberi tanda jika wanita itu sedang menangis. *****Dirga duduk di ruang kerja di kantornya, mencoba fokus pada dokumen yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya terus kembali pada wajah Amora yang basah oleh air mata yang ia lihat tadi malam saat ia hendak kembali ke apartemen lama dan hendak melihat keadaan Amora untuk sebentar.Ia tak pernah peduli sebelumnya-air mata orang lain adalah urusan mereka, bukan urusannya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang aneh mengusik hatinya, seperti duri kecil yang menyakitkan meski tak terlihat. Dirga menepis pikirannya, menganggap itu hanya rasa bersalah yang seharusnya tak perlu ia rasakan. "Dia tahu konsekuensinya," gumamnya pelan, tapi suara itu terdengar lebih seperti pembelaan daripada keyakinan.Namun semakin lama Dirga mencoba fokus, semua semakin membuatnya sakit kepala. Dirga memijat pelipisnya, mencoba menghalau rasa lelah yang tak biasa. Pikirannya terus mengembara, kembali ke apartemen tempat Amora berada. Sudah satu bulan mereka menikah, dan meskipun hubungan mereka didasark
"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi.Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka."Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin.Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas."Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?"A
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora. Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh. Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya. Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur. Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. Wa
Seperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga melangkah menuju dapur. Ia menatap dari tempatnya berdiri Amora yang sedang menyantap makanan yang tadi Bik Susi buatkan untuk wanita itu.Dirga mengambil sebotol minuman dingin dan membawanya ke ruang TV dan memilih duduk di samping Amora. Ia bisa melihat Amora terkejut dari sudut matanya. Namun Dirga mencoba bersikap senatural mungkin."Apa yang kamu makan?" Tanyanya."O? Ini? Spaghetti buatan bik Susi. Kamu mau?"Dirga menggeleng, "Habiskan saja itu.""Baiklah."Kecanggungan kembali terjadi. Kali ini tak hanya Amora saja yang merasakannya, Dirga pun juga ikut mati kata. Ia mengumpat dalam hatinya mencaci maki keadaan yang seperti ini."Ayahmu....""Dirga Ayahku,"Keduanya terdiam setelah sama-sama bicara dengan topik yang sama."Kenapa ayahmu?" Tanya Dirga akhirnya.Amora menatap Dirga, "Aku rindu ayahku. Apa aku boleh ke rumah sakit?" Ucapnya bertanya, namun tak ada respon dari Dirga, "Kalau tak boleh juga tak,""Habiskan makananmu, setelah itu bersiap. Kau pergi denganku."
Amora!!" Panggil Dirga lagi namun kali ini dengan nada suara yang sedikit ketus.Amora yang mulai tersadar dengan situasi ini, langsung berpamitan pada Rega dan juga Silva. Tentu saja dengan raut wajah bingung dari keduanya.Suasana dalam mobil mendadak sunyi. Sudah beberapa kali Amora melirik ke arah Dirga namun raut wajah pria itu tetap tajam.Amora tak tahu harus memulai seperti apa. Sebenarnya ia juga ada banyak hal yang berkecamuk di kepalanya. Dan salah satunya adalah Silva. Siapa Silva? Dan kenapa Dirga menjawab dengan jawaban ketus seperti tadi. Dan jika iya dengar dari jawaban Dirga, sepertinya Silva adalah mantan kekasih pria tersebut.Tak jauh-jauh dari pikiran Amora, Dirga juga memikirkan hal yang sama, namun orang yang berbeda. Dalam benar Dirga saat ini adalah perihal Rega dan Amora yang sudah bertukar nomor ponsel."Ga..." Panggilan Amora memecah kesunyian.Pria itu melirik sekilas lalu kembali menatap lurus, "hm?" Gumamnya."Kenapa mobilnya nggak jalan? Apa masih ada y
Dirga duduk di ruang kerjanya dengan kepala bersandar di kedua tangannya. Wajahnya kusut, matanya sembab karena kurang tidur, dan pikirannya terus dihantui oleh bayangan Amora. Sudah satu minggu sejak Amora menghilang, dan selama itu pula ia merasa hidupnya benar-benar berantakan.Dirga tak menyangka hidupnya bisa separah ini sekarang tanpa Amora disisinya. Ia pikir perjanjian itu akan bisa ia atasi, Namun ternyata kali ini ia mengakui jika dirinya sudah kalah telak.Semua usaha telah ia lakukan—melibatkan Ryan untuk melacak sinyal, mencari di tempat-tempat yang mungkin menjadi lokasi penculikan, hingga menyewa detektif swasta—namun hasilnya nihil.Ia memukul meja kerjanya keras-keras hingga beberapa dokumen di atasnya berantakan. "Kenapa begitu sulit? Di mana mereka?!" gumamnya dengan suara bergetar. Dirga selalu menjadi pria yang tenang dan penuh kendali, tetapi kehilangan Amora membuat dirinya berada di ambang kehancuran. Sesuatu yang bahkan tak pernah ia rasakan sebelumnya."Kamu
Amora melangkah memasuki kamar yang telah disiapkan untuknya di villa Tuan Abraham. Langit-langitnya tinggi dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Tirai-tirai putih melambai lembut diterpa angin, memberikan nuansa tenang yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, yang paling mencuri perhatiannya adalah box bayi berwarna putih dengan hiasan renda halus di sudut ruangan. Matanya membelalak, dan dadanya terasa sesak oleh campuran emosi yang tak terjelaskan."Nyaman, bukan?" suara seorang wanita menyapa dari belakang. Amora menoleh dan mendapati seorang asisten rumah tangga berdiri di sana dengan senyum ramah. "Kami ingin memastikan Anda merasa seperti di rumah sendiri, Nyonya Amora."Amora masih canggung mendengar dirinya disebut "Nyonya." Ia hanya mengangguk pelan dan tersenyum. "Terima kasih... semua ini terasa terlalu mewah untuk saya."Wanita itu tersenyum lebih lebar. "Tuan Abraham berpesan agar Anda mendapatkan yang terbaik. Jika ada yang Anda butuhkan, Anda hanya perlu
Ruangan kantor Dirga terasa mencekam setelah insiden yang baru saja terjadi. Dirga mondar-mandir dengan raut wajah penuh kecemasan, ponselnya terus-menerus ia genggam erat, berharap ada kabar masuk tentang Amora. Namun, yang ada hanyalah keheningan yang membuat pikirannya semakin kacau. Bayangan Amora yang berteriak sambil diseret ke dalam mobil hitam di depan matanya terus menghantui. Ia merasa tak berdaya, dan rasa bersalah perlahan menggerogoti hatinya.Dengan napas tersengal, Dirga menghubungi Ryan, sahabatnya semasa kuliah yang kini bekerja sebagai ahli IT di perusahaan besar. Telepon itu diangkat hanya dalam hitungan detik.“Ryan, aku butuh bantuanmu sekarang,” suara Dirga terdengar tergesa-gesa, hampir seperti perintah.“Ada apa? Suaramu terdengar kacau,” tanya Ryan dengan nada serius.“Amora… dia diculik. Tepat di depan mataku. Aku tidak tahu harus mulai mencari dari mana. Aku butuh keahlianmu, Ryan. Lacak mobil itu, apapun caranya!” Dirga memukul meja kerjanya dengan frustras
"Jadi maksudmu, dia menjadikan pernikahannya sebagai pernikahan di atas kertas dan akan selesai saat waktunya tiba?" Tuan Abraham duduk di sofa mahal di villanya sembari menatap lurus ke depan, menopangkan kedua tangannya pada tongkat kesayangannya."Ia Tuan. Yang tahu hal ini hanya Tuan Andreas dan istrinya, serta mantan kekasih Dirga yang tahu dari maminya Dirga."Abraham mengulum senyum, namun bagi yang melihat senyum Abraham, tidak akan pernah berpikir jika senyum itu menandakan pria itu puas atau bahagia. Ia masih ingat saat ia memberikan syarat pada Andreas untuk Dirga bisa menjadi penerus utama Abraham Company. Tapi ia tak menyangka jika Dirga bisa melakukan hal semenjijikan ini hanya untuk sebuah jabatan. "Berarti kalau dihitung-hitung sejak Dirga menikah, ini sudah 8 bulan.""Benar tuan.""Baiklah, terima kasih atas informasi yang kau berikan Antonio. Kau boleh pergi."Sepeninggalan Antonio, Abraham langsung mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang. "Saya punya satu
Tiga hari sudah Amora berada di rumah sakit dan hari ini ia akan bersiap-siap pulang ke apartemen. Semenjak ia dirawat di rumah sakit, ia tak tahu lagi Bagaimana kabar di luaran sana. Pasalnya Dirga benar-benar menjaga semuanya dengan baik. Namun satu hal yang ia tahu, di apartemen saat ini ada bodyguard perempuan yang disewa oleh Dirga untuk menjaga keadaan di rumah. Bodyguard cantik itu bernama Kiara. Dan terakhir yang ia tahu Kiara 5 tahun di bawahnya. Mungkin ini tujuan Dirga mencari Kiara, Karena untuk bisa berteman dengan dirinya. "Kita pulang hari ini nona." Ucap Kiara dengan wajah kakunya. Amora menatap Kiara dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Dan tatapan itu langsung membuat Kiara gugup."Bicaralah dengan sedikit lebih santai denganku Kiara. Kamu ngomong begini aku yang sesak nafas." Gerutu Amora. Bi Susi yang mendengar itu langsung mengulum senyumnya. Ia lalu menatap Kiara yang nampak juga bingung. "Lakukan sesuai perintah dia. Dia cukup usil kalau kau mau melih
Kemarahan Dirga saat keluar dari rumah utama, membuat Andreas berinisiatif untuk mengunjungi Amora di rumah sakit. Ia menatap gusar jalan Raya. Ada rasa takut di hatinya jika papanya yang tak lain adalah kakek kandung dari Dirga mengetahui kabar ini. "Kamu jangan beritahu siapa-siapa Bobby? Yang tahu kegaduhan ini hanya keluarga inti saja dan juga kamu." Ucap Andreas pada sopir pribadinya. ''Baik Pak. Tapi bagaimana kalau cerita ini sampai ke telinga Tuan Abraham?""Entahlah. Saya sendiri juga bingung harus menjelaskannya seperti apa."Andreas menyandarkan kepalanya di sandaran kursi. Ia masih ingat Bagaimana papanya dulu mengatakan pada Andreas jika Dirga harus menikah. Karena kakeknya Dirga itu tidak ingin memberikan warisannya untuk Dirga jika cucunya itu masih lajang. Banyak hal yang ia rahasiakan saat ini dari papanya Itu. Pertama masalah yang terjadi hari ini, kedua Dirga yang lebih memilih menjadikan istrinya sebagai istri kontrak, yang mana jika papanya tahu, pasti akan mur
Sementara itu di rumah sakit, Amora masih belum sanggup untuk bicara. Sejak ia tersadar sampai saat ini, hanya tiga kata yang ia ucapkan pada Dirga tadi yang keluar dari mulutnya. Bik Susi bahkan merasa sangat kasihan pada Amora."Non, non Amora mau sesuatu?" Tanya bi Susi dan lagi-lagi jawaban Amora hanya gelengan saja. Wanita paruh baya itu seketika menghela nafas panjang. Ia mendekatkan kursinya pada Amora, "Non, non Amora tahu tidak, Bagaimana gilanya Tuan Dirga tadi Saat ia sampai di rumah sakit." Ucap Bik Susi sedikit memancing, namun Amora justru langsung melirik ke arah bi Susi. Bi Susi sedikit bersorak dalam hatinya karena sudah berhasil memancing istri dari majikannya ini. Dan tentu saja ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini untuk membangkitkan kembali semangat Amora. "Tuan Dirga sedang rapat saat bibi menelponnya dan mengatakan jika non masuk rumah sakit. Dan saat Tuan Dirga sampai di rumah sakit, Dia benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Bahkan rambutnya juga
Dirga berlari kencang menerobos lorong rumah sakit yang saat ini sedang ramai. Ia bahkan tak mempedulikan orang-orang yang ia tabrak. Pikirannya benar-benar kacau, suasana hatinya buruk dan emosinya naik sampai ubun-ubun.Saat ia sedang rapat, ia mendapat kabar dari asisten rumah tangganya jika Amora pingsan karena di dorong oleh perempuan bernama Silva yang di bawa oleh maminya."Shit! Kau akan dapat akibatnya Silva!!" Geramnya. Ia langsung berlari menuju ruang ICU. Dan dari kejauhan ia bisa melihat asisten rumah tangganya yang duduk di depan ruangan. Wajah wanita paruh baya itu terlihat nampak cemas. "Bik, Bagaimana Amora?" Tanyanya dengan suasana yang juga terlihat sangat berantakan. "Non Amora masih di dalam tuan. Tapi sudah sejak tadi dokter belum keluar juga. Bagaimana ini tuan. Saya sudah mencoba menolong tapi, tapi mami Tuan sama, perempuan itu," bi Susi tidak bisa berkata-kata lagi. Otaknya masih mengingat dengan jelas apa yang tadi Silva lakukan pada Amora. Pintu kamar s
Amora menatap dasi yang Dirga berikan padanya. "Pakaikan?" Ulangnya. Dirga mengangguk. "Kamu bukannya bisa pakai sendiri?""Tapi ini tugas kamu Amora."Amora terdiam seketika. "Tugas?""Iya. Sudah sepatutnya bukan seorang istri memakaikan dasi suaminya."Deg!Jantung Amora berdebar seketika. Darahnya berdesir, tubuhnya meremang. Ia yakin saat ini pipinya sudah merona malu. Secara perlahan Amora mengambil dasi yang ada di tangan Dirga. Tapi satu hal yang membuat Amora kesusahan, yaitu tinggi Dirga yang seketika membuatnya lelah.Dirga yang saat jika Amora sedang kesulitan, langsung melangkah menuju tepian ranjang dan duduk di sana. "Sini!" Perintahnya.Amora menurut dan masih dengan debaran yang sama. Ia melangkah mendekati Dirga dan berdiri tepat di hadapan pria tersebut. Ia sedikit menunduk karena kini posisinya sedikit lebih tinggi dari Dirga.Namun posisi ini yang membuatnya semakin gila. Pasalnya wajahnya menjadi semakin dekat dengan wajah Dirga. Apalagi pria itu yang kini menata