Amora berdiri di depan cermin besar di kamar apartemen baru yang kini disebut sebagai "rumah." Ia baru saja 'sah' menjadi istri seorang Dirgantara. bahkan Gaun putih sederhana yang ia kenakan tadi masih membalut tubuhnya dengan sangat indah. Jika pernikahan ini karena cinta, Sudah bisa dipastikan dirinya akan menjadi pengantin wanita paling bahagia di dunia ini. tapi nyatanya, Ia harus menelan pil pahit karena semuanya hanyalah sebuah perjanjian. Pernikahan yang sangat Amora impikan, hanyalah sebuah perjanjian.
Amora semakin dibuat lirih saat ia menatap jari manisnya yang tak melingkar apapun. Seharusnya ada cincin di sini. tapi justru yang ia lihat hanyalah jemarinya saja tanpa cincin pengikat. "Hahaha, Apa yang kau harapkan Amora! semuanya hanya perjanjian. Hamil lah dan lahirkan anaknya setelah itu kau harus siap dibuang seperti sampah." Ujarnya pada dirinya sendiri sembari menatap ke depan cermin. "Oh, kau masih di depan cermin? keluarlah! Ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Itu Dirga, Suaminya. masih dengan ekspresi yang sama. bedanya, nada bicara Dirga sedikit berubah. Dan kata 'Suami' Yang ia sematkan pada Dirga, terdengar sangat lucu baginya. Amora menghela nafas panjang. "Biarkan aku melepaskan pakaian ini sebentar." ujarnya. Dirga tak menjawab, pria itu langsung keluar membuat Amora berdecak kesal, "Bahkan kau tak mau membantuku untuk melepaskan ini." Ucapnya. Setelah Dirga keluar, Amora segera membuka gaun tersebut. Walaupun kesusahan, akhirnya ia berhasil. Amora melangkah menuju koper miliknya dan mengeluarkan selebar gaun rumahan yang terlihat santai namun tak terlalu murah. gaun bermotif poladot berwarna putih peach itu terlihat begitu cocok di kulit Amora yang bersih dan cerah. Setelah selesai, ia lalu keluar dari kamar dan melangkah menuju ruang santai yang ada di samping dapur. Di sana ia sudah melihat Dirga. Pria itu tak sendiri. di samping Dirga ada seorang laki-laki yang mengenakan jas dokter. Egheemm. Amora berdehem, menarik perhatian dua orang yang sedang sibuk berbicara tersebut. "Oh, kau sudah di sini. duduklah!" perintah Dirga. Amora menurut. gadis itu melangkah menuju sofa yang ada di seberang Dirga. "Amora, dia dokter Hans. dia yang akan menjaga ayahmu selama kau di sini." Amora menatap Dirga dan Hans bergantian. "Ke--kenapa dia? Aku masih bisa menjaga ayahku Dirga." protes Amora. "Dan kau pikir aku akan mengizinkan?" "Dirga!" "Tugasmu hanya melahirkan anakku Amora. setelah itu kau bebas menjaga ayahmu." Amora benar-benar dibuat tak habis pikir dengan apa yang ada dalam pikiran Dirga saat ini. membiarkan orang lain menjaga ayahnya disaat dirinya masih sehat seperti ini? sangat tak masuk akal. "Kau tak sedang bercanda denganku kan?" Amora merasakan matanya memanas. "Apa aku terlihat bercanda?" "TAPI KENAPA? Kenapa Dirga? Aku masih sehat, aku masih kuat untuk menjaga ayahku. ini tak masuk dalam perjanjian kita. Kau minta aku melahirkan anakmu kan? Akan aku lakukan Dirga, tapi biarkan aku tetap menjaga ayahku. dia butuh aku Dirga." Air matanya sudah terjaut. Hatinya sangat terluka. Sementara Dirga yang melihatnya hanya berdecak malas. pria itu seolah tak peduli dengan air mata yang saat ini menetes dari mata cantiknya Amora. Yang ada dalam benak Dirga saat ini adalah, ia bisa mendapatkan keturunan dengan cepat. Karena itu, Dirga ingin Amora tidak terpengaruh dengan pikiran kesehatan ayahnya. "Kau terlalu berlebihan Amora. Padahal yang ku tawarkan padamu sangatlah menggiurkan. Seorang dokter pribadi yang ku utus langsung untuk membantumu menjaga ayahmu, tapi reaksimu sangat berlebihan." Ujar Dirga masih dengan raut tenang. Sementara Amora merasakan jantungnya berdenyut pilu. Dirga benar-benar keterlaluan. Membuat keputusan sepihak sesuai keinginan pria tersebut. "Tapi aku masih sanggup menjaga ayahku Dirga. Aku mohon biar aku yang menjaga ayahku sendiri. Hanya dia satu-satunya yang aku punya." "Tak akan Amora. Kau tak boleh keluar dari apartemen ini. Kau pikir apa alasanku membawamu ke apartemen baru dari pada tinggal di apartemenku sebelumnya? Karena aku ingin tak ada yang tahu kita menikah." Amora merasakan dunianya hancur. Sakit yang Dirga berikan padanya sungguh tak bisa ia tahan. "Baik. Kau hanya ingin aku punya anak dan melahirkan anak itu bukan? Ayo lakukan! Kita lakukan sekarang." Ucap Amora lirih. Bahkan ia tak memikirkan rasa malunya lagi. Dirga mengetatkan rahangnya kuat lau menatap Amora dengan tatapan tajam. Namun Amora tak peduli. Ia tak memikirkan rasa sakit lagi. Raga dan jiwanya sudah hancur. Semua sudah dikendalikan sampai waktu yang tak bisa di tentukan. Amora menatap dokter Hans. Namun ia tak bisa bicara sepatah katapun. Amora memutuskan untuk berdiri dan kembali ke kamarnya, membanting pintu kamar tersebut cukup keras. Dirga menatap Hans, "Pergilah dan lakukan tugasmu." Titahnya pada Hans. Pria itu mengangguk dan memilih izin dari kediaman itu. Setelah mengantarkan Hans sampai pintu masuk apartemennya, Dirga langsung melirik pintu kamar Amora dengan tajam. Ia melangkahkan kakinya tegas menuju kamar tersebut dan membuka pintunya dengan kasar. Amora menatap Dirga dengan tajam. "Kau jahat Dirga." Ucapnya pelan nyaris berbisik. "Kau sudah sepakat dengan situasi ini Amora. Karena itu kalau kau ingin cepat keluar dari sini, hamil dan lahirkan anakku." Amora kehilangan arah. Hidupnya sudah hancur. Pernikahan bahagia yang ia impikan itu hanyalah omong kosong. Justru ia menjual anaknya nanti. Sungguh perempuan gila. Amora berdiri dari duduknya, ia lalu menatap Dirga tajam. "Ayo lakukan. Kau ingin anak kan? Ayo lakukan." Amora melangkah mendekati Dirga sembari mengarahkan jemarinya pada resleting gaun santai yang ia kenakan. Sreett. Gaun itu mulai terlepas dari tubuhnya jatuh kebawah. Hawa dingin bahkan langsung menyentuh kulit Amora. Tak hanya sampai di situ, Amora juga dengan lincah melepaskan bra yang menjadi penutup dari bongkahan sintal itu dan terlepas juga. Dirga tersenyum sinis, "Kau lebih murah dari yang aku bayangkan Amora." "Tak masalah. Bagaimanapun keadaannya, kau suamiku sekarang Dirga. Bahkan aku berkeliaran di hadapanmu tanpa busana pun tak akan membuatku berdosa. Terlepas dari kontrak sialan itu, aku istrimu dan kau, suamiku." Amora benar-benar berani menentang Dirga. Sangat jauh berbeda dengan Amora sebelum pernikahan itu dilakukan. Dirga bahkan tak bisa menahan gejolak di tubuhnya saat tubuh setengah telanjang Amora kini berada sangat dekat darinya. Namun sungguh ia tak mau melakukannya sekarang. Ia masih harus melakukan sesuatu yang penting. "Pakai kembali bajumu. Aku akan menyentuhmu saat aku mau." Ucap Dirga tajam. Dirga hendak berbalik namun entah dapat keberanian dari mana, Amora justru menarik tangan Dirga membuat pria itu kembali berbalik dan dunia seperti berhenti persekian detik saat Dengan beraninya Amora mencium Dirga tepat pada bagian bibir. Berbekal dari drama yang pernah ia lihat, adegan ciuman yang panas itu harus ia praktekkan di sini. Amora memejamkan matanya dan mulai menggerakkan bibirnya untuk bermain di atas bibir Dirga. Ia sudah menjadikan dirinya murahan sekarang agar bisa cepat bertemu dengan ayahnya. Dia menggoda Dirga saat ini agar bisa cepat hamil dan melahirkan setelah itu menghilang dari kehidupan Dirga. Sementara Dirga, sekuat apapun ia menyangkal, reaksi tubuhnya tak bisa dielakkan. Malam yang panas itu akhirnya terjadi. Namun bagi Amora, malam panas itu hanyalah sebuah mimpi buruk. Mahkota yang ia jaga justru lepas di bubuhan tinta perjanjian. Cinta yang ia rasakan untuk Dirga kini berubah luka. Dirga suaminya tapi bukan suaminya. Luka itu akan membekas. Malam panas ini akan menyisakan rasa sakit yang tak tahu kapan bisa disembuhkan. *****Jam menunjukkan pukul tiga subuh. Dirga masih terjaga setelah pergulatan panjangnya dengan Amora yang baru selesai satu jam yang lalu. Ia tak menyangka keberanian Amora membuat mereka berakhir di atas ranjang yang sama. Entah berapa kali ia melepaskan calon anaknya di Rahim Amora. Dan ia berharap jika itu bisa cepat menghasilkan. Dirga memejamkan matanya. Ia bersandar di sandaran tempat tidur. Hanya sebentar, ia kembali membuka matanya dan menatap Amora yang kini sudah terlelap dengan tubuh telanjang yang hanya ditutupi selimut tebal. Tatapan Dirga terlihat kosong. Ia kembali teringat satu bulan yang lalu, kakeknya memberikan ancaman padanya.Satu bulan yang lalu, "Dirga, jangan bermimpi menjadi penerus utama keluarga ini jika kau belum memiliki keturunan. Warisan ini bukan untuk pria yang tak bisa melanjutkan garis keluarga." Dirga mengepalkan tangannya, merasa terdesak oleh tuntutan keluarga yang tak pernah memberinya ruang untuk memilih. Itulah alasan ia membuat keputusan dingin
Dirga duduk di ruang kerja di kantornya, mencoba fokus pada dokumen yang terbuka di hadapannya. Namun, pikirannya terus kembali pada wajah Amora yang basah oleh air mata yang ia lihat tadi malam saat ia hendak kembali ke apartemen lama dan hendak melihat keadaan Amora untuk sebentar.Ia tak pernah peduli sebelumnya-air mata orang lain adalah urusan mereka, bukan urusannya. Tapi kali ini berbeda. Ada sesuatu yang aneh mengusik hatinya, seperti duri kecil yang menyakitkan meski tak terlihat. Dirga menepis pikirannya, menganggap itu hanya rasa bersalah yang seharusnya tak perlu ia rasakan. "Dia tahu konsekuensinya," gumamnya pelan, tapi suara itu terdengar lebih seperti pembelaan daripada keyakinan.Namun semakin lama Dirga mencoba fokus, semua semakin membuatnya sakit kepala. Dirga memijat pelipisnya, mencoba menghalau rasa lelah yang tak biasa. Pikirannya terus mengembara, kembali ke apartemen tempat Amora berada. Sudah satu bulan mereka menikah, dan meskipun hubungan mereka didasark
"Hamil?" Dirga menyipitkan matanya, tak menyembunyikan keterkejutannya. Apa benar Amora Hamil? Kalau benar, itu artinya ia akan segera mendapatkan keturunan. Ada rasa lega di hati Dirga. Karena sebentar lagi ia akan punya anak dan menjadi pewaris utama untuk Abraham Company.Tanpa bicara banyak lagi dengan Susi, Dirga kembali masuk ke dalam, ia mendorong pintu kamar Amora tanpa banyak basa-basi, langkahnya terhenti saat telinganya menangkap suara samar-samar seseorang yang muntah dari arah kamar mandi.Dahinya berkerut, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang pintunya sedikit terbuka."Amora?" panggilnya, suaranya tegas namun tak sepenuhnya dingin.Saat pintu terdorong lebih lebar, Dirga menemukan pemandangan yang membuat langkahnya terhenti. Amora berlutut di depan wastafel, tubuhnya tampak gemetar, satu tangan bertumpu di wastafel untuk menahan tubuhnya yang jelas lemas."Amora!" Dirga langsung menghampiri, menunduk di sampingnya. "Apa yang terjadi?"A
Jam sudah menunjukkan pukul 1 dini hari dan Amora belum juga bisa tertidur. Sejak tadi otaknya berkelana membayangkan Dirga. Bukan membayangkan sesuatu yang baik, namun membayangkan sesuatu yang panas dan menggairahkan. Amora bahkan sampai menggigit bibir bawahnya. tak ada yang bisa ia lakukan untuk mewujudkan bayangannya tersebut.Amora melirik ponselnya. Ia mengambil ponsel tersebut dan langsung berkelana di dunia maya mencari perasaan apa yang saat ini ia rasakan dan setalah ia tahu, tubuhnya seketika menegang. "Jika tak kamu dapatkan, maka kamu akan selalu uring-uringan?" gumam Amora sembari membaca tulisan yang tertera pada artikel yang ia temukan.lagi-lagi Amora menggigit bibir bawahnya. Namun detik berikutnya ia menggeleng kuat. "Nggak mungkin. pasti ini cuma keinginan semu semata." Ucapnya mencoba membantah. Agar ia tak berlarut dalam situasi aneh seperti ini, Amora pun memutuskan untuk keluar dari kamar. Walaupun AC di kamarnya sangat dingin namun entah kenapa ia merasa k
Amora terbangun dengan tubuh terasa lebih ringan dan segar. Ia membuka matanya perlahan, membiarkan cahaya matahari pagi menyapanya dari sela tirai kamar yang tertutup dan ditiup angin. Saat ia menyibak selimut, seketika wajahnya memanas. Tubuhnya... kosong. Tak sehelai benang pun melekat di kulitnya.Ia terdiam beberapa saat, mencoba mencerna situasi. Ketika ingatan tentang kejadian semalam kembali menghampiri, wajahnya seketika memerah. Dirga. Ia dan Dirga... Amora menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menutupi rasa malunya meski ia hanya seorang diri di kamar itu.Ia teringat betapa ia tak bisa menahan dirinya tadi, rasa manja yang muncul tiba-tiba saat ia ngidam untuk dipeluk oleh Dirga. Ia bahkan mengingat dengan jelas bagaimana ia meminta Dirga untuk memeluknya dan keributan kecil perihal es krim miliknya yang dibuang Dirga. Otaknya kembali mengingat bagaimana Dirga akhirnya menuruti keinginannya dan memeluknya erat, Amora tak bisa menahan senyum kecil yang muncul di
Dirga baru saja sampai di apartemen yang Amora tempati. Setelah semalaman suntuk ia tak bisa tidur karena memikirkan pesan yang Rega kirimkan padanya, pagi-pagi buta Ia memutuskan untuk pergi ke apartemen Amora. Saat ia masuk ke dalam, ruangan Masih gelap gulita, bahkan bi Susi belum bangun dari tidur. Dirga menatap jam yang ada di pergelangan tangannya dan masih menunjukkan pukul 04.00 subuh. Ia melihat pintu ruangan Amora. Tanpa pikir panjang ia melangkah mendekati pintu tersebut dan membukanya. Amora masih tertidur pulas, itulah yang ia lihat di hadapannya saat ini. Dirga mendekat secara perlahan, dan entah kenapa ia merasa tenang melihat Amora yang seperti ini, daripada harus melihat Amora yang selalu mual dan muntah di kamar mandi.Dirga melihat sisi kosong yang ada di samping Amora. Ia pun memutuskan untuk berbaring di sana dan tak lama Ia pun tertidur. Sinar mentari pagi mulai menyapa di balik gorden yang ada di kamar Amora. Wa
Seperti apa yang Dirga katakan tadi, pria itu memboyong Amora dan juga bik Susi untuk pindah ke apartemen utama miliknya. Namun karena kamar di apartemennya itu hanya ada dua, jadi mau tidak mau Amora tidur di kamarnya, sementara kamar tamu akan diisi oleh Bik Susi. Dan ini pertama kalinya ia masuk ke dalam kamar Dirga yang ada di apartemen utama. Karena sejak mereka menikah, Dirga langsung membawanya ke apartemen kedua.Dengan perasaan canggung, Amora mendorong kopernya masuk ke dalam kamar Dirga. Dan untuk persekian detik, ia merasa kagum dengan kamar tersebut. Semua interiornya terlihat sangat mahal dan elegan. Dan itu merupakan ciri khas dari Dirga sendiri. Amora menatap ranjang yang cukup besar. Bisa diisi oleh 4 orang dewasa tanpa harus sempit-sempitan. Di sudut kamar ada lemari khusus miniatur anime jepang yang bertema bajak laut dengan topi jeraminya. Amora tersenyum tipis melihat koleksi Dirga tersebut."Sampai anak itu lahir, kamu tidu
Dirga melangkah menuju dapur. Ia menatap dari tempatnya berdiri Amora yang sedang menyantap makanan yang tadi Bik Susi buatkan untuk wanita itu.Dirga mengambil sebotol minuman dingin dan membawanya ke ruang TV dan memilih duduk di samping Amora. Ia bisa melihat Amora terkejut dari sudut matanya. Namun Dirga mencoba bersikap senatural mungkin."Apa yang kamu makan?" Tanyanya."O? Ini? Spaghetti buatan bik Susi. Kamu mau?"Dirga menggeleng, "Habiskan saja itu.""Baiklah."Kecanggungan kembali terjadi. Kali ini tak hanya Amora saja yang merasakannya, Dirga pun juga ikut mati kata. Ia mengumpat dalam hatinya mencaci maki keadaan yang seperti ini."Ayahmu....""Dirga Ayahku,"Keduanya terdiam setelah sama-sama bicara dengan topik yang sama."Kenapa ayahmu?" Tanya Dirga akhirnya.Amora menatap Dirga, "Aku rindu ayahku. Apa aku boleh ke rumah sakit?" Ucapnya bertanya, namun tak ada respon dari Dirga, "Kalau tak boleh juga tak,""Habiskan makananmu, setelah itu bersiap. Kau pergi denganku."
Malam itu terasa begitu tenang di kediaman kakek Dirga. Angin pegunungan berhembus sejuk, membawa aroma dedaunan basah yang menenangkan. Di balkon kamar Silva, ia bersandar di dada Ryan, menikmati momen langka tanpa rasa cemas. "Anginnya enak banget di sini, ya," ucap Silva sambil menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang. Ryan melingkarkan lengannya di pinggang Silva, mempererat pelukan mereka. "Iya, tenang banget. Kalau begini, aku harap waktu berhenti saja," balas Ryan dengan suara pelan. Ia menundukkan kepalanya, menatap wajah Silva yang terlihat damai dalam dekapan. Silva tersenyum kecil, kemudian mendongak menatap Ryan. "Kalau waktu berhenti, masalah kita juga nggak akan selesai, Ryan." Ia tertawa kecil, mencoba menyisipkan humor di tengah kenyamanan mereka. Ryan ikut tersenyum. "Masalah itu selalu ada, Sayang. Tapi yang penting, kita hadapi bareng-bareng. Aku nggak akan biarin kamu hadapi semuanya sendirian." Ucapan itu terdengar tulus, membuat Silva merasakan hangat di
Dirga menyandarkan tubuhnya di kursi mobil sambil melirik Ryan yang duduk di sebelahnya sambil menyetir mobil. Mereka sedang dalam perjalanan ke apartemen Ryan untuk menjemput Silva. Setelah mempertimbangkan berbagai opsi, Dirga memutuskan bahwa Silva akan lebih aman jika tinggal di kediaman kakeknya. Dan Dirga sendiri sudah berbicara pada kakeknya untuk meminjamkan salah satu rumah milik kakek Dirga agar Silva bisa tinggal di sana, namun harus tetap memberikan pantauan yang aman.Dirga juga sudah menceritakan semuanya pada kakeknya tentang hubungan Ryan dan Silva dan Silva yang saat ini sudah berubah dan tidak seperti Silva yang dulu lagi. Karena itulah, kakeknya Dirga setuju dengan permintaan Dirga itu.“Kamu tahu, Ryan,” Dirga membuka pembicaraan, “Silva sebenarnya menolak pindah dari apartemenmu bukan karena dia keras kepala.”Ryan, yang sedang fokus menyetir, melirik Dirga sekilas. “Terus apa alasannya?” tanyanya dengan nada penasaran.Dirga tersenyum tipis, matanya menatap kel
Dirga duduk mematung di ruang tamu apartemen Ryan, matanya membelalak saat Silva tiba-tiba muncul dari salah satu kamar. “Silva?” tanyanya dengan nada penuh keterkejutan. Silva tampak canggung, melangkah pelan keluar dari kamar tamu dengan kepala tertunduk. Dirga mengalihkan pandangannya ke Ryan, meminta penjelasan.Ryan mengangkat tangannya, mencoba menenangkan Dirga. “Dirga, biar aku jelaskan. Silva sudah tinggal di sini selama dua hari. Dia membutuhkan tempat aman, dan aku tidak bisa membiarkannya sendirian.” ucap Ryan yang tentu saja berbohong semua karena memang Ryan yang memaksa Silva untuk tinggal bersamanya. Silva bahkan mendengus kesal mendengar ucapan Ryan tadi.Dirga menghela napas panjang. “Kamu tahu, Ryan, aku nggak suka dilibatkan dalam hal yang aku nggak tahu sebelumnya." Ucapnya. "Aku tahu Dirga. Tapi aku juga tak bisa membiarkan Silva sendirian. Apalagi dengan situasi seperti ini. Lelaki gila mana yang membiarkan kekasihnya dikejar oleh pria lain dan untuk dijadikan
Hari itu adalah pagi yang sibuk di kantor Abraham Company. Dirga sedang memeriksa beberapa dokumen penting di ruangannya ketika seorang karyawan mengetuk pintu dan mengabarkan bahwa ada tamu tak diundang yang ingin menemuinya. Dirga mengerutkan kening, penasaran siapa yang datang tanpa janji terlebih dahulu.“Siapa?” tanya Dirga singkat, tetap fokus pada dokumennya.“Pak Adrian dari Angkasa Group,” jawab karyawan itu dengan sedikit ragu.Mendengar nama itu, Dirga langsung mendongak. Adrian? Dirga tahu siapa pria itu, CEO dari salah satu perusahaan besar yang cukup terkenal. Tapi ia tidak pernah punya urusan dengan Adrian, apalagi menjalin hubungan kerja sama.“Suruh dia masuk,” kata Dirga akhirnya, penasaran dengan maksud kedatangan pria tersebut.Tak lama kemudian, pintu ruangannya terbuka, dan Adrian melangkah masuk dengan percaya diri. Penampilannya rapi dan karismatik, tetapi ada aura tegang yang jelas terlihat dari sorot matanya. Dirga berdiri untuk menyambut, tetapi tetap menjag
Adrian menghempaskan pintu apartemen Silva dengan keras. Matanya langsung menyapu setiap sudut ruangan, mencari keberadaan gadis yang selama ini membuatnya merasa punya kendali penuh. Namun, apartemen itu kosong. Sunyi. Hanya ada bayangan dirinya yang terpantul di kaca besar ruang tamu.Ia melangkah cepat ke kamar Silva, membuka pintu lemari dengan kasar. Hatinya langsung bergejolak melihat ruang yang hampir kosong. Beberapa gantungan pakaian masih ada di sana, tapi mayoritas pakaian dan koper Silva sudah menghilang. Adrian mengepalkan tinjunya, merasakan amarah yang mulai membara dalam dadanya.“Silva! Apa-apaan ini?!” gumamnya dengan nada geram. Ia berbalik ke meja rias, mencari tanda-tanda lain. Semua barang yang biasa Silva gunakan juga tidak ada di tempatnya. Adrian merasa seperti ditinggalkan tanpa peringatan, dan itu memukul egonya dengan keras.Tidak ingin berlama-lama dalam ketidakpastian, Adrian berjalan ke ruang tamu dan mengeluarkan ponselnya. Ia langsung menekan nomor Sil
Merajuk. Itulah yang Silva lakukan. Setelah beberapa kali Ryan menciumnya ia memilih untuk tak menyapa Ryan walaupun pria itu selalu membujuknya."Va, Jangan marah." Bujuknya pada Silva. Namun lagi-lagi Silva tak mengindahkan. Baginya mendiamkan Ryan bisa memberikan sedikit jera untuk pria tersebut agar tak asal tempel bibir.Ryan melangkah mendekati Silva lalu memeluk gadis tersebut. "Jangan marah, hm..." Pintanya gemas.Silva menghela nafas berat, Ia melipat tangan ke dada lalu menatap Ryan, "Kamu mikir nggak sih yang kamu lakuin barusan?" ucapnya. Ryan dengan entengnya mengangguk, "Mikir kok. kenapa emangnya?""Hah? Kenapa? Kamu masih nanya kenapa? Ryan, Kamu itu udah kelewatan. Kamu pikir kamu tadi ngapain? kenapa bisa leluasa seperti itu?""Oooo, Aku pikir kenapa. gini lho," Ryan menarik pinggang Silva untuk duduk mendekat padanya namun Silva menolaknya. "Ngomong aja, nggak perlu tarik-tarik segala. Aku lagi kesel sama kamu. jadi jangan sok manis." ucapnya yang langsung membua
Silva mendorong Ryan yang tak mau menghentikan ciuman tersebut. Ia dibuat sesak nafas karena ulah Ryan."Ryan!" Teriaknya."Apa?""Kamu, apaan sih!""Apa?""Kamu mau bunuh aku?""Nggak. Aku cuma sedikit kesal."Silva menautkan alisnya, "kesal? Kenapa?""Karena Dirga yang lebih dulu melakukannya. Berarti Dirga itu ciuman pertamamu kan." Ucap Ryan yang cukup nampak cemburu,Silva menatap Ryan dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami apa yang baru saja keluar dari mulutnya. "Ryan, kamu nggak waras ya? Kita lagi ngomongin apa, kenapa tiba-tiba kamu jadi cemburu sama Dirga?"Ryan mendengus pelan, lalu menyandarkan punggungnya ke sofa. "Aku nggak cemburu," jawabnya, meskipun nada suaranya terdengar jelas bertentangan dengan pernyataan itu.Silva mendekat, menyilangkan tangan di depan dadanya. "Oh, jadi kamu nggak cemburu? Terus kenapa kamu marah-marah soal Dirga? Ciuman pertama, segala macam... Itu hal yang udah lewat, Ryan."Ryan memalingkan wajah, matanya menatap kosong ke arah jende
Silva duduk di sofa ruang tamunya dengan tangan yang saling menggenggam erat. Wajahnya tampak tegang saat Ryan berdiri di depannya, tatapannya penuh dengan campuran amarah dan kebingungan. Ryan baru saja selesai berbicara, meyakinkan Silva untuk membiarkannya ikut campur dalam masalahnya dengan Adrian. Tapi Silva menggeleng pelan, menunduk, dan menarik napas panjang sebelum akhirnya mengangkat wajahnya.“Ryan, aku nggak mau kamu terlibat,” ucapnya, suaranya rendah tapi penuh ketegasan. “Ini masalahku, bukan masalahmu. Aku nggak ingin kamu terseret ke dalam kekacauan ini. Adrian bukan orang yang mudah dihadapi, dan aku nggak mau kamu celaka karenanya.”Ryan mendengus kesal, melipat tangannya di dada. “Silva, aku nggak peduli siapa Adrian atau seberapa berbahayanya dia. Aku peduli sama kamu, dan aku nggak akan tinggal diam kalau dia terus memperlakukanmu seperti ini. Dan harusnya kamu yang nggak usah berurusan dengan pria itu."“Tapi aku peduli sama kamu, Ryan!” Silva membalas dengan n
Ryan tersentak ketika ponselnya bergetar di atas meja. Namun, dering itu hanya berlangsung sebentar. Ia segera melirik layar ponselnya, dan alisnya langsung bertaut saat melihat nama Silva muncul di sana. Tanpa berpikir panjang, Ryan segera menekan tombol panggil untuk menghubungi Silva kembali.Panggilan itu tersambung setelah beberapa nada. Namun, suara di seberang terdengar lemah, hampir tidak terdengar. "Silva? Kamu di mana? Kenapa telepon aku? Terjadi sesuatu?" Ryan langsung bertanya dengan nada cemas.Silva menghela napas panjang sebelum menjawab. Suaranya terdengar bergetar. "Aku… aku ada di apartemen. Aku butuh bicara sama kamu, Ryan," katanya singkat."Apartemenmu?" Ryan memeriksa jam di dinding. Sudah hampir tengah malam. "Apa yang terjadi? Kamu baik-baik saja?""Tolong datang, Ryan. Aku nggak tahu harus ngomong sama siapa lagi," suara Silva terdengar putus asa. Itu cukup bagi Ryan untuk langsung bangkit dari tempat duduknya dan mengambil kunci mobil."Baik, tunggu di sana.