Konon, setiap tetes air mata yang menetes dari seorang istri, adalah sebuah luka yang paling dalam dari seorang wanita. Bagaimana tidak, goresan luka mereka tuaikan ke dalam rintik air mata dan raungan. Itulah yang sedang Angga lihat saat ini. Tangis istrinya kian kencang. Wajah putih mulus Nova berubah merah bak buah ceri. Wanita itu memalingkan wajahnya dari Angga. Menghadap dinding polos yang membisu. Biarlah dinding itu yang menjadi tangis Nova yang semakin deras membasahi pipi. Angga masih tetap diam. Namun segelintir rasa bersalah tak bisa ia elak. Dalam diamnya Angga frustasi. Antara benci dan keinginan untuk melindungi Nova membuatnya dilema. Sedetik kemudian, setelah bergelut dengan isi pikirannya sendiri refleksnya membawa sebelah tangan Angga untuk meraih Nova ke dalam pelukannya.Amarah Nova tak membuat wanita itu melakukan penolakan atas ajakan Angga untuk mengikuti arahan pria itu. Bagaikan terhipnotis oleh pesona sosok suami penuh misteri ini, Nova hanya bisa pasra
Cup!Cup!Cup!Tiga kali kecupan dilayangkan Angga di beberapa titik dengan penuh ambisi. Gairahnya semakin memuncak saat lenguhan halus melolong dari mulut Nova. Wanita itu kini terjerat dalam kungkungan kedua tangan Angga yang mengikat tubuh bagian atasnya. Lenguhan demi lenguhan keluar begitu mulus saling bersahutan dengan erangan Angga. Gairah tak tertahan telah membuat Angga kehilangan akal warasnya. Ia terus melumat setiap inchi permukaan kulit Nova yang mulus. “Ahh.. Angga…” lenguhan kembali terdengar. Bahkan sesekali Nova mengerang sambil memohon untuk mempercepat tempo permainannya.Satu jam lamanya permainan mereka berlangsung. Tak terasa hari beranjak semakin sore. Sinar matahari mulai meredup. Angga hampir saja mencapai pundak gairahnya. Ia memacu miliknya lebih cepat demi memuaskan hasrat yang sudah tertahan.Tetapi, disaat gairah hampir menepi, teriakan Nova membuat Angga terkesiap.“Aarrggh!!” Kenikmatan Angga lenyap seketika. Kepalanya tertunduk menatap Nova yang
Baru kali ini Angga memasuki ruang inap Nova dengan jantung yang berdetak tak normal. Ritme aliran darahnya menggebu-gebu seiring dengan pikiran yang membuatnya terus menyanggah realita. Setelah dua jam lamanya, Nova berkutat di ruang tindakan, saat ini wanita itu tengah terbaring di ruang inap VIP dengan segala fasilitas mumpuni. Sebagai seorang istri dari konglomerat ternama, segala perlakuan khusus bisa Nova dapatkan dengan mudah hanya dengan sekali menyebut nama Savangga–sang suami. Angga membuka pintu ruang inap dengan hati yang bergetar. bertepatan dengan itu, ia mendapati sang istri tengah tersenyum ke arahnya. Menyambut kedatangan Angga dengan wajah senyum di wajah pucatnya. Rasa bersalah yang Angga rasakan semakin mendesaknya untuk mendekati Nova. Kepalanya terlalu sibuk menata kata-kata yang harus ia sampaikan pada sang istri. Untuk pertama kalinya Angga terlihat gusar dalam setiap gerakan di depan Nova. Menarik perhatian wanita itu untuk bertanya, "kamu kenapa, mas?" t
Pulang ke rumah seharusnya menjadi alasan yang paling membuat Nova antusias. Ada sosok malaikat kecil yang menunggu kepulangannya. "Ayo aku bantu. Pelan-pelan." Sang suami sigap menadahkan telapak tangannya di sisi atap mobil demi melindungi Nova. Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu keluar dari mobil dengan gerakan yang sangat hati-hati. Tidak ada perbedaan antara dirinya dengan kaca yang rapuh dan retak di beberapa sisi. Hatinya merepih tiap kali mengingat kejadian dua hari lalu. Momen dimana permainan panasnya dengan Angga justru berujung petaka. Tak pernah ada yang menyangka sebelumnya. Pengakuan Angga akan menjadi sebuah penyesalan. Apakah karena Nova yang terlalu mendesak ilusinya untuk berjalan sesuai keinginan? Egokah dirinya menuntut sang suami untuk mengakui keberadaan janin di dalam kandungannya saat itu? Pertanyaan-pertanyaan itu menjelma menjadi ketakutan yang teramat dalam bagi Nova. Langkahnya ditemani oleh sang suami, yang setia menemani dan merawat Nova se
“Sudah, mas. Lisa tidak bermaksud apa-apa. Dia hanya sedang bercanda denganku. Tidak perlu dianggap serius.” Nova berusaha untuk tetap bersikap netral di tengah emosi Angga yang mulai tersulut. Pria itu kini sudah berdiri diambang antara ruang makan dan dapur. Menatap Lisa dengan sorot tajam andalannya.“Tapi dia membicarakanku di belakang, Nova. Tidak etis pekerja seperti dia bergosip tentang atasannya sendiri.” Angga semakin gencar membombardir Lisa. Tubuh belia itu semakin mengkerut dilanda rasa takut karena intimidasi Angga. Nova tak tega melihat Lisa menjadi bulan-bulanan kemarahan Angga. Ia mematikan kompor lantas menghampiri suaminya. “Mas Angga, ikut aku.” Tangan Angga di tarik menjauh dari area dapur ke taman taman belakang yang berbatasan langsung dengan ruang makan. “Mas, kamu boleh kesal dengan sikap Lisa tadi. Tapi kamu juga tidak bisa mencarinya sampai dia ketakutan begitu,” ucap Nova memperingati tingkah Angga yang mulai kelewatan. Pria itu menghela napas berat. E
Baru kali ini Angga menyantap makanan dengan perasaan was-was. Meski tidak diragukan lagi, masakan buatan sang istri memang tak ada duanya.Namun, kenyataan itu tak mampu Angga ungkapkan. Ia menikmati sajian daging lapis dan tumis sayur brokoli. Meski sudah disajikan lebih dari setengah jam, kenikmatannya masih sama. Entah trik apa yang dilakukan oleh Nova ketika meramu bahan makanan jadi menu yang menggoyang lidah Angga.“Bagaimana? Enak tidak?” tanya Nova dengan sorot mata berbinar. Berharap sang suami memberikan reaksi positif atas masakannya. Angga mengangguk setuju, di kala mulutnya dipenuhi oleh suapan nasi dan daging. Tak lupa potongan sayur menyusul masuk ke dalam mulutnya. Nova tak menuntut jawaban lebih. Melihat betapa lahapnya sang suami menyantap masakannya. Senyum Nova mengembang, setiap detail gerakan Angga ia rekam lamat-lamat dalam ingatannya. Menjadi momentum paling indah dalam hidupnya ketika sosok yang selama ini tak pernah menganggapnya sebagai istri, justru takl
"Jujur pada diri sendiri itu lebih baik. Bagaimanapun dia istrimu. Kalian juga sudah sepakat untuk bersama. Bukankah itu sudah bisa menjadi pertanda bahwa hubungan ini harus kalian jalani sampai akhir?" Ucapan seorang wanita dari balik telepon membuat Angga termenung. Sekian banyak curahan hati yang ia luapkan pada sosok itu berujung pada saran bijak yang tak bisa Angga elak. Sungguh, hatinya dilema. Dilema akan perasaannya sendiri yang berubah tiba-tiba. Tiap kali ia mencoba meraba perasaannya, tak ada lagi perasaan benci yang tersisa. "Bagaimana jika aku hanya merasa bersalah? Aku tidak yakin, ini semua terlalu cepat dan di luar prediksiku," katanya. Masih berusaha untuk menyanggah. Keras kepala Angga jauh lebih sulit diluluhkan dibandingkan menengok pada kebenaran akan realita. Hembusan napas pelan perlahan mengurai sesak di dada. Percuma berbagi cerita jika ada akhirnya Angga terus mengelak. "Kamu akan menemukan jawabannya sendiri, Angga. Jangan terlalu memaksakan sesuatu yan
Semburat merah di pipi Angga lagi-lagi muncul. Tanda-tanda pria itu berusaha keras menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Jujur saja, Nova tidak pernah keberatan dengan hal itu. Bukankah seharusnya ia senang melihat Angga tak lagi memberikan batas diantara mereka. Senyum Nova mengisyaratkan banyak makna. Kernyitan dahi Angga semakin menggelitik hatinya yang dipenuhi bunga-bunga kasmaran.“Menurutmu bagaimana?” tanya Nova dengan nada bicara halus. Sebelah tangannya mengelus rahang tegas milik sang suami dengan sayang. Sentuhan itu berhasil membuat sekujur tubuh Angga meremang. Seakan baru pertama kali tubuhnya dijajah oleh sosok yang kata orang-orang Angga mulai membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. “Sungguh itu tidak lucu, Nova. Kamu menjebakku.” Angga merajuk. Tidak nampak lagi kesan garang dan sorot mengintimidasi, yang ada hanya sorot tersipu. Menyimpan perasaan malunya dalam diam. “Aku tidak menjebakmu sama sekali. Seharusnya, aku yang malu karena—karena aku—“ “Sstt!” U