"Jujur pada diri sendiri itu lebih baik. Bagaimanapun dia istrimu. Kalian juga sudah sepakat untuk bersama. Bukankah itu sudah bisa menjadi pertanda bahwa hubungan ini harus kalian jalani sampai akhir?" Ucapan seorang wanita dari balik telepon membuat Angga termenung. Sekian banyak curahan hati yang ia luapkan pada sosok itu berujung pada saran bijak yang tak bisa Angga elak. Sungguh, hatinya dilema. Dilema akan perasaannya sendiri yang berubah tiba-tiba. Tiap kali ia mencoba meraba perasaannya, tak ada lagi perasaan benci yang tersisa. "Bagaimana jika aku hanya merasa bersalah? Aku tidak yakin, ini semua terlalu cepat dan di luar prediksiku," katanya. Masih berusaha untuk menyanggah. Keras kepala Angga jauh lebih sulit diluluhkan dibandingkan menengok pada kebenaran akan realita. Hembusan napas pelan perlahan mengurai sesak di dada. Percuma berbagi cerita jika ada akhirnya Angga terus mengelak. "Kamu akan menemukan jawabannya sendiri, Angga. Jangan terlalu memaksakan sesuatu yan
Semburat merah di pipi Angga lagi-lagi muncul. Tanda-tanda pria itu berusaha keras menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya. Jujur saja, Nova tidak pernah keberatan dengan hal itu. Bukankah seharusnya ia senang melihat Angga tak lagi memberikan batas diantara mereka. Senyum Nova mengisyaratkan banyak makna. Kernyitan dahi Angga semakin menggelitik hatinya yang dipenuhi bunga-bunga kasmaran.“Menurutmu bagaimana?” tanya Nova dengan nada bicara halus. Sebelah tangannya mengelus rahang tegas milik sang suami dengan sayang. Sentuhan itu berhasil membuat sekujur tubuh Angga meremang. Seakan baru pertama kali tubuhnya dijajah oleh sosok yang kata orang-orang Angga mulai membuatnya jatuh ke dalam pelukannya. “Sungguh itu tidak lucu, Nova. Kamu menjebakku.” Angga merajuk. Tidak nampak lagi kesan garang dan sorot mengintimidasi, yang ada hanya sorot tersipu. Menyimpan perasaan malunya dalam diam. “Aku tidak menjebakmu sama sekali. Seharusnya, aku yang malu karena—karena aku—“ “Sstt!” U
Malam sudah beranjak hingga dini hari. Lagi-lagi Angga tak bisa memejamkan matanya meski segala usaha telah ia kerahkan. Di sampingnya, Nova terlelap dengan deru napas halus menerpa wajah Angga. Rasanya, Nova terlelap dalam kedamaian yang tak pernah bisa ia rasakan di realita kehidupan mereka.Tidak hanya dibuat bingung oleh perasaannya sendiri, Angga juga dikejutkan oleh permintaan Nova tadi. “Aku ingin mendengar kisah masa kecilmu,” kata sang istri. Di saat Angga mati-matian mengubur dalam-dalam masa lalunya, Nova justru terang-terangan memintanya membongkar kuburan untuk Angga. Ia beralih menatap Nova secaa diam-diam. Masih menjadi misteri bagaimana Nova terpikirkan untuk mengajukan permintaan itu.Sekuat apapun menepis kenyataan, faktanya Angga justru tak bisa lepas dari masa lalu. Bayangan kilas balik tentang keluarga masih bersemayam dalam ingatannya. Terkubur bersama memori yang tidak akan pernah bisa terhapus.Tiga puluh dua tahun lalu..“Angga, kelak kalau sudah besar nant
Sesuatu terasa berat menyanggah pergerakan Nova hingga membuatnya terbangun. Sinar matahari diam-diam menyelinap masuk lewat celah-celah tirai yang tak sengaja tersingkap. Pandangannya belum sepenuhnya di tengah pencahayaan kamar yang remang-remang. Namun, bukan itu yang membuat Nova terbangun dari mimpi indah yang terpaksa terputus di tengah jalan. Melainkan seseorang yang tidak pernah ia sangka akan memenuhi permintaan Nova untuk kesekian kali.Surai coklat itu menutupi sebagian pandangan Nova. Kepala yang bertumpu di dadanya membuat Nova kesulitan bernapas hingga Nova harus menghemat pasokan oksigen di paru-paru. "Astaga, dia benar-benar memenuhi permintaanku?" Gumamnya dengan suara rendah. Tak ingin kenyamanan Angga terganggu oleh gumaman juga pergerakannya. Tetapi, di sisi lain, Nova tidak bisa membiarkan ini terjadi terus menerus. Hari beranjak semakin siang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi seharusnya Nova sudah berkutat dengan peralatan masak dan bahan maka
Sesuatu terasa berat menyanggah pergerakan Nova hingga membuatnya terbangun. Sinar matahari diam-diam menyelinap masuk lewat celah-celah tirai yang tak sengaja tersingkap. Pandangannya belum sepenuhnya di tengah pencahayaan kamar yang remang-remang. Namun, bukan itu yang membuat Nova terbangun dari mimpi indah yang terpaksa terputus di tengah jalan. Melainkan seseorang yang tidak pernah ia sangka akan memenuhi permintaan Nova untuk kesekian kali.Surai coklat itu menutupi sebagian pandangan Nova. Kepala yang bertumpu di dadanya membuat Nova kesulitan bernapas hingga Nova harus menghemat pasokan oksigen di paru-paru. "Astaga, dia benar-benar memenuhi permintaanku?" Gumamnya dengan suara rendah. Tak ingin kenyamanan Angga terganggu oleh gumaman juga pergerakannya. Tetapi, di sisi lain, Nova tidak bisa membiarkan ini terjadi terus menerus. Hari beranjak semakin siang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi seharusnya Nova sudah berkutat dengan peralatan masak dan bahan maka
"Selamat pagi, Pak Angga.""Selamat pagi, pak " Sapaan demi sapaan ditujukan pada Angga namun wajah datar bos besar itu sudah cukup memberikan jawaban untuk para karyawan untuk tak melayangkan sapaan lagi untuknya. Pintu lift terbuka, di depan sana sudah berdiri Chris yang menyambut kedatangan Angga dengan raut wajah serius. "Bagaimana bisa kau mengizinkan dia menginjakkan kaki di sini? Kau tahu itu akan merugikan banyak pihak?" kata Angga menahan kekesalan dibalik.wibawanya sebagai atasan yang terlalu besar.Pria di depannya menunduk malu. Paham dengan kesalahan fatal yang membuat amarah Angga bisa saja meledak-ledak. "Saya akan menjelaskannya secara pribadi setelah rapat bapak dengan Pak Jhony. Mari saya antarkan ke ruang rapat, pak," kata Chris menyingkirkan urusan lain demi menyelesaikan urusan yang jauh lebih penting.Pertemuan yang tak direncanakan membuat Angga kehilangan banyak kesempatan untuk menjernihkan pikirannya. Apalagi belakangan dirinya tengah tergoda dengan keni
"Anak mama paling cantik, sudah wangi. Sudah rapi. Mau kemana sih anak mama, hm?" Menjadi ibu muda adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa Nova gambarkan dengan kata-kata. Sosok putri kecil di gendongannya kini adalah alasan Nova memperjuangkan segala hal. Termasuk rumah tangga yang hampir kandas. Hati Nova berbunga-bunga saat seulas senyum jelas-jelas muncul di wajah sang putri yang lugu dan polos tak berdosa. Bulu mata lentik itu, diwariskan oleh ayahnya. Konon katanya, menjadi istri dan ibu adalah tugas yang akan diemban seumur hidup. Tentu Nova tidak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Menjadi ibu muda sekaligus istri seorang konglomerat seperti Angga. Selesai dengan tugasnya memakaikan Celva pakaian, Nova sengaja mengosongkan seluruh jadwal kegiatannya untuk menghabiskan waktu dengan putrinya. Ia hendak membawa Celva menuju ke ruang bermain yang sudah dibuat khusus untuknya. "Kita main dulu. Celva punya banyak mainan. Semuanya puny Celva." Langkah kaki
Angga menapaki rumahnya dengan keterkejutan yang tak terkira. Betapa terkejutnya ia saat melihat wanitanya terkulai lemah di atas meja rumah sakit. Entah apa yang terjadi sebelumnya, Angga tak tahu. Tetapi, melihat Nova yang menyambut kepulangannya dengan wajah pucat membuat Angga tak berkutik. Tas kerja dalam genggaman dihempaskan begitu saja. Saat ini yang terpenting bagi Angga hanyalah memastikan sang istri baik-baik saja."Mas, kita perlu bicara. Ada yang ingin aku tanyakan kebenarannya padamu," ucap Nova di tengah napas yang terengah dan tubuh yang bergetar hebat."Kita bisa bicara kapanpun kamu mau, tapi lebih baik kita bicarakan semua hal di kamar. Kondisimu sedang tidak baik-baik saja," jawab Angga. Ia tidak peduli reaksi Nova. Jikapun wanita itu menolak, Angga akan tetap membawanya ke ruangan tempat mereka berkubu. Meski lelah menggerogoti tubuh Angga sedemikian rupa. Tubuh Nova bukanlah beban. Sesuatu di dalam hati Angga mendorongnya untuk melindungi sekaligus menaruh selu