Malam sudah beranjak hingga dini hari. Lagi-lagi Angga tak bisa memejamkan matanya meski segala usaha telah ia kerahkan. Di sampingnya, Nova terlelap dengan deru napas halus menerpa wajah Angga. Rasanya, Nova terlelap dalam kedamaian yang tak pernah bisa ia rasakan di realita kehidupan mereka.Tidak hanya dibuat bingung oleh perasaannya sendiri, Angga juga dikejutkan oleh permintaan Nova tadi. “Aku ingin mendengar kisah masa kecilmu,” kata sang istri. Di saat Angga mati-matian mengubur dalam-dalam masa lalunya, Nova justru terang-terangan memintanya membongkar kuburan untuk Angga. Ia beralih menatap Nova secaa diam-diam. Masih menjadi misteri bagaimana Nova terpikirkan untuk mengajukan permintaan itu.Sekuat apapun menepis kenyataan, faktanya Angga justru tak bisa lepas dari masa lalu. Bayangan kilas balik tentang keluarga masih bersemayam dalam ingatannya. Terkubur bersama memori yang tidak akan pernah bisa terhapus.Tiga puluh dua tahun lalu..“Angga, kelak kalau sudah besar nant
Sesuatu terasa berat menyanggah pergerakan Nova hingga membuatnya terbangun. Sinar matahari diam-diam menyelinap masuk lewat celah-celah tirai yang tak sengaja tersingkap. Pandangannya belum sepenuhnya di tengah pencahayaan kamar yang remang-remang. Namun, bukan itu yang membuat Nova terbangun dari mimpi indah yang terpaksa terputus di tengah jalan. Melainkan seseorang yang tidak pernah ia sangka akan memenuhi permintaan Nova untuk kesekian kali.Surai coklat itu menutupi sebagian pandangan Nova. Kepala yang bertumpu di dadanya membuat Nova kesulitan bernapas hingga Nova harus menghemat pasokan oksigen di paru-paru. "Astaga, dia benar-benar memenuhi permintaanku?" Gumamnya dengan suara rendah. Tak ingin kenyamanan Angga terganggu oleh gumaman juga pergerakannya. Tetapi, di sisi lain, Nova tidak bisa membiarkan ini terjadi terus menerus. Hari beranjak semakin siang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi seharusnya Nova sudah berkutat dengan peralatan masak dan bahan maka
Sesuatu terasa berat menyanggah pergerakan Nova hingga membuatnya terbangun. Sinar matahari diam-diam menyelinap masuk lewat celah-celah tirai yang tak sengaja tersingkap. Pandangannya belum sepenuhnya di tengah pencahayaan kamar yang remang-remang. Namun, bukan itu yang membuat Nova terbangun dari mimpi indah yang terpaksa terputus di tengah jalan. Melainkan seseorang yang tidak pernah ia sangka akan memenuhi permintaan Nova untuk kesekian kali.Surai coklat itu menutupi sebagian pandangan Nova. Kepala yang bertumpu di dadanya membuat Nova kesulitan bernapas hingga Nova harus menghemat pasokan oksigen di paru-paru. "Astaga, dia benar-benar memenuhi permintaanku?" Gumamnya dengan suara rendah. Tak ingin kenyamanan Angga terganggu oleh gumaman juga pergerakannya. Tetapi, di sisi lain, Nova tidak bisa membiarkan ini terjadi terus menerus. Hari beranjak semakin siang. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi seharusnya Nova sudah berkutat dengan peralatan masak dan bahan maka
"Selamat pagi, Pak Angga.""Selamat pagi, pak " Sapaan demi sapaan ditujukan pada Angga namun wajah datar bos besar itu sudah cukup memberikan jawaban untuk para karyawan untuk tak melayangkan sapaan lagi untuknya. Pintu lift terbuka, di depan sana sudah berdiri Chris yang menyambut kedatangan Angga dengan raut wajah serius. "Bagaimana bisa kau mengizinkan dia menginjakkan kaki di sini? Kau tahu itu akan merugikan banyak pihak?" kata Angga menahan kekesalan dibalik.wibawanya sebagai atasan yang terlalu besar.Pria di depannya menunduk malu. Paham dengan kesalahan fatal yang membuat amarah Angga bisa saja meledak-ledak. "Saya akan menjelaskannya secara pribadi setelah rapat bapak dengan Pak Jhony. Mari saya antarkan ke ruang rapat, pak," kata Chris menyingkirkan urusan lain demi menyelesaikan urusan yang jauh lebih penting.Pertemuan yang tak direncanakan membuat Angga kehilangan banyak kesempatan untuk menjernihkan pikirannya. Apalagi belakangan dirinya tengah tergoda dengan keni
"Anak mama paling cantik, sudah wangi. Sudah rapi. Mau kemana sih anak mama, hm?" Menjadi ibu muda adalah sebuah kebahagiaan yang tidak bisa Nova gambarkan dengan kata-kata. Sosok putri kecil di gendongannya kini adalah alasan Nova memperjuangkan segala hal. Termasuk rumah tangga yang hampir kandas. Hati Nova berbunga-bunga saat seulas senyum jelas-jelas muncul di wajah sang putri yang lugu dan polos tak berdosa. Bulu mata lentik itu, diwariskan oleh ayahnya. Konon katanya, menjadi istri dan ibu adalah tugas yang akan diemban seumur hidup. Tentu Nova tidak pernah membayangkan akan berada di posisi seperti ini. Menjadi ibu muda sekaligus istri seorang konglomerat seperti Angga. Selesai dengan tugasnya memakaikan Celva pakaian, Nova sengaja mengosongkan seluruh jadwal kegiatannya untuk menghabiskan waktu dengan putrinya. Ia hendak membawa Celva menuju ke ruang bermain yang sudah dibuat khusus untuknya. "Kita main dulu. Celva punya banyak mainan. Semuanya puny Celva." Langkah kaki
Angga menapaki rumahnya dengan keterkejutan yang tak terkira. Betapa terkejutnya ia saat melihat wanitanya terkulai lemah di atas meja rumah sakit. Entah apa yang terjadi sebelumnya, Angga tak tahu. Tetapi, melihat Nova yang menyambut kepulangannya dengan wajah pucat membuat Angga tak berkutik. Tas kerja dalam genggaman dihempaskan begitu saja. Saat ini yang terpenting bagi Angga hanyalah memastikan sang istri baik-baik saja."Mas, kita perlu bicara. Ada yang ingin aku tanyakan kebenarannya padamu," ucap Nova di tengah napas yang terengah dan tubuh yang bergetar hebat."Kita bisa bicara kapanpun kamu mau, tapi lebih baik kita bicarakan semua hal di kamar. Kondisimu sedang tidak baik-baik saja," jawab Angga. Ia tidak peduli reaksi Nova. Jikapun wanita itu menolak, Angga akan tetap membawanya ke ruangan tempat mereka berkubu. Meski lelah menggerogoti tubuh Angga sedemikian rupa. Tubuh Nova bukanlah beban. Sesuatu di dalam hati Angga mendorongnya untuk melindungi sekaligus menaruh selu
Hari ini cukup menguji mental dan pikiran seorang pria bernama Savangga. Pria itu mematung dengan beberapa lembar foto dirinya.“Bukahkah kita sudah berjanji untuk bersama-sama membangun rumah tangga ini. Atau kau sudah.. “ Nova menjeda ujung kalimatnya. Terlalu sakit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seharian sudah Nova menahan diri untuk tak berprasangka buruk lagi pada Angga namun, apakah Jawaban Angga setelah ini bisa membuat Nova sedikit bernapas lega? “Sudah apa? “ Angga balik bertanya. Nada bicara Angga terdengar rendah. Sorot matanya sedingin es di kutub utara. Sekilas rasa bersalah menyelimuti Nova karena telah membuat hari pria itu semakin kacau balau.Nova tidak tahu sejauh mana masalah keuangan yang Angga hadapi di kantor. Tetapi melihat tak ada yang berubah dari pasokan dana yang Angga berikan padanya, Nova semakin penasaran. “Bukan apa-apa. Maksudku, apakah kamu sudah mengetahui dalang pengirim foto ini?” Angga menggeleng lemah. Punggung lebarnya disandarkan pada k
Suasana hati Angga langsung berubah saat kedua matanya menangkap berbagai jenis lauk sudah tersaji di depannya. Di sisi lain sosok seorang wanita tengah sibuk berjibaku dengan makanan lain yang juga baru di masak. Siapa lagi kalau bukan Nova. Wanita itu bergerak lincah kesana kemari. Membiarkan Angga dengan dunianya sendiri di depan deretan menu makanan. “Bagaimana aku bisa menghabiskan ini semua untuk sarapan? Kadang-kadang Nova seperti tak pernah memperhitungkan segala hal,” ucap Angga dengan perasaan sedikit kesal. Bangun tidur Nova sudah menariknya turun ke lantai satu untuk menikmati sarapan paginya.Tetapi, makanan yang disajikan Nova untuknya lebih seperti porsi untuk makan siang. Di tengah lamunannya, suara nyaring Nova dari arah belakang membuat semua bayangan di pikiran Angga buyar seketika. Wanita itu datang dengan langkah sedikit tergesa. Di tangannya sudah ada sepiring makanan lagi yang baru selesai di masak. “Mas, ayo makan. Kamu pasti sudah lapar,” kata Nova sambil
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.