Hari ini cukup menguji mental dan pikiran seorang pria bernama Savangga. Pria itu mematung dengan beberapa lembar foto dirinya.“Bukahkah kita sudah berjanji untuk bersama-sama membangun rumah tangga ini. Atau kau sudah.. “ Nova menjeda ujung kalimatnya. Terlalu sakit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Seharian sudah Nova menahan diri untuk tak berprasangka buruk lagi pada Angga namun, apakah Jawaban Angga setelah ini bisa membuat Nova sedikit bernapas lega? “Sudah apa? “ Angga balik bertanya. Nada bicara Angga terdengar rendah. Sorot matanya sedingin es di kutub utara. Sekilas rasa bersalah menyelimuti Nova karena telah membuat hari pria itu semakin kacau balau.Nova tidak tahu sejauh mana masalah keuangan yang Angga hadapi di kantor. Tetapi melihat tak ada yang berubah dari pasokan dana yang Angga berikan padanya, Nova semakin penasaran. “Bukan apa-apa. Maksudku, apakah kamu sudah mengetahui dalang pengirim foto ini?” Angga menggeleng lemah. Punggung lebarnya disandarkan pada k
Suasana hati Angga langsung berubah saat kedua matanya menangkap berbagai jenis lauk sudah tersaji di depannya. Di sisi lain sosok seorang wanita tengah sibuk berjibaku dengan makanan lain yang juga baru di masak. Siapa lagi kalau bukan Nova. Wanita itu bergerak lincah kesana kemari. Membiarkan Angga dengan dunianya sendiri di depan deretan menu makanan. “Bagaimana aku bisa menghabiskan ini semua untuk sarapan? Kadang-kadang Nova seperti tak pernah memperhitungkan segala hal,” ucap Angga dengan perasaan sedikit kesal. Bangun tidur Nova sudah menariknya turun ke lantai satu untuk menikmati sarapan paginya.Tetapi, makanan yang disajikan Nova untuknya lebih seperti porsi untuk makan siang. Di tengah lamunannya, suara nyaring Nova dari arah belakang membuat semua bayangan di pikiran Angga buyar seketika. Wanita itu datang dengan langkah sedikit tergesa. Di tangannya sudah ada sepiring makanan lagi yang baru selesai di masak. “Mas, ayo makan. Kamu pasti sudah lapar,” kata Nova sambil
Sepanjang koridor lantai 23 gedung ini Angga rasa terlalu jauh untuk mencapai ruang kerjanya sendiri. Sambil memegangi perutnya, ia melangkah perlahan. Hanya tinggal lima meter di depannya pintu ruang kerja bisa ia raih. Baru kali ini Angga ke kantor dalam kondisi yang mengenaskan. Entah berapa banyak porsi makanan yang ia habiskan hanya untuk menepati ucapannya pada sang istri.“Demi Tuhan, aku tidak akan berbohong demi menyenangkan orang lain lagi kalau tahu akhirnya akan menyiksaku,” ucap Angga pada dirinya sendiri. Tekad kuat itu dibentuk sedemikian rupa di hati dan kepalanya.Ia membuka pintu ruangan dengan langkah gontai. Bertepatan dengan itu, di sudut ruangan sosok asistennya mengangkat kepala saat Angga datang secara tiba-tiba.“Pak Angga? Bukannya bapak ambil cuti hari ini?” tanya Chris dengan raut wajah penasarannya. Ia bangkit, membantu Angga memapah tubuh pria itu meski tak tahu penyebab pasti sang atasan datang dengan kondisi yang tak biasa. “Tidak jadi, aku harus meny
Ting!Suara dering pemberitahuan tanda pesan masuk mengagetkan Nova yang sedang melamun di sofa malas di kamarnya.Selesai mengurus segala kebutuhan Celva, kini waktunya Nova menghabiskan waktu sendiri sampai siang nanti. Rasa jenuh membawanya pada bayangan-bayangan kelam. Nova menghempaskan bayangan yang membuatnya tak nyaman. Ia justru beralih pada ponsel yang tergeletak di atas meja.Pesan dari seseorang yang Nova kenal dalam sekali pertemuan. Tiba-tiba mengirimkan pesan yang menghangatkan jiwanya. ‘Apa kabar, Nova? Beberapa hari ini aku memikirkanmu. Datanglah ke rumahku untuk minum teh bersama.’ Tulis Diana di pesan singkat itu.Senyum Nova mengembang saat membaca pesan Diana di ponselnya. Terlalu sibuk dengan pikiran tentang rumah tangga membuatnya lupa dengan kehidupan sosialnya sendiri. Nova tak membuang waktu untuk membalas pesan Diana sesegera mungkin. Keinginan untuk melepas penat membara di dalam dada. Sekian banyak pilihan tentang hidup bisa Nova pilih. Namun, tak satu
“Nova?! Akhirnya kamu sampai juga!!” Teriakan Diana menggema di seluruh penjuru rumah besar ini. Tepat ketika pintu utamanya terbuka, paras cantik penuh pesona itu terpampang di depan Nova. Dalam balutan dres biru langit pendek setinggi paha, kulit mulus Diana terekspos. Jangan tanya seberapa cantik seorang Diana. Nova yang merupakan seorang wanita pun terkagum-kagum melihat penampilan Diana.“Hai! Maaf aku sedikit terlambat,” kata Nova tak enak hati. “Tidak apa-apa, mari masuk. Aku sudah menantikan kedatanganmu,” ajak Diana. Bagaikan sapi yang dicucuk hidungnya, Nova hanya mengikuti arahan Diana masuk ke dalam rumah itu.Desain interior rumah Diana langsung menarik perhatian Nova yang baru pertama kali memijakkan kakinya di sana. Rumah itu didominasi dengan warna putih dan aksen keemasan yang memberikan kesan mewah namun tak berlebihan. Elemen marmer dan lampu gantung yang mewah semakin mempercantik area rumah Diana. “Rumahmu nyaman sekali, aku merasa seperti ada di rumah sendi
Semilir udara dari pendingin ruangan membuat sekujur tubuh yang terbaring di atas ranjang itu meremang. Pemandangan langit-langit adalah benda pertama yang ditangkap oleh lensa indah keoranyean milik wanita berusia dua puluh sembilan ini. Kepala berdenyut nyeri, meski seingatnya tak ada pemicu fatal atas rasa sakit yang ia rasakan sekarang.“Apa yang terjadi? Dimana aku sekarang?” Pandangan Nova mengedar ke sekitar dengan sorot bingung. Sesekali memicingkan mata demi memicu ingatan terakhir kali kejadian yang menimpanya. Suasana di ruangan itu terasa asing. Saat mengedarkan pandangannya ke sekitar, tak satu hal pun yang mampu membantu Nova mengenal jejaknya di sana.Ia memilih bangkit dari tempat tidur berukuran besar dan mewah itu. Tubuhnya masih cukup lemas untuk diajak beraktivitas bahkan hanya untuk menjamah kamar luas yang ia tempati sekarang. Nova keluar dari kamar. Dengan langkah mengendap-endap bagaikan seorang pencuri yang hendak menjarah rumah itu. Keadaan di sana sepi, b
Langit mendung ketika Nova sampai di rumah. Rintik gerimis perlahan jatuh mengenai permukaan jendela. Nova melangkah gontai memasuki rumah besar yang didominasi ornamen putih itu. Menghabiskan waktu selama dua jam di luar rumah ternyata cukup menguras energinya. “Nyonya baru pulang? Mau saya siapkan air hangat untuk mandi?” Seorang pelayan jaga cukup sigap menyambut kedatangan Nova. Pakaian serba hitam lengkap dengan celemek mini warna putih adalah pemandangan Nova sehari-hari. Ia terus melangkah, hingga menaiki beberapa anak tangga menuju lantai dua kemudian berkata, “tidak perlu, mbak. Aku akan menyiapkannya sendiri, terima kasih.” “Baiklah kalau begitu, nyonya. Oh iya, nyonya. Tadi ada kiriman karangan bunga lagi.” Langkah Nova seketika terhenti saat mendengar informasi itu. Seakan ada magnet yang menarik dirinya untuk menoleh ke arah sang pelayan.“Dari pengirim yang sama?” tanyanya. Pelayan itu mengangguk cepat. “Iya, nyonya. Bunganya sudah saya taruh di kamar biasa.” Nova
Sepasang suami istri itu kini duduk di dua sisi tempat tidur yang berbeda. Suasana langsung berubah canggung saat adegan ranjang panas mereka berakhir. "Kamu yakin dengan ucapanmu tadi, mas?" tanya Nova. Ia tak yakin hatinya bisa menerima kenyataan itu dengan baik. Di tengah berkali-kali perasaannya dihempaskan oleh rasa sakit. Di sisi lain tempat tidur, Angga menyandarkan punggung kekar itu pada bantalan kepala ranjang sambil menatap sang istri. "Apakah aku harus mengatakannya sekali lagi? Aku bukan orang yang suka bermain dengan kata-kataku sendiri." Angga bereaksi. Tepat ketika pengakuan itu terlontar dari mulutnya, beban di dada rasanya terangkat sempurna. Pulang ke rumah dengan kondisi pikiran dan hati yang berantakan, membawanya pada sebuah situasi baru dimana kini Nova mengetahui isi hati Angga yang sesungguhnya. Sekian lama meyakinkan diri, pada akhirnya perasaan itu terungkapkan juga. "Kalau kau belum yakin, aku akan memberikanmu tawaran." Angga memutar tubuhnya ke sisi
Cukup lama Angga dan Mark bersitegang. Tidak ada satupun diantara dua pria itu yang berniat untuk membuka obrolan. Dibatasi oleh stroller yang ditempati Noa. Baik Angga maupun Mark, sama-sama sibuk dengan isi pikirannya sendiri. “Kenapa kau ada di sini? Kau belum menjawab pertanyaanku. “ Mark pada akhirnya mengalah. Nada bicaranya berubah lebih santai. Tidak ada lagi sorot kejam yang menghunus dan menyudutkan Angga. “Seharusnya kamu tahu tanpa perlu bertanya.” Angga melirik ke arah Noa. Mark tahu maksud terselubung atas kode yang diberikan oleh Angga. Mark terkekeh, menertawakan nasib Angga yang mengenaskan. “Kau lebih rela mengalah demi sahabatmu?” ejek Mark. Senyum lebarnya sengaja dipampang di depan Angga karena berhasil memenangkan keadaan. “Bukan urusanmu. Jadi tutuplah mulut.” “Apapun yang menyangkut Nova adalah urusanku,” Mark mendengus. Emosinya terpancing kala sadar Angga tidak terpengaruh sedikitpun dengan ejekannya tadi. “Kalau begitu, kenapa kau masih di sini? Bukan
Reno meraih rahan Anya untuk menatapnya. Sikap Anya yang berbeda membuat Reno mengikuti arah pandang wanita itu.Tidak ada siapapun di sana. Apakah Anya sedang berhalusianasi? Pikir Reno.“Anya, tenanglah. Apa yang terjadi?” tanya Reno penasaran. Kekhawatiran pria itu tidak bisa dibendung lagi. Anya tidak menjawab, melainkan beralih menatap dua manik hitam di hadapannya dengan pandangan kosong. Isi kepalanya terlalu penuh. Bahkan sudah disesaki oleh sekian banyak masalah yang menimpa hidup. Kini, satu-satunya orang yang peduli dengan kondisinya selain Reno di tempat kerja mungkin tidak akan bisa menaruh kepercayaan lagi pada Anya.“Aku baik-baik saja, Ren. Lebih baik kita pergi dari sini,” ajak Anya menarik tangan Reno keluar dari lorong.Anya yakin, Diana sudah melihat semua adegan mesra yang dilakukan oleh Reno untuknya. Rasa bersalah kembali menghantam batin Anya. Bagaimana caranya agar Diana mau mendengarkan ucapannya?Dalam hati, anya terus bertanya-tanya, apakah dirinya salah m
Menyusuri koridor di mana unitnya berada, Lita berjalan dengan langkah gontai. Riasan di wajah sudah tidak beraturan. Meski demikian, kecantikan wanita berusia 29 tahun itu tak kunjung luntur terhanyut oleh air mata yang sebelumnya mengalir dengan deras. Tok tok tok! “Mario, buka pintu!” teriak Lita dari luar unitnya. “Mario!”Tetap tidak ada jawaban. Lita baru menyadari, ia tidak membawa kunci akses unitnya sendiri sebelum pergi tadi. Dengan perasaan kesal Lita mengutuk kebodohannya hari ini. “Selamat malam, Nyonya Lita?” suara petugas yang bertugas di lantai itu menyapa Lita. “Malam.” “Kelihatannya anda sedang kebingungan, ada yang bisa saya bantu, Nyonya?” Ah, akhirnya bantuan datang tanpa membuat Lita repot harus turun ke meja resepsionis untuk meminta akses baru. “Bisakah anda membantu saya membukakan pintu unit? Saya lupa membawa kuncinya di dalam.” Senyum hangat menghiasi wajah yang mulai menampakkan keriput di bawah mata pria itu, “Dengan senang hati, Nyonya. “Krek.
Angga menurunkan pandangan cukup lama. Bukan kehilangan kepercayaan diri namun, tak kuasa melihat keintiman diantara dua sejoli yang bertemu malam ini. “Untung kamu sama om, Noa,” ucap Angga bermonolog. Bayi di dalam stroller itu menatap Angga lama. Seakan setuju dengan pernyataan omnya. Sedangkan, di seberang meja Angga saat ini. Ada dua sejoli yang sedang melakukan pendekatan satu sama lain. Mario nampak memamerkan senyum terbaiknya di depan Nova. Sedangkan Angga berusaha menahan napas karena pemandangan romantis itu menyakiti hatinya. Ya, Angga cemburu. “Ini untuk aku, Mario?” suara lemah lembut yang khas, menjalar disekitar telinga Angga. Terasa menggelitik hatinya meski pertanyaan itu ditujukan untuk Mario. “Iya, Nova. Ini untuk kamu. Kamu sudah berjuang sejauh ini, kamu wanita hebat.” Angga tidak tidak memiliki masalah dengan pendengaran. Tetapi ia sengaja menutup kedua telinga dengan penyumbat tak kasat mata. Dikala pujian demi pujian dilontarkan Mario untuk Nova, Angga m
Bab 31“Saya hanya berniat mengingatkan saja, tanpa bermaksud untuk ikut campur lebih jauh urusan nona dan tuan. Maafkan saya,” kata Astri merasa bersalah.Sarah berusaha untuk memaklumi kekhawatiran Astri. Tapi untuk seseorang yang cukup peka, Sarah tidak menelan mentah-mentah ucapan Astri tadi. Instingnya mengatakan Astri tahu hal lain yang disembunyikan oleh semua orang. Dan Astri penasaran akan hal itu.“Tidak masalah, aku senang kamu mengkhawatirkanku. Artinya kamu peduli padaku,” balas Sarah. Ia menampilkan senyumnya yang terpantul dari cermin di hadapannya. Dari sana terlihat Astri yang juga membalas senyuman Sarah.“Saya sangat peduli dengan nona. Dari sekian banyak wanita yang menjadi selir tuan, cuma nona Sarah yang sangat rendah hati.” Astri mengakui. Sambil menata rambut Sarah, sang asisten dengan cekatan memberikan polesan-polesan riasan tipis di wajah Sarah. Setengah jam sudah berlalu, namun dua wanita itu masih sibuk dengan segala tetek bengek bersolek. Brak!!Sarah da
“Bagaimana menurutmu, mana hadiah yang cocok untuk wanita pujaanku?” tanya Mario pada Angga. Sahabatnya itu tersenyum lebar tanpa beban. Menyeret Angga ke dalam sebuah toko perhiasan ternama.Angga belum sepenuhnya mengerti maksud Mario, hanya mengernyitkan dahi. “Untuk siapa?” Mario menghembuskan napas lelah. “Jadi, sejak tadi aku mengoceh di jalan, kau tidak mendengarkan aku?” keluh Mario kecewa. Wajahnya berubah masam. “Um, itu–” “Sudahlah, aku tahu apa yang mau kamu ucapkan. Sekarang bantu aku.memilih perhiasan yang cocok untuk Nova.” Deg! Berat rasanya menelan ludah saat mendengar nama Nova terlontar dari mulut Mario. Tatapan Mario yang dalam menyiratkan cinta yang besar untuk wanita yang justru masih berstatus sebagai istri Angga.Andai Mario tahu kebenarannya, apakah pria itu masih bisa bersikap hangat pada Angga dan menganggapnya sebagai sahabat?Belum tentu. Sebuah kenyataan pahit yang harus siap Angga telan mentah-mentah. “Diantara dua kalung ini, menurutmu, mana yang
Duduk diantara banyak pepohonan rimbun demi kenyamanan bayi mungil yang terlelap dalam stroller. Dua orang yang sempat terlibat perang dingin memilih taman di belakang swalayan untuk sekedar menghalau ego yang menggebu. Atas saran Nova, Mark dan Angga diasingkan ke tempat ini. Supaya kalian tahu, bagaimana seharusnya menjadi pria dewasa. Itu pesan Nova saat menengahi perseteruan diantara dua pria yang menggilainya. Sedangkan wanita itu, memilih untuk menyendiri di bagian lain swalayan. Mark berinisiatif mengambil alih penjagaan atas Noa dari Nova setelah melakukan bujuk rayu yang kesekian hingga akhirnya Nova luluh juga. Itu Mark lakukan demi kenyamanan kekasihnya. “Setelah kau melakukan itu pada Nova, kau masih punya nyali untuk menemuinya?” Mark membuka obrolan di tengah keheningan sebelumnya mencabik batin dua pria itu. “Tahu apa kau tentang aku?” “Banyak hal. Banyak yang Nova bagikan padaku, termasuk tentang dirimu yang sudah melukai hatinya. Aku tidak habis pikir, apa kuran
“Nova, kamu kenapa menghindar dariku?” Tubuh Nova berbalik secara paksa ketika sebuah tangan mencegat pergelangannya. Nova tahu siapa pembuat onar di tengah keramaian swalayan yang sedang ia sambangi. Membelakangi stroller putranya, Nova memandang malas Mark yang kini berdiri menjulang di hadapannya. Manik keoranyean, menyorot tajam. Pandangan Mark turun ke arah dua tas belanjaan yang tersampir di kanan dan kiri stroller milik Noa. “Kenapa?” tanya Nova sinis. Awalnya, ia tidak ingin membuka topik pembicaraan dengan pertanyaan singkat itu. Tetapi, gerah semakin menjadi. Bahkan hanya ditatap Mark beberapa saat saja berhasil membuat sesuatu di dada Nova bergejolak. Tentu, gejolak aneh itu nova yakini sebagai bentuk tidak nyaman semata. Bukan karena perasaan nyaman atau cinta sekalipun.Terlalu lelah untuk bicara tentang cinta saat ini. Keberadaan Noa adalah yang paling utama baginya melebihi apapun. Mark memamerkan ekspresi bersalah, dan Nova tahu itu hanya sebuah upaya untuk memani
Tin! Tin!Suara klakson mobil membuyarkan obrolan pagi diantara Ameera dengan asisten rumah tangganya. Keduanya mengerutkan kening bingung. Siapa gerangan yang pagi-pagi sekali sudah bertamu? “Sepertinya ada tamu, non. Bibi ke depan dulu, ya,” kata bibi seraya menaruh kembali sebuah piring di meja makan. Ameera mengangguk, membiarkan wanita itu menyambut kehadiran sosok tak diundang itu kemudian melanjutkan makannya. Seperti biasa, Ameera bertugas jaga pagi hari ini. Deretan jadwal konsultasi bagi pasiennya sudah menunggu untuk di rampungkan hingga nanti sore. Setelah menyelesaikan makannya, terdengar suara langkah kaki menghampiri Ameera yang sedang meneguk air putih.“Non, mas itu datang lagi,” kata bibi. Raut wajahnya khawatir ketika mencium bau-bau perang dingin yang akan terjadi diantara majikannya dengan pria yang ia maksud. “Mas siapa, bi?” Ameera kebingungan. Pasalnya ia tidak memiliki bayangan sedikitpun. Hari masih terlalu pagi untuk mencerna sebuah teka-teki.“Pria yang