Sepasang suami istri itu kini duduk di dua sisi tempat tidur yang berbeda. Suasana langsung berubah canggung saat adegan ranjang panas mereka berakhir. "Kamu yakin dengan ucapanmu tadi, mas?" tanya Nova. Ia tak yakin hatinya bisa menerima kenyataan itu dengan baik. Di tengah berkali-kali perasaannya dihempaskan oleh rasa sakit. Di sisi lain tempat tidur, Angga menyandarkan punggung kekar itu pada bantalan kepala ranjang sambil menatap sang istri. "Apakah aku harus mengatakannya sekali lagi? Aku bukan orang yang suka bermain dengan kata-kataku sendiri." Angga bereaksi. Tepat ketika pengakuan itu terlontar dari mulutnya, beban di dada rasanya terangkat sempurna. Pulang ke rumah dengan kondisi pikiran dan hati yang berantakan, membawanya pada sebuah situasi baru dimana kini Nova mengetahui isi hati Angga yang sesungguhnya. Sekian lama meyakinkan diri, pada akhirnya perasaan itu terungkapkan juga. "Kalau kau belum yakin, aku akan memberikanmu tawaran." Angga memutar tubuhnya ke sisi
"Kas perusahaan semakin anjlok. Para investor mulai mencabut dana investasi mereka. Kalau terus seperti ini, kita bisa bangkrut." Pria berkacamata di depan Angga gagal menyembunyikan kekhawatirannya akan kemungkinan terburuk. Deretan Angka warna merah di laporan membuat bulu romanya berdiri tegak. Sesekali menggelitik perut Chris hingga mulas. Bagaimana tidak? Ancaman pemutusan hubungan kerja secara sepihak ada kini terpampang di depan mata. Namun, sosok di balik kejayaan Savers Company sepuluh tahun ke belakang itu justru tak menunjukkan reaksi apapun.Wajahnya sedatar jalan tol. Sorot matanya tajam menyapu pandangan pada apapun yang ada di atas meja kerja. Kedua tangannya terpaku di atas penyangga lengan kursi. "Bagaimana ini, pak? Langkah apa yang akan bapak ambil untuk menghalau kemungkinan terburuk?" tanya Chris tak cukup sabar. Dalam kondisi kritis seperti ini, bosnya masih bisa bersikap tenang. "Sudah sejauh mana dampak ini berpengaruh?" Setelah sekian lama bungkam, akhirnya
"Emmh.." "Cup!" "Cup!" "Emmh.. Angga.." lenguhan Nova tertahan di ujung lidahnya yang terkunci.benda kenyal yang kini menempel di bibirnya menjelajah hampir setiap suduh rongga mulut Nova dengan gerakan sensual. Sesekali Nova menggelinjang sambil melolongkan lenguhan dalam karena sensasi menggila yang terasa membakar tubuhnya. Padahal, Angga hanya mencumbunya di satu titik. Bunyi kecapan bibir Angga menandakan adegan pembuka yang ia lakukan telah usai. Nova menyeka sisa jejak jajahan lidah Angga di sudut bibirnya dengan perasaan tak rela. Meski singkat, pagutan itu sungguh memabukkan. Angga tersenyum lebar. Sangat kontras dengan reaksinya saat pertama kali melihat kedatangan Nova tadi."Kau terlihat sangat menikmatinya. Kalau begitu, tunggulah hingga aku sampai di rumah, kita akan melanjutkannya dengan leluasa," bisik Angga tepat di telinga Nova kemudian beranjak dari sisi wanita itu. Gurat merah ranum di pipi Nova cukup menjadi bukti kalau Nova tak mengelak pernyataan Angga ba
Angga masuk ke ruang kerjanya dengan langkah gontai setelah berinisiatif mengantar Nova pulang ke rumah. Kedatangannya di sambut oleh Chris yang melangkah mendekati Angga. Pria itu nampak antusias akan suatu hal yang belum Angga ketahui. "Pak Angga, akhirnya kau datang juga," ujar Chris dengan napas terengah karena tak bisa menahan antusiasme.Dahi Angga mengernyit. Itu bukanlah sebuah penyambutan yang epik untuk dilakukan. “Ada apa? Aku sedang tidak menerima negosiasi apapun saat ini. Jadi katakan saja apa yang mau kau katakan,” ucap Angga sambil melanjutkan langkahnya menuju meja kerja. Urusan rumah tangganya belum selesai. Banyak dosa yang harus Angga tebus atas perlakuannya terhadap sang istri.“Aku sudah menemukan pelaku dibalik penyebaran berita rumah tanggamu, pak.” Berita yang dibawa oleh Chris langsung membuat Angga menaruh seluruh fokusnya pada pria itu. Kacamatanya memantulkan gambaran diri Angga di sana. Membuat Angga bisa menatap bagaimana kondisinya sendiri saat ini
“Hanya pengecut yang akan bermain curang. Aku tidak akan membiarkan kau membohongi Nova terus menerus!” Setelah ucapan itu keluar, pintu ruang kerja Angga tertutup. Teriakan pria itu sama sekali tak digubris oleh Aldo yang pergi diselimuti amarah yang tak terluapkan. Berbanding terbalik dengan Angga. Pria itu kini memamerkan senyum liciknya dengan bangga. Jelas ia memenangkan debat hari ini hanya dengan beberapa untaian kata.Di sisi lain, sejak perdebatan antara Aldo dan Angga terjadi, ada sosok lain yang bertugas sebagai saksi. Di bali meja kerjanya di sudut ruang kerja itu, Chris berperan sebagai pengintai. Wajah polosnya mungkin tak akan membuat orang lain curiga bahwa pria itu memiliki kemampuan analisis yang sangat tajam. “Kau serius membiarkannya pergi, pak? Kenapa tidak lapor polisi saja?” Chris kembali bersuara. Dengan sekian banyak kemungkinan yang bisa Angga lakukan untuk membalas balik, di luar dugaan pria itu justru membiarkan tersangka atas pencemaran nama baiknya be
“Aku tidak bisa sembarang memutuskan, Aldo. Bagaimanapun aku harus membicarakan rencana ini dulu dengan Angga,” ucap Nova mulai tak nyaman sejak Aldo mendesaknya untuk ikut pergi bersama pria itu. Bahkan kini, Aldo tengah bersimpuh di sisi Nova memohon agar permintaannya dipenuhi oleh Nova. Jujur Nova bingung sekaligus tercengang mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Aldo tadi. Semuanya terasa tak nyata. Bahkan Nova sendiri tidak pernah membayangkan itu akan terjadi. Bagaimana bisa Angga menghabisi nyawa adiknya sendiri? Apa tujuannya.Berbagai pikiran sudah memenuhi kepala Nova hingga menimbulkan denyut nyeri di beberapa sisi. Jika saja Nova tidak berusaha menjaga kesadarannya, ia pasti sudah tumbang. “Percayalah padaku, Nova. Ini semua hanya tipu daya Angga untuk menjadikanmu tameng.” Aldo berkata lagi. Kali ini terdengar lebih serius dan pria itu mulai menunjukkan gelagat gelisah. “Apa kamu tega melihat Celva menjadi tameng Angga juga. Angga bisa memanipulasi kenyataan ap
Penjelasan Angga semakin membuka mata Nova. Ia berdiri mematung di samping Angga dengan pikiran yang mengawang jauh. Aldo beralih menatapnya, nampak sendu dan lunglai. “Aku mencintaimu, Nova. Aku lebih memilih persahabatanku dengan Angga hancur dibandingkan melihatmu tersiksa di dalam pernikahanmu dengan pria bejat ini. Kamu tidak tahu seberapa banyak wanita yang sudah ia tiduri selama menikah denganmu,” ujar Aldo membalas balik serangan Angga dengan pernyataan yang tak kalah sadis. “Selama ini, kamu hanya dijadikan boneka untuk membalas dendam pada dirinya sendiri. Dia bertingkah seolah dia adalah orang yang paling tersakiti atas kepergian Andre padahal dia sendiri yang sudah menghabisi nyawa adiknya.” Sekian banyak pernyataan yang baru Nova ketahui membuatnya ta habis pikir dengan apa yang ia dengar barusan. Semuanya membuat Nova bingung. Kepalanya berdenyut nyeri dan terasa berat hingga tiba-tiba pandangannya menggelap. Tubuh Nova oleng ke belakang, Amgga yang berdiri di sampin
Bab 127Hati wanita mana yang tak sakit ketika dibohongi. Mentalnya sudah berdarah-darah masih harus ditambahkan luka menganga yang baru. "Kenapa kamu tidak jujur sejak awal?" sambil terisak Nova terus mencari tahu kebenaran. Di sampingnya, Angga hanya bisa menunjukkan raut wajah sendu dan guratan rasa bersalah. Semua fakta yang ada dijabarkan secara gamblang. "Kamu bisa pastikan semuanya saat kamu sudah mendengarnya langsung dari Aldo." Setelah mengatakan itu, Angga pamit undur diri dari hadapan Nova. Memberikan sedikit waktu untuk Nova bernapas dan mencerna semua yang terjadi. Kepergian Angga setidaknya memberikan ruang bagi Nova untuk mencerna semua yang telah terjadi. Tentang tuduhan yang disematkan adanya, tentang paksaan keluarganya yang sampai sekarang tidak menunjukkan batang hidungnya, juga tentang rumah tangga Nova dengan sosok pria penuh misteri seperti Angga."Aarggh!! Siapa yang berkata jujur sebenarnya? Kenapa semuanya terlihat berbelit-belit?" Nova frustasi. Otakny
Kata orang, cinta juga bisa datang terlambat. Sama halnya seperti momen ini. Momen dimana sekujur tubuh Nova mematung saat berhadapan dengan sosok yang menghujam hatinya dengan kerinduan mendalam. Otaknya terasa mati karena Nova tidak bisa mendeteksi perintah apapun dari sana. Sedang Nova bergeming, ada sosok yang kini menatapnya penuh harap. Sosok itu berdiri tegak. Setegar karang yang tak jera menghantamnya dengan gelombang. Banyak cara Nova lakoni untuk menghabiskan keberanian Angga agar tak lagi menemuinya. Berharap dengan memupuk benci, hal itu akan membuat jarak diantara mereka semakin panjang. Sayang, yang terjadi justru kebalikannya. Angga lantang menerabas gelombang, hingga sebagian kecil dari dirinya enyah. Tidak lagi Nova lihat sorot angkuh di mata Angga, pun gestur cinta berlebihan terhadap diri sendiri pada pria itu. Berat Nova mencoba untuk menelan ludah, tapi, Angga justru mulai kembali bersuara. “Aku tahu ini keterlaluan. Tapi aku mohon, kali ini kita bicarakan dar
Secarik kertas di tangan Angga konsisten membuat pikiran pria itu terus berputar. Di dalam kursi pesawat, pemandangan kota-kota kecil di bawah sana sama sekali tidak menarik minat Angga untuk beralih sedetikpun dari kertas itu. “Kau sudah menatap kertas itu hampir satu jam lamanya, Tuan. Apa kau tidak ingin melihat pemandangan indah di luar jendela itu?” Suara Chris membuat Angga mendongak. Ia menatap sang asisten dengan sorot jengah seraya menghembuskan napas berat. “Kapan pesawat akan landing?” tanya Angga. Responnya sangat jauh dari konteks obrolan yang dibangun oleh Chris. “Bukannya ini sudah dua jam?” “Kurang lebih lima menit lagi kita mendarat, Tuan. Bersabarlah, kesabaran akan berbuah manis,” jawab Chris. Pria itu kembali memandang lurus ke depan. Dimana para pramugari tengah sibuk memberikan peringatan untuk mengencangkan sabuk pengaman. Angga kembali berkutat pada pikirannya. Bayangan ekspresi wajah Nova berubah-ubah di sana sesuai dengan asumsi-asumsi yang Angga ciptakan
Sudah satu minggu lamanya, Mario menetap di hotel yang sama dengan Nova. Menjadi garda terdepan bagi nova tanpa diminta. Sore ini langit cukup cerah namun perlahan beranjak mengabu sebelum matahari benar-benar pamit dari altarnya. Mario bangkit dari sofa, diikuti sang asisten di belakangnya. “Kau sudah dapat informasi yang aku minta?” tanyanya sambil melangkah menuju mini bar di sudut ruang santai. “Sudah, Tuan. Saya dihubungkan oleh asisten beliau yang kebetulan sedang berada di Korea saat ini. Menurut informasi, Pak Angga sedang sakit.” “Sakit?” Mario mengulang. “Iya, Pak. Saya sudah coba mencari tahu tentang penyakit beliau, tapi Asisten pribadinya tidak bersedia memberi informasi detail.” “Tapi, kau sudah lakukan apa yang aku minta ‘kan?” Sang asisten mengangguk mantap. “Sudah, Pak. Beliau bersedia untuk bertemu malam ini jam tujuh.” Melihat pemandangan di luar jendela besar kamar hotelnya, Mario beralih pada arloji di tangan. “Sudah pukul enam. Kita berangkat sekarang saj
Lampu remang-remang di dalam klub malam di tengah kota Seoul ini membatasi pandangan Chris yang masuk ke dalamnya. Muda-mudi berlenggak-lenggok di lantai dansa. Di bawah lampu sorot mengikuti irama musik beat yang menggila. Pandangan Chris mengedar ke segala penjuru. Ia langsung bergegas dari bandara ke sini setelah menghubungi Angga. Kabarnya, pria itu berada di sini, namun sampai sekarang Chris belum menemukan petunjuk tentang keberadaan bosnya. Pergerakan Chris di tengah kerumunan orang-orang yang berdansa, menarik perhatian beberapa wanita di sana. Sesekali terdengar mereka mencoba menggoda Chris dengan panggilan-panggilan nakal. “Hai, tampan. Kau sendiri saja?” Seorang wanita mendekati Chris. Dua bingkai lensa di mata Chris ia koreksi saat berhadapan dengan wanita itu. “Kalau kau datang sendiri, aku mau menemani,” ucap wanita itu lagi. Rambut panjangnya sengaja dikibaskan di depan wajah Chris. Aroma bunga menguar setelahnya. Jelas, wanita itu sedang berusaha untuk menarik perh
“Bagaimana bisa Anda membiarkan orang dengan kondisi mental yang terganggu, bepergian sendirian bahkan, mengurus bayi? Apalagi Anda bukan suaminya.” Seorang pria paruh baya dengan seragam kepolisian menginterogasi Mario dengan segerombol pertanyaan. Ia menghela napas panjang, hendak menyela ucapan sang polisi namun pria itu terus berceloteh, tidak memberikan kesempatan bagi Mario untuk menjelaskan. “Anda tahu ‘kan? Apa yang Anda lakukan bisa disebut sebagai bentuk kelalaian dan berpotensi menyakiti orang lain.” “Saya paham, Pak. Itu mengapa saya ada di sini sekarang. Saya akan menebus Nova dan mengikuti prosedur hukum yang berlaku. Tolong beri sedikit keringanan untuk Nova. Bagaimanapun dia masih punya tanggung jawab untuk mengurus anaknya yang masih bayi,” ucap Mario panjang lebar. Tidak akan ia sia-siakan kesempatan untuk bicara. Tujuannya saat ini adalah membebaskan Nova dari hukuman paling berat. Mario mengikuti semua prosedur hukum yang berlaku atas pelanggaran yang Nova laku
Kesibukan terlihat padat di pintu kedatangan Bandara Incheon. Seorang pria mengenakan setelan jas lengkap berwarna keabuan menarik beberapa mata di sana. Di balik kacamata hitam yang nangkring di hidung mancung pria itu, ada sepasang mata yang awas mengintai pergerakan seseorang dari arah lain bandara. Seorang wanita, dengan stroller bayi menemaninya duduk di ruang tunggu menuju pintu keberangkatan. Tujuannya bertolak belakang dengan kedatangan pria tadi. Pria itu melirik arlojinya, tiga puluh menit lagi seluruh penumpang jurusan penerbangan domestik lepas landas. Pria itu bergegas mendekati sang wanita. Dengan penampilan, tidak, ketampanannya yang sedikit mencolok dan menarik perhatian, Chris–pria itu–mendekati targetnya. “Selamat pagi, Nyonya.” Wanita berambut panjang, dengan iris mata hazel yang indah itu mendongak. Dahinya berkerut pun dengan kedua matanya yang memicing. Mencoba menilik sosok asing di depannya. “Ya? Anda siapa?” tanyanya. Ada sedikit getaran dalam suaranya.
Secangkir kopi panas di hadapannya sama sekali tidak menarik perhatian Angga. Di sudut salah satu kafe di jalan utama kota Seoul, ia membiarkan segala pikirannya berterbangan bebas terbawa angin. Laptop dengan layar yang masih menyala berakhir sama mengenaskannya dengan secangkir kopi itu. Padahal, deretan daftar pekerjaan yang seharusnya ia selesaikan secepatnya, meraung meminta dikerjakan. Suara di kepala Angga terlalu berisik. Bahkan membuat pria berusia 37 tahun itu kewalahan mengatur jam tidurnya. ‘Sudah waktunya kau mengejar kebahagiaanmu.” Untaian kalimat yang diucapkan Dalton tempo hari kian memperparah kegundahan hati yang selama beberapa hari ini meraung perhatian Angga agar tidak diabaikan. Lagi-lagi, hanya helaan napas berat yang menjadi penghujung keglisahan Angga. “Tidak seharusnya aku terjebak dalam kegalauan ini,” gumamnya, Angga mencoba mengalihkan pikirannya dengan menggeser pesan dengan seseorang yang jauh di belahan dunia sana. Deretan foto putri kecilnya mend
Seminggu setelah Mario memutuskan untuk mencabut perjanjian kerja perusahaan mereka, Angga memilih hengkang dari apartemen pria itu. Ia cukup tahu diri untuk tidak menjadi benalu sahabatnya. Saat ini, Angga tengah berhadapan dengan pria paruh baya. Mario bilang, itu adalah koleganya yang akan memberikan suntikan dana untuk perusahaan cabang milik Angga yang hampir bangkrut. “Aku tertarik dengan konsep perusahaanmu. Hanya saja, Kerugian selama periode dua tahun ini cukup menarik perhatianku. Dan akan lebih berisiko jika aku investasikan uangku di sana. Bagaimana kalau begini saja,” ucap pria itu. Pria bernama Dalton, berusia sekitar lima puluh tahunan menjabat sebagai pemilik perusahan olahan ginseng paling terkenal di Korea.Meski terlihat kecewa dengan Angga, Mario tetap bertanggung jawab atas apa yang sudah ia janjikan. Satu alasan yang membuat Angga semakin tak enak hati padanya. Dalton memajukan tubuhnya, menatap Angga dengan sorot penuh rasa ketertarikan yang begitu besar namun
Nova hendak mendekati Mark, namun langkahnya ditahan oleh Mario yang kini menatapnya dengan sorot menuntut. Sekujur tubuh Nova meremang. Pegangan Mario di lengannya seolah memiliki aliran magnet yang membuat pandangan Nova tidak beralih padanya. “Apa yang kamu lakukan, Mario? Tolong lepaskan aku,” pinta Nova. Ia membalas tatapan Mario tak kalah tegas, kemudian beralih pada kaitan tangan mereka. “Jawab yang sejujurnya, Nova. Apa benar yang dikatakan Mark?” Nada bicara Mario berubah dingin. Nova bisa merasakan pria itu sedang bergelut dengan kekecewaan yang begitu kental di dadanya. Dengan sedikit keras Nova menghempaskan pegangan Mario seraya berkata. “Benar atau tidak, masa laluku adalah urusanku. Baik kamu ataupun Mark tidak berhak mengintervensi hidupku,” balas Nova tegas. Kini jaraknya dengan Mark terkikis. Wajah mantan kekasihnya itu sama tegangnya dengan Mario setelah kalimat ultimatum Nova ucapkan. “Dan untuk kamu, Mark,” ucap Nova dingin. “Bukan hakmu juga mengatur hidupku.