Ana mengembalikan ponsel Yuda sambil tersenyum canggung. Mengingat bagaimana kerasnya suara sang suami barusan, dia yakin pria di depannya pasti ikut mendengar."Mas Arjuna marah?"Mengedikkan bahu sebagai jawaban, Ana memberi kode agar Yuda menoleh ke belakang. Di mana kakak pria itu sedang berjalan ke arah mereka."Ibu sudah sadar, sebentar lagi mau dipindahkan ke kamar. Kamu urus administrasinya dulu!" Yuli menepuk pundak adiknya. Meyakinkan bahwa kini ibunya sudah baik-baik saja."Baiklah." Yuda mengalihkan pandangan pada Ana. "Aku tinggal dulu, ya."Ana mengangguk, lalu memperhatikan Yuda yang berlari kecil. Hal yang mengingatkannya tentang bagaimana dulu dia juga pernah seperti itu. Panik, saat ibunya masuk rumah sakit."Ehm, Ana?"Wanita itu tersentak. "Iya, Mbak?""Mbak boleh titip ibu bentar? Ini mau nelpon suami dulu.""Oh, iya Mbak."Dengan langkah terpaksa, Ana berjalan ke pintu UGD. Bukan. Bukannya dia tidak mau membantu, hanya saja kemarahan Arjuna mengusik hatinya.Belu
Sebagai seseorang yang sulit menggambarkan perasaan, Arjuna sering kali meluapkan sesuatu dengan amarah. Bahkan dalam keadaan sedih dia akan marah, karena sejak kecil sang papa selalu berkata agar dia menjadi kuat dan tidak cengeng, sebab dia adalah laki-laki.Juga baginya berkata khawatir terlalu aneh, mengingat selama ini jarang ada yang berkata khawatir padanya. Kebanyakan orang menganggap hidupnya selalu baik-baik saja, karena dia kaya dan bisa mendapat apapun yang dia mau.Maka dari itu, ketika tadi dia khawatir pada sang istri bukannya bertanya keadaan wanita itu, dia malah marah-marah tidak jelas. Berbeda dengan Rena yang tak pernah membuatnya khawatir, Ana justru sering kali menciptakan kepanikan pada dirinya.Bahkan perjalanan yang sudah mereka lalui selama sepuluh menit masih hening. Dia bingung harus memulai pembicaraan dari mana, sedangkan ketika melirik wanita di sampingnya dia mendapati wanita itu tengah menunduk seraya memilin hijab.Apa wanita itu takut?Eh, tapi seper
"Mau ke mana?" tanya Ana pada sang suami yang beranjak dari tempat tidur, padahal pria itu sudah memakai piyama. Padahal tadi berkata mau segera tidur karena badan yang mulai lelah."Ruang kerja kakek, barusan di chat suruh ke sana." Arjuna menggoyang-goyangkan ponselnya seraya tersenyum miring. Dipandangi lekat wajah istrinya. "Kenapa?""Tanya aja." Ana mengedikkan bahu, tahu jika sebentar lagi sang suami pasti menggodanya. Terkadang pria itu mudah dibaca. Apalagi kalau perkata seperti ini, rautnya terlalu kentara."Yakin? Atau ...." Arjuna mengetukkan jari telunjuk ke dagu, seakan berpikir keras. "Kamu ngga mau aku tinggal?"Nah, 'kan! Sisi lain Arjuna yang mulai muncul."Sudah cepat pergi, kasihan kakek mengunggu." Ana membuat gerakan seolah mengusir suaminya. Dia pun menarik selimutnya sampai sebatas leher. "Aku tidur dulu, ya.""Dasar! Istri macam apa kamu? Dan seandainya kamu lupa, ini kamarku," gerutu Arjuna."Sudah pergi sana, kasihan kakek menunggu terlalu lama."Pria itu lan
Hubungan Arjuna dan Ana semakin dekat, meski perdebatan masih saja mewarnai hari mereka. Setidaknya tak ada lagi saling mendiamkan, mereka selalu berusaha menyelesaikan masalah supaya tak berlarut-larut.Seperti pagi ini, Arjuna yang tengah sibuk mencari dasi agar serasi dengan kemejanya hanya bisa pasrah mendengar omelan sang istri sejak tadi. Perempuan yang mulai mengambil hatinya itu tak lagi gengsi menunjukkan kecerewetannya."Makanya habis subuh jangan tidur!" gerutu Ana sembari mencari benda yang dibutuhkan suaminya. Paginya yang indah berantakan gara-gara kekacauan yang dibuat Arjuna.Tak berhenti di sana, Ana terus saja menggerutu dengan tangan yang masih bekerja."Harus banget, ya, cari dasi yang serasi?""Pakai yang lain saja!""Kita bisa telat! Tau gitu aku bareng Mas Yuda saja!"Kalimat terakhir langsung membuat Arjuna menatap tajam sang istri, yang berada di sampingnya untuk membantu mencari dasi. Tentu saja diselingi omelan tiada henti.Oke, dari tadi dia memang biasa sa
Suasana berubah canggung ketika dua pasang manusia itu berada dalam mobil. Arjuna yang menyetir mobil, sesekali melirik ke samping, tempat istrinya duduk seraya menatap ke jendela. Jelas sekali wanita itu tengah menghindarinya!Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi, mereka yang akan melakukan sesuatu lebih jauh, dikagetkan oleh bunyi ketukan pintu. Hingga menyebabkan mereka langsung membuat jarak, salah tingkah. Meskipun ini bukan yang pertama untuk Arjuna, tapi sensasinya berbeda. Apa ini gara-gara status halal mereka?"Berhenti di situ saja." Ana menunjuk halte yang berjarak beberapa meter dari kantor."Ngga! Turun di parkiran aja!""Biasanya turun disitu, nanti banyak yang tau.""Memangnya kenapa kalau banyak yang tau? Sudahlah kita turun bersama di parkiran. Toh, banyak yang tau pas pulang bareng," ucap Arjuna panjang lebar tak mau kalah.Ana menghela napas panjang, berdebat dengan suaminya selalu menguras energi. "Bukankah kita sepakat, untuk sementara ngga membuka hubungan
Arjuna melirik kesal sang sahabat yang sejak tadi menatapnya lalu tertawa. Begitu terus dari pagi sampai kini menjelang pulang kantor. Bahkan tadi dia sampai memilih makan siang sendirian, daripada terus direcoki sang sahabat. Ya, seseorang yang mengganggunya tadi adalah sahabatnya sendiri, Revan.Masih jelas di ingatannya, bagaimana raut Revan terlihat bodoh ketika mengetahui keberadaan Ana di mobilnya, bahkan pria itu masih melongo saat istrinya pamit pergi lebih dulu.Lantas setelah kembali mendapatkan kesadaran, Revan terus saja mencecarnya dengan rasa penasaran tinggi. Tentang apa sebenarnya hubungan antara dia dan Ana?Bagaimana bisa mereka semobil berdua?Sejak kapan hubungan mereka semakin dekat? Karena Revan berpikir dia masih proses pendekatan."Jadi gimana Ana? Apa yang kalian lakukan tadi?" Revan menaik-turunkan alisnya. "Ngga ngapa-ngapin," jawab Arjuna tanpa menatap sahabatnya."Halah, jangan ngeles deh! Tadi gue berhenti lama di belakang mobil lo. Serius masih mau nyan
[Kamu pulang sama Mas Yuda dulu, ya hari ini. Aku ada urusan sebentar.][Urusan apa?] balas Ana seraya berjalan ke tempat parkir. Tidak menunggu lama dia langsung mendapat balasan.[Adalah. Nanti aku ceritakan. Kamu ngga marah, kan?]Marah? Jelas saja dia marah. Arjuna sendiri yang berkata kalau mereka akan pulang bersama. Namun, dia malah disuruh bareng Yuda.Bukannya apa, hanya saja dia jadi mempertanyakan perasaan pria itu, apa pria itu benar-benar serius dengannya? Kenapa dengan mudah Arjuna menyuruhnya pulang dengan orang lain?Padahal biasanya Arjuna akan marah-marah jika dia bersama Yuda. Namun, ini belum lama dari mereka memutuskan memulai semua dari awal, dia malah rasanya disuruh menjauh.Yuda yang bersandar pada mobil, menegakkan tubuh begitu menangkap keberadaan Ana. "Sudah siap?" tanyanya saat perempuan itu telah berada di hadapannya."Iya, Mas." Ana membuka pintu penumpang. Memasang seatbelt, dia mencoba membuang pikiran tentang Arjuna meski rasanya sulit."Ada masalah?
Yuda tahu ada yang tidak beres dengan wanita di sampingnya. Apalagi setelah dia sempat melihat Arjuna dan Rena masuk dalam kafe bersama. Hal yang semakin memperkuat dugaannya.Namun, dia sudah bertekad untuk tidak ikut campur. Meskipun rasanya dia gatal ingin menghibur Ana."Kamu mau ikut masuk?" tanya Yuda begitu mobil berhenti di depan toko kue.Ana mengangguk. Ya, siapa tahu dengan melihat aneka kue bisa membuat mood-nya membaik. Bukankah kata orang, makanan adalah satu hal yang bisa memperbaiki suasana hati?Meskipun dia tidak tahu teori itu benar atau salah, tapi tidak ada salahnya mencoba 'kan?Baru saja berada di depan pintu, bau harum khas kue yang sedang di panggang membuat Ana ingin segera melihat ke dalam, dan mencicipi kue yang dari luar tampak rapi disusun dalam etalase."Tempat ini juga langganan Pak Barata," ujar Yuda seraya membukakan pintu untuk Ana."Terima kasih.""Aku ke kasir sebentar, menanyakan pesanan Mbak Yuli sudah selesai apa belum. Kamu pilih saja mau yang