Arjuna melirik kesal sang sahabat yang sejak tadi menatapnya lalu tertawa. Begitu terus dari pagi sampai kini menjelang pulang kantor. Bahkan tadi dia sampai memilih makan siang sendirian, daripada terus direcoki sang sahabat. Ya, seseorang yang mengganggunya tadi adalah sahabatnya sendiri, Revan.Masih jelas di ingatannya, bagaimana raut Revan terlihat bodoh ketika mengetahui keberadaan Ana di mobilnya, bahkan pria itu masih melongo saat istrinya pamit pergi lebih dulu.Lantas setelah kembali mendapatkan kesadaran, Revan terus saja mencecarnya dengan rasa penasaran tinggi. Tentang apa sebenarnya hubungan antara dia dan Ana?Bagaimana bisa mereka semobil berdua?Sejak kapan hubungan mereka semakin dekat? Karena Revan berpikir dia masih proses pendekatan."Jadi gimana Ana? Apa yang kalian lakukan tadi?" Revan menaik-turunkan alisnya. "Ngga ngapa-ngapin," jawab Arjuna tanpa menatap sahabatnya."Halah, jangan ngeles deh! Tadi gue berhenti lama di belakang mobil lo. Serius masih mau nyan
[Kamu pulang sama Mas Yuda dulu, ya hari ini. Aku ada urusan sebentar.][Urusan apa?] balas Ana seraya berjalan ke tempat parkir. Tidak menunggu lama dia langsung mendapat balasan.[Adalah. Nanti aku ceritakan. Kamu ngga marah, kan?]Marah? Jelas saja dia marah. Arjuna sendiri yang berkata kalau mereka akan pulang bersama. Namun, dia malah disuruh bareng Yuda.Bukannya apa, hanya saja dia jadi mempertanyakan perasaan pria itu, apa pria itu benar-benar serius dengannya? Kenapa dengan mudah Arjuna menyuruhnya pulang dengan orang lain?Padahal biasanya Arjuna akan marah-marah jika dia bersama Yuda. Namun, ini belum lama dari mereka memutuskan memulai semua dari awal, dia malah rasanya disuruh menjauh.Yuda yang bersandar pada mobil, menegakkan tubuh begitu menangkap keberadaan Ana. "Sudah siap?" tanyanya saat perempuan itu telah berada di hadapannya."Iya, Mas." Ana membuka pintu penumpang. Memasang seatbelt, dia mencoba membuang pikiran tentang Arjuna meski rasanya sulit."Ada masalah?
Yuda tahu ada yang tidak beres dengan wanita di sampingnya. Apalagi setelah dia sempat melihat Arjuna dan Rena masuk dalam kafe bersama. Hal yang semakin memperkuat dugaannya.Namun, dia sudah bertekad untuk tidak ikut campur. Meskipun rasanya dia gatal ingin menghibur Ana."Kamu mau ikut masuk?" tanya Yuda begitu mobil berhenti di depan toko kue.Ana mengangguk. Ya, siapa tahu dengan melihat aneka kue bisa membuat mood-nya membaik. Bukankah kata orang, makanan adalah satu hal yang bisa memperbaiki suasana hati?Meskipun dia tidak tahu teori itu benar atau salah, tapi tidak ada salahnya mencoba 'kan?Baru saja berada di depan pintu, bau harum khas kue yang sedang di panggang membuat Ana ingin segera melihat ke dalam, dan mencicipi kue yang dari luar tampak rapi disusun dalam etalase."Tempat ini juga langganan Pak Barata," ujar Yuda seraya membukakan pintu untuk Ana."Terima kasih.""Aku ke kasir sebentar, menanyakan pesanan Mbak Yuli sudah selesai apa belum. Kamu pilih saja mau yang
Butuh waktu lama keduanya berada di perjalanan mengingat jam pulang kerja penuh dengan kendaraan. Dan akhirnya Yuda memberhentikan mobilnya di depan rumah minimalis bercat biru muda. Dia hanya berniat mengantar kue, bukan mampir jadi tak perlu memasukkan mobil ke halaman."Biar aku bantu." Ana keluar dari mobil, setelah melihat Yuda kesusahan membawa beberapa kantong plastik. Sepertinya Yuli tipe orang yang suka merayakan sesuatu dengan banyak orang. "Tidak usah." Yuda menggeleng. Masih mencoba mengatur barang-barang di tangannya agar tak sampai terjatuh. Bisa panjang urusannya jika ada kue yang rusak. Pasti kakaknya akan mengomel panjang lebar.Berdecak kecil, Ana tidak mengindahkan larangan Yuda. Justru tangannya bergerak hati-hati agar tidak sampai bersentuhan dengan kulit Yuda, Ana merebut benda yang berada di tangan pria itu. Bukannya apa, bersentuhan dengan Arjuna saja dia merasa belum sepenuhnya nyaman, apalagi laki-laki lain.Yuda yang kaget dengan gerakan Ana, hanya mampu me
"Ana sudah lama kerja bareng Yuda?" Yuli menatap wanita yang duduk di depannya. Terus terang saja, dia agak terkejut. Adiknya yang selama ini hanya tahu kerja, kerja dan kerja. Tiba-tiba dia mendapati ada wanita yang sudah tiga kali didapatinya bersama sang adik."Bukan kerja bareng, Mbak. Kita satu tempat kerja tapi beda divisi.""Mbak tanya Ana bukan kamu," ujar Yuli kesal.Menepuk pundak adiknya, Doni tertawa kecil. "Maaf, Da. Entah mengapa Mbak-mu ini sekarang jadi gampang marah.""Ini namanya hormon kehamilan," bela Yuli tidak terima."Lama-lama aku kasihan sama hormon. Selalu saja kamu jadikan kambing hitam.""Emang itu kenyataannya!" Yuli mencubit perut suaminya, kesal."Sudah-sudah, ngga enak sama Ana kalau Mbak sama Mas berdebat terus," kata Yuda mencoba menengahi.Ana yang langsung menjadi pusat perhatian, tersenyum tipis. Lagipula apa lagi yang bisa dia lakukan selain tersenyum? Ikut perdebatan ketiga orang di depannya? Jelas tidak mungkin.Ngomong-ngomong soal posisi duduk
Ana memincingkan mata, kala mobil yang dikendarai Yuda sudah melewati gerbang rumah keluarga Wijaya. Di sana, di teras yang luas Arjuna tengah bersandar pada salah satu pilar besar.Dari jarak yang tak terlalu dekat saja dia tahu jika Arjuna tengah marah. Ya, tak mungkin suaminya menyambut kedatangannya dengan marah setelah dia mencari gara-gara.Baiklah Ana, siapkan dirimu untuk menghadapi pria yang sepertinya tengah marah itu. Perdebatan panjang akan dimulai, tapi untuk kali ini dia tak mau mengalah.Enak saja! Masak sudah dibohongi masih mengalah, bodoh sekali dirinya jika seperti itu."Makasih, Mas." Ana turun dari mobil, dia kira Yuda akan langsung pulang, tapi pikirannya salah. Pria itu justru ikut turun bersamanya.Dia berusaha mencegah dengan mendelik pada Yuda. Namun, usahanya sia-sia. Dia sama sekali tidak diindahkan, yang ada Yuda layaknya orang yang siap menerima amarah Arjuna."Dari mana kalian?" Tidak ada bentakan dari suara itu. Hanya saja aura dingin dan nada datar Arj
Ana memperhatikan pria di sampingnya yang masih tertidur lelap. Perdebatan semalam memang belum menghasilkan apapun, karena dia memilih mengakhirinya dengan alasan capek dan ingin segera istirahat.Bukannya apa, hanya saja dia takut akan meluapkan amarah hingga berujung keluarnya kata yang menyakitkan untuk suaminya. Dia butuh menenangkan pikiran dulu, baru setelahnya mereka bisa bicara baik-baik tanpa luapan amarah.Kemarin saja dia mulai terpancing oleh amarah Arjuna. Nah, kalau diteruskan mereka akan berujung saling menyakiti dengan kalimat buruk untuk masing-masing dan dia tidak mau itu terjadi. Bukannya reda pasti pertengkaran mereka akan berlangsung lama.Matanya masih saja menatap suaminya yang kini tengah meregangkan badan. Ya, saat ini dia sedang tidak ingin membuat adegan drama, seperti pura-pura tidur ketika pasangannya terbangun. Jadi dia tetap menatap lekat suaminya.Ana tersenyum tipis, saat sang suami langsung terkesiap seraya memegangi dada begitu sadar sedang diperhat
"Mengalihkan pembicaraan, eh?""Mau jawab ngga?!""Sabar." Arjuna menyandarkan punggung, lalu menarik sang istri dalam pelukannya. "Pertama, yang mengajak bicara Rena bukan aku. Kedua, aku hanya bicara seperlunya, bicara tentang hubungan kami yang benar-benar berakhir.""Hanya itu?"Arjuna tidak langsung menjawab. Karena saat ini pikirannya sibuk berdebat. Haruskan dia jujur? Atau bohong?Kalau jujur, dia takut hubungannya dan Ana kembali merenggang padahal mereka baru saja berbaikan. Namun, berbohong juga bukan pilihan yang baik. Jika sampai Ana tahu hal itu dari orang lain pasti wanita itu akan marah."Hei!" tegur Ana yang mengira suaminya melamun."Hanya itu, ya, hanya itu." Akhirnya Arjuna memilih berbohong. Dia pasti akan bilang alasan sebenarnya di balik pernikahan mereka. Akan tetapi, tidak sekarang di saat hubungannya dengan Ana berjalan baik."Baik, aku percaya." Jika ada yang bertanya kenapa Ana begitu mudahnya percaya, hanya satu jawaban yang dia miliki. Karena selama ini A